“Pulanglah. Akan Kakak jemput.”
Meskipun Anggita belum menjelaskan apa pun pada kakaknya tersebut, walaupun ia pernah terlibat pertengkaran dengan ketiga kakak laki-lakinya karena mereka menentang pernikahan Anggita dengan Beni, kakak bungsunya tersebut tetap saja menerimanya saat Anggita mengatakan ingin pulang.Segera, Anggita mengumpulkan barang-barangnya dan memasukkan mereka ke dalam tas. Untungnya, selama menikah dengan Beni, ia tidak memiliki banyak baju maupun barang-barang lain.Tanpa menunggu lebih lama, Anggita menjinjing tasnya keluar rumah."Heh! Mau ke mana kamu?"Sampai di ruang tamu, tiba-tiba ibu mertua Anggita menghadang. Rupanya Bu Neni sampai di rumah saat Anggita hendak keluar. Wanita paruh baya tersebut melirik tas Anggita dengan pandangan sinis.“Mau kabur ya!?” tuduh Bu Neni. Ia langsung berteriak memanggil putra sulungnya. "Beni! Lihat istri kamu nih. Dia mau minggat diam-diam. Bawa banyak barang lagi."Anggita menatap ibu mertuanya tersebut. "Aku mau pulang, Bu,” ucapnya. “Lebih baik aku pergi daripada diperlakukan dengan tidak baik di sini.”Bu Neni mendengus. “Baguslah kamu sadar diri.”Anggita kembali melangkah saat tiba-tiba Bu Neni kembali mencegatnya dan merampas tas di tangan Anggita.“Bu!”“Diam!” Bu Neni mengaduk-aduk isi tas Anggita yang hanya berisi pakaian sehari-hari dan barang-barang pribadi. “Mana tahu kamu mengambil barang anakku dan mau kamu jual.”Anggita mengepalkan tangannya, tersinggung dengan tuduhan ibu mertuanya.“Aku bukan maling, Bu,” ucap wanita itu.Bu Neni mengabaikan Anggita dan berdecak. Wanita paruh baya itu kemudian melempar tas yang sudah ia acak-acak ke kaki Anggita agar menantunya itu bisa memungutinya kembali. Namun, Anggita diam saja dan hanya menatap lurus pada Bu Neni dan Beni yang baru saja muncul.“Kenapa diam saja? Punguti kembali barang-barangmu itu!”Anggita menggeleng. “Silakan ambil saja kembali,” ucapnya pada ibu mertuanya. Lalu, pada Beni, ia berucap, “Tunggu surat gugatan dariku, Mas.”Setelah mengatakan itu, Anggita berbalik dan berjalan pergi tanpa membawa apa pun, mengabaikan kekehan dari Beni dan komentar-komentar menyakitkan hati dari ibu mertuanya.Tepat ketika Anggita melangkah keluar halaman, sebuah mobil mewah muncul dan berhenti tepat di depan Anggita.Pintu terbuka dan sesosok pria berkaca mata hitam keluar dari dalam mobil untuk membuka pintu ke kursi penumpang sembari berujar pada Anggita:"Masuk."Wanita itu langsung masuk mobil mendengar titah pria tersebut. Setelahnya, mobil itu pun melaju cepat meninggalkan rumah milik Beni usai pria berkaca mata tersebut duduk di kursi pengemudi.Anggita menyandarkan tubuh di sandaran kursi, kemudian mengeluarkan ponsel dan dompet lusuh yang sudah biasa ia gunakan. Hanya dua benda itu yang ia bawa bersamanya, selain pakaian yang melekat di tubuh.