"Selamat sore, Pak Damar. Maaf saya tidak menyadari kehadiran Bapak." Suri membungkukkan sedikit tubuhnya. Kehadiran Damar membuatnya rikuh. Istimewa Damar mengetahui kesulitannya.
"Sore juga. Saya baru saja tiba di toko. Wajar kalau kamu tidak melihat kehadiran saya."
Suri hanya tersenyum kecil. Ia tahu harus bersikap bagaimana menanggapi kata-kata Damar. Damar dulu mengenalnya sebagai seorang buruh jahit di perusahaan mantan istrinya. Lantas sebagai istri Pras. Hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan. Makanya Suri kikuk. Walau mereka bukan atasan dan bawahan lagi, tetapi tetap saja, dalam hati Suri ada perasaan sungkan berhandai-handai dengan Damar. Ia merasa tidak selevel.
"Silakan melanjutkan acara belanjanya, Suri. Jangan sungkan, ini adalah toko salah seorang kerabat saya. Saya yang memasok semua bahan-bahannya. Jadi sudah pasti harganya lebih murah. Saya menemui pemilik toko dulu."
Suri mengangguk. Selanjutnya ia kembali melihat-lihat bahan-bahan rajutan. Ia memilih dua puluh lima buah rantai tas berwarna emas, dua puluh buah lima buah kancing tekuk tas, dan lima puluh buah ring D dengan warna yang sama. Ia berencana akan menyelesaikan dua puluh lima tas dulu. Setelah ia mempunyai cukup uang, baru ia akan membeli bahan-bahan lagi. Ia tidak mau berhutang. Apalagi berhutangnya dengan mantan suami Murni. Ia harus menjaga nama baik Pras di kantor.
"Tambahkan masing-masing 50 gulung benang berwarna purple gold dan watercolors tadi, Sari. Jadi benangnya genap 200 gulung seperti yang dibutuhkan oleh Ibu ini." Damar kembali menyela saat pramuniaga yang dipanggil Sari itu tengah membungkus barang-barang belanjaannya.
"Eh tidak usah, Pak Damar. Saya--"
"Tidak apa-apa, Suri. Seperti yang saya katakan tadi, toko ini adalah milik salah seorang kerabat saya. Kalau kamu merasa tidak enak berhutang dengan kerabat saya, anggap saja kamu berhutang pada saya. Setuju?" tawar Damar lagi.
Namun, Suri dengan cepat menggeleng. Ia memang tidak suka berhutang."Terima kasih atas tawarannya, Pak Damar. Tapi maaf, saya tidak ingin memulai usaha dengan hutang. Sekali lagi, maaf." Suri tetap pada pendiriannya.
"Baiklah. Saya tidak akan memaksa. Niat saya hanya ingin mempermudahmu saja. Saya permisi dulu." Damar mengangguk kecil sebelum meninggalkan toko. Suri balas mengangguk disertai senyum kecil. Suri memandangi punggung lebar Damar yang berjalan cepat di antara para pengunjung pasar.
Damar tidak berubah. Ia tetap sederhana dan membumi seperti sepuluh tahun lalu. Bayangkan, seorang boss PT. Karya Tekstil Adhyatna ini, masih mau blusukan ke pasar-pasar. Mengecek toko-toko pelanggannya. Lebih jauh lagi, masih peduli pada mantan karyawati mantan istrinya.
"Ini saja barang belanjaannya, Bu? Tidak ingin menambah resleting atau hiasan pita-pita kecil lucu ini, Bu?"
Teguran sang pramuniaga sontak memutus lamunan Suri.
"Cukup, Mbak. Nanti kalau ada yang kurang saya akan ke sini lagi."
Suri pun mengeluarkan kartu debit. Ia membayar belanjaannya dengan DP pre order dari customer. Rencananya setelah menjual beberapa perhiasan pribadinya, baru ia akan membeli bahan-bahan lagi. Ia memang memiliki dua buah gelang yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri.Kalau perhiasan-perhiasan dari Pras, ia tidak mau mengusiknya. Ia takut diamuk oleh Pras nantinya."Ibu parkir di mana? Biar karyawan toko saja yang mengangkat barang belanjaan Ibu. Lumayan berat soalnya." Sang pramuniaga yang ramah kembali mengusulkan hal yang sangat membantunya.
"Oh, kalau begitu Masnya bisa mengikuti saya saja, Mbak." Suri mencangklong tas di bahunya dan bersiap berjalan ke tempat parkir.
Namun, ia mengurungkan niatnya saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas.Suri kembali membuka resleting tas dan mengeluarkan ponsel yang masih terus berdering.Ketika mendapati nama Mbok Inah sebagai pemanggil, jantung Suri berdebar. Ada apa Mbok Inah meneleponnya? Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Wira?"Ha--"
"--Cepat pulang ke rumah ya, Bu? Bapak marah-marah karena Ibu memberhentikan Fahmi tanpa memberitahu Bapak. Cepat ya, Bu? Bapak benar-benar mengamuk ini!"
Mata Suri sontak membola. "Astaghfirullahaladzim"
****
Pintu pagar langsung terbuka saat Suri tiba di rumah.Tergopoh-gopoh, Mbok Inah melebarkan pintu pagar. Sepertinya Mbok Inah sudah berdiri cukup lama di depan pagar.
"Kata Bapak bicaranya langsung ke ruang kerja saja, Bu. Wira masih tidur soalnya. Takutnya nanti terbangun kalau mendengar suara-suara kata Bapak," ujar Mbok Inah begitu Suri turun dari mobil.
'Berarti Pras bukan ingin berbicara, melainkan bertengkar dengannya. Makanya Pras takut kalau Wira terbangun karena mendengar suara pertengkaran mereka,' batin Suri.
"Baik, Mbok. Sekarang Mbok ke kamar saja. Temani Wira tidur. Takutnya Wira terbangun saat mendengar saya dan Mas Pras mengobrol nanti."
"Baik, Bu. Kalau Ibu membutuhkan apa-apa, panggil saja saya," imbuh Mbok Inah gelisah. Setelahnya Mbok Inah tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah. Kecemasan tidak bisa disembunyikan oleh air mukanya.
Suri menarik napas panjang tiga kali sebelum berjalan menuju ruang kerja Pras. Ia mencoba mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Ia tidak ingin menghadapi Pras dengan emosi. Melainkan dengan akal sehat dan kepala dingin.
Saat memasuki ruang tamu, pandangan Suri tidak sengaja membentur photo pernikahannya dengan Pras dulu.
Di pigura berbentuk segi empat itu mereka berdua tersenyum lebar dengan pandangan menghadap kamera. Delapan tahun lalu mereka sangat optimis ingin membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah. Tahun demi tahun mereka merenda cita dan cinta demi masa depan yang lebih baik.Dan kini, setelah harapan mereka terkabul, hubungan mereka malah mendingin. Komunikasi yang dulunya kerap mereka lakukan, sekarang semakin jarang. Pras terus disibukkan dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Jikalau pun mereka mengobrol, pembicaraan hanya akan berlangsung satu arah. Karena Pras tetap memelototi laptopnya. Pras merespon obrolannya hanya dengan menggeleng atau mengangguk. Pras seperti memiliki dunia sendiri. Di mana dirinya sudah tidak berada dalam prioritas Pras lagi.
Prang!
Lamunan Suri terputus saat mendengar suara barang pecah yang berasal dari ruang kerja Pras. Seperti inilah Pras bila sedang marah. Pras kerap menghempaskan apapun yang ada di hadapannya.
Suri bergegas menghampiri ruang kerja. Memutar handle pintu dan melebarkannya. Dugaannya tepat. Pras telah menghempaskan asbak rokok dan vas bunga dari meja kerjanya. Beberapa dokumen juga berserakkan di lantai. Sementara Pras sendiri tampak berjalan mondar-mandir sembari menggerutu. Begitu melihat kehadirannya, baru lah Pas berhenti.
"Wah, nyonya besar sudah pulang rupanya. Hebat sekali kamu sekarang ya, Suri? Kamu sudah berani memutuskan segala hal, tanpa membicarakannya terlebih dulu padaku!" raung Pras emosi.
"Duduk dulu, Mas. Mari kita bicara baik-baik. Mas tahu 'kan kalau Wira sedang tidur." Suri mengabaikan serpihan asbak rokok dan vas bunga. Pikirnya nanti saja kekacauan ini ia bersihkan. Ia akan mengutamakan menjelaskan segala kesalahpahaman pada Pras dulu.Suri menghempaskan pinggulnya pada sofa di hadapan Pras. Ia berusaha tetap tenang walau Pras sudah melemparkan ejekan. Ia tidak mau terpancing. Kalau dirinya ikut-ikutan emosi, masalah tidak akan selesai. Yang ada mereka berdua akan saling berbalas ejekan. "Bicara baik-baik kamu bilang? Bukannya kamu yang memulai duluan? Kamu telah mempermalukanku di hadapan banyak orang, Suri!" Pras menunjuk wajah Suri geram. Namun ia mengikuti langkah Suri ke sofa. Pras sengaja mengambil posisi duduk di hadapan Suri. Pras ingin Suri terintimidasi dengan kemarahannya. "Mempermalukan, Mas? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?" Suri menjinjitkan kedua alisnya. Ia tidak merasa melakukan hal yang memalukan. "Apa yang sudah kamu lakukan?" hardik Pr
Mata Suri membola lalu menunjuk dirinya sendiri. "Mas bilang apa tadi? Aku mengemis?" "Iya. Karena sudah hampir dua minggu ini aku direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan konyol seputar rajutan nenek-nenekmu itu oleh para kolega atau pun rekan-rekan kerja. Kalau kamu tidak mengemis pada mereka, dari mana mereka tahu soal kegemaran merajutmu itu?"Suri tidak sanggup menjawab pertanyaan namun isinya tuduhan oleh Pras. Hatinya perih karena diremehkan dan dihina sedemikian rupa oleh suaminya sendiri. Rasa sakitnya sampai membuat lidahnya kelu.Suri bernapas pendek-pendek. Mencoba mendinginkan kepalanya walau hatinya panas luar biasa. Menghadapi Pras, tidak perlu dengan ejekan. Namun dengan kalimat efektif yang mematikan."Aku tidak pernah mengemis pada siapa pun, Mas. Aku memasarkan daganganku melalui marketplace dan media sosial. Mereka yang tertarik pada rajutanku dan menghubungiku untuk membuat pesanan. Mereka semua yang mencariku, bukan sebaliknya."Demi mendukung argumennya, Suri meng
"Rumahmu nomor berapa, Suri?" "Eh, nomor sebelas, Pak. Lurus saja. Nanti di simpang empat depan sana, kita belok kiri." Suri kaget saat Damar tiba-tiba saja berbicara padanya. Selama hampir empat puluh lima menit berkendara, Damar sama sekali tidak bersuara. Demikian juga dengan dirinya. Sekian tahun tidak pernah bertemu, Suri tidak tahu harus berbincang-bincang tentang apa dengan mantan atasannya ini. Rasanya aneh saja semobil dengan Damar. Dalam mimpi pun ia tidak pernah membayangkannya. "Simpang depan pertama itu ya? Oke. Oh ya, tadi Ibu sudah memberikan nomor kontaknya, demikian juga saya. Jadi kalau kamu membutuhkan sesuatu, jangan segan-segan untuk menghubungi kami ya, Suri?" pungkas Damar lagi. "Baik, Pak." Suri mengangguk takzim. Setelahnya hening lagi. "Kalau masalah butik dan sebagainya, kamu boleh kompromikan dengan Ibu. Tapi kalau masalah benang dan tetek bengeknya, kamu jangan segan-segan mencari saya," terang Damar lagi. "Baik, Pak." Suri kembali membeo. "Janga
Pras menyipitkan sebelah matanya. Ciri khasnya jika tertarik pada sesuatu."Begini, ibu saya bekerjasama dengan Suri dalam bisnis rajut. Kami mengirim benang-benang, sementara Suri merajutnya untuk butik-butik ibu saya," imbuh Damar lagi. Selama Damar dan Pras berbicara, Suri berjalan ke arah bagasi. Ia muak melihat akting Pras saat berperan sebagai suami yang baik. Lebih baik ia mengangkat barang-barang belanjaannya daripada mengikuti drama murahan satu babak Pras. "Bisa tidak, Ri? Berat lo barang-barangmu itu," seru Damar. Ia juga ikut berjalan ke arah bagasi."Bisa, Pak. Saya mah sudah terbiasa nguli." Suri mencoba bercanda. "Biar aku saja yang membawanya, Ri. Kamu istirahat saja di dalam," usul Pras penuh perhatian. Jikalau tidak ada orang lain di antara mereka, mungkin Suri akan bertanya pada Pras apakah dirinya sehat. Tetapi karena ada Damar di antara mereka Suri mengangguk singkat, setelah berpamitan pada Damar. Ia harus menjaga wibawa Pras. Seraya masuk ke dalam rumah, Su
'Tenang Suri. Jangan terbawa emosi. Semakin kamu tenang, Pras akan semakin kelimpungan,' batin Suri menenangkan dirinya. "Akhir-akhir ini kamu gampang sekali mengucapkan kata cerai. Kamu pikir aku akan semudah itu menceraikanmu? Hah, mimpi saja. Lihat saja, si duda sialan itu akan menunggumu sampai bungkuk!" ceracau Pras emosi. Suri tidak mempedulikan ceracauan Pras lagi. Yang penting ia sudah menyatakan sikapnya. Suri mengangkat empat plastik besar barang belanjaannya dengan susah payah. Ia juga pura-pura tuli saat Pras membanting segala barang pecah belah di ruang tamu. Biar saja. Toh guci-guci antik dan vas bunga kristal itu dibeli dengan uang Pras. Yang rugi siapa coba? ****** "Jadi si Pras seperti cacing kepanasan ya melihatmu diantar pulang Pak Damar?" Wanti menggeser tumpukan benang di samping Suri. Memberi ruang yang cukup luas untuk bokongnya di atas tikar. Hari minggu sore ini ia mengunjungi Suri untuk mengajak sahabatnya ini berjalan-jalan. Sudah lama mereka tidak kel
Suri memperhatikan ketiganya berteriak-teriak seru kala bola masuk ke dalam keranjang. Pras bahkan mengangkat anak perempuan itu tinggi-tinggi dan menggendongnya di punggung. Persis yang biasa dilakukan Pras pada Wira, apabila mereka bermain bersama. Tiba-tiba, anaknya itu berlari kencang, hingga membuat Suri begitu panik. "Wira! Tunggu Bunda, Nak!" Suri kaget saat Wira sekonyong-konyong berlari ke arah Pras. Tanpa dikomando Suri dan Wanti bergegas menyusul Wira. Menilik kesedihan dan kemarahan pada air muka Wira, pasti putranya itu akan meledak. "Ayah! Ayah bilang Ayah ada PR pekerjaan. Tapi kenapa Ayah malah main Timezone dengan anak lain. Ayah bohong. Wira benci sama Ayah!" teriak Wira di belakang Pras. Kedua tangan Wira terkepal di masing-masing sisi tubuhnya. Pras sontak berbalik. Keterkejutan terlihat jelas di kedua matanya. Ia dengan cepat menurunkan sang gadis cilik dari bahu kekarnya. Secepat itu pula Murni menggandeng putrinya dan berlalu begitu saja dari area mesin b
"Wow! Ini yang aku tunggu-tunggu. Pras itu sudah keterlaluan, Ri. Kamu dan Wira tidak pantas diperlakukan seperti ini. Jangan khawatir, Ri. Aku Wanti sahabatmu si perawan tua ini, siap membantunya dalam hal apa saja. Serahkan saja semuanya padaku." Wanti mengacungkan jempolnya. "Iya, aku akan menyerahkan semuanya padamu. Tapi kamu harus menyerahkan satu hal padaku, agar aku bisa meyakinkan kedua orang tuaku soal perceraian ini," tutur Suri kalem."Heh? Menyerahkan sesuatu? Apa itu, Ri?""Rekaman video kejadian tadi. Aku tahu kalau kamu merekam semua kejadiannya diam-diam.""Astaga, kamu walau lagi emosi matamu celik juga ya, Ri?" Wanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Suri ini memang orang teliti sekali sampai pada hal-hal yang mendetail. Tapi apa pun itu, seperti yang ia janjikan tadi, ia akan mendukung Suri. Sudah saatnya laki-laki seperti Pras ini gigit jari karena tingkahnya sendiri. Suri refleks memindai jam di dinding, tatkala suara mobil Pras terdengar memasuki halaman. Pukul
"Lepaskan Bu Murni dalam hal ini, Mas. Karena Bu Murni atau perempuan manapun itu, bukan urusanku. Aku tidak mengurusi sesuatu yang penyebabnya bukan aku," Suri menegaskan ucapannya. Karena jawaban final Pras inilah yang akan menjadi tolak ukurnya menentukan sikap ke depannya. Mereka sudah menumpuk masalah terlalu lama. Sudah saatnya mereka mengambil sikap sebagai dua orang dewasa. "Jadi Mas jawab saja pertanyaanku dengan jujur. Sebagai pertimbangan agar Mas menjawab jujur, aku akan menerima dengan lapang dada apapun jawaban yang keluar dari mulut, Mas. Aku meminta jawaban jujur. Karenanya aku juga sudah siap dengan jawaban jujur semenyakitkan apapun itu," ungkap Suri sungguh-sungguh. "Jawabannya aku tidak tahu, Suri. Yang jelas aku menginginkan kamu dan Wira ada di rumah setiap aku pulang. Menyambutku dengan perasaan hormat dan damai, setelah aku lelah seharian mencari nafkah di luar." Hormat dan damai. Tidak ada cinta dan kasih di dalamnya. "Baik. Aku sudah bisa menarik kesimpu