Sebuah tawaran yang sungguh di luar dugaan Hayati. Tubuh Hayati membeku dan matanya diam terpana melihat ke arah Daren. Dia berharap Daren sekali lagi mengulangi kata-katanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak mendengar sesuatu yang salah.
Daren melihat Hayati sambil mengerutkan kening. Dia sedang memikirkan ulang apakah ada kata-katanya yang salah diucapkan. Reaksi wanita di depannya itu terlihat datar tanpa ada ekspresi yang bisa dibaca. Hayati hanya diam dan tatapan matanya kosong.
“Maaf kalau saya menawarkan sesuatu yang salah. Saya hanya berharap ini bisa menjadi sebuah kerjsama yang baik.” Daren mencoba memperbaiki keadaan.
Hiruk pikuk suara café sama sekali tidak bisa mencairkan keadaan di antara mereka. Seolah tenggelam di tengah kesepian, Dimas menunggu Hayati memberikan reaksi.
“Ehm! Hayati, kau bisa mengatakan saja jika memang kau tidak setuju.” Daren sekali lagi berusaha memecahkan es di antara mereka.
Hayati seperti tersadar dari renungan yang membingungkan. Dia segera mengubah posisi duduknya. Hayati meletakkan kedua tangannya di pangkuan dan meremas satu sama lain. Dia bisa merasakan bahwa kedua tangannya dingin karena gugup.
Hayati mencoba sekuat tenaga untuk mengeluarkan suara. “Te-terima kasih atas tawarannya, Tuan Daren. Ta-“
“Stop! Bisakah kita lebih bersahabat? Panggil aku dengan sebutan Daren. Apakah kau keberatan jika aku memanggil namamu saja?” Daren menghentikan pembicaraan yang baru Hayati mulai.
Hayati menggelengkan kepala cepat. “Tidak, tentu saja tidak. Kau bisa memanggilku dengan nama saja.”
Daren tersenyum. “Terima kasih, lalu bagaimana dengan tawaran yang kuberikan?”
Senyum Daren membuat Hayati semakin gugup. Pria di depannya itu tampan dengan tampilan yang mempesona. Jantungnya berdebar namun Hayati tidak dapat mengidentifikasi perasaannya sendiri. Satu-satunya yang bisa Hayati pikirkan sekarang adalah tentang tawaran yang Dimas berikan. Sebuah peluang emas baginya di saat hidupnya sedang terpuruk.
“Saya… ingin menerima tawaran itu. Tapi….” Hayati ragu untuk menyampaikan kelanjutan kata-katanya.
Mata Hayati melirik dompet merah yang tergeletak di atas meja. Dompet yang hanya berisi sticker label nama usaha kue jajan pasar milik Hayati. “Vaya Cake”, nama yang dia dapat dan terinspirasi dari kedua buah hatinya.
Lirikan mata Hayati pada dompet itu tertangkap oleh Daren. Pria itu menegakkan duduk. Dia berhati-hati dengan apa yang akan dia ucapkan.
“Jika masalahnya adalah uang dan modal, maka perusahaan saya bisa meminjamkan modal awal yang nantinya bisa dikembalikan secara berkala.” Daren mengambil taruhan besar.
Kata-kata dan tawaran yang dia sampaikan hanya berdasarkan tebakan semata. Daren tidak tahu siapa dan bagaimana Hayati, alasan Daren berani menawarkan itu adalah karena melihat penampilan sederhana Hayati. Seorang wanita cantik yang terkurung dalam penampilan sederhana atau bahkan berkekurangan.
Mendengar tawaran Daren, wajah Hayati terasa panas. Dia bisa merasakan air mata menggenang di kedua matanya. Hayati berusaha menahan agar air mata itu tidak terjatuh, namun saat Daren menyodorkan sebuah kotak tisue, Hayati menyerah. Air matanya berguliran tanpa ampun.
“Semoga kata-kataku tidak menyinggungmu. Aku… aku hanya sedang membutuhkan partner bisnis. Dan entah bagaimana aku merasa kau akan menjadi partner bisnis yang bisa kuandalkan.” Daren segera memperbaiki kata-katanya.
Hayati menyelesaikan isakan tangis yang dia tahan. “Terima kasih, anda sangat baik. Saya menerima semua tawaran anda Tuan Daren.” Suara Hayati terdengar serak.
“Aku akan membatalkan tawaran itu jika kau terus memanggilku dengan sebutan Tuan. Aku hanya orang biasa sama sepertimu. Jangan merasa dirimu lebih rendah dariku.” Daren menatap tegas pada Hayati dan sedikit menganggukkan kepala. Seperti tawaran persahabatan yang tulus.
Hayati tersenyum lembut. Ketika mereka menyelesaikan pembicaraan, Daren meminta ijin untuk mengantarkan Hayati pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan mereka sama sekali tidak terlibat pembicaraan.
Daren fokus menyetir dan menembus kepadatan jalan kota. Sesekali matanya melirik pada Hayati yang duduk di sampingnya. Ada sesuatu dalam diri Hayati yang membuat Daren merasa tertarik. Dia tidak bisa mengartikan apa yang sedang dia rasakan. Mungkin kesederhanaan Hayati dan sikap sopannya salah satu alasan.
Hayati tentu saja tidak tahu bahwa Daren sesekali memperhatikan dirinya. Karena Hayati sedang sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Dia bahagia karena akhirnya ada kesempatan untuk mewujudkan mimpinya untuk memiliki usaha kue dan catering.
Hal lain, Hayati bersyukur bahwa Tuhan begitu baik padanya. Tepat di saat Dimas membuatnya hancur bagai kepingan, jalan lain yang tidak pernah Hayati bayangkan justru terbuka lebar di depannya. Harapan Hayati melambung tinggi.
Bagaimana pun anak-anak dan keluarganya membutuhkan keuangan yang lebih lagi. Terutama sekarang Dimas tidak akan pernah lagi memberikan Hayati uang. Dugaan yang bukan tanpa alasan. Jika selama mereka tinggal bersama Dimas begitu perhitungan, maka hampir bisa dipastikan apa yang akan dia lakukan ketika mereka sudah terpisah.
Sesampainya di rumah, Hayati menyampaikan kabar gembira itu pada ibunya. Sehari setelahnya, Daren mengundang Hayati untuk datang ke kantornya untuk membicarakan hal-hal teknis terkait kerjasama yang akan mereka lakukan.
Hayati memasuki lobby gedung dengan perasaan canggung. Dia mulai berpikir bahwa Dimas benar, Hayati memang berpenampilan kampungan dan buruk. Bahkan saat di pintu masuk pun security penjaga gedung sudah melihatnya dengan tatapan curiga. Dia menyapa dengan sikap yang sama sekali tidak bersahabat.
“Mau apa?” tanya security berperawakan tegap itu dengan sedikit membentak.
Hayati menatap takut-takut. “Saya mau bertemu dengan Pak Daren.”
Sang Security memandang Hayati dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Hah?! Orang sepertimu mau bertemu Tuan Daren? Jangan bercanda. Bagaimana kau bisa tahu dan mengenalnya?”
“Saya… beliau yang meminta saya untuk datang.” Hayati sedang mencoba merogoh tas hitam kusam yang dibawanya. Dia ingin menunjukkan kartu nama Daren pada security itu sebagai barang bukti bahwa dia datang atas undangan Daren.
Namun Sang Security tidak sabar untuk menunggu lebih lama. “Kau ini ada-ada saja, mana mungkin Tuan Daren memiliki tamu sepertimu. Ayo, ikut denganku!” Security itu melangkah masuk ke dalam lobby gedung dan mereka berhenti di depan meja resepsionis.
