Joya mencoba menjauh, tetapi tubuhnya terasa lemas. Dengan susah payah, dia mendorong Alastar hingga pria itu mundur selangkah. Namun, rasa panas di tubuhnya semakin menjadi.
Tangan Joya mulai bergerak ke arah gaun merah yang melekat di tubuhnya.
“Panas sekali … aku nggak tahan,” katanya, suaranya bergetar.
Secara refleks, Joya melepaskan gaunnya dengan tangan gemetar, tubuhnya terasa seperti dikuasai oleh sesuatu yang tak bisa ia lawan. Alastar hanya tersenyum tipis, tatapan matanya penuh misteri. Ia mengamati setiap gerakan Joya dengan tenang.
Ketika gaun itu terjatuh ke lantai, Alastar segera bergerak mendekati Joya. Di sisa kesadarannya, Joya mencoba menolak, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Pria itu menyentuh wajahnya dengan lembut, lalu mengecup bibirnya penuh damba.
Ingin rasanya Joya berteriak dan melawan, tetapi tubuhnya tidak merespons. Di dalam hati, Joya hanya bisa menangis saat Alastar menggendongnya menuju ranjang dan meletakkannya di sana. Joya terbaring pasrah, tubuhnya terasa lunglai kala Alastar mulai bergerak di atasnya.
Awalnya, rasa marah dan kecewa menguasai pikiran Joya, tetapi lambat laun semua itu seperti ditelan oleh sensasi aneh yang ia rasakan. Sikap Alastar begitu lembut, bukan kasar atau memaksa. Setiap sentuhan yang diberikan lelaki itu justru membuatnya merasa dipuja dan dimanjakan. Jauh berbeda dari Denis, yang lebih sering mementingkan diri sendiri. Bahkan, sudah tiga bulan terakhir Denis tak pernah menyentuhnya dengan alasan lelah sepulang bekerja.
Tanpa sadar, Joya terbuai dalam permainan cinta yang ditawarkan oleh Alastar. Ia mencengkeram erat seprai, menahan perasaan yang bercampur aduk. Pikiran Joya berkelana tanpa arah hingga tubuhnya menyerah pada kelelahan. Pelan-pelan, kesadarannya memudar hingga ia tertidur dalam pelukan Alastar.
***
Sinar matahari yang menyelinap dari celah tirai kamar membangunkan Joya. Matanya perlahan terbuka, dan ia merasakan tubuhnya terasa remuk, setiap otot seolah berteriak meminta istirahat. Tenggorokannya kering, dan kepala sedikit berdenyut.
Joya mengerutkan kening saat mendengar suara gemericik air dari arah kamar mandi. Sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, pintu kamar mandi terbuka, dan di sana berdiri Alastar dengan bathrobe putih yang longgar. Wajah pria itu terlihat segar dengan rambut sedikit basah.
“Kamu sudah bangun,” katanya sambil tersenyum. “Aku sudah memesan sarapan pagi. Akan segera diantar.”
Joya segera memalingkan wajah, pipinya memerah. Ia merasa malu melihat pria itu begitu santai setelah semua yang terjadi antara mereka semalam. Mungkin, ia hanyalah satu dari puluhan wanita yang sudah pernah menghangatkan ranjang Alastar.
Berusaha mengabaikan keberadaan pria itu, Joya mencoba turun dari tempat tidur. Pandangannya tertuju pada gaunnya yang tergeletak di lantai, berniat untuk segera memakainya kembali. Namun baru beberapa langkah, Joya merintih pelan. Nyeri di bagian bawah tubuhnya membuat setiap gerakan terasa sulit.
Melihat Joya hampir limbung, Alastar mendekat dengan langkah panjang dan ringan. Dengan gerakan sigap, ia menopang tubuh Joya menggunakan kedua lengannya.
“Kamu bahkan tidak bisa berdiri dengan benar,” ujarnya dengan nada tenang.
Selang beberapa detik, Joya terkejut saat ia tiba-tiba diangkat dan digendong oleh Alastar.
“Apa yang kamu lakukan?!” protesnya sambil mencoba berontak.
Alastar tidak menjawab. Dengan tenang, ia membawa Joya ke kamar mandi lalu menurunkannya perlahan ke dalam bathtub yang telah diisi air hangat. Uap dari air itu mengepul tipis, menyelimuti Joya dengan kehangatan.
Joya memandang Alastar dengan tatapan bingung dan marah. “Apa maumu? Apa kamu belum puas menyiksaku?”
