Share

7_ Kamar 143

Akhirnya Diana hanya bisa menahan amarahnya pada putranya ini. Selama ini Diana berharap agar Tommy mau tinggal bersamanya agar hubungan suami istri ini bisa harmonis, tetapi ternyata putranya sudah membeli tempat tinggal, sehingga Diana tidak bisa sepenuhnya mengendalikan putra dan menantunya.

"Baiklah, Mama tunggu kehadiran kalian di rumah Mama besok. Jangan mengelak lagi!"

Pesta anniversary Hilman masih berlangsung dengan meriah, dipanggung kedua pasangan paruh baya itu tengah memotong kue ulang tahun, disusul tepuk tangan yang meriah. Semua anggota keluarga diminta Hilman ke atas panggung tak terkecuali Mutiara dan Tommy. Semua anggota keluarga menerima suapan cake dari tangan lelaki paruh baya itu.

"Mutia, aku minta maaf. Ini, kuberikan minuman soda ini sebagai tanda maaf dariku. Kita ini saudara, sudah seharusnya aku berterima kasih padamu, tetapi selama ini aku selalu memusuhimu."

Mutiara cukup terkejut mendengar perkataan Evita. Gadis itu sengaja mendatanginya dan memberikan segelas minuman soda dengan wajah ditekuk, Mutia mengira jika Evita mungkin sudah dimarahi oleh ayah atau ibunya sehingga bersikap seperti ini, tetapi sepengetahuan Mutia, Evita tidak pernah dimarah oleh Hilman ataupun Reni hanya bermasalah dengannya.

"Apa kamu tidak mau memaafkanku?" tanya Evita dengan wajah memohon.

Mutia tidak ambil pusing, entah drama atau memang tulus apa yang dilakukan Evita ini, dia pun tidak ingin cari masalah.

"Evita, apa yang kau katakan. Sudah lupakan saja, aku sudah memaafkanmu."

"Sungguh? kalau begitu minumlah ini, ini hanya minuman soda biasa," ujar gadis itu sambil mengulurkan tangannya.

"Tidak perlu, aku tidak haus," tolak Mutia

"Aku percaya jika kau memaafkanku kalau kau meminum minuman pemberianku ini," ujar Evita dengan tatapan memelas.

Mutia pun tidak ambil pusing, dia sangat risih Evita bersikap seperti ini. Beberapa orang bahkan sudah memperhatikan mereka. Anak ini pasti sedang mencari perhatian dan pencitraan agar terlihat seperti gadis baik hati dan rendah hati. Mutia merasa tidak masalah tentang itu, justru kalau dia menolak pemberian Evita, orang-orang akan menyangka dirinya lah yang sombong dan berlaku buruk.

Tanpa pikir panjang Mutia meminum seteguk minuman soda itu, rasanya begitu keras masuk tenggorokan, busa soda itu menyengat tetapi dengan adanya batu es didalamnya membuat tenggorokannya juga terasa segar.

Evita tersenyum gembira melihat Mutiara meneguk minuman yang diberikannya.

"Baiklah Kak Mutia, terima kasih sudah memaafkan aku. Kamu harus makan terlebih dahulu sebelum pulang, ya?" ujar gadis itu sambil berlalu, sudut bibirnya membentuk senyuman misterius.

Renita yang mendampingi Mutia hanya melihat adegan itu sebagai adegan biasa layaknya saudara sepupu. Ketika Mutia mengajaknya mengambil makanan di meja prasmanan, Tommy mendekati mereka.

"Mutia, nanti pulang denganku!" perintah lelaki itu.

"Baiklah," Mutia juga tidak ingin melawan.

"Reni, nanti pulang dengan mobil kantor, ya?" perintah Mutiara.

Setelah memerintah, Tommy kembali meninggalkan Mutiara dan bergabung dengan para undangan pria, mereka asyik membicarakan bisnis di tengah pesta ini.

Mutia dan Renita menyantap makanan berdua, ketika makan beberapa suap, kepala Mutia rasanya sedikit pening. Mungkin itu efek dia mendengarkan musik yang kebetulan mereka duduk dekat sound sistem.

"Bu, kalau begitu saya permisi dulu, ya?" pamit Renita setalah mereka makan.

"Ibu lanjutkan saja makannya," ujar Renita yang melihat makanan Mutia baru berkurang sedikit di piringnya.

"Oh ya, hati-hati dijalan ya, Ren!"

Setelah Renita pergi, perasaan Mutiara menjadi semakin tidak enak. Suhu udara di sekitar terasa sangat panas. Tubuhnya juga sangat tidak nyaman. Mutiara bangkit berdiri dan berusaha mencari toilet. Tetapi semakin kakinya melangkah, tubuhnya justru semakin lemas tidak karuan.

"Di mana ada toilet?" tanya Mutiara ketika bertemu dengan pelayan hotel.

"Oh, ada di kamar di luar ballroom, Bu. Ibu keluar ballroom, lurus ke depan, ada kamar no 143, di sana pintunya tidak terkunci."

Mutiara bergegas keluar dari ballroom, dia mengikuti petunjuk pelayan hotel tersebut. lurus saja, dia menyelusuri sebuah lorong yang kanan kirinya adalah kamar. Kamar nomor 143, iya kalau 143. Ini, dia ... ketika Mutiara mencoba memutar handle pintu, benar saja tidak terkunci. Mutiara bergegas masuk ke dalam kamar dan menuju toilet. Isi perutnya harus dikeluarkan, sepertinya dia juga ingin muntah.

Tetapi setelah sampai toilet, ternyata dia tidak ingin muntah, tetapi dia justru tengah kepanasan. Panasnya sangat beda, bagian bawah tubuhnya menggelitik akhirnya dia memijitnya, ternyata sedikit nyaman. Tetapi panas tubuhnya semakin panas, dia sangat sulit mengendalikan diri, sehingga dia harus menghidupkan kran dan menguyur tubuhnya sepenuhnya walaupun masih mengenakan gaun lengkap.

*****

Diaz sedikit terlambat ke pesta anniversary Hilman Widayanto. Sebagai pengusaha sukses yang memiliki strata tertinggi di kota ini, nama keluarga Adiguna sudah tidak diragukan lagi. Selain terkenal dan misterius, keluarga Adiguna juga tidak tersentuh. Tidak sembarangan orang bisa mengundang keluarga ini, tetapi Hilman yang baru bergabung dengan partai politik tidak sengaja bertemu Kusuma Hadi Adiguna. Partai itu memang Kusuma Hadi yang mendirikan, tetapi saat ini perusahaan Adiguna dikuasai oleh putranya, Kusuma hanya fokus pada jalannya partai politik.

Hilman tentu sangat membutuhkan support dari perusahaan Adiguna guna pencalonannya sebagai anggota legislatif. Dia sudah mengundang Kusuma secara langsung, tetapi pria itu malah menyarankan mengundang Diaz saja.

Diaz paling malas menghadiri undangan pesta seperti ini, apalagi hanya anniversary pernikahan, sungguh acara yang tidak penting sama sekali. Tetapi Rais sangat heran, karena Diaz justru tampil paripurna hari ini, Rais sendiri tahu siapa Hilman Widayanto itu, seseorang yang juga tidak terlalu penting. Ketika sampai di lorong menuju ballroom, tidak sengaja Diaz melihat seorang wanita muda yang bicara dengan pelayan hotel.

"Apa sudah kau suruh dia masuk di kamar hotel nomor 143?"

"Sudah, Nona."

"Bagus! cepat kamu suruh gigolo untuk masuk ke kamar itu, aku akan membawa Tommy ke sana. Aku yakin akan hancur nasib Mutiara kali ini."

Hati Diaz berdegup sangat keras, bukankah Mutiara yang dimaksud adalah dia?

"Kau dengar itu, Rais?"

"Dengar apa, Pak?" Rais sedikit bingung, ketika Diaz berhenti dan menguping, dia juga penasaran ingin menguping, tetapi perkataan wanita itu tidak jelas.

"Segera pesan kamar nomor 144!"

"Oh, Baik, Pak."

Rais segera melaksanakan apa yang diperintahkan bosnya, kebetulan kamar tersebut memang sedang kosong. Diaz langsung mencopot nomor kamar dan menukar dengan nomor 143. Lelaki itu langsung memutar handle pintu, ternyata memang tidak terkunci. Diaz langsung masuk dan mengunci kamar tersebut dari dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status