Share

6_ Dituntut hamil oleh mertua

"Ada apa ini?" Suara bariton yang cukup berwibawa menghentikan tangan Evita yang sempat akan melayang ke pipi Mutiara.

Semua orang menoleh ke asal suara, tampak lelaki dengan wajah tegas dan sombong memandang ke arah Evita dengan sengit, beberapa orang tampak segan dan mundur pelan-pelan. Mutia sendiri hanya diam, dia sedikit heran kapan pula lelaki ini datang ke sini? biasanya juga tidak mau menghadiri acara apapun yang diadakan oleh keluarga Mutia.

"Kak Tommy? eh, anu ... Kapan datang?" tanya Evita dengan gugup.

"Aku sudah dari tadi, tampaknya kau akan melakukan sesuatu pada istriku, ya?" tanya Tommy dengan sorot mata mengintimidasi

"Eh, nggak kok, kita hanya mengobrol biasa saja, iya kan, Mutia?" jawab Evita dengan takut-takut.

Mutia yang dibawa-bawa namanya hanya melengos, dia bahkan pergi ke stand makanan seperti yang akan dia lakukan tadi.

"Aku akan mengambil makanan," ujar Mutia dengan nada tidak peduli.

"Kalau begitu, silahkan nikmati pestanya kak Tommy, aku akan menyapa teman-temanku dulu," jawab Evita yang langsung melesat meninggalkan tempat itu.

Tommy akhirnya menghampiri Mutia, lelaki itu bahkan meminta Mutia untuk mengambilkan makanan untuknya. Mutia patuh melakukan apa yang diminta oleh Tommy, bukannya dia sudah mulai menyukai lelaki ini, tetapi sebisa mungkin dia tidak ingin ada masalah di depan umum seperti ini.

"Bagaimana pertemuannya dengan Pak Rio?" tanya Tommy setelah Mutia memberikan sepiring bika Ambon kesukaan lelaki itu.

"Alhamdulillah, lancar! Pak Rio mau memberikan kesempatan pada perusahaan kita untuk memasok produk di supermarketnya. Dia bahkan menyediakan Rak khusus untuk semua produk kita."

"Hmm, bagus! terus bekerja seperti itu."

Tommy memandang puas atas kinerja Mutia, seperti bos yang memandang puas pada kinerja bawahannya. Bukan pada suami yang kagum pada istrinya, Mutia merasakan itu. Awalnya hatinya sangat kecewa, dia sangat merasa tidak puas. Tetapi lama-lama terbiasa juga, dia bahkan sudah menganggap Tommy bukan lagi suaminya, hanya sekedar atasannya di kantor saja.

"Ambilkan aku minum!" perintah Tommy.

"Minum apa?"

"Apa di sini ada minuman beralkohol? kalau ada ambilkan lah!"

"Aku rasa tidak ada, biar bagaimanapun, Pamanku itu masih punya agama."

"Kalau begitu ambilkan apa yang ada! gak usah banyak omong!"

"Ya, maunya apa sih? cola, sirup, jus atau apa?"

"Kubilang terserah!"

Mutia hanya bersungut mendengar bentakan kecil Tommy. Dasar lelaki brengsek, bisanya hanya bisa memerintah saja! itupun tidak jelas! Nanti kalau diambilkan tidak sesuai selera marah-marah!

Ketika sampai di stand minuman, Mutia bingung mau mengambilkan minuman apa. Di sana banyak minuman segar maupun hangat yang tersaji. Akhirnya wanita itu memutuskan hanya mengambil sebuah air mineral gelas beserta pipetnya daripada ribet.

"Mutia! di mana otakmu? di sana banyak sekali minuman manis, kenapa kau hanya mengambilkan aku air mineral? Kau niat nggak sih?!"

Nah, kan? sesuai perkiraan Mutia, Tommy pasti marah jika apa yang dia mau tidak sesuai.

"Tadi kutanya minum apa, jawabnya terserah! ngapain sekarang protes?" jawab Mutia sedikit kesal.

"Kau punya otak kan? mikir, dong! gitu aja gak bisa mikir!" hardik Tommy.

"Aku mana bisa tahu apa yang Mas pikirkan?"

"Jawab aja kau bisanya, cepat ambil sana!"

Suara hardikan Tommy sekarang mengundang beberapa orang memperhatikan mereka, hal itu membuat Mutia jengah. Dia langsung buru-buru menuju stand minuman. Sebelum dia mengambil beberapa minuman, dia melihat Renata yang berjalan ke arahnya.

"Renata! Kebetulan, bawa minuman-minuman ini ke tempat pak Tommy. Saya akan menyapa beberapa orang."

"Sebanyak ini, Bu?"

"Iya."

Mutia menyerahkan sebuah nampan yang berisi beberapa gelas minuman. Dia sudah sangat malas menghadapi Tommy. Setelah itu Mutia berjalan menuju ke arah mertuanya yang tengah berbincang dengan beberapa temannya.

"Mama," sapa Mutia dengan sopan pada mertuanya itu.

"Mutia, eh sini ... ini loh, Jeng ... Mutiara menantuku," ujar Diana pada teman-temannya membanggakan menantunya.

"Wah, ternyata cantik banget menantu Jeng Diana."

"Iya, lah. Anak Jeng Diana juga ganteng juga pewaris tinggal gitu! dia ini keponakannya Jeng Erni, sayang sekali Jeng Luna gak bisa hadir pada pernikahan mereka, padahal pernikahannya di hotel Novotel loh? meriah banget," ujar salah satu teman Diana memuji wanita itu, membuat Diana sangat bangga.

"Iya, sayang banget gak bisa datang, Jeng Luna," timpal Diana sambil tersenyum bangga.

"Kalau gak salah, mereka sudah satu tahun menikah, kan? sudah hamil apa, belum?" celetuk Luna membuat Mutia jengah mendengarnya.

Bagaimana mau punya anak? suaminya bahkan tidak mau menyentuhnya.

"Belum rezeki mungkin, Jeng. Sampai saat ini belum ada," jawab Diana sambil menatap Mutia seolah menuntut sesuatu pada menantunya itu.

"Mutia! Kok malah di sini?!"

Semua orang menoleh ke arah pria yang memanggil Mutia dengan suara kencang.

"Tommy?! akhirnya kamu datang juga. Mama pikir kamu gak mau datang?" ujar Diana dengan antusias.

"Hmm," gumam Tommy sambil mengangguk acuh tak acuh menanggapi perkataan ibunya.

"Mumpung kalian berdua ke sini, Mama mau bicara. Ayo, kita ke sana!" perintah Diana sambil menunjuk salah satu meja di sudut yang terbilang agak sepi.

"Saya ke sana dulu ya, Jeng ...," ujar Diana pada teman-temannya dan langsung mengambil tangan Tommy dan mutiara bersamaan.

Setelah sampai di meja yang dituju, Diana langsung meminta anak dan menantunya duduk di hadapannya. Wanita paruh baya dengan penampilan elegan ini memandang keduanya dengan tatapan tajam.

"Dengar, ya ... kalian berdua! Mama minta tahun depan istrimu ini, Tommy ... harus sudah hamil!" ujar Diana dengan suara yang ditekan dan penuh ultimatum.

Mutiara hanya membeku mendengar permintaan mertuanya ini. Selama ini Diana tidak pernah menuntutnya seperti ini, wanita itu bahkan selalu menghiburnya jika ada yang menanyakan tentang kehamilannya.

"Mama! haruskah hal seperti ini dibicarakan di sini? dibicarakan di rumah kan bisa!" ujar Tommy dengan nada tidak senang.

"Mumpung Mama bisa bertemu dengan kalian berdua! di rumah kalian juga susah ditemui! apalagi kamu, Tommy! mulai sekarang hentikan main-main dengan banyak wanita! perhatikan saja istrimu!" bentak Diana dengan tidak sabar

Diana bukannya tidak tahu apa yang dilakukan oleh Tommy selama ini diluar sana, wanita itu bahkan sudah sering kali menasehati putranya tetapi tetap saja tidak digubris, hal itu sungguh membuatnya tidak tahan lagi sekarang.

"Mama, tahun ini perusahaan masih belum stabil, jadi aku juga belum siap hamil. Nanti jika perusahan sudah stabil, aku baru bisa mempertimbangkannya. Kalau aku hamil, aku tentu harus banyak istirahat, tidak boleh melakukan pekerjaan di kantor lagi," ujar Mutiara meminta pengertian mertuanya.

"Mutia, pekerjaan di kantor itu tanggung jawab Tommy. Tanggung jawabmu cuma memberikan keluarga Sanjaya keturunan dan ahli waris," ujar Diana dengan nada tidak puas.

Tommy hanya memperhatikan Mutia dengan tatapan tajam. dia sangat tidak suka melihat wanita ini mengeluh tentang pekerjaan di kantor, selama ini menurutnya hanya itu yang membuat Mutiara berguna untuknya. Mendengar Mutiara menolak untuk hamil juga menyentil egonya sebagai lelaki, selama ini dia melakukan main-main pada semua wanita karena perempuan yang dinikahinya ini selalu dengan tatapan datar.

Tommy adalah pria yang sangat mendominasi, egonya sangat terluka ketika dia merasa tidak diinginkan. Selama ini dia selalu ditatap dengan tatapan mendamba oleh banyak wanita. Apalagi perjodohan ini membuatnya terpaksa melakukannya, begitu juga Mutiara. Awalnya dia sangat marah karena ternyata Mutiara sudah memiliki kekasih, dia bertekad akan menaklukan wanita itu, tetapi dia juga tidak ingin menyiksa Mutiara di atas ranjang, pantang baginya memaksa hal yang satu itu, akhirnya hanya dengan menyiksanya lewat pekerjaan dan menyelingkuhi wanita itu baru Tommy merasa puas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status