Alastar hanya tersenyum kecil. “Seingatku kamu tidak tersiksa sama sekali, justru kamu sangat menikmatinya. Sekarang, tubuhmu pasti lengket dan tidak nyaman. Kamu harus mandi dan membersihkan diri.”
Wajah Joya memerah seketika. Buru-buru, ia menyembunyikan diri dengan tenggelam lebih dalam ke dalam air, mencoba menutupi tubuh polosnya dari pandangan Alastar.
“Kenapa kamu masih di sini? Pergi!” usir Joya dengan nada parau, suaranya masih terdengar lemah.
Melihat reaksi Joya, Alastar bersedekap sembari menyunggingkan seringai tipis. “Untuk apa malu? Aku sudah melihat semuanya, Joya. Lagi pula aku di sini untuk menawarkan bantuan.”
Joya menatap Alastar dengan tajam, meski wajahnya masih merah padam. “Aku bisa mandi sendiri. Cepat pergi dari sini!”
Alastar mengangkat tangannya, tanda menyerah. “Baiklah, aku akan pergi. Tapi, jika kamu berubah pikiran dan butuh bantuanku, kamu bisa memanggilku.”
Pria itu berbalik menuju pintu kamar mandi, tetapi sebelum melangkah keluar, ia menoleh sebentar. “Jangan terlalu lama. Sarapan akan segera datang.”
Joya hanya mendengus pelan, lalu menunggu sampai pintu benar-benar tertutup. Tubuhnya yang lemah bersandar pada dinding bathtub, air hangat perlahan-lahan meredakan rasa pegal di tubuhnya.
Namun, pikiran dan hatinya serasa penuh dengan berbagai emosi—kemarahan, kebingungan, dan juga rasa malu yang tak kunjung reda. Ini adalah awal dari sebuah hubungan yang tidak pernah ia bayangkan, dan Joya tidak tahu bagaimana ia akan melewatinya selama enam bulan ke depan.
Merasa frustasi, Joya memilih keluar dari bathtub dan berdiri di bawah kucuran air shower. Dengan perlahan, ia mengusap seluruh bagian tubuhnya. Namun, gerakan tangannya terhenti ketika matanya menangkap dua tanda merah di kulitnya yang putih.
Tanda itu tercetak jelas, berada di area yang tersembunyi. Wajah Joya seketika memanas, bukan karena malu, tetapi marah. Ia menggosok tanda itu dengan keras, berharap bekasnya akan hilang dengan segera.
“Dasar pria brengsek!” umpatnya dengan geram, membayangkan wajah Alastar.
Ia yakin pria itu adalah seorang maniak, tak tahu malu, dan benar-benar keji. Bagaimana mungkin ia tega meniduri istri orang dengan cara licik seperti ini? Bukankah Alastar bisa mendapatkan wanita lajang mana pun yang ia inginkan?
Di sela-sela kemarahannya, pikiran Joya melayang kepada Denis, suaminya. Ya, orang yang seharusnya melindunginya, malah menjualnya kepada pria seperti Alastar. Joya pun menggigit bibirnya, menahan air mata yang nyaris mengalir.
“Aku sangat membencimu, Denis,” gumam Joya mengepalkan tangan.
