Hancur hati Naira kala memergoki suami dan sepupunya bergumul panas di apartemennya. Belum sempat ia bangkit, nasib kelam kembali mengujinya saat ia menjadi korban pemerkosaan oleh seorang CEO asing. Akibat peristiwa itu Naira mengandung janin yang bukan darah daging suaminya. Lalu, bagaimana Naira menjalani hidupnya, kala takdir seakan tidak berpihak padanya? “Pernikahan kita telah kehilangan kesakralannya. Kita sama-sama tahu, anak yang aku kandung bukanlah anakmu. Dan saat ini… ada anak lain yang membutuhkan tanggung jawabmu.” – Naira Ayu Lestari – “Darah akan menemukan leluhurnya. Bayi itu milikku, dan aku akan mendapatkannya dengan segala cara. Meskipun harus berdarah-darah menaklukkan hati ibunya.” – Alexander Quinn Vancroft –
View MoreSetiap detik dalam enam bulan terakhir terasa seperti penantian tak berujung bagi Naira. Setelah enam bulan tanpa sentuhan hangat Aditya, malam ini, semua penantian itu akan terbayar. Naira menyiapkan sebuah kejutan, pelukan hangat sambil membisikkan kata mesra.
“Selamat ulang tahun, Mas.” Mendengar derit pintu dibuka, jantungnya berdebar kencang, bukan karena lelah setelah perjalanan panjang, tapi karena rasa gugup yang membuncah di dadanya. Dengan senyum tipis di bibirnya, Naira segera menyalakan lilin yang berdiri tegak di atas kue ulang tahun. Di tangannya, kotak kue cokelat favorit Aditya, ia membayangkan senyum terkejut Aditya, pelukan erat yang akan menyambutnya, dan bagaimana semua kerinduan ini akan terobati dalam satu malam. Namun, belum sempat Naira melangkah keluar dari dapur, telinganya menangkap suara kecapan basah yang menjijikkan, disusul lenguhan manja yang membuat bulu kuduk Naira meremang. Itu bukan suara yang seharusnya ia dengar di apartemennya sendiri, bukan suara yang seharusnya keluar dari bibir suaminya. “Mainnya jangan kasar seperti biasanya, kasihan anak kita.” Sebuah kalimat yang mengoyak gendang telinga Naira, merobek kebahagiaan yang baru saja ia rasakan. Hingga membuat perutnya bergejolak, mual yang tak tertahankan, seolah ingin memuntahkan semua harapan yang telah ia telan. “Perutku sudah makin gede.” “Tenang saja, anak kita kuat, meski tiap malam ditengok bapaknya.” Aditya membalas dengan tawa renyahnya, tawa yang dulu selalu Naira rindukan, kini terdengar asing dan keji. Naira membeku, seolah seluruh darah dalam tubuhnya berhenti mengalir. Nampan di tangannya bergetar hebat, lilin di atas kue bergoyang-goyangan, nyaris padam, seperti harapan yang kini di ambang kematian. Dengan langkah gontai, Naira menyeret tubuhnya menuju ruang tengah. Dan di sanalah, di tengah cahaya temaram lampu ruang tamu, dunia Naira runtuh. Aditya berdiri memeluk seorang perempuan dari belakang. Tangan laki-laki itu, tangan yang dulu selalu membelainya dengan lembut, kini membelai perut yang membuncit. Suara-suara manja dan tawa renyah mereka mengoyak hati Naira. Yang lebih mengejutkan dan menyakitkan, saat perempuan itu menoleh, wajah Kirana, sepupunya sendiri, tersenyum penuh kemenangan, seolah menertawakan kebodohan Naira. Kirana menyandarkan kepalanya di dada Aditya, manja, seolah itu adalah tempatnya yang sah. Tangannya menggenggam tangan laki-laki itu yang masih mengusap perutnya. “Mau hadiah ulang tahun apa?” “Aku sudah pengen, Ki,” bisik Aditya dengan suara serak, mengecup bahu Kirana. Di sana, di tempat yang dulu sering Aditya kecup juga. Naira menggigit bibirnya hingga terasa anyir, berusaha menahan isak yang mendesak keluar dari tenggorokannya. Tawa Aditya dan Kirana bersatu, menggema di antara dinding apartemen yang dulu dibangun dengan cinta. Tapi kini, ruangan itu menjadi tempat yang mengubur semua impian dan masa depan Naira. Naira tak sanggup lagi. Air matanya jatuh tanpa suara. Satu demi satu, jatuh ke atas kue cokelat yang kini hancur bersama hatinya. Ia tidak bisa berteriak, tidak bisa marah. Lidahnya kelu, tenggorokannya panas, seolah semua kemarahannya lenyap, digantikan kehampaan yang mematikan. Dan saat Aditya dengan santainya menggendong Kirana, membawanya ke kamar tanpa menutup pintu, Naira merasa tubuhnya mati seketika. Ia menyaksikan suami dan sepupunya bergumul panas penuh gairah. Kedua tumit Kirana bergantung di bahu Aditya. Jeritan-jeritan manja mengiringi tubuh Aditya yang terus bergerak mengisi tubuhnya. Naira tidak tahan, kamar yang dulu tempat ia dan Aditya berbagi tawa, berbagi mimpi, kini jadi tempat perselingkuhan yang terang-terangan. Tanpa rasa berdosa, tanpa rasa bersalah. Dengan tangan gemetar, Naira menaruh kue di meja. Ia mengambil kopernya, menyeret pelan sambil menyeka wajahnya yang basah. Tak ada teriakan, hanya kehancuran yang membungkam segalanya. Beberapa jam lalu, ia datang ke kota ini dengan harapan. Kini, ia ingin pergi secepatnya, sebelum seluruh dirinya runtuh di tempat yang sama. Lorong apartemen itu sepi. Lampu-lampunya redup. Hanya suara roda koper yang berdecit kecil di antara langkah cepat Naira yang nyaris berlari. Dadanya sesak, napasnya tercekat, luka seperti mengepungnya dari segala arah. Mata Naira masih basah. Langkahnya terhuyung, hampir jatuh. Luka di hatinya terlalu dalam, membuatnya ingin pergi, segera dan tak ingin melihat ke belakang. Namun, saat Naira berbelok ke ujung lorong menuju lift, tubuhnya justru membentur seseorang. Tubuh laki-laki tinggi, beraroma alkohol dan parfum maskulin yang menyengat. Naira tersentak, terhuyung mundur. “Maaf...” lirih Naira, suaranya nyaris tak terdengar, tak sempat menatap siapa yang ia tabrak. Pikirannya masih dipenuhi kehancuran. Tapi langkahnya terhenti saat suara berat itu membalas, bukan dengan kata, tapi dengan geraman rendah penuh emosi, seperti binatang buas yang terluka. “Maaf?” Suara pria itu parau dan serak. Pria itu terkekeh pendek, bukan tawa kegembiraan, melainkan sebuah keputusasaan yang sangat, yang membuat bulu kuduk Naira meremang. Naira menoleh pelan. Pria itu berdiri sambil mencengkeram dinding, tubuhnya bergetar ringan seolah ada energi berlebih yang tak terkendali di dalam dirinya. Keringat dingin membasahi pelipis dan lehernya, sementara pupil matanya membesar tidak wajar menutupi hampir seluruh iris. Wajah tampan itu terlihat kacau, rahang mengeras, urat lehernya menonjol, dan matanya merah, seperti sedang berjuang melawan tubuhnya sendiri. Alex, lelaki asing dengan jas mahal dan rambut acak-acakan. Dadanya naik turun tak karuan, napasnya terdengar berat dan terengah-engah, diselingi desahan tertahan yang aneh. Alex terlihat seperti binatang buas yang terpojok dan kehilangan akal. Aura gelap dan mengancam memancar darinya, membuat Naira yang sudah rapuh semakin ketakutan. Naira melangkah mundur, berusaha menjauh. Tapi sebelum sempat menjauh, tangan laki-laki itu menarik pergelangan tangannya mengejutkan. Cengkeramannya terasa dingin dan kuat, seolah belenggu yang tak bisa dilepaskan. “Kenapa... semua perempuan seperti ini?” desis Alex, suaranya kini lebih dalam, hampir seperti gumaman, penuh kepahitan. “Datang menggoda, lalu pergi minta maaf tanpa rasa bersalah.” Naira menegang. Ketakutan merayapi setiap inci kulitnya. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, mengapa pria ini begitu marah padanya. Ia hanya ingin pergi. “Maaf, saya tidak tahu, saya harus segera pergi.” Naira mencoba menarik tangannya, tapi Alex mencengkeramnya makin erat. Rasa sakit menjalar di pergelangan tangannya, namun rasa takut jauh lebih besar. “Lepas!” teriak Naira panik, suaranya bergetar. Refleks, tangan Naira yang bebas melayang, menampar wajah Alex. Plak! Hening. Hanya suara napas Naira yang terengah-engah dan detak jantungnya yang bergemuruh di telinganya. Alex menoleh perlahan, kepala miring. Napasnya mengembus keras, seperti hembusan panas dari binatang yang terluka dan kehilangan akal, matanya yang merah menatap Naira dengan tatapan kosong namun penuh amarah. “Jangan bikin aku tambah gila malam ini…” suaranya terdengar semakin berat, mengancam. Sebelum Naira bisa lari, tubuhnya terangkat begitu saja. Ia meronta, memukul-mukul punggung Alex, menendang-nendang kakinya, namun tenaga Alex terlalu besar. “Lepas! Lepaskan aku!” teriak Naira, suaranya serak karena ketakutan dan keputusasaan. Air mata kembali mengalir deras, membasahi pipinya. Alex tidak menghiraukan teriakan Naira, terus melangkah menuju kamarnya. Pintu apartemen terbuka, gelap, seperti mulut gua yang siap menelan. Tak lama kemudian suara pintu tertutup mengunci tak hanya dirinya, tapi juga segala harapan dan masa depan Naira. Di kamar mewah yang temaram itu, di tengah keheningan yang memekakkan, tak ada yang mendengar, tak ada yang peduli dengan teriakan dan isak tangis Naira yang tertelan. Alex menyentuh Naira dengan paksa, melakukan penyatuan dan menghentakkan tubuhnya dengan beringas. Bukan hanya menghancurkan raganya, tapi juga mengoyak-ngoyak jiwanya, mencabik-cabik sisa-sisa harga dirinya. Malam ini, bukan hanya penuh kejutan yang menghancurkan, tapi juga penuh luka yang tak akan pernah terhapus dari ingatan seorang wanita bernama Naira. Pada saat suaminya sedang berbagi peluh penuh gairah dengan sepupunya, Naira harus kehilangan kehormatannya di bawah keberingasan pria asing yang menggagahinya dengan brutalKepanikan pecah seketika saat tubuh Naira terhempas ke lantai. Retno Kinasih, ibu mertua Naira, sontak menjerit panik sambil berlari menghampiri menantunya yang tergeletak tak sadarkan diri. Wajahnya pucat pasi, tangannya gemetar saat menyentuh pipi Naira yang dingin dan berkeringat."Naira! Nai, bangun, Sayang!" ucap Retno panik, matanya berkaca-kaca menyaksikan menantu kesayanganya tergeletak tak berdaya."Pak! Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang juga! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama dia!" Suara Retno bergetar dihantam kepanikan.Arya, yang sejak tadi berdiri cemas, langsung mengangguk.“Cepat, siapkan mobil!” Arya berteriak memberi perintah kepada sopir keluarga.Tanpa menunggu lebih lama, mereka membawa Naira ke rumah sakit. Seluruh perjalanan diisi kecemasan dan doa dalam hati.Retno tak berhenti menggenggam tangan Naira. Ada ketakutan jika apa yang terjadi pada Naira saat ini adalah efek buruk dari kecelakaan yang terjadi beberapa saat yang laluSementara Arya tampak
“Beri aku waktu, Ki. Aku akan mencari waktu yang tepat."Aditya mencoba menenangkan Kirana, namun juga mencari celah untuk menunda. Sikap pengecut terpancar jelas dari kata demi kata yang terlontar dari bibirnya. Bagaimana pun Aditya tetap mencari aman demi tetap bisa mendapat kenyamanan, entah dari keluarga atau dari tubuh Kirana."Waktu yang tepat?" Kirana tertawa sinis, tawa yang menusuk hati Aditya. "Waktu yang tepat itu kapan, Mas? Setelah anak ini lahir dan semua orang tahu bahwa aku hamil di luar nikah? Apa kau ingin aku dan anakmu menjadi bahan gunjingan?"Kirana berdiri tegak di hadapan Aditya, sorot matanya tak lagi lembut. Kini yang tampak adalah tatapan seorang perempuan yang tahu apa yang ia inginkan, dan tahu cara mendapatkannya."Mas, aku tahu kamu sedang tertekan. Tapi sampai kapan kamu mau terus berpura-pura, menyangkal apa yang sebenarnya terjadi?" Suara Kirana terdengar lirih namun penuh penekanan."Kau sendiri yang bilang, Naira... dia bukan lagi perempuan yang sam
“Ah… pelan-pelan, Mash!”Kirana menggigit bibirnya menahan nyeri dan nikmat secara bersamaan saat Aditya menghentak panggulnya dengan keras. Aditya seperti kalap, mengejar kepuasan yang pasti untuk dirinya sendiri. Bahkan dia lupa, ada darah dagingnya yang sedang tumbuh di rahim Kirana.Semalam Aditya sudah dua kali mendapat pelepasan, tapi tampaknya dia belum terpuaskan. Dan pagi ini dia menginginkan pelayanan dari Kirana lagi.Meski tinggal seatap, bahkan sekamar dengan Naira, tapi sejak kembali ke rumah, Aditya belum pernah menuntaskan hasratnya. Hubungannya dengan sang istri, meski secara raga begitu dekat tapi terasa lebih jauh daripada saat mereka menjalani hubungan jarak jauh.Naira akan selalu meneteskan air mata saat Aditya menyentuhnya. Bukan hanya karena pengkhianatan Aditya dan Kirana adalah luka yang tak terperikan, tetapi juga trauma akan pemerkosaan yang begitu mendalam.“Ah….” Erang penuh kepuasan keluar dari mulut Aditya, setelah mengosongkan dirinya dalam penyatuan b
Alex menyusuri koridor lantai atas kantor pusat perusahaannya dengan langkah tegas dan penuh wibawa. Setiap karyawan yang berpapasan langsung menunduk sopan, menghindari tatapannya yang dingin pagi itu.Revan, orang kepercayaannya, mengikuti di belakang dengan langkah lebih tenang, sesekali melirik ponsel di tangannya.Begitu Alex tiba di lantai eksekutif, Anita, sekretarisnya, bergegas menghampiri sambil membawa tablet berisi jadwal kerjanya.“Selamat pagi, Pak Alex.” Suara Anita terdengar ragu. “Ini rundown hari ini. Ada pertemuan dengan direksi cabang jam sepuluh, lalu conference call dengan investor Jepang siang nanti. Dan...”Anita terlihat menelan ludah sebelum melanjutkan kalimatnya. Matanya menatap Revan sekilas, lalu kembali pada Alex.“Ada Ibu Regina di ruang kerja Bapak.”Langkah Alex langsung terhenti. Wajahnya tiba-tiba dipenuhi ketegangan dan amarah, beruntung masih bisa diredam oleh kedewasaannya. Tapi tatap matanya yang tajam tak bisa berbohong.Tanpa menanggapi lebih
Suara Naira pelan menyapa gendang telinga Aditya. Tapi cukup jelas terdengar, tak gemetar dan tak ada ragu.Kalimat itu meluncur memangkas sisa-sisa harapan Aditya. Tapi bagi Naira, itu adalah satu-satunya jalan. Ia tak bisa lagi menipu dirinya sendiri, tak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja.Naira tidak menoleh, tak ingin melihat reaksi Aditya. Yang ia tahu, hanya menyelamatkan dirinya sendiri, sebelum semuanya benar-benar terlambat.Aditya mendekati Naira, duduk di tepi ranjang yang sama. Meski mereka duduk bersisihan, tapi jarak di antara mereka terasa begitu jauh.Aditya meraih tangan Naira, namun Naira menariknya dengan cepat. Bukan hanya jijik karena tubuh Aditya telah dijamah Kirana, tetapi Naira belum bisa melupakan sentuhan kasar pria yang memperkosanya."Naira, aku minta maaf," bisik Aditya, suaranya penuh penyesalan.Namun suara kalimat itu terdengar penuh kepalsuan di telinga Naira. Penyesalan itu mungkin lebih karena adanya konsekuensi yang harus Aditya hadapi. Seb
Aditya membeku saat menyadari satu hal yang paling ia takuti telah terjadi, Naira tahu segalanya. Bukan hanya soal perselingkuhannya, tapi juga kehamilan Kirana.Rasa bersalah menyusupi hati Aditya. Malu, getir, dan penyesalan menggerogoti batinnya. Bagaimana bisa ia, yang dulu begitu mencintai Naira, berubah menjadi lelaki sekeji ini? Bagaimana bisa ia melukai perempuan yang selama ini selalu mendampingi dan mendukungnya?Di tengah kehancuran yang tergambar jelas di wajah Naira, semua kenikmatan tadi malam terasa begitu memuakkan. Ia ingin menyentuh bahu istrinya, ingin memohon maaf, tapi lidahnya kelu, hatinya pun beku."Aku ingin pulang," bisik Naira lirih, nyaris tak terdengar, meski parau tapi tetap tegas. Tatap matanya nanar menembus jendela rumah sakit."Aku tidak sanggup lagi tinggal di sini."Naira tak ingin melihat wajah Aditya, tidak ingin mendengar suaranya, tidak ingin berada di kota yang telah merenggut segalanya dari hidupnya. Setiap napas yang ia hirup di sini terasa m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments