"Ini, kartu ini kamu belanjakan untuk keperluanku. Kalau kamu butuh untuk keperluanmu yang masih tahap wajar, kamu boleh juga mengambilnya." Mutia kembali meletakkan peralatan makan itu di meja dan mengambil kartu biru itu dengan ragu. "Nomor PINnya, tanggal malam pertama kita." "Apa?"Lelaki itu tersenyum smirk, tatapan matanya dirasakan Mutia seolah menelanjanginya. Wanita itu hanya menghela napas kesal, kenapa sih, harus selalu mengingatkan kejadian malam itu? "Bisakah anda tidak selalu mengingatkan hal itu? Saya sudah cukup merasa malu dengan kejadian itu.""Kamu ingin melupakannya? enak saja! Saya saja setiap saat setiap waktu selalu ingat. Itu adalah pengalaman pertama saya, bagaimana bisa melupakannya. Kamu tidak perlu berusaha mengganti PIN nya, PIN itu tidak bisa diganti, sudah paten!"Mutia hanya tersedak mendengar perkataan lelaki ini. Sungguh, jika tidak ada penalti kontrak dua miliyar, dia sudah akan kabur dari perusahaan ini. Dulu dia tidak bisa lari dari pernikahan
"Saya minta bapak jangan bersikap seperti tadi, tiba-tiba mencium pipi saya," ujar Mutia. Semburat merah terlihat di kedua pipi wanita ini, dia benar-benar sangat malu. "Oh, itu? harus nya kamu senang. saya berterima kasih atas kerja kerasmu dengan menghadiahi ciuman." What? siapa yang mau hadiah seperti itu, pak? Mutia hanya bengong dengan kehabisan kata-kata. Sebenarnya tugasnya ini kalau dipikir-pikir, kenapa seperti tugas istri pada suaminya? Sehingga suami memberi penghargaan pada istri dengan ciuman. Entah kenapa kepala Mutia menjadi pening seketika. Hari pertama bekerja, Mutia benar-benar harus menahan geram dan menahan amarah. Diaz benar-benar membuat darahnya selalu mendidih. Dia harus banyak-banyak bersabar dan mengendalikan amarah. Lelaki itu dengan arogannya memintanya melakukan ini dan itu, kadang apa yang diperintahkan benar-benar tidak penting dan hanya membuatnya sibuk tidak karuan. "Mutia, cepat lap keringat di kening saya pakai tissue!" Mutia hanya men
"Hei, siapa ini? sepertinya istri yang disia-siakan? masih bisa makan di sini? sepertinya hidupmu tidak begitu buruk, ya? uh ... aku benar-benar tidak senang ini!" Suara seorang wanita datang dari belakang Mutia, ketika Mutia menghadap ke belakang, aroma permusuhan itu sudah kental terlihat dari mata wanita muda itu. "Evita?" gumam Mutia melihat ternyata Evita datang bersama tiga teman akrabnya tersebut. "Memangnya Mutia disia-siakan oleh suaminya?" tanya temannya yang bernama Rosalin. Dulu ketika mereka masih SMA, Evita memiliki teman akrab bernama Rosalin dan Lidya. Evita dan Mutia satu sekolah, dan duduk ditingkat yang sama, hanya saja selesai berbeda kelas. Evita dan kedua temannya ini sering sekali menindas Mutia, itu lantaran Evita mengatakan pada semua orang bahwa Mutia adalah pembantunya. Karena dalam prestasi ternyata Mutia lebih unggul dan selalu memengang juara 3 besar, Evita semakin membencinya. Padahal semua PR Evita, sepenuhnya Mutia yang mengerjakannya.. Tentu
"Eh, Kak Mutia! Kamu makan di sini juga?" Mutia hampir tersedak sambal ijo yang baru di makan, hidungnya terasa perih akibat sambal yang masuk ke saluran pernapasan, dia terbatuk-batuk. Sungguh, perkataan Evita barusan benar-benar mengganggu pendengarannya. Sejak kapan gadis ini memanggilnya Kak? sejak kapan dia menganggapnya sebagai kakak sepupunya? "Pelan-pelan, Marmut! Kenapa makan terburu-buru, jadi tersedak kan? Ini, minum!" Evita hanya pura-pura tersenyum padahal hatinya pahit, melihat lelaki itu begitu perhatian pada Mutia. Lelaki itu bahkan memanggil Mutia dengan panggilan kesayangan walaupun nama itu nama binatang sejenis kelinci. Sedang Mutia hanya mendelik mendengar lelaki itu menggilanya Marmut dengan suara yang begitu lembut, dia akhirnya menerima gelas yang disodorkan oleh Diaz. "Terima kasih, Pak ...," ujar Mutia ketika dia mulai tenang. "Hei, Kak Mutia ... Kakak tidak mengenalkan siapa orang yang makan bersama kakak? Halo, saya Evita ... adik sepupu Kak M
"Kamu tidak usah banyak protes! melihat cara makanmu yang lambat itu membuatku geram. Pantas saja kau begitu kurus sekarang, padahal dulu kamu begitu montok dan menggemaskan." Byuuuur ... Mutia tidak tahan menyemburkan air minum yang baru saja hendak ditelannya. "Mumut! apa-apapan kamu!" pekik Diaz yang ternyata terkena semburan air dari mulut Mutia. Mutia tidak habis pikir, sekarang lelaki itu memanggilnya Mumut, tadi Marmut. Panggilan itu sebenarnya panggilan hinaan di telinga Mutia, tetapi di telinga orang lain siapa yang tahu? bahkan ketiga gadis di meja sebelahnya menganggap panggilan itu adalah semacam panggilan kesayangan. "Ma ... Maaf, Pak ... Saya tidak sengaja. Habisnya Bapak begitu ...." "Begitu apa? cepat bersihkan pakaianku!" Mutia langsung mengambil tissue banyak-banyak dan mengelap pakaian Diaz sampai bersih, jarak mereka yang begitu dekat membuat semua orang kembali berpikiran ambigu. Mutia membersikan bagian lengan jas Diaz yang basah, berulang kali dia
Hari pertama bekerja ini, suasana hati Mutia sangat nano-nano. Entah dia harus bersikap seperti apa. Dia benar-benar jengkel dengan sikap Diaz, tetapi juga tidak menampik, kalau dia senang bisa membungkam Evita. Sikap Diaz yang sangat random itu, kadang membuat Mutia sedikit baper, tapi sedetik kemudian membuatnya marah.Hingga waktu pulang tiba, Diaz masih saja berkutat dengan laptopnya, sementara wajah kelelahan Mutia hanya duduk di meja kerjanya sambil menopang kedua tangannya menatap Diaz dengan tatapan kelincinya. Mutia sangat heran, sudah jam lima sore, tetapi tidak ada gurat kelelahan di wajah Diaz. Wajah serius itu justru terlihat begitu semangat, resepnya apa sih?Mutia tidak tahu saja, jika Diaz seperti ini ya baru hari ini saja. Melihat Mutia menjadi suplemen pemantik buat lelaki itu menjadikan dia bersemangat, tatapan polos bak kelinci Mutia membuat hatinya selalu bergetar, ingin melakukan yang iya-iya pada perempuan itu. Mencuri-curi pandang pada perempuan itu, jika Mutia
Sampai apartemen, Mutia benar-benar melakukan itu semua. Mandi, membuat secangkir teh, nonton televisi sambil memakan biskuit di toples. Dia malas sekali untuk masak makan malam, karena sendirian nanti setelah salat magrib dia hanya akan memasak mie instan. Ketika malam hari, dia sudah bersiap akan tidur, tetapi ponselnya berbunyi. Ketika dia melihat, itu adalah panggilan dari Tasya. Apa anak itu sudah kembali ke Bandung? "Tasya, apa kamu sudah kembali ke Bandung?" tanya Mutia langsung setelah menerima panggilan. "Mutia, di mana alamatmu? aku datang ke kost mu kata ibu kost kamu sudah pindah." "Ha? jadi kamu masih ada di kota ini?" "Iya, aku pindah ke kota ini." Mutia benar-benar heran, Tasya saat ini bekerja di perusahaan BUMN, kenapa dia musti pindah? apa dia menyusul calon suaminya, Raid? "Apa kamu berencana menetap di sini?" "Nanti saja ceritanya, please. Kamu sekarang tinggal di mana? aku sudah lelah ingin istirahat." "Baiklah, langsung aku sharelock, ya!" "A
Beberapa saat kemudian, Tasya bisa menguasai diri. Dia kembali mengambil tissue dan mengeringkan kembali air matanya. "Kenapa kamu kayak gini?" Mutia jelas mendesak agar sahabatnya ini cerita. "Mutia, aku sekarang benar-benar hancur." "Kenapa?" "Dulu, ketika aku masih di Bandung, aku dan bang Raid sudah sepakat untuk menikah akhir bulan ini. Dia satu-satunya laki-laki yang kucintai, Mut. Dia cinta pertama aku, aku sangat mencintainya." Mutia kini tidak mendesak, dia biarkan Tasya menceritakan dengan pelan, dia sendiri belum bisa meraba ke mana arah cerita gadis ini. "Mama dan Papa aku sudah sangat banget sama Raid. Dia sudah mempersiapkan pernikahan dengan baik, dulu aku meminta setelah menikah, Bang Raid pindah saja ke Bandung, biar kepindahannya diurus oleh Om Kamal, dia kan kepala cabang di Bandung. Bang Raid bilang, di Bandung karirnya sulit berkembang, jadi dia memutuskan akan tetap di sini. Aku percaya aja! dulu kami LDR lebih dari dua tahun, tapi setelah menikah aku