Pagi itu, kamar Joya dipenuhi wangi bunga melati yang ditata rapi dalam vas, memberikan suasana yang menenangkan. Joya duduk di hadapan cermin besar berbingkai emas, tatapan matanya terpusat pada bayangan dirinya yang tampak berbeda dari biasanya.Gaun putih panjang yang membalut tubuhnya, tampak sempurna dengan perpaduan kalung dan anting yang memancarkan kilau indah.Bu Dewi berdiri di belakang, dengan hati-hati merapikan sanggul rambut Joya. Perempuan paruh baya itu juga menyematkan beberapa helai bunga kecil, untuk mempermanis penampilan sang calon mempelai."Kau benar-benar cantik, Nak. Ibu yakin, Alastar akan terpesona begitu melihatmu," pujinya penuh kekaguman.Joya hanya bisa menggigit bibirnya, menahan gelombang kegugupan yang terus melanda. Jemarinya saling bertaut erat, menandakan bahwa emosinya tengah bergejolak hebat. Rasa gugup, was-was, dan bahagia berbaur menjadi satu di dalam hatinya.Pandangan Joya kemudian beral
Joya tidak mampu menahan cairan bening yang perlahan menggenang di sudut matanya. Ucapan itu begitu berarti baginya. Bayinya telah diakui sebagai bagian dari keluarga besar Diwanggana. Ia tak pernah menyangka Tuan Narendra akan menerima Arion dengan hati yang lapang seperti ini.Tuan Narendra berbalik, menatap Joya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Jangan khawatir, Joya. Jika cucuku yang nakal itu sudah berani menghamilimu, maka ia pasti segera kembali untuk menikahimu. Tunggu saja, itu akan terjadi sebentar lagi."Joya tersentak. Matanya membesar dalam keterkejutan, sekaligus kebahagiaan yang membuncah. Harapannya yang sempat pudar perlahan menyala kembali, memenuhi hatinya dengan kehangatan yang hampir ia lupakan.Dada Joya berdegup begitu cepat, hingga ia merasa jantungnya berdentum di dalam telinganya sendiri. Seakan tak percaya dengan ucapan Tuan Narendra, bibirnya yang semula gemetar kini mencoba mengucapkan sesuatu, walau suaranya nyaris tertelan napasnya sendiri.“Be-
Hampir satu tahun telah berlalu sejak Alastar pergi ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Waktu terasa begitu lambat bagi Joya, setiap detik dipenuhi dengan kerinduan yang menyakitkan. Hanya dua kali Alena mengabari bahwa kondisi Alastar telah membaik, tetapi belum cukup kuat untuk kembali. Berita itu, meski melegakan, tetap menyisakan kehampaan dalam hati Joya. Kini, kehidupannya dipenuhi dengan kesibukan yang tiada henti. Bayinya yang baru berusia dua bulan menjadi pusat dunianya. Si kecil yang lahir dari buah cintanya dengan Alastar, hadir sebagai penguat dalam hari-hari panjang penuh penantian. Selain mengurus bayinya, Joya juga memegang tanggung jawab besar di kantor. Sejak kepergian sang kekasih, ia ditunjuk sebagai penggantinya melalui surat resmi yang dibuat oleh pengacara Alastar. Dengan bantuan Arman, ia menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi, memastikan perusahaan tetap berjalan dengan baik.Kilas balik peristiwa itu kembali melintas dalam benak Joya. Selang sat
Di ruang Instalasi Gawat Darurat, Joya masih duduk di sisi tempat tidur Alastar, menatap wajah pucat pria yang dicintainya dengan sorot mata penuh duka. Tangannya masih menggenggam jemari Alastar yang dingin, seakan berusaha menyalurkan sedikit kekuatan.Namun, kebersamaan singkat itu terganggu oleh kehadiran beberapa perawat yang mendekat. Salah satu dari mereka memeriksa kembali monitor yang masih menunjukkan detak jantung Alastar, sedangkan yang lain mulai melepas satu per satu alat medis yang melekat di tubuh pria itu. Selang infus yang menyalurkan cairan ke dalam tubuhnya dicabut dengan hati-hati, diikuti oleh elektrode yang menempel di dadanya. Satu perawat lainnya membebaskan Alastar dari alat bantu oksigen yang sejak awal menopang pernapasannya, sedangkan seorang lagi sudah bersiap dengan brankar khusus yang akan membawa tubuh lemah itu ke dalam ambulans.Joya menatap semua itu dengan pandangan kosong, perasaan tidak rela merayapi dirinya. Hatinya menjerit melihat pria yang d
Joya berjalan mondar-mandir di depan ruang Instalasi Gawat Darurat, langkahnya tak beraturan, seiring dengan debar jantung yang tak menentu. Matanya yang sejak tadi berkaca-kaca semakin terasa perih. Telapak tangannya terasa dingin dan basah oleh keringat yang tak henti mengalir. Kecemasan menguasai hatinya, menyelimuti setiap tarikan napasnya dengan kekhawatiran yang sulit terjelaskan. Sudah beberapa waktu berlalu, tetapi belum ada satu pun dokter yang keluar untuk memberi kabar tentang kondisi Alastar.Saat Joya hampir kehilangan kesabaran, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya. Ia menoleh dan melihat Arman, asisten setia Alastar, datang bersama seorang wanita cantik yang mengenakan pakaian elegan. Sekilas, ada garis wajah yang mengingatkan Joya pada Alastar. Dugaan Joya benar. Wanita itu adalah Alena, kakak Alastar.Alena segera menghampiri Joya dengan ekspresi tegang. “Kau Joya, bukan? Aku Alena, kakak Alastar. Apa yang terjadi? Kenapa Alastar bisa pingsa