“Kenapa Kak Andre bisa tahu rumah Mas Beni?" tanya Anggita.Ia heran lantaran ia belum sempat mengatakan memberi tahu sang kakak di mana ia tinggal sekarang. Pun, sebenarnya Anggita berencana untuk naik kendaraan umum untuk menghindari kalau-kalau kakaknya itu akan memancing keributan dengan suaminya.Namun, pria yang dipanggil “Kak Andre” itu tak menjawab pertanyaan Anggita. Netranya terus memandang ke depan dan fokus menyetir mobil."Kak Andre, jangan diam aja. Sejak kapan Kak Andre tahu rumah aku?" Anggita kembali bertanya.Pria di balik kemudi itu mendengus, kemudian tersenyum miring."Mudah bagi Kakak untuk menemukan gubuk suami kamu,” sahut Andre singkat.Anggita menghela napas panjang. Ia lupa jika para kakaknya bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan dan kehendaki, tidak terkecuali kakak keduanya ini. Apalagi hanya sekadar menemukan keberadaan Anggita yang memang tidak sedang menyembunyikan diri.Satu-satunya hal yang gagal dilakukan ketiga kakak Anggita adalah melarang Anggita untuk jatuh cinta dan menikah dengan Beni. Sayang sekali waktu itu dia terlampau bodoh dan buta, hingga mengabaikan peringatan para kakaknya."Jadi,” ucap Andre kemudian sembari mengemudi dengan santai. Ia melepaskan kacamata hitamnya dan meletakkan benda itu di dasbor. “Katakan pada Kakak apa yang terjadi.”Anggita diam selama beberapa saat. Ia mengingat rentetan kejadian sejak tadi pagi dan bagaimana suami beserta keluarganya memperlakukan Anggita.“Dia mau menikah lagi,” ucap Anggita dengan suara pelan. “Calonnya tadi datang.”Wanita itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap bayangannya yang terpantul samar-samar di kaca. Anggita bisa melihat penampilannya yang masih berantakan. Wajahnya tampak kusam tanpa polesan dan tampak lelah.Perlahan, kesedihan dan kekecewaan yang Anggita rasakan menjadi kemarahan dan perasaan tidak terima. Ia mengabdikan dirinya sebagai istri, bahkan meninggalkan keluarganya, hanya untuk diperlakukan tidak selayaknya seperti tadi.“Kakak sudah bilang ke kamu–”“Ya, aku tahu aku salah,” potong Anggita, tidak ingin lagi mendengar kata-kata itu dari kakaknya. Tanpa diingatkan kembali pun, Anggita sudah menyesali keputusannya dua tahun lalu.Anggita menoleh ke arah kakaknya. “Maaf karena aku sudah mengabaikan kata-kata Kakak soal Beni,” ucapnya.Pria berjambang yang merupakan kakak nomor dua Anggita itu tersenyum kecil dan menoleh ke arah adiknya sekilas. Sebelah tangannya kemudian mengelus rambut Anggita pelan.“Bagus jika kamu sudah sadar,” kata Andre singkat. “Apa rencanamu sekarang?”Anggita menghela napas. "Entah, Kak. Tapi ... aku tidak terima jika hanya berakhir begini. Aku harus membalas mereka demi dua tahun yang kusia-siakan sebagai istri sekaligus pembantu mereka.”Wanita itu tersenyum sinis. “Bahkan, mereka mengatakan aku adalah pembantu mereka di acara tadi."“Apa!?”Andre geram. Rahangnya mengeras. Pria itu meremas setir dan memukulnya karena kesal sang adik diperlakukan seolah-olah tak punya harga diri sementara Anggita diam saja.“Kamu benar. Mereka harus mendapatkan balasan,” ujar Andre setelah beberapa saat. “Jangan khawatir. Kakak akan buat mereka semua menderita.”Anggita mengangguk. Ia memperhatikan kakak keduanya itu dari samping.Selama dua tahun ini, Andre sebenarnya tidak pernah melepaskan pengawasannya terhadap sang adik begitu saja dan tetap menjaga komunikasinya dengan Anggita, meskipun jarang mendapatkan respons. Anggita benar-benar berterima kasih pada kakak nomor duanya tersebut.