Share

6. Egois Hingga ke Tulang!

"Duduk dulu, Mas. Mari kita bicara baik-baik. Mas tahu 'kan kalau Wira sedang tidur." Suri mengabaikan serpihan asbak rokok dan vas bunga. Pikirnya nanti saja kekacauan ini ia bersihkan. Ia akan mengutamakan menjelaskan segala kesalahpahaman pada Pras dulu.


Suri menghempaskan pinggulnya pada sofa di hadapan Pras. Ia berusaha tetap tenang walau Pras sudah melemparkan ejekan. Ia tidak mau terpancing. Kalau dirinya ikut-ikutan emosi, masalah tidak akan selesai. Yang ada mereka berdua akan saling berbalas ejekan.


"Bicara baik-baik kamu bilang? Bukannya kamu yang memulai duluan? Kamu telah mempermalukanku di hadapan banyak orang, Suri!" Pras menunjuk wajah Suri geram. Namun ia mengikuti langkah Suri ke sofa. Pras sengaja mengambil posisi duduk di hadapan Suri. Pras ingin Suri terintimidasi dengan kemarahannya.


"Mempermalukan, Mas? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?" Suri menjinjitkan kedua alisnya. Ia tidak merasa melakukan hal yang memalukan.


"Apa yang sudah kamu lakukan?" hardik Pras geram.

Ia meremas rambutnya sekejab, kemudian mengepalkannya erat di atas paha. Ia benar-benar emosi mengingat kejadian memalukan sesiangan tadi. Tapi Suri masih saja berlagak pilon. Makin lama ia makin kesal melihat sikap membangkang Suri. Sungguh ia semakin tidak mengenali pribadi Suri yang seperti ini. Makanya kian hari ia kian tidak betah pulang ke rumah ini.


"Baik. Sekarang buka telingamu lebar-lebar. Bayangkan jika kamu menjadi aku. Pada jam makan siang tadi, aku bertemu dengan Fahmi di restaurant. Karena mobilku mendadak tidak bisa distarter, aku meminta Fahmi mengantarku  kembali ke kantor. Dan kamu tahu apa yang Fahmi katakan? Dia bilang kalau sudah seminggu ini ia tidak lagi menjadi supir kita, karena kamu telah memberhentikannya. Bayangkan orang-orang seisi restaurant menatapku dengan pandangan melecehkan. Dianggap apa aku ini? Sampai-sampai supir yang telah diberhentikan istri pun, aku tidak tahu. Aku malu, Suri. Malu!"


Pras menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasa malunya tidak bisa ia lupakan hingga sekarang. Apalagi saat rekan-rekannya tertawa riuh, dan menjulukinya DKI alias di bawah ketiak istri. Makanya, setelah mengganti baterai mobil dan menghadiri rapat pemegang saham, ia langsung pulang ke rumah. Ia tidak berhasrat untuk lembur lagi. Ia ingin secepatnya meminta Suri menjelaskan semuanya.


Dan sesampainya di rumah, ia kembali mendapat kejutan. Ternyata, Suri telah mahir berkendara tanpa sepengetahuannya. Firasatnya mengatakan bahwa Suri sengaja memberhentikan Fahmi, agar ia bisa bebas. Toh dirinya sudah bisa menyetir sendiri. Sepertinya Suri banyak menyimpan rahasia sekarang. Pras tidak mengenali kepribadian Suri yang seperti ini.


"Sekarang jelaskan, apa alasan kamu tiba-tiba memberhentikan, Fahmi?" tuntut Pras emosi.


"Alasannya simple, Mas. Karena aku tidak mampu membayar gajinya. Mas lupa kalau sudah dua bulan ini Mas memotong uang bulanan hingga separuhnya?"


Pras terdiam. Ia sadar kalau dirinya mempunyai andil dalam masalah pemberhentian Fahmi ini. Ia sengaja memotong uang bulanan Suri, demi memberi pelajaran pada istrinya. Ia ingin Suri mengerti betapa sulitnya mencari uang. Dengan begitu, Suri tidak akan ribut lagi kalau dirinya sering pulang terlambat.


"Tapi kenapa kamu pintar-pintaran memberhentikan Fahmi? Harusnya kamu membicarakannya denganku dulu!" Pras tetap tidak terima Suri mengambil keputusan sendiri.


"Membicarakannya dengan, Mas? Memangnya Mas punya waktu?" sindir Suri santai. Air muka Pras semakin busuk mendengar sindiran santai Suri. Istrinya ini makin lama makin ngelunjak saja. Sudah berani  menyindir-nyindirnya.


"Kalaupun Mas punya waktu, apa Mas mau mendengarkan curhatanku? Biasanya aku baru berbicara dua patah kata saja, Mas sudah menyela dengan dua puluh kata. Belum lagi cemoohan Mas yang mengatakan kalau aku terlalu berlebihan dan lain sebagainya. Benar tidak, Mas?"


Suri meluapkan perasaannya. Sesungguhnya sudah lama ia memendam kekecewaan pada sikap acuh Pras. Terhadap masalah orang lain, Pras sangat perhatian. Dua puluh empat jam, ia siap siaga membantu dan mendengarkan. Tetapi pada istri sendiri, sama sekali tidak ia anggap. Pencitraan Pras sudah pada taraf memuakkan.


"Mas mampu menjadi pendengar yang baik untuk Bu Murni, dan mungkin bagi semua orang. Tetapi acapkali emosi dan kehilangan kesabaran kalau mendengar curhatan istri sendiri," protes Suri getas.


"Biasakan berbicara pada topik permasalahan saja. Jangan merembet pada hal-hal lain." Pras mengibaskan tangannya ke udara. Ia paling malas menghadapi drama-drama istri yang tersakiti seperti ini. Terlalu berlebihan.


"Oh, jadi Mas ingin aku menjawab singkat?" Suri menghela napas.

"Baik. Uang bulanan Mas tidak cukup. Sementara Mas mengultimatum, bahwa cukup tidak cukup, aku harus mengakalinya sendiri. Aku sudah mencoba berhemat semampuku. Aku tidak pernah lagi shopping di mall. Tidak membuka AC pada siang hari, tidak menggunakan microwave, tidak mengeringkan rambut dengan hair dryer, juga mematikan lampu-lampu yang wattnya besar. Aku menghemat bahan-bahan makanan. Aku memasak secukupnya. Hanya saja tetap pada gizi yang seimbang. Wira sedang dalam masa tumbuh kembang. Tapi semua itu belum bisa mengakali uang belanja yang kurang. Untuk itu aku terpaksa memberhentikan Fahmi. Karena kalau aku memberhentikan Mbok Inah, berat. Aku masih membutuhkan jasa Mbok Inah untuk merawat rumah dan juga membantuku menjaga Wira. Pikirku, aku sudah bisa mengendarai mobil sekarang. Jadi ketiadaan Fahmi bukan suatu masalah yang besar. Itulah alasan  logis yang bisa aku jelaskan," terang Suri.


"Baik. Alasanmu masuk akal. Aku terima. Sekarang coba kamu jelaskan. Mengapa kamu menawari rekan-rekanku barang-barang rajutanmu? Seolah-olah aku tidak mencukupi kebutuhanmu saja."


Sedetik memuntahkan kalimatnya, Pras terdiam dengan wajah memerah. Suri kini menertawainya. Penyebabnya sudah jelas. Kalimat kontradiktifnya yang tidak sengaja terucap begitu saja.


"Lho, memang tidak 'kan, Mas?" ungkap Suri lugas. Pras ini seperti sedang meludahi langit. Bayangkan, ia sedang meludahi langit saat ini. Dan tiba-tiba air ludahnya jatuh tepat membasahi wajahnya sendiri.


"Baik. Aku ubah kalimatnya sekarang. Mengapa kamu mengemis agar mereka membeli barang-barang rajutanmu? Kamu membuatku kehilangan muka, Ri!"


Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dyah Puspa Satya
kesel bgt sm suaminya
goodnovel comment avatar
Siti Khotijah
sekarang lgsg gede ya?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status