“Apakah ada nama wanita ini dalam jadwal pertemuan Tuan Daren?” tanya security itu pada seorang wanita muda yang ada di belakang meja resepsionis.
Dengan tatapan yang tidak kalah sinis, gadis dengan tag nama di dada sebagai ‘Pertiwi’ itu melihat pada Hayati. Dia mengerutkan kening dalam. Lalu tangannya bekerja pada sebuah laptop yang ada di mejanya.
“Siapa namamu?” tanya Pertiwi tanpa sama sekali tersenyum atau melihat ke arah wajah Hayati.
“Hayati Mahfud,” jawab Hayati singkat. Kakinya sedikit bergetar. Dia merasa malu karena melihat beberapa karyawan yang melintas mulai melihat ke arah mereka. Security dan Pertiwi seolah sengaja mengeraskan suara mereka untuk membuat Hayati seperti pencuri yang tertangkap basah.
Beberapa kali Pertiwi mengurut daftar nama di layar komputernya. Security yang ada di depannya mulai tidak sabar.
“Kau temukan nama itu di daftar tamu hari ini?”
Daren mengangguk, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Ya, aku yakin. Saudara tiriku, yang baru saja kuketahui namanya adalah Bastian, punya sejarah panjang dengan Dimas. Mereka pernah bekerja sama di masa lalu, dan mereka berbagi ambisi yang sama untuk menguasai segala sesuatu yang mereka rasa berhak mereka dapatkan. Bastian tahu bahwa dengan bantuan Dimas dan Marina, dia bisa mempercepat upayanya untuk mengambil alih segalanya."Hayati merasa semakin tenggelam dalam kompleksitas situasi ini. "Jadi, itu sebabnya Dimas dan Marina begitu gigih mengejarku? Mereka hanya bagian dari rencana yang lebih besar?""Tepat sekali," jawab Daren. "Mereka mencoba menakut-nakutimu dan menciptakan kekacauan untuk melemahkanku, untuk membuatku tampak tidak kompeten dan tidak layak mengelola perusahaan. Jika mereka berhasil membuatku jatuh, Bastian akan lebih mudah mendapatkan apa yang dia inginkan."Hayati mengangguk, akhirnya mulai memahami betapa seriusnya keadaan ini. "Apa yang bisa ki
Daren tetap tenang, pandangannya tak tergoyahkan. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Dimas. Kau lupa, kita pernah bekerja di lingkaran yang sama. Aku tahu caramu berbisnis, bagaimana kau menyembunyikan aset, bagaimana kau menyuap orang-orang untuk menutup mata. Kau selalu berpikir kau di atas angin, tak tersentuh. Tapi kali ini, kau sudah salah perhitungan."Dimas mengerutkan kening, rasa percaya dirinya mulai terkikis. "Kau tak punya bukti," katanya, suaranya melemah.Daren mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, menelusuri beberapa file sebelum menampilkan layar pada Dimas. "Lihat sendiri. Transkrip percakapanmu dengan Marina, dokumen keuangan yang dimanipulasi, dan bukti pembayaran di bawah meja. Semua ini bisa aku serahkan ke pihak berwenang kapan saja."Wajah Dimas semakin memucat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Marina, yang berdiri di sampingnya, mulai panik. Dia mencoba meraih ponsel Daren, tetapi Daren dengan cepat menarik tangannya kembali."Jangan mencoba merampa
Dimas menambahkan dengan senyum miring, "Kami hanya berharap kau bisa menerima kenyataan ini dengan anggun."Hayati menahan napasnya, mencoba menekan amarah yang mulai membara dalam dirinya. Dia tahu mereka berusaha meruntuhkannya, menghancurkan martabatnya di depan semua orang. Hayati bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.Marina yang melihat kelemahan Hayati merasa semakin senang. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Dia berjalan elegan menuju Hayati. Sambil lalu tangannya meraih sebuah gelas berisi minuman berwarna merah dari salah satu pelayan yang sedang berdiri di sekitarnya.Marina mendekat, langkahnya seolah menari di atas lantai yang dingin, sorot matanya penuh kebencian yang dingin. Tanpa berkata-kata, dia dengan anggun namun kejam menuangkan minuman merah itu ke gaun putih Hayati. Cairan dingin itu meresap dengan cepat, meninggalkan noda yang mencolok di atas kain putih yang sempurna. Gaun itu sekarang tampak seperti bekas medan perang—berantakan, kotor, dan basah k
Hayati menggenggam ponselnya erat, suaranya sedikit gemetar saat dia berbicara dengan Linda, pengacaranya yang sudah bertahun-tahun menangani semua urusan hukum keluarga dan bisnisnya."Linda, aku sudah memutuskan," Hayati memulai dengan tegas. "Aku ingin semua harta dan saham perusahaan dialihkan kepada Dimas. Aku lelah dengan semua ini. Aku hanya ingin hidup tenang bersama Arya dan Vinara."Di ujung telepon, Linda terdiam. Keputusan Hayati membuatnya tercengang. Dia tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagi Hayati—itu bukan hanya soal bisnis, tapi juga simbol perjuangan dan kebebasan dari bayang-bayang pernikahan yang gagal. "Hayati, kau yakin? Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah.""Ya, Linda. Aku yakin," Hayati menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang menggenang di matanya. "Aku sudah lelah. Semuanya... terlalu berat untukku. Dimas dan Marina bisa mengambil semuanya, aku tak peduli lagi. Yang penting, aku bisa fokus pada Vinara."Meskipun memahami ke
Anggara tidak segera membalas pesan Hayati, membuat kecemasan di hati Hayati semakin membuncah. Dia mencoba menenangkan dirinya, tetapi pikirannya terus berputar, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Marina, wanita yang dulu dia anggap sahabat, kini menjadi ancaman terbesar dalam hidupnya.Saat itu, Vinara bergerak sedikit di ranjangnya, membuat Hayati langsung kembali fokus pada putrinya. "Bunda, kenapa Bunda terlihat sedih?" tanya Vinara dengan suara lirih, menyadari perubahan emosi ibunya.Hayati segera menghapus air matanya yang hampir jatuh. "Tidak, Sayang. Bunda hanya sedikit lelah. Kamu istirahat saja, ya. Bunda di sini."Namun, sebelum Hayati bisa kembali menenangkan dirinya, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Anggara masuk, dengan singkat namun menegangkan:‘Dia sedang mencari cara untuk menggugat hak kamu atas perusahaan. Kita harus bertindak cepat.’Hayati merasa darahnya mendidih. Bagaimana bisa Marina berani sejauh itu? Menggugat haknya yang sudah jelas dip
Hayati merasa hatinya tersentuh mendalam mendengar nama yang disebut oleh Vinara, meskipun dengan suara yang lemah. Dia merasakan tumpukan emosi yang sulit untuk dijelaskan. Selama ini, Dimas adalah nama yang penuh dengan rasa sakit dan kenangan pahit baginya, namun bagi Vinara, Dimas adalah ayahnya yang masih memiliki tempat di hatinya.Dengan lembut, Hayati merapatkan tubuhnya ke samping ranjang Vinara, menggenggam tangan putrinya yang lemah. “Sayang, Ayahmu sudah… sudah pergi ke kamar yang lain. Dia sedang beristirahat di sana. Tapi kamu tahu, dia mencintaimu, dan dia sangat bangga padamu,” ujarnya dengan suara bergetar, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.Vinara membuka matanya sedikit, meskipun kelopak matanya masih tampak berat. “Tapi… Bunda bilang… ayah…” Vinara tidak bisa melanjutkan, suaranya melemah kembali, terhenti oleh kelelahan dan rasa sakit.“Ya, Bunda tahu. Bunda tahu ada banyak hal yang sulit untuk dimengerti sekarang,” Hayati berusaha menjelaskan dengan le