INICIAR SESIÓNBeban itu tidak pernah benar-benar berkurang. Justru setiap detiknya, ia merasa seolah sedang memanggul seluruh beban dunia di pundaknya yang mulai merapuh.Namun, di tengah kesunyian ruang kerja yang luas itu, Edward Vancroft masih bisa menyunggingkan senyum.Sebuah senyum kecil yang gemetar, seperti sisa cahaya senja yang berjuang menembus celah tirai sebelum ditelan malam.Bukan angka-angka saham yang memerah, bukan pula laporan akuisisi yang membuat dadanya sedikit melonggar. Ada harapan lain. Sesuatu yang jauh lebih organik, sesuatu yang berdenyut di luar jangkauan kekuasaannya.Ia membuka laptopnya dengan gerakan sangat hati-hati, seolah jari-jarinya sedang membelai porselen retak yang sewaktu-waktu bisa hancur.Sambungan jarak jauh diaktifkan. Cahaya biru dari layar memantul di wajahnya yang letih, mempertegas garis-garis usia yang tidak bisa lagi disembunyikan oleh setelan jas mahal.Namun, seketika itu juga, senyumnya luruh.Wajah yang muncul di layar tampak seperti cermin ma
Di kantornya, Edward duduk di balik meja kerja besar. Tirai setengah terbuka, cahaya siang masuk seperti saksi bisu yang tak mau ikut campur.Detektif swasta itu duduk di depannya. Jasnya rapi, tapi matanya lelah. Bukan lelah fisik. Lebih ke lelah karena berhadapan dengan kasus yang sengaja dibuat buntu.“Bagaimana perkembangan penyelidikan kematian anak-anakku?” tanya Edward. Suaranya tenang, terlalu tenang untuk seorang ayah.Detektif itu menarik napas.“Tidak ada perkembangan signifikan, Tuan Vancroft.”Edward tidak bereaksi. Ia sudah menduga.“Pemilik bengkel yang memperbaiki mobil sebelum kecelakaan,” lanjut detektif itu, datar,“orang yang selama ini kita curigai, melarikan diri beberapa hari lalu.”Edward menautkan jari.“Dan?”“Dia ditemukan tewas tadi malam.”Hening jatuh seperti debu. Pelan, tapi menyesakkan.“Berdasarkan hasil forensik,” kata detektif itu lagi, kini lebih hati-hati, “waktu kematiannya tidak berselisih lama dengan kematian putra pertama Anda.”Edward menutup
Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai marmer itu terdengar seperti dentum lonceng kematian bagi Edward. Memekakkan telinga, meski ruangan itu luas dan sepi.Pria tua itu memejamkan mata rapat-rapat. Ia mengenali irama langkah itu bahkan sebelum gagang pintu bergerak.Itu adalah langkah yang selalu membawa badai, langkah yang membawa suara-suara tinggi, keputusan sepihak, dan bara dendam yang tampaknya enggan padam dimakan usia.Pintu besar itu terbuka tanpa ketukan. Tanpa salam. Seolah kesopanan adalah hal terakhir yang pantas ada di kediaman Vancroft.Angelina melangkah masuk. Bahunya tegang, ditarik tinggi-tinggi seolah ia sedang mengenakan baju besi, dan matanya menyala oleh amarah yang tidak lagi ia coba sembunyikan. Ia memamerkannya seperti sebuah trofi.“Kenapa?” tanya Angelina, suaranya menggelegar membelah kesunyian. “Apa alasanmu tidak merestui pernikahan Alex dan Emma?”Edward membuka matanya perlahan. Wajahnya tetap tenang—terlalu tenang, jenis ketenangan yang hany
Seharian itu wajah Alex seperti langit yang lupa caranya cerah. Cemberutnya keras berat. Bukan karena bisnis. Bukan karena keluarga. Tapi satu kata kecil yang terasa seperti pengkhianatan besar.Bah.Alex mendengarnya dengan dada yang langsung panas. Bukan ‘dadda’, bukan pula daddy.“Bah,” ulang Archie menggeliat ingin menuju ke ruang ruang kerja daddynya.Sesekali menepuk-nepuk dada Alex terkesan memaksa.“Kamu dengar itu?” Alex menatap Naira penuh tuduhan. “Itu salah siapa.”Naira menahan senyum.“Itu bagian dari fase pertumbuhan Archie,” ucap Naira ringan.Selama di asuh Risa, Archie sering di ajak jalan-jalan. Lingkungan vila di Salatiga, banyak dihuni para pensiunan yang ingin menikmati keindahan alam. Mungkin, interaksi mereka dengan Archie membuat, bayi itu terbiasa menyebut kata ‘bah’.“Bisa jadi maksudnya bapak.” Naira menoba mengelak, berharap bisa menenangkan hati suaminya“Tidak.” Alex menggeleng tegas. “Itu jelas bukan aku.”Sejak saat itu Alex berubah jadi bayangan Archie
Edward berdiri lebih lama dari yang ia rencanakan. Matanya singgah pada wajah Emma yang begitu pucat.“Paman ucapkan terima kasih atas bantuanmu selama ini. Tapi…” Edward menjeda, suaranya berat, membawa beban yang tak mampu ia bagi. “Kamu berhak bahagia, Emma. Kamu berhak menemukan cinta sejati.”Emma mendongak. Matanya yang basah berkilat di bawah lampu kristal, mencari setitik kepastian dalam wajah kaku pria di depannya.“Dan Alex...?” tanyanya lirih, nyaris berupa bisikan yang tertelan udara.Edward menghela napas. Panjang dan sarat akan keletihan. Ia tidak memandang Emma saat menjawab, melainkan menatap jauh ke luar jendela yang gelap.“Sepertinya Alex tidak bisa memberikan keduanya padamu. Dia tidak bisa memberimu posisi, dan dia jelas tidak bisa memberimu kebahagiaan.”Tak ada pelukan perpisahan. Tak ada jemari yang mengusap air mata. Edward berbalik dan melangkah pergi dengan derap sepatu yang bergaung dingin.Keheningan yang Edward tinggalkan terasa lebih kejam daripada penol
Langkah kaki Edward merayap pelan, tenggelam dalam karpet bulu domba yang melapisi lorong panjang mansion Vancroft.Dinding marmer di sisi kiri dan kanannya memantulkan bayangan yang sama, laki-laki tua yang terlalu lama hidup bersama keputusan-keputusan dingin yang ia buat di masa lalu. Di rumah ini, kehangatan adalah barang mewah yang jarang di dapat.Namun, di ujung lorong, sebuah suara memecah keheningan. Suara tawa perempuan. Tipis, elegan, namun terasa ganjil di telinga Edward.Edward melangkah menuju sumber suara itu, didorong oleh rasa ingin tahu—atau mungkin secercah harapan bahwa ada kebahagiaan yang tersisa di sana.Di ruang keluarga pribadi, ia menemukan mereka. Angelina dan Emma. Dua generasi, satu ambisi yang mematikan.Meja di depan mereka penuh sesak oleh lembaran sketsa gaun pengantin yang berserakan. Kain-kain sutra berwarna putih krem jatuh menjuntai ke lantai, disentuh dan dipuja seolah-olah kain itu adalah masa depan yang sudah terpatri pasti."Potongan leher V,"