“Kenapa?” Andre menoleh sekilas pada sang adik saat menyadari Anggita menatapnya. “Mau bilang apa? Kamu enggak berniat kembali ke sana lagi, kan?”Sontak, Anggita cemberut. “Ih, enggak lah. Aku udah sadar, Kak!”Andre terkekeh. Sikap manja sang adik perlahan muncul kembali di hadapannya.Mobil melaju dengan cepat dan suasana di antara kedua kakak beradik itu menghangat seiring mereka makin dekat ke kediaman XX, rumah mereka.Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di rumah megah yang ditinggali Anggita sejak kecil, rumah yang selama dua tahun ini Anggita tinggalkan demi bersama pria yang ia cintai, tetapi sama sekali tidak menghargainya.Mereka pun turun. Beberapa asisten rumah tangga menyambut dengan senang kedatangannya kembali Anggita."Mbak, apa kabar?" salah satu asisten itu menyapa ramah.Anggita membalas dengan senyum. "Baik, Bu."Andre meminta para asisten rumah tangga untuk menyiapkan air hangat agar Anggita bisa membersihkan diri, beserta baju ganti dan kamar untuk dihuni oleh adik perempuannya tersebut.“Kamar kamu sebenarnya masih sama seperti dulu, tapi tetap saja harus dibereskan sedikit.” Andre berkata pada Anggita. “Sana mandi. Setelah itu, kita temui Kak Baskoro.”Anggita terdiam sesaat.“Kak. Apa Kak Bas mau menerima aku kembali ya?” tanya Anggita pelan kemudian. Ia tampak ragu. “Kak Bas kan marah besar dulu. Kak Bas juga yang mengusirku saat aku berkeras menikah dengan Mas Beni.”Andre menepuk puncak kepala Anggita. “Kamu harus minta maaf dulu sama dia," ujarnya. "Kak Bas pasti memaafkan."“Tapi, Kak. Aku–”Sebelum Anggita menyelesaikan kalimat, sebuah suara besar dan menggelegar, tapi terkesan dingin memotongnya."Untuk apa kamu datang ke sini!?""Untuk apa kamu datang ke sini!?" Anggita sontak menoleh. Baskoro, kakak pertamanya, kini berdiri di tengah ruang keluarga, menatap lurus ke arah Anggita. Suara Baskoro ditambah tatapan dingin pria itu membuat tubuh Anggita bergetar hebat karena ketakutan."A-aku--" Anggita terbata-bata. “Kak, a-aku–”"Aku yang menjemputnya, Kak,” sela Andre, membantu Anggita. Ia merangkul bahu adik bungsunya di hadapan Baskoro. “Dia mau meminta maaf."Anggita mengangguk. “Kak Bas … aku salah. Aku minta maaf….”Ia kemudian menunduk, merasa malu sekaligus takut. Kedua tangannya terasa dingin dalam keheningan karena Baskoro tak kunjung mengatakan apa pun.Baru ketika sampai di rumah ini tadi, Anggita terpikirkan sebuah kemungkinan.Bagaimana jika kakak pertamanya itu tidak mau menerimanya kembali? Apakah ia akan berakhir di jalanan? Ia tidak punya tempat lain untuk–“Apa-apaan penampilanmu itu? Laki-laki yang kamu pilih tidak bisa membelikanmu baju yang pantas?” Mendengar suara Baskoro, Anggita kembal
Seminggu kemudian, Anggita sudah menenangkan hati lebih baik dan mencoba untuk memikirkan apa yang akan ia lakukan pada calon mantan suaminya dan keluarganya.Hari ini ia berencana menemui sang kakak ketiga. Sudah rindu tak lama berjumpa, apalagi saat melihat wajah tampan itu di layar kaca. "Kenapa aku tak dari dulu saja berpenampilan seperti ini, ah rasanya membuat jengkel jika mengingat kebodohan saat itu," Anggita bergumam sendiri."Nah, jika seperti ini 'kan kamu sudah terlihat seperti putri bungsu dari keluarga kita. Bukan seperti pembantu. Jika seperti ini aku tidak akan malu mengakuimu lagi sebagai saudara," ujar Andre. Andre muncul di kamar Anggita yang lupa ia tutup dan memudahkan orang lain masuk.Anggita menoleh dengan mimik wajah masam, lalu mencubit lengan sang kakak. Seringkali Andre menggodanya, tapi memang benar apa yang terlontar dari mulut sang Kakak."Sudahlah Kak jangan terus-terusan mengejekku seperti itu."Andre mengangkat tangannya pertanda jika dirinya tidak a
Ucapan dari Beni, membuat Evan marah. Ia tidak terima adiknya direndahkan demikian, dirinya sudah hendak memukul Beni. Namun, Anggita menghentikannya. Wanita itu kembali menoleh menatap ke arah Beni yang tengah tersenyum mengejek ke arahnya."Jaga bicara kamu, yang selingkuh dan memiliki simpanan itu kamu bukan aku. Lihat saja, tunggu surat gugatan cerai dari aku!" Anggita tak mau membuat orang melihat ke arah mereka, ia langsung menarik Evan menjauh dari Beni. Beni terdiam, mendengar apa yang diucapkan oleh Anggita ia tidak bisa membalasnya. Bisa-bisanya sekarang wanita itu sudah berani menjawab dengan nada keras seperti itu. Dirinya heran mengapa penampilan Anggita kini sangat berbeda jauh, kini terlihat cantik dan anggun."Bagaimana bisa istri lusuhmu itu menggandeng lengan dari Evan dan penampilannya terlihat lebih segar?" tanya Sandra heran. "Aku juga tidak mengerti kenapa bisa penampilan dia berbeda. Baru saja keluar rumahku seminggu, sudah menjadi simpanan." Beni kesal, bag
“Siapa yang melakukan hal itu dan menyebarkan gosip murahan itu?” Baskoro terlihat marah.Evan memperhatikan foto yang diunggah seseorang, itu kejadian yang terjadi di hotel saat ia dan Anggita bertemu dengan mantan suami sang adik. Namun, ia tak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Mana tahu jika ada yang membuat gosip tak sedap seperti itu. “Rese banget sih, ini pasti ulah Beni, Kak. Aku yakin dia itu yang melakukan hal semacam ini.” Anggita bicara dengan menggebu karena kesal akibat ulah sang mantan suami. Baskoro meremas taplak meja, ia bersumpah akan membuat mantan suami adiknya itu menjadi gelandangan. Tidak ada ampun untuk mereka yang membuat sang adik mengeluarkan air mata sedikit apa pun.“Biarkan saja, nanti aku yang urus semua. Kita kembali makan, jangan buang-buang tenaga menghadapi hal seperti itu.”Mereka kembali makan, walau seperti itu Evan merasa tak tenang. Ia pun melirik sang Kakak yang tenang saat makan. Evan kembali berpikir apa yang akan di lakukan oleh
Bunga menarik Anggita untuk berkumpul dan berkenalan dengan beberapa ibunya temannya. Mereka langsung menyambut dengan hangat. “Wah Tante Bunga, cantik, ya. Kenalin mamanya Arian.” “Eh, iya. Mama Arian, salam kenal.” Lalu kembali beberapa ibu dari temannya sudah di kenalkan oleh Bunga. Ternyata, keponakannya itu adalah anak yang riang dan baik hati. Bahkan, tak mau terlihat kaya di depan beberapa temannya. “Bunga senang deh sudah ada tantenya,” ujar Mama Arian. “Iya kebetulan aku akan menghabiskan waktu di Indonesia. Kangen juga sama Bunga. “ Acara ulang tahun pun di mulai, anak-anak semua bergembira termaksud Sasy teman sekelas Bunga. Anggita duduk dengan meminum es kopi. “Untung saja mereka tak menyebut aku suster lagi. Masa ia secantik ini di samakkan dengan asisten.” Anggita memperhatikan Sasy, anak perempuan itu cantik dan terlihat seperti anak orang kaya. Namun, ia kembali teringat ayahnya Sasy. “Ah, Papanya menyebalkan.” Sasy tiba-tiba menghampiri Anggita yang sibuk m
“Tante kenapa sih?” tanya Bunga. Sejak tadi anak itu memperhatikan sang tante yang kerap menggerutu sendiri. Anggita hanya tersenyum lalu menggeleng. Mana mungkin ia mengatakan jika dirinya kesal dengan ayahnya Sasy yang tidak punya sopan santun.“Tante kesal ya sama Papanya Sasy?” tanya Bunga.“Hah, enggak. Tapi, apa memang orangnya begitu ya?” Anggita malah penasaran dengan pria itu.“Om Raka memang seperti itu. Selalu terburu-buru, makanya kasihan aku sama Sasy. Mana Mamanya enggak tahu kabarnya,” ungkap Bunga.“Jangan seperti itu.”“Ya benar, Tan. Mamanya pergi katanya enggak datang lagi padahal Sasy sudah menunggunya.”“Eh, sudah ah. Jangan bahas Papanya Sasy.” Anggita mengajak masuk keponakannya ke dalam karena sudah larut malam.Bunga masuk kamar, sedangkan ia duduk di ruang TV menunggu kakaknya pulang. Ia memperhatikan sekeliling, lalu berpikir apa setiap hari kakak iparnya pulang selarut itu. Tiba-tiba ia teringat saat dirinya menjadi istri Beni, keluar rumah saja
“Siapa yang cantik, Mas?” tanya Gani –adiknya Beni.Beni menoleh ke arah Gani, untuk apa sang adik datang ke rumahnya karena ia merasa tidak ada urusan dengannya. “Siapa kek, mau tahu aja kamu. Ngapain ke sini, aku kayanya enggak minta kamu ke sini.” “Iya memang bukan Mas, tapi ibu minta aku ke sini. Katanya dia minta uang, tahu sendiri Anita suka ngambek kalau tahu aku ngasih ke ibu.”Wajah Gani terlihat tertekan jika membicarakan tentang ibu dan istrinya. Beni sedikit memicingkan mata karena ia merasa ibu dan adik iparnya itu sangat kompak. Namun, kenapa malah Anita seperti itu pikir Beni. “Gani, aduh ibu sudah menunggu kamu. Bagaimana, kamu bawa kan uang yang ibu minta?” tanya Bu Neni.“Bu, aku enggak bisa ngasih full. Ibu tahu kan kemarin aku habis acara selamatan rumah. Ibu tahukan Anita enggak pernah tanggung-tanggung kalau buat acara. Uangku habis,” ujar Gani.Wajah Bu Neni masam, ia tak terima jika anaknya menolak permintaan dirinya. Dia sangat membutuhkan uang yang
Anggita memalingkan wajahnya lalu menggerutu kesal dengan ucapan Andre. Untuk apa pikirnya mencarikan jodoh untuknya sedangkan dirinya saja masih berstatus istri Beni dan belum proses perceraian. Ia tak suka di carikan jodoh seperti dulu saat belum menikah. “Enggak usah cemberut, buktinya cari sendiri malah salah pilih. Adek kesayangan kita yang cantik jelita malah berubah jadi emak-emak berdaster.” “Kak!” Anggita cukup mengerti dirinya saat menjadi istri Beni, tapi pikirnya tak perlu di perjelas lagi bagaimana rupa dirinya.“Apa, mau ngelak? Bahkan sama Caraka saja kamu di kira suster Bunga.” Lagi, Andre melirik dengan sengaja dan terkekeh melihat adiknya masam. Andre, kakak Anggita yang begitu humoris dan lebih peduli padanya. Memang Anggita lebih dekat dengan kakaknya itu dari pada kedua kakaknya yang lain.Andre kembali diam saat tahu Anggita sudah tingkat kesabaran yang setipis tisu. Ia diam seribu bahasa dengan bibir sedikit maju.Mobil Andre memasuki halaman restoran d