Share

6_ Dituntut hamil oleh mertua

Author: Nainamira
last update Last Updated: 2024-04-19 12:56:42

"Ada apa ini?" Suara bariton yang cukup berwibawa menghentikan tangan Evita yang sempat akan melayang ke pipi Mutiara.

Semua orang menoleh ke asal suara, tampak lelaki dengan wajah tegas dan sombong memandang ke arah Evita dengan sengit, beberapa orang tampak segan dan mundur pelan-pelan. Mutia sendiri hanya diam, dia sedikit heran kapan pula lelaki ini datang ke sini? biasanya juga tidak mau menghadiri acara apapun yang diadakan oleh keluarga Mutia.

"Kak Tommy? eh, anu ... Kapan datang?" tanya Evita dengan gugup.

"Aku sudah dari tadi, tampaknya kau akan melakukan sesuatu pada istriku, ya?" tanya Tommy dengan sorot mata mengintimidasi

"Eh, nggak kok, kita hanya mengobrol biasa saja, iya kan, Mutia?" jawab Evita dengan takut-takut.

Mutia yang dibawa-bawa namanya hanya melengos, dia bahkan pergi ke stand makanan seperti yang akan dia lakukan tadi.

"Aku akan mengambil makanan," ujar Mutia dengan nada tidak peduli.

"Kalau begitu, silahkan nikmati pestanya kak Tommy, aku akan menyapa teman-temanku dulu," jawab Evita yang langsung melesat meninggalkan tempat itu.

Tommy akhirnya menghampiri Mutia, lelaki itu bahkan meminta Mutia untuk mengambilkan makanan untuknya. Mutia patuh melakukan apa yang diminta oleh Tommy, bukannya dia sudah mulai menyukai lelaki ini, tetapi sebisa mungkin dia tidak ingin ada masalah di depan umum seperti ini.

"Bagaimana pertemuannya dengan Pak Rio?" tanya Tommy setelah Mutia memberikan sepiring bika Ambon kesukaan lelaki itu.

"Alhamdulillah, lancar! Pak Rio mau memberikan kesempatan pada perusahaan kita untuk memasok produk di supermarketnya. Dia bahkan menyediakan Rak khusus untuk semua produk kita."

"Hmm, bagus! terus bekerja seperti itu."

Tommy memandang puas atas kinerja Mutia, seperti bos yang memandang puas pada kinerja bawahannya. Bukan pada suami yang kagum pada istrinya, Mutia merasakan itu. Awalnya hatinya sangat kecewa, dia sangat merasa tidak puas. Tetapi lama-lama terbiasa juga, dia bahkan sudah menganggap Tommy bukan lagi suaminya, hanya sekedar atasannya di kantor saja.

"Ambilkan aku minum!" perintah Tommy.

"Minum apa?"

"Apa di sini ada minuman beralkohol? kalau ada ambilkan lah!"

"Aku rasa tidak ada, biar bagaimanapun, Pamanku itu masih punya agama."

"Kalau begitu ambilkan apa yang ada! gak usah banyak omong!"

"Ya, maunya apa sih? cola, sirup, jus atau apa?"

"Kubilang terserah!"

Mutia hanya bersungut mendengar bentakan kecil Tommy. Dasar lelaki brengsek, bisanya hanya bisa memerintah saja! itupun tidak jelas! Nanti kalau diambilkan tidak sesuai selera marah-marah!

Ketika sampai di stand minuman, Mutia bingung mau mengambilkan minuman apa. Di sana banyak minuman segar maupun hangat yang tersaji. Akhirnya wanita itu memutuskan hanya mengambil sebuah air mineral gelas beserta pipetnya daripada ribet.

"Mutia! di mana otakmu? di sana banyak sekali minuman manis, kenapa kau hanya mengambilkan aku air mineral? Kau niat nggak sih?!"

Nah, kan? sesuai perkiraan Mutia, Tommy pasti marah jika apa yang dia mau tidak sesuai.

"Tadi kutanya minum apa, jawabnya terserah! ngapain sekarang protes?" jawab Mutia sedikit kesal.

"Kau punya otak kan? mikir, dong! gitu aja gak bisa mikir!" hardik Tommy.

"Aku mana bisa tahu apa yang Mas pikirkan?"

"Jawab aja kau bisanya, cepat ambil sana!"

Suara hardikan Tommy sekarang mengundang beberapa orang memperhatikan mereka, hal itu membuat Mutia jengah. Dia langsung buru-buru menuju stand minuman. Sebelum dia mengambil beberapa minuman, dia melihat Renata yang berjalan ke arahnya.

"Renata! Kebetulan, bawa minuman-minuman ini ke tempat pak Tommy. Saya akan menyapa beberapa orang."

"Sebanyak ini, Bu?"

"Iya."

Mutia menyerahkan sebuah nampan yang berisi beberapa gelas minuman. Dia sudah sangat malas menghadapi Tommy. Setelah itu Mutia berjalan menuju ke arah mertuanya yang tengah berbincang dengan beberapa temannya.

"Mama," sapa Mutia dengan sopan pada mertuanya itu.

"Mutia, eh sini ... ini loh, Jeng ... Mutiara menantuku," ujar Diana pada teman-temannya membanggakan menantunya.

"Wah, ternyata cantik banget menantu Jeng Diana."

"Iya, lah. Anak Jeng Diana juga ganteng juga pewaris tinggal gitu! dia ini keponakannya Jeng Erni, sayang sekali Jeng Luna gak bisa hadir pada pernikahan mereka, padahal pernikahannya di hotel Novotel loh? meriah banget," ujar salah satu teman Diana memuji wanita itu, membuat Diana sangat bangga.

"Iya, sayang banget gak bisa datang, Jeng Luna," timpal Diana sambil tersenyum bangga.

"Kalau gak salah, mereka sudah satu tahun menikah, kan? sudah hamil apa, belum?" celetuk Luna membuat Mutia jengah mendengarnya.

Bagaimana mau punya anak? suaminya bahkan tidak mau menyentuhnya.

"Belum rezeki mungkin, Jeng. Sampai saat ini belum ada," jawab Diana sambil menatap Mutia seolah menuntut sesuatu pada menantunya itu.

"Mutia! Kok malah di sini?!"

Semua orang menoleh ke arah pria yang memanggil Mutia dengan suara kencang.

"Tommy?! akhirnya kamu datang juga. Mama pikir kamu gak mau datang?" ujar Diana dengan antusias.

"Hmm," gumam Tommy sambil mengangguk acuh tak acuh menanggapi perkataan ibunya.

"Mumpung kalian berdua ke sini, Mama mau bicara. Ayo, kita ke sana!" perintah Diana sambil menunjuk salah satu meja di sudut yang terbilang agak sepi.

"Saya ke sana dulu ya, Jeng ...," ujar Diana pada teman-temannya dan langsung mengambil tangan Tommy dan mutiara bersamaan.

Setelah sampai di meja yang dituju, Diana langsung meminta anak dan menantunya duduk di hadapannya. Wanita paruh baya dengan penampilan elegan ini memandang keduanya dengan tatapan tajam.

"Dengar, ya ... kalian berdua! Mama minta tahun depan istrimu ini, Tommy ... harus sudah hamil!" ujar Diana dengan suara yang ditekan dan penuh ultimatum.

Mutiara hanya membeku mendengar permintaan mertuanya ini. Selama ini Diana tidak pernah menuntutnya seperti ini, wanita itu bahkan selalu menghiburnya jika ada yang menanyakan tentang kehamilannya.

"Mama! haruskah hal seperti ini dibicarakan di sini? dibicarakan di rumah kan bisa!" ujar Tommy dengan nada tidak senang.

"Mumpung Mama bisa bertemu dengan kalian berdua! di rumah kalian juga susah ditemui! apalagi kamu, Tommy! mulai sekarang hentikan main-main dengan banyak wanita! perhatikan saja istrimu!" bentak Diana dengan tidak sabar

Diana bukannya tidak tahu apa yang dilakukan oleh Tommy selama ini diluar sana, wanita itu bahkan sudah sering kali menasehati putranya tetapi tetap saja tidak digubris, hal itu sungguh membuatnya tidak tahan lagi sekarang.

"Mama, tahun ini perusahaan masih belum stabil, jadi aku juga belum siap hamil. Nanti jika perusahan sudah stabil, aku baru bisa mempertimbangkannya. Kalau aku hamil, aku tentu harus banyak istirahat, tidak boleh melakukan pekerjaan di kantor lagi," ujar Mutiara meminta pengertian mertuanya.

"Mutia, pekerjaan di kantor itu tanggung jawab Tommy. Tanggung jawabmu cuma memberikan keluarga Sanjaya keturunan dan ahli waris," ujar Diana dengan nada tidak puas.

Tommy hanya memperhatikan Mutia dengan tatapan tajam. dia sangat tidak suka melihat wanita ini mengeluh tentang pekerjaan di kantor, selama ini menurutnya hanya itu yang membuat Mutiara berguna untuknya. Mendengar Mutiara menolak untuk hamil juga menyentil egonya sebagai lelaki, selama ini dia melakukan main-main pada semua wanita karena perempuan yang dinikahinya ini selalu dengan tatapan datar.

Tommy adalah pria yang sangat mendominasi, egonya sangat terluka ketika dia merasa tidak diinginkan. Selama ini dia selalu ditatap dengan tatapan mendamba oleh banyak wanita. Apalagi perjodohan ini membuatnya terpaksa melakukannya, begitu juga Mutiara. Awalnya dia sangat marah karena ternyata Mutiara sudah memiliki kekasih, dia bertekad akan menaklukan wanita itu, tetapi dia juga tidak ingin menyiksa Mutiara di atas ranjang, pantang baginya memaksa hal yang satu itu, akhirnya hanya dengan menyiksanya lewat pekerjaan dan menyelingkuhi wanita itu baru Tommy merasa puas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   212

    Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   211

    "Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   210

    "Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   209

    "Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   208

    "Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur

  • Istri yang Kau Sia-siakan, Dilamar CEO Tampan   207

    Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status