Hai, semoga selalu suka ya, komen yuk. Biar rame, hehe :)
Sepasang kaki jenjang milik seorang paruh baya berjalan dengan tergesa menyusuri lorong-lorong rumah sakit sembari dalam hati merapalkan doa agar semuanya baik-baik saja. Beberapa saat yang lalu ia menerima panggilan, jika sebuah kabar kurang baik sedang menimpa putra sulungnya. Lebih tepatnya, menantu dan cucunya. Mereka dikabarkan mengalami kecelakaan. Entah bagaimana kondisi keduanya saat ini, Romana tak tahu pasti, sebab Wllliam hanya mengatakan Serra sekarang berada di rumah sakit. Setelah mendapatkan lokasi, ibu kandung Gamma itu gegas meluncur ke tempat ini. Mungkin ada sekitar tiga kali Romana bertanya kepada perawat yang ia temui, hingga akhirnya menemukan ruangan yang menjadi tujuannya. Ruangan berdinding kaca yang dipenuhi dengan alat-alat medis. Bertahun-tahun lalu, Romana sering berkunjung ke ruangan ini, saat Nindira, mantan istri Gamma sakit-sakitan. Ada rasa perih yang menjalar di dada Romana kala ia mengingat kenangan pahit itu, memori-memori kelam penyebab hancurn
Serra berusaha membuka kedua kelopak matanya yang terasa begitu berat. Mengerjap-ngerjap sebentar beradaptasi dengan cahaya yang tertangkap indera penglihatannya. Begitu kelopak mata itu melebar hal yang pertama kali terlihat hanyalah sebuah langit-langit atap berwarna putih dengan lampu redup berwