TAKLUK DI PELUKANNYA

TAKLUK DI PELUKANNYA

last updateปรับปรุงล่าสุด : 2025-05-31
โดย:  awaaaskyอัปเดตเมื่อครู่นี้
ภาษา: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
คะแนนไม่เพียงพอ
37บท
110views
อ่าน
เพิ่มลงในห้องสมุด

แชร์:  

รายงาน
ภาพรวม
แค็ตตาล็อก
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป

Takluk di Pelukannya Di balik kemewahan dan nama besar keluarga Vale, Auryn hidup sebagai bayangan. Sejak kecil, dia diajarkan bahwa kelemahan bukanlah pilihan. Dunia mengajarinya untuk bertahan, berjuang, dan tidak mempercayai siapa pun—karena satu kesalahan kecil bisa menghancurkannya. Namun, segalanya berubah ketika Lucien Morant datang. Pria itu seperti badai yang merobohkan benteng yang selama ini Auryn bangun. Dia dingin, penuh perhitungan, dan memiliki obsesi yang tak bisa dijelaskan. Baginya, Auryn bukan sekadar wanita yang menarik perhatiannya—tapi satu-satunya yang harus menjadi miliknya. Dalam permainan kuasa dan intrik yang mengikat mereka, Auryn harus memilih. Tetap bertahan dalam dunia yang kejam, atau menyerah dalam pelukan seseorang yang sama berbahayanya dengan musuh-musuhnya. Tapi satu hal yang pasti… Lucien tak akan membiarkannya pergi. Karena sekali berada dalam genggamannya, tidak ada jalan keluar.

ดูเพิ่มเติม

บทที่ 1

BAB 1 - AWAL MULA JERATAN

Langit senja membalut kota dengan warna keemasan yang temaram. Auryn Vale duduk di sudut ruangan sebuah pesta eksklusif, memandangi para tamu yang berdansa di tengah aula megah. Gaun hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah aura dingin dan misterius yang selalu dia bawa. Tapi di balik tatapannya yang tajam, dia tahu satu hal—malam ini tidak akan berakhir biasa.

“Kenapa kau hanya diam di sini?” suara rendah seorang pria membuatnya menoleh.

Auryn tidak langsung menjawab. Dia tahu siapa yang berbicara padanya tanpa harus melihat. Lucien Morant. Nama yang belakangan ini sering terdengar di telinganya, dan bukan dalam konteks yang menyenangkan.

Pria itu bersandar di tiang marmer dengan santai, mengenakan setelan hitam yang terlihat terlalu sempurna di tubuhnya. Mata abu-abu gelapnya mengamati Auryn dengan ekspresi yang sulit ditebak. Seolah dia sedang menilai sesuatu… atau mungkin seseorang.

“Apa urusanmu?” tanya Auryn, suaranya tetap tenang meskipun dalam hatinya dia menyadari sesuatu—Lucien tidak muncul di hadapannya tanpa alasan.

Lucien tersenyum miring. “Kupikir kita perlu bicara.”

Auryn mendengus pelan. “Kalau itu soal bisnis, kau salah tempat.”

“Tapi kalau itu soal kau?”

Auryn membeku. Kata-kata Lucien begitu tenang, tapi Auryn bisa merasakan sesuatu yang mengintai di baliknya. Ancaman? Ketertarikan? Atau sesuatu yang lebih dalam?

Pria ini berbahaya. Itu sudah jelas.

Tapi Auryn bukan seseorang yang mudah dibuat gentar.

“Aku tidak punya urusan denganmu, Morant,” katanya, meneguk sampanye di tangannya tanpa gentar.

“Tapi aku punya urusan denganmu.”

Auryn menatapnya lebih tajam. “Maksudmu?”

Lucien mendekat, menurunkan suaranya hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengar. “Aku ingin kau menjadi milikku.”

Jantung Auryn berhenti sedetik.

Bukan karena kata-kata itu terdengar romantis. Tidak. Nada suara Lucien bukan nada seorang pria yang sedang menggoda wanita yang disukainya. Itu nada seseorang yang telah memutuskan sesuatu—dan tidak akan menerima jawaban selain ‘ya’.

Dia tahu, sejak malam ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Langit senja membalut kota dengan warna keemasan yang temaram. Auryn Vale duduk di sudut ruangan sebuah pesta eksklusif, memandangi para tamu yang berdansa di tengah aula megah. Gaun hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah aura dingin dan misterius yang selalu dia bawa. Tapi di balik tatapannya yang tajam, dia tahu satu hal—malam ini tidak akan berakhir biasa.

Di tangannya, segelas sampanye berputar perlahan, jemarinya yang ramping menelusuri tepian kristalnya. Beberapa pria dari kalangan elite mencuri pandang ke arahnya, tertarik tapi enggan untuk mendekat. Auryn bukan wanita yang bisa didekati sembarangan, dan mereka semua tahu itu.

Namun, satu orang tampaknya tidak terlalu peduli.

“Kenapa kau hanya diam di sini?”

Suara rendah dan berat itu menggema di telinganya. Auryn menoleh, dan tanpa perlu menebak, dia tahu siapa pemiliknya.

Lucien Morant.

Pria itu bersandar di tiang marmer dengan santai, mengenakan setelan hitam yang terlihat terlalu sempurna di tubuhnya. Mata abu-abu gelapnya mengamati Auryn dengan ekspresi yang sulit ditebak. Seolah dia sedang menilai sesuatu… atau mungkin seseorang.

Lucien bukan pria biasa. Namanya bukan hanya terkenal di dunia bisnis, tapi juga dalam lingkaran yang lebih gelap—lingkaran yang Auryn hindari sebisa mungkin.

“Apa urusanmu?” tanya Auryn, suaranya tetap tenang meskipun dalam hatinya dia menyadari sesuatu—Lucien tidak muncul di hadapannya tanpa alasan.

Lucien tersenyum miring. “Kupikir kita perlu bicara.”

Auryn mendengus pelan. “Kalau itu soal bisnis, kau salah tempat.”

“Tapi kalau itu soal kau?”

Auryn membeku sesaat. Kata-kata Lucien begitu tenang, tapi Auryn bisa merasakan sesuatu yang mengintai di baliknya. Ancaman? Ketertarikan? Atau sesuatu yang lebih dalam?

Dia menegakkan punggungnya, menatap pria itu dengan penuh perhitungan. “Aku tidak punya urusan denganmu, Morant.”

“Tapi aku punya urusan denganmu.”

Auryn menatapnya lebih tajam. “Maksudmu?”

Lucien mendekat, menurunkan suaranya hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengar. “Aku ingin kau menjadi milikku.”

Jantung Auryn berhenti sedetik.

Bukan karena kata-kata itu terdengar romantis. Tidak. Nada suara Lucien bukan nada seorang pria yang sedang menggoda wanita yang disukainya. Itu nada seseorang yang telah memutuskan sesuatu—dan tidak akan menerima jawaban selain ‘ya’.

Tatapan mereka bertemu dalam ketegangan yang nyaris tak terlihat oleh siapa pun di sekitar mereka. Musik dansa terus berputar, tamu-tamu terus tertawa, tapi di antara mereka, hanya ada keheningan yang mendalam.

Auryn menyesap sampanye di tangannya, menyembunyikan ketidaknyamanannya di balik sikap santai. “Aku tidak ingat pernah menjadi barang yang bisa dimiliki, Morant.”

Lucien tertawa kecil, suara yang entah kenapa lebih mirip bisikan bahaya daripada sesuatu yang menyenangkan. “Oh, kau bukan barang, Auryn. Kau lebih dari itu.”

Matanya mengunci milik Auryn, membuatnya merasa seolah sedang dijebak dalam perangkap yang tak terlihat.

“Kau mungkin berpikir bisa lari dariku, tapi kita berdua tahu bahwa itu tidak akan terjadi.”

Auryn ingin membalasnya, tapi sebelum ia sempat berbicara, seorang pria lain datang menghampirinya.

“Auryn, akhirnya aku menemukanmu.”

Rene Leclair. Tunangannya.

Bibir Auryn menegang seketika. Bukan karena dia senang melihat pria itu, tapi karena dia tahu ini hanya akan memperburuk keadaan.

Rene melirik Lucien, ekspresinya berubah waspada. “Morant.”

Lucien tersenyum tipis. “Leclair.”

Auryn bisa merasakan ketegangan yang semakin mengental di antara mereka. Dua pria dari dunia yang sama, dua laki-laki yang tidak pernah akur.

Rene menyentuh pinggangnya, menariknya sedikit mendekat. “Kau baik-baik saja?”

Sebuah tindakan kepemilikan yang disengaja. Auryn menyadarinya, begitu pula Lucien.

Lucien menatap tangan Rene di pinggangnya dengan tatapan dingin sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke Auryn. “Kurasa kita akan bertemu lagi, Vale.”

Lalu, tanpa menunggu jawaban, pria itu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Auryn dengan pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya.

Tapi satu hal yang pasti—ini belum selesai.

Bahkan, ini baru saja dimulai.

Langkah Lucien menghilang di tengah keramaian, tapi efeknya masih tertinggal dalam benak Auryn. Pria itu bukan hanya ancaman, dia adalah badai yang siap menghancurkan siapa pun yang menghalanginya. Auryn meneguk sisa sampanye di tangannya, mencoba mengabaikan tatapan Rene yang masih meneliti ekspresinya.

“Kau baik-baik saja?” Rene bertanya, suaranya terdengar lembut tapi tegas.

Auryn menarik napas dalam, berusaha mengendalikan pikirannya. “Aku baik-baik saja.”

Tapi Rene tidak terlihat puas dengan jawabannya. “Lucien Morant bukan seseorang yang bisa dianggap remeh, Auryn.”

Auryn menoleh padanya, matanya berkilat tajam. “Aku tahu.”

Dia lebih dari sekadar tahu. Lucien bukan hanya pria berbahaya yang berdiri di puncak dunia bisnis, dia juga seseorang yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya—dan itu yang membuat Auryn waspada.

Rene masih menatapnya dengan khawatir. “Jangan biarkan dia mendekatimu.”

Auryn hampir tertawa. “Kau pikir aku bisa menghindarinya?”

Rene terdiam. Mereka berdua tahu jawabannya. Tidak ada yang bisa benar-benar menghindari Lucien Morant ketika pria itu telah memutuskan sesuatu.

Pesta terus berlanjut, tapi Auryn merasa lelah. Dia tidak ingin berada di sini lebih lama. “Aku ingin pulang.”

Rene mengangguk. “Aku akan mengantarmu.”

Auryn tidak menolak. Setidaknya, dia butuh seseorang di sisinya malam ini—meskipun dia tahu itu tidak akan menghalangi Lucien untuk mendekatinya lagi.

Malam itu, Auryn menatap bayangan dirinya di cermin. Gaun hitamnya telah berganti dengan piyama satin, tapi pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan tadi.

Lucien ingin dia menjadi miliknya.

Itu bukan sekadar godaan atau ancaman. Itu adalah janji yang tersembunyi di balik kata-kata sederhana. Auryn tahu pria seperti Lucien tidak akan berbicara tanpa maksud.

Suara ponselnya bergetar di meja.

Sebuah pesan masuk.

Lucien Morant: Kau tidak bisa lari, Auryn. Tidurlah yang nyenyak.

Jari-jari Auryn mencengkeram ponselnya lebih erat. Bagaimana pria itu bisa tahu dia sedang gelisah?

Dia mematikan layar dan meletakkan ponselnya kembali.

Tapi hatinya tetap berdebar.

Pagi berikutnya, kantor Auryn terasa lebih sibuk dari biasanya. Dia adalah pemilik salah satu perusahaan desain interior paling ternama di kota, dan pagi ini, ada proyek besar yang harus diselesaikan.

Namun, saat dia melangkah ke ruangannya, dia menemukan sesuatu yang tidak terduga.

Di mejanya, ada sebuah kotak hitam dengan pita emas. Tidak ada catatan, tidak ada nama pengirim.

Alisnya berkerut. Dia duduk dan dengan hati-hati membuka kotak itu.

Di dalamnya, terdapat setangkai mawar merah tua. Indah, tapi ada sesuatu yang mengganggu tentang bunga itu.

Dan di bawahnya, sebuah catatan kecil.

Jangan buat aku menunggu terlalu lama.

Auryn menghela napas. Dia tahu siapa yang mengirim ini.

Lucien.

Pria itu bergerak lebih cepat dari yang dia duga.

Sekretarisnya masuk, membawa beberapa dokumen, lalu terdiam saat melihat ekspresi Auryn. “Nona Vale, apakah Anda baik-baik saja?”

Auryn mengangguk, menyembunyikan surat itu di lacinya. “Aku baik-baik saja.”

Tapi dia tahu… ini hanya awal dari sesuatu yang lebih besar.

Lucien tidak akan berhenti.

Dan dia harus bersiap menghadapi permainan ini.

แสดง
บทถัดไป
ดาวน์โหลด

บทล่าสุด

บทอื่นๆ

ถึงผู้อ่าน

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

ความคิดเห็น

ไม่มีความคิดเห็น
37
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status