Usai prosesi pemakaman yang berlangsung khidmat, Joya masih bersimpuh di sisi makam Siena. Tanah merah yang baru saja ditaburkan bunga itu masih lembap, seakan belum sepenuhnya menyadari bahwa kini seorang jiwa telah terbaring abadi di bawahnya. Di sekelilingnya, para pelayat sudah mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu. Hanya menyisakan kesunyian dan desir angin, yang menyapu dedaunan pohon kamboja di sudut pemakaman.Alastar yang berdiri tak jauh dari Joya akhirnya ikut berjongkok. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bahu wanita itu, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya udara senja. "Baby, langit sudah mendung," suaranya terdengar lembut. "Kita harus kembali sekarang. Bukankah kau ingin melihat kondisi Bu Dewi di rumah sakit?"Joya mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Matanya merah dan sembab, tetapi kesedihan yang mendalam masih terpancar jelas dari sana. Ia menoleh ke arah makam Siena sekali lagi, seakan ingin mengukir sosok sang adik d
Mobil melaju dengan tenang di sepanjang jalan yang basah oleh embun pagi, tetapi suasana di dalamnya begitu kelam. Joya bersandar di bahu Alastar, membiarkan kehangatan lelaki itu meresap ke dalam kulitnya yang terasa dingin. Sejak menerima kabar duka, bibir Joya terkunci rapat. Kata-kata seolah tertahan di kerongkongan, dadanya sesak oleh kesedihan yang tak tertahankan. Alastar, yang duduk di samping Joya, tak banyak bicara. Ia hanya mengeratkan pelukan di bahu sang kekasih, sesekali mengecup pucuk kepalanya dengan penuh kasih. Ia tahu, saat ini, tak ada kata-kata yang bisa mengurangi kepedihan yang dirasakan Joya. Di tengah kesunyian, Alastar merasakan kepalanya mulai berdenyut. Pandangannya sempat berkunang, tetapi ia mengerjapkan mata cepat-cepat, berusaha mengabaikan rasa pusing yang kian menguasai kepala. Ini bukan saatnya untuk jatuh sakit. Joya lebih membutuhkan dukungannya sekarang dibanding kapan pun. Alastar pun menggenggam tangan Joya, meremasnya lembut seakan ingin me
Joya terbangun lebih dulu dari Alastar, merasakan kehangatan tubuh pria itu yang masih terlelap di sisinya. Dengan hati-hati, ia menyingkirkan tangan Alastar yang melingkar erat di pinggangnya. Setelah berhasil melepaskan diri, ia turun perlahan dari ranjang, membiarkan kakinya menyentuh lantai dingin.Dengan langkah ringan, Joya menuju meja di mana ponselnya tergeletak. Begitu ia menyalakannya, layar yang redup segera terang, menampilkan sebelas panggilan tak terjawab dari dua nomor berbeda.Kening Joya berkerut, hatinya bertanya-tanya ada urusan penting apa sehingga ia dihubungi terus-menerus. Belum sempat berpikir lebih jauh, matanya tertuju pada dua pesan masuk dari nomor tak dikenal. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat saat ia membuka pesan pertama.{Selamat pagi. Ini dari Kepolisian. Kami meminta Ibu Joya segera datang ke Rumah Sakit Cendana. Adik Anda, Bu Siena, dan suami Anda, Pak Denis Kusuma, mengalami kecelakaan dan saat ini dalam kondisi kritis.]Darah Joya seolah membek
Benturan logam yang dahsyat menggema, tatkala mobil Denis menghantam tiang listrik. Kaca depan retak, bagian kap mobil penyok, dan kepulan asap mulai muncul dari mesin yang ringsek. Suara klakson panjang meraung di udara, seakan menjadi tanda bahaya bagi siapa saja yang berada di sekitar.Siena terkulai di kursi penumpang dengan darah merembes dari dahinya yang terbentur dashboard. Napasnya tersengal, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya tertutup rapat. Tangannya yang tadi mencengkeram kemudi dengan emosi kini terkulai lemah di pangkuannya. Tubuh gadis itu penuh luka, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah darah yang mengalir deras dari kedua kakinya, membasahi jok mobil dengan warna merah pekat yang mencengangkan.Di sisi lain, Denis tak sadarkan diri dengan luka yang tak kalah parah. Kepala pria itu terantuk keras pada kemudi, menyebabkan robekan di pelipisnya.Kedua kakinya terjepit di antara dashboard dan kursi, membuatnya tak bisa bergerak. Sementara tangan kanan Denis t