Dara menghembuskan napasnya perlahan, matanya memandang tautan tangannya yang berkeringat dingin dengan berkaca-kaca. Meski tangisan sering dianalogikan sebagai ungkapan perasaan sedih, namun hatinya jelas tak membual, bongkahan batu yang semula mengimpit dadanya seakan dipukul godam, semua kekhawatirannya hirap bersama pecahan-pecahan batu itu, lega, setidaknya itulah yang ia rasakan setelah mendengar palu diketuk oleh sang hakim.
Meskipun pada akhirnya akan ada tulisan “cerai hidup” yang akan menodai kartu kenegaraannya, Dara tetap bersyukur atas status barunya yang secara tidak langsung lepas dari belenggu siksa. Untung dari segala buntung, selama prosesi perceraian ini, tidak ada drama yang turut membumbui. Awalnya, Dara khawatir jika William akan mempersulitnya, syukurnya ada Sri Rahmi, mantan ibu mertuanya, yang terus menempeli putra pertamanya layaknya permen karet, wanita itu seakan-akan siap mencakarnya jika berani dekat-dekat dengan putra kesayangannya. “Om Hendra? Kok sendirian? Tante tidak jadi datang?” tanya Dara begitu mendapati sang paman yang tengah bersandar di mobilnya. “katanya mau memberi dukungan morel. Sudah terlambat, tidak formasi lengkap lagi,” cebiknya sembari mengerucutkan bibir sebal. Sang paman yang diomeli itu hanya menggigit bibirnya kuat-kuat sebelum menyemburkan tawa. Dipeluknya keponakan yang sedang mengambek itu penuh sayang. “Tantemu lagi di toilet, Ra. Sudah untung kami luangkan kesempatan pacaran kami untuk menemanimu, Lagi pula dukungan morel yang kamu sebut, kan hanya cangkang, sebenarnya kamu mau menguras dompet om di mall, kan?” tanya Hendra membuat Dara tertawa ringan. Candaan yang dilemparkan sang paman selalu berhasil membuatnya kembali bersemangat. Di sisi lain, ia tak habis pikir dengan perhatian sang paman pada bibinya yang semakin hari semakin membuatnya iri, apalagi dengan status barunya sebagai janda merana. Cih! Tapi apa bedanya? Mau Dara menjadi istri William sampai seratus tahun kedepan pun, ia tak yakin William akan seromantis pamannya. “Tidak usah pamer! Iya-iya yang tiap hari kerjanya pacaran. Tapi, kan, tidak perlu bikin iri janda satu jam ini juga,” kesalnya sembari duduk di salah satu kursi umum untuk menunggu sang bibi. “Oh, pantas saja minta cerai, sekarang sudah dapat inang baru, to?” celetuk Rahmi sembari memandang remeh penampilan Dara. Sebuah gaun selutut off the shoulder berhasil menyeimbangkan proporsi tubuh pirnya, apalagi warnanya yang sage dan berpadu dengan kulit kuning langsat itu sukses menambah kesan fresh, ditambah aksesoris-aksesoris berwarna terang yang semakin memanjakan mata. Cih! Rahmi tak sudi mengakui kecantikan menantu yang menurutnya sudah kurang ajar itu. Pantas saja Dara semakin terlihat berisi dan seksi, ternyata karena ia sudah menjadi peliharaan om-om! Rahmi mengecimus, sudah benar anaknya bercerai dengan perempuan tak jelas asal-usulnya ini! “Maaf?” tanya Dara tak paham. “Tidak usah sok polos deh! Saya bersyukur kamu menceraikan anak saya, ternyata eh ternyata, selama ini kamu bergelendot dengan om-om! Ini rupanya orang yang sok tersakiti, ternyata kelakuan kamu lebih parah, pantas saja kamu semakin seksi! Awas! azab Tuhan itu pedih,” sindir Rahmi yang secara tak langsung mengakui pesona menantunya. Dara mendelik, sebenarnya mantan mertuanya ini sedang menyindir atau memuji? Katanya pantas saja ia berubah seksi? Tentu saja pantas! Satu bulan penuh ini Laksmi Wardana mencekokinya dengan berbagai jenis jamu menambah nafsu makan, dan sekarang, sudah pasti! Tubuh yang awalnya memprihatinkan itu berubah menggiurkan. Terbukti dengan William yang terus menatapnya sejak di ruang sidang tadi karena bernostalgia dengan pertemuan pertama mereka saat Dara sedang mekar-mekarnya, belum lagi para suami iparnya yang acap kali kepergok menjilati bibir sembari memandang buas padanya, membuat Dara mendengus jijik sekaligus membuat Indri dan para iparnya semakin melancarkan laser padanya. “Dengar!” tekan Dara penuh peringatan. "Saya tidak tahu apa maksud Anda mendatangi saya dan mengatakan kalimat yang memalukan itu, bukan kewajiban saya juga untuk mengklarifikasi status saya, dan bukan hak Anda untuk mencampuri kehidupan saya,” ucapnya membuat mereka membeliak. "Sebagai seorang manusia yang menjunjung tinggi norma-norma kesusilaan, biarkan saya memberi tahumu, Dara!" Rahmi menunjuk Dara dengan penuh hina. "Kembalilah ke jalan yang benar sebelum Tuhan mengazabmu! Kamu tidak malu? Dengan statusmu yang yatim piatu tak jelas asal usulnya itu, kamu malah merendahkan harga diri orang tuamu!" Dara membeliak terkejut. Norma kesusilaan dari Hongkong! Siapa pun tolong pinjami wanita tua ini cermin agar bisa berkaca akan tingkahnya sendiri yang dengan sadar merestui perselingkuhan anaknya. Norma kesusilaan dari negara bagian mana yang Rahmi anut? Apakah Rahmi sempat sarapan oseng kecubung hingga berefek mengkhayal jadi pemangku adat suatu negara? "Ibu?" panggil Dara dengan alis berkerut samar. "Lalu bagaimana dengan perselingkuhan anakmu? Apakah dengan bermain api di belakang itu tidak termasuk kejahatan? Oh! Saya tahu ... keluarga kolot kalian kan penganut garis keras slogan semakin banyak anak, semakin banyak rejeki. Sayangnya! Selama ini ibu hanya bisa memperbanyak anak tanpa mau mengajari mereka kiat-kiat bertahan hidup." Dara memandangi wajah-wajah keluarga itu dengan penuh kemenangan. “Wah! Lihatlah siapa yang bicara? Perempuan yang sudah menjadi parasit di keluarga kami selama dua tahun. Aduh Pak! Jika tidak ingin terkena sial, lebih baik tinggalkan wanita ini, sebelum kekayaan Anda habis digerogoti parasit ini,” seru mantan adik ipar bungsunya pada Hendra karena selumbari ia mendengar kakak iparnya yang berusaha merebut rumah milik ibunya. “Rin? Really? Kamu bilang saya parasit?” tanya Dara, “Parasit itu orang yang menjadi beban atau membebani orang lain, kira-kira dengan definisi seperti itu pantaskah kamu menganalogikan saya sama halnya parasit? Selama kakakmu menganggur siapa yang menjadi tulang punggung keluarga? Bahkan! Uang yang selama ini menunjang pendidikanmu adalah dari kerja kerasku? Dan kalian masih berani menghina saya dengan wajah angkuh itu? .” Dara mengamati wajah keluarga William yang perlahan memerah itu. Tahu malu juga ternyata. “Dara! Kamu seharusnya tidak bicara seperti itu, bagaimanapun juga mereka dulunya keluarga suami kamu, harusnya kamu menjaga martabat kami, dong! Padahal aku sudah mengikhlaskan jika nanti harus berbagi suami, tapi kamu malah memilih jalan haram dan menggadaikan harga diri, dasar murahan! Ternyata alasan kamu tidak ditakdirkan untuk berjodoh dengan mas William, karena kamu memang tak pantas! Mas William terlalu baik untuk kamu yang murahan,” ejek Indri sembari mengelus perutnya yang mulai buncit. Dara hampir memuntahkan jamu temu lawak yang dicekokkan Laksmi tadi pagi karena mendengar bualan itu. Sial! Dara baru menyadari bagaimana melelahkannya berhadapan dengan orang-orang manipulatif yang bisa dengan mudah berlagak seperti korban kendati merekalah penjahatnya. “Permisi, dikarenakan ada urusan penting, kami pamit, senang bertemu kalian,” ucap Hendra setelah menyadari lalu lalang orang yang mulai tertarik dengan perseteruan ini, sebelum nama Dara muncul di salah satu timeline berita, mereka harus mundur. Apalagi ada kakaknya, Sukma, yang bahkan sampai saat ini belum mau bertegur sapa dengan Dara. Jangan sampai kata maaf itu semakin jauh hanya karena kejadian ini. “Om? Tante Anjani bagaimana?” bisik Dara mengingat alasannya tertahan di sini karena menunggu Anjani. “Sudah om suruh langsung ke mobil, kita pulang sebelum kamu jambak-jambakan sama mereka,” jawabnya sembari merangkul bahu sang keponakan sebelum menampilkan senyum sopan sebagai sinyal undur diri. Para kaum hawa itu langsung terkesiap melihat bulan sabit di langit yang kalah memesona dengan bulan sabit di bibir Hendra. Apalagi dengan keberadaan garis penuaan yang malah menambah kesan maskulin, tak peduli dengan keberadaan uban yang ternyata juga menambah karisma, ditambah bau uang yang bisa tercium dari radius ratusan kilometer. Indri terlihat hampir berliur karena kelamaan mangap, belum lagi para adik iparnya yang tersipu, bahkan si bungsu sudah blingsatan seperti ayam minta kawin, dan Rahmi! Astaga! Wanita yang umurnya sudah setengah abad itu tampak meremas gamis dengan tersipu, terlihat dari wajahnya yang semerah tomat busuk! Ayah mertuanya bahkan terlihat mengecimus saat melihat reaksi sang istri. Dara tak bisa tak mendengus. “Tampak seperti musang birahi!” Hendra hanya bisa tertawa puas. “Om jadi tahu alasanmu terlihat kurang gizi,” celetuk Hendra sembari membukakan pintu mobil Dara. “Karena pola makan ku berantakan?” tebak Dara tak yakin. “Selain itu karena setiap hari kamu berhadapan dengan—” “Oh! Jadi ini rupa peliharaan om-om!” potong seorang wanita anggun dengan tangan bersedekap."K-kok pak Sagara ...,""Mereka sering bertemu?""A-ah, nyonya Sera memang sangat dekat dengan keluarga Adikara, apalagi dengan nyonya Rissa. Nyonya Sera adalah sahabat kecil pak Sagara,""Maksudmu ... sahabat yang akhirnya menjadi sepasang kekasih?""Mari, sepertinya pak Sagara sudah menunggu,""Hai, Dara,""Wow! Ternyata ini kegiatan akhir pekanmu, Sagara? Kamu mengajak kekasihmu untuk berkencan di rumah, di saat tak ada anggota keluarga di sini?""Sera ...,""Tak masalah, Pak. Saya paham akan maksud nyonya Sera, lagi pula semua orang pun pasti tahu hanya dengan sekali lihat, kita tak sedekat itu,""Tampaknya atmosfer di antara kalian terasa sangat buruk, kalau begitu saya pamit undur diri dulu,""Ada perlu apa kamu ke mari, Dara?""Saya ingin mengembalikan barang yang kapan hari pak Sagara pinjamkan kepada saya,""Silakan duduk," "Padahal sebenarnya kamu tak perlu mengembalikannya,""Tolong jangan berbicara demikian, Pak. Barang 'ini' bukan milik saya, mau saya menyimpannya di lema
"Apa yang sebenernya terjadi pada kamu, Sagara?""Kamu gila? Kamu mengharapkan seorang wanita yang sudah menikah?""Dan setelah itu berani-beraninya kamu mengatakan kalimat cinta menjijikkan itu kepadaku, kamu menganggapku sekedar pelarian?""Kamu benar-benar bajingan yang tak tahu diri, kamu brengsek!""Nona Dara?""Ya? Masuk saja, Mbak!""Taruh saja di sana, Mbak. Terima kasih sudah mencucikan baju saya,""Eh, tunggu!""Ya, Nona Dara? Ada yang bisa saya bantu?""Ini baju siapa?""Loh? Bukan baju Non Dara? Saya ingat ini di keranjang untuk baju kotor yang berasal dari kamar Non Dara,""I-iya itu baju saya," "Silakan teruskan pekerjaan kamu,""Sial, aku sudah berjanji akan mengembalikannya," "Kenapa Sagara jahat sekali? Dia memberikan baju belasan mantannya yang udah ditolak kepadaku? Hanya karena keadaanku saat itu benar-benar mengenaskan, bukan berarti dia bisa merendahkanku dengan cara seperti itu,""Ini hari libur, kamu mau keluar lagi?""Maaf, Ma,""Bukan begitu maksud mama, Dara
“Halo?” “Mama masih di kantor?”“Hm, sebentar lagi mama mau pulang, Dara. Kamu di mana?”“Aku juga masih di kantor,”“Terus? Ada perlu apa sama mama?”“Sepertinya ... nanti aku tidak bisa bergabung bersama kalian dalam acara memasak,”“Kenapa memangnya? Kamu tidak suka bereksperimen bersama kami?”“Ah! Bukan begitu, Ma. Masalahnya aku baru ingat kalau hari ini ada sebuah janji,”“Janji? Bersama klien?”“T-tidak, sebenarnya ini hanya janji makan siang saja, akan tetapi, temanku ini seorang publik figur yang jarang pulang ke tanah air. Jadi, aku merasa harus meluangkan waktuku untuk bertemu dan bertukar kabar dengannya,”“Teman kamu sekarang banyak sekali, ya? Mama saja tidak pernah berkumpul dengan teman-teman Mama gara-gara sibuk. Tapi tidak apa-apa. Asalkan kami baik-baik mama tentu akan mengizinkan. Nanti mama akan jelaskan pada tante Rissa,”“Terima kasih, Ma!”“Hm, mama sempat berpikir kamu akan bertemu Sagara, loh,”“Maksudnya?”“Tadi Sagara juga izin tidak ikut eks
"Delion! Jangan melihatnya! Apakah kamu tidak berdosa menikmati milik wanita lain di saat kamu sendiri punya istri?" "Cih! Kamu berharap aku tertarik dengan milik bidadari vintage itu? Istriku lebih baik dari segala aspek," "Aku bahkan tak berani menggunakannya untuk berfantasi." "Kupikir ... semua pria akan birahi salahkan disuguhi ketelanjangan," "Umumnya memang begitu, tapi bukan berarti tidak ada beberapa pria yang menolaknya. Lagi pula, jangan meragukan keprofesionalanku. Sebelum ini, aku bahkan pernah bersembunyi di bawah kolong ranjang pasangan yang sedang memadu kasih," "Dasar gila!" "Ya, memang segila itu dunia investgasi." "Ngomong-ngomong, Dara. Akan kamu gunakan untuk apa bukti ini?" "Bukan untuk apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan sendiri bagaiman gilanya Sri Rahmi," "Lihat? Mereka semakin liar sja," "Pernahkah ... kakak berfantasi kepada pria lain, kecuali aku dan suami kakak? Ohh! Emhh!" "Pernah ... banyak sekali pria-pria muda yang menjadi objek fantasiku
“Delion?”“Hm,”“A-apa aku salah lihat?“Tidak, memang itulah kenyataannya, Dara.”“As-hmmph!”“Hmphmph! Lepas!”“Kamu gila! Apa yang kamu lakukan, Sialan!”“Mulutmu!” “ Bisakah kamu mengendalikan muncungmu itu? Bagaimana kalau kita ketahuan!”“Hei, cecunguk! Apa kamu lupa kalau mobil kita kedap suara dan tidak tembus pandang?”“O-oh, maaf,”“Sial! Kamu merusak moodku!”“Lah? Kenapa malah menyalahkanku? Dari awal, kan memang suasana hatimu sudah buruk. Ingat! Kamu sendiri yang sudah memaksa untuk ikut,”“Memangnya salah kalau aku mau ikut?”“Tidak salah! Yang slah adalah Sagara karena membuatmu patah hati—”“Jangan menyebut namanya!”“Nah, kan! Penyebab utama moodmu rusak karena hubungan kalian. Aih! Gara-gara kamu galau malah mengajak ribut satu dunia,”“Sudahlah! Kita fokus saja menyelidiki Sri Rahmi!”“Loh? Ke mana dia?”“Cih! Gara-gara bertengkar, kita malah kehilangan jejaknya!”“Mungkin—”Brak!“Astaga!”“Delion! Itu—”“Syutt! Kita tak perlu mencari-cari m
Dara terburu-buru menuruni tangga dengan wajah polosnya. Begitu membaca pesan dari Delion Sunarija, Dara mempercepat tempo langkahnya. Sebuah setelan serba hitam yang dipakainya berhasil membuat Sukma Wijayakusuma mengernyit melihat keanehan outfitnya.“Kamu mau ke mana, Dara?” tanya ibu satu anak itu sembari mengamati anaknya dengan alis berkerut. Ini sudah malam hari, kira-kira ke mana anaknya akan pergi?Dara terdiam sejenak sebelum berbalik menghadap ibunya. “Aku ada kepentingan dengan teman, Ma."Sukma menyangga wajahnya dengan tangan. Ia pandangi sang putri yang tengah meremas ujung pakaian itu dengan pandangan tertarik. “Teman? Apakah itu Sagara?” “Tidak mungkin!” Dara terlonjak ketika mendengar suara menyentak yang berasal dari belakangnya. Ketika menoleh ia mendapati wajah sang paman yang terpampang nyata.“Om kenapa, sih?! Datang-datang main menyelonong saja!" sewot Dara dengan wajah garangnya. Perempuan itu memilih duduk di dekat ibunya sembari mengecek ponselnya.Hendra