"Duduk dulu, Mas. Mari kita bicara baik-baik. Mas tahu 'kan kalau Wira sedang tidur." Suri mengabaikan serpihan asbak rokok dan vas bunga. Pikirnya nanti saja kekacauan ini ia bersihkan. Ia akan mengutamakan menjelaskan segala kesalahpahaman pada Pras dulu.
Suri menghempaskan pinggulnya pada sofa di hadapan Pras. Ia berusaha tetap tenang walau Pras sudah melemparkan ejekan. Ia tidak mau terpancing. Kalau dirinya ikut-ikutan emosi, masalah tidak akan selesai. Yang ada mereka berdua akan saling berbalas ejekan.
"Bicara baik-baik kamu bilang? Bukannya kamu yang memulai duluan? Kamu telah mempermalukanku di hadapan banyak orang, Suri!" Pras menunjuk wajah Suri geram. Namun ia mengikuti langkah Suri ke sofa. Pras sengaja mengambil posisi duduk di hadapan Suri. Pras ingin Suri terintimidasi dengan kemarahannya.
"Mempermalukan, Mas? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?" Suri menjinjitkan kedua alisnya. Ia tidak merasa melakukan hal yang memalukan.
"Apa yang sudah kamu lakukan?" hardik Pras geram.
Ia meremas rambutnya sekejab, kemudian mengepalkannya erat di atas paha. Ia benar-benar emosi mengingat kejadian memalukan sesiangan tadi. Tapi Suri masih saja berlagak pilon. Makin lama ia makin kesal melihat sikap membangkang Suri. Sungguh ia semakin tidak mengenali pribadi Suri yang seperti ini. Makanya kian hari ia kian tidak betah pulang ke rumah ini."Baik. Sekarang buka telingamu lebar-lebar. Bayangkan jika kamu menjadi aku. Pada jam makan siang tadi, aku bertemu dengan Fahmi di restaurant. Karena mobilku mendadak tidak bisa distarter, aku meminta Fahmi mengantarku kembali ke kantor. Dan kamu tahu apa yang Fahmi katakan? Dia bilang kalau sudah seminggu ini ia tidak lagi menjadi supir kita, karena kamu telah memberhentikannya. Bayangkan orang-orang seisi restaurant menatapku dengan pandangan melecehkan. Dianggap apa aku ini? Sampai-sampai supir yang telah diberhentikan istri pun, aku tidak tahu. Aku malu, Suri. Malu!"
Pras menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasa malunya tidak bisa ia lupakan hingga sekarang. Apalagi saat rekan-rekannya tertawa riuh, dan menjulukinya DKI alias di bawah ketiak istri. Makanya, setelah mengganti baterai mobil dan menghadiri rapat pemegang saham, ia langsung pulang ke rumah. Ia tidak berhasrat untuk lembur lagi. Ia ingin secepatnya meminta Suri menjelaskan semuanya.
Dan sesampainya di rumah, ia kembali mendapat kejutan. Ternyata, Suri telah mahir berkendara tanpa sepengetahuannya. Firasatnya mengatakan bahwa Suri sengaja memberhentikan Fahmi, agar ia bisa bebas. Toh dirinya sudah bisa menyetir sendiri. Sepertinya Suri banyak menyimpan rahasia sekarang. Pras tidak mengenali kepribadian Suri yang seperti ini.
"Sekarang jelaskan, apa alasan kamu tiba-tiba memberhentikan, Fahmi?" tuntut Pras emosi.
"Alasannya simple, Mas. Karena aku tidak mampu membayar gajinya. Mas lupa kalau sudah dua bulan ini Mas memotong uang bulanan hingga separuhnya?"
Pras terdiam. Ia sadar kalau dirinya mempunyai andil dalam masalah pemberhentian Fahmi ini. Ia sengaja memotong uang bulanan Suri, demi memberi pelajaran pada istrinya. Ia ingin Suri mengerti betapa sulitnya mencari uang. Dengan begitu, Suri tidak akan ribut lagi kalau dirinya sering pulang terlambat.
"Tapi kenapa kamu pintar-pintaran memberhentikan Fahmi? Harusnya kamu membicarakannya denganku dulu!" Pras tetap tidak terima Suri mengambil keputusan sendiri.
"Membicarakannya dengan, Mas? Memangnya Mas punya waktu?" sindir Suri santai. Air muka Pras semakin busuk mendengar sindiran santai Suri. Istrinya ini makin lama makin ngelunjak saja. Sudah berani menyindir-nyindirnya.
"Kalaupun Mas punya waktu, apa Mas mau mendengarkan curhatanku? Biasanya aku baru berbicara dua patah kata saja, Mas sudah menyela dengan dua puluh kata. Belum lagi cemoohan Mas yang mengatakan kalau aku terlalu berlebihan dan lain sebagainya. Benar tidak, Mas?"
Suri meluapkan perasaannya. Sesungguhnya sudah lama ia memendam kekecewaan pada sikap acuh Pras. Terhadap masalah orang lain, Pras sangat perhatian. Dua puluh empat jam, ia siap siaga membantu dan mendengarkan. Tetapi pada istri sendiri, sama sekali tidak ia anggap. Pencitraan Pras sudah pada taraf memuakkan.
"Mas mampu menjadi pendengar yang baik untuk Bu Murni, dan mungkin bagi semua orang. Tetapi acapkali emosi dan kehilangan kesabaran kalau mendengar curhatan istri sendiri," protes Suri getas.
"Biasakan berbicara pada topik permasalahan saja. Jangan merembet pada hal-hal lain." Pras mengibaskan tangannya ke udara. Ia paling malas menghadapi drama-drama istri yang tersakiti seperti ini. Terlalu berlebihan.
"Oh, jadi Mas ingin aku menjawab singkat?" Suri menghela napas.
"Baik. Uang bulanan Mas tidak cukup. Sementara Mas mengultimatum, bahwa cukup tidak cukup, aku harus mengakalinya sendiri. Aku sudah mencoba berhemat semampuku. Aku tidak pernah lagi shopping di mall. Tidak membuka AC pada siang hari, tidak menggunakan microwave, tidak mengeringkan rambut dengan hair dryer, juga mematikan lampu-lampu yang wattnya besar. Aku menghemat bahan-bahan makanan. Aku memasak secukupnya. Hanya saja tetap pada gizi yang seimbang. Wira sedang dalam masa tumbuh kembang. Tapi semua itu belum bisa mengakali uang belanja yang kurang. Untuk itu aku terpaksa memberhentikan Fahmi. Karena kalau aku memberhentikan Mbok Inah, berat. Aku masih membutuhkan jasa Mbok Inah untuk merawat rumah dan juga membantuku menjaga Wira. Pikirku, aku sudah bisa mengendarai mobil sekarang. Jadi ketiadaan Fahmi bukan suatu masalah yang besar. Itulah alasan logis yang bisa aku jelaskan," terang Suri."Baik. Alasanmu masuk akal. Aku terima. Sekarang coba kamu jelaskan. Mengapa kamu menawari rekan-rekanku barang-barang rajutanmu? Seolah-olah aku tidak mencukupi kebutuhanmu saja."
Sedetik memuntahkan kalimatnya, Pras terdiam dengan wajah memerah. Suri kini menertawainya. Penyebabnya sudah jelas. Kalimat kontradiktifnya yang tidak sengaja terucap begitu saja.
"Lho, memang tidak 'kan, Mas?" ungkap Suri lugas. Pras ini seperti sedang meludahi langit. Bayangkan, ia sedang meludahi langit saat ini. Dan tiba-tiba air ludahnya jatuh tepat membasahi wajahnya sendiri.
"Baik. Aku ubah kalimatnya sekarang. Mengapa kamu mengemis agar mereka membeli barang-barang rajutanmu? Kamu membuatku kehilangan muka, Ri!"
Mata Suri membola lalu menunjuk dirinya sendiri. "Mas bilang apa tadi? Aku mengemis?" "Iya. Karena sudah hampir dua minggu ini aku direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan konyol seputar rajutan nenek-nenekmu itu oleh para kolega atau pun rekan-rekan kerja. Kalau kamu tidak mengemis pada mereka, dari mana mereka tahu soal kegemaran merajutmu itu?"Suri tidak sanggup menjawab pertanyaan namun isinya tuduhan oleh Pras. Hatinya perih karena diremehkan dan dihina sedemikian rupa oleh suaminya sendiri. Rasa sakitnya sampai membuat lidahnya kelu.Suri bernapas pendek-pendek. Mencoba mendinginkan kepalanya walau hatinya panas luar biasa. Menghadapi Pras, tidak perlu dengan ejekan. Namun dengan kalimat efektif yang mematikan."Aku tidak pernah mengemis pada siapa pun, Mas. Aku memasarkan daganganku melalui marketplace dan media sosial. Mereka yang tertarik pada rajutanku dan menghubungiku untuk membuat pesanan. Mereka semua yang mencariku, bukan sebaliknya."Demi mendukung argumennya, Suri meng
"Rumahmu nomor berapa, Suri?" "Eh, nomor sebelas, Pak. Lurus saja. Nanti di simpang empat depan sana, kita belok kiri." Suri kaget saat Damar tiba-tiba saja berbicara padanya. Selama hampir empat puluh lima menit berkendara, Damar sama sekali tidak bersuara. Demikian juga dengan dirinya. Sekian tahun tidak pernah bertemu, Suri tidak tahu harus berbincang-bincang tentang apa dengan mantan atasannya ini. Rasanya aneh saja semobil dengan Damar. Dalam mimpi pun ia tidak pernah membayangkannya. "Simpang depan pertama itu ya? Oke. Oh ya, tadi Ibu sudah memberikan nomor kontaknya, demikian juga saya. Jadi kalau kamu membutuhkan sesuatu, jangan segan-segan untuk menghubungi kami ya, Suri?" pungkas Damar lagi. "Baik, Pak." Suri mengangguk takzim. Setelahnya hening lagi. "Kalau masalah butik dan sebagainya, kamu boleh kompromikan dengan Ibu. Tapi kalau masalah benang dan tetek bengeknya, kamu jangan segan-segan mencari saya," terang Damar lagi. "Baik, Pak." Suri kembali membeo. "Janga
Pras menyipitkan sebelah matanya. Ciri khasnya jika tertarik pada sesuatu."Begini, ibu saya bekerjasama dengan Suri dalam bisnis rajut. Kami mengirim benang-benang, sementara Suri merajutnya untuk butik-butik ibu saya," imbuh Damar lagi. Selama Damar dan Pras berbicara, Suri berjalan ke arah bagasi. Ia muak melihat akting Pras saat berperan sebagai suami yang baik. Lebih baik ia mengangkat barang-barang belanjaannya daripada mengikuti drama murahan satu babak Pras. "Bisa tidak, Ri? Berat lo barang-barangmu itu," seru Damar. Ia juga ikut berjalan ke arah bagasi."Bisa, Pak. Saya mah sudah terbiasa nguli." Suri mencoba bercanda. "Biar aku saja yang membawanya, Ri. Kamu istirahat saja di dalam," usul Pras penuh perhatian. Jikalau tidak ada orang lain di antara mereka, mungkin Suri akan bertanya pada Pras apakah dirinya sehat. Tetapi karena ada Damar di antara mereka Suri mengangguk singkat, setelah berpamitan pada Damar. Ia harus menjaga wibawa Pras. Seraya masuk ke dalam rumah, Su
'Tenang Suri. Jangan terbawa emosi. Semakin kamu tenang, Pras akan semakin kelimpungan,' batin Suri menenangkan dirinya. "Akhir-akhir ini kamu gampang sekali mengucapkan kata cerai. Kamu pikir aku akan semudah itu menceraikanmu? Hah, mimpi saja. Lihat saja, si duda sialan itu akan menunggumu sampai bungkuk!" ceracau Pras emosi. Suri tidak mempedulikan ceracauan Pras lagi. Yang penting ia sudah menyatakan sikapnya. Suri mengangkat empat plastik besar barang belanjaannya dengan susah payah. Ia juga pura-pura tuli saat Pras membanting segala barang pecah belah di ruang tamu. Biar saja. Toh guci-guci antik dan vas bunga kristal itu dibeli dengan uang Pras. Yang rugi siapa coba? ****** "Jadi si Pras seperti cacing kepanasan ya melihatmu diantar pulang Pak Damar?" Wanti menggeser tumpukan benang di samping Suri. Memberi ruang yang cukup luas untuk bokongnya di atas tikar. Hari minggu sore ini ia mengunjungi Suri untuk mengajak sahabatnya ini berjalan-jalan. Sudah lama mereka tidak kel
Suri memperhatikan ketiganya berteriak-teriak seru kala bola masuk ke dalam keranjang. Pras bahkan mengangkat anak perempuan itu tinggi-tinggi dan menggendongnya di punggung. Persis yang biasa dilakukan Pras pada Wira, apabila mereka bermain bersama. Tiba-tiba, anaknya itu berlari kencang, hingga membuat Suri begitu panik. "Wira! Tunggu Bunda, Nak!" Suri kaget saat Wira sekonyong-konyong berlari ke arah Pras. Tanpa dikomando Suri dan Wanti bergegas menyusul Wira. Menilik kesedihan dan kemarahan pada air muka Wira, pasti putranya itu akan meledak. "Ayah! Ayah bilang Ayah ada PR pekerjaan. Tapi kenapa Ayah malah main Timezone dengan anak lain. Ayah bohong. Wira benci sama Ayah!" teriak Wira di belakang Pras. Kedua tangan Wira terkepal di masing-masing sisi tubuhnya. Pras sontak berbalik. Keterkejutan terlihat jelas di kedua matanya. Ia dengan cepat menurunkan sang gadis cilik dari bahu kekarnya. Secepat itu pula Murni menggandeng putrinya dan berlalu begitu saja dari area mesin b
"Wow! Ini yang aku tunggu-tunggu. Pras itu sudah keterlaluan, Ri. Kamu dan Wira tidak pantas diperlakukan seperti ini. Jangan khawatir, Ri. Aku Wanti sahabatmu si perawan tua ini, siap membantunya dalam hal apa saja. Serahkan saja semuanya padaku." Wanti mengacungkan jempolnya. "Iya, aku akan menyerahkan semuanya padamu. Tapi kamu harus menyerahkan satu hal padaku, agar aku bisa meyakinkan kedua orang tuaku soal perceraian ini," tutur Suri kalem."Heh? Menyerahkan sesuatu? Apa itu, Ri?""Rekaman video kejadian tadi. Aku tahu kalau kamu merekam semua kejadiannya diam-diam.""Astaga, kamu walau lagi emosi matamu celik juga ya, Ri?" Wanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Suri ini memang orang teliti sekali sampai pada hal-hal yang mendetail. Tapi apa pun itu, seperti yang ia janjikan tadi, ia akan mendukung Suri. Sudah saatnya laki-laki seperti Pras ini gigit jari karena tingkahnya sendiri. Suri refleks memindai jam di dinding, tatkala suara mobil Pras terdengar memasuki halaman. Pukul
"Lepaskan Bu Murni dalam hal ini, Mas. Karena Bu Murni atau perempuan manapun itu, bukan urusanku. Aku tidak mengurusi sesuatu yang penyebabnya bukan aku," Suri menegaskan ucapannya. Karena jawaban final Pras inilah yang akan menjadi tolak ukurnya menentukan sikap ke depannya. Mereka sudah menumpuk masalah terlalu lama. Sudah saatnya mereka mengambil sikap sebagai dua orang dewasa. "Jadi Mas jawab saja pertanyaanku dengan jujur. Sebagai pertimbangan agar Mas menjawab jujur, aku akan menerima dengan lapang dada apapun jawaban yang keluar dari mulut, Mas. Aku meminta jawaban jujur. Karenanya aku juga sudah siap dengan jawaban jujur semenyakitkan apapun itu," ungkap Suri sungguh-sungguh. "Jawabannya aku tidak tahu, Suri. Yang jelas aku menginginkan kamu dan Wira ada di rumah setiap aku pulang. Menyambutku dengan perasaan hormat dan damai, setelah aku lelah seharian mencari nafkah di luar." Hormat dan damai. Tidak ada cinta dan kasih di dalamnya. "Baik. Aku sudah bisa menarik kesimpu
"Bukan, Mas. Tapi Mas lah yang sudah tidak nyaman denganku. Jujurlah Mas, sudah beberapa tahun ini, Mas sangat tidak menyukaiku. Mengatai aku tidak makan bangku sekolahan, norak, tidak seperti istri rekan-rekan mas yang lainnya, itu menandakan Mas tidak puas denganku. Mas menginginkan istri seperti para sosialita-sosialita itu. Masalah Bu Murni, itu hanya pemicunya saja. Benar tidak, Mas? Mari kita saling jujur dan saling meluahkan unek-unek seperti dulu. Bisa, Mas?""Kalau kita bercerai, apakah kamu masih meributkan soal harta gono gini dan hak asuh, Wira?" Pras mengungkapkan ketidaksukaannya akan keserakahan Suri."Iya. Tapi mari kita luruskan soal harta gono gini ini dulu. Aku tidak menginginkan harta, Mas. Tapi Wira, harus. Ada hak anak kita dalam harta gono gini ini. Coba Mas pikir, harta gono gini yang kudapat nanti untuk siapa? Jatuhnya pasti akan ke tangan Wira juga. Satu hal lagi, mohon maaf, aku bukannya menjengkali, Mas. Harta yang kita punya hanya rumah ini, rumah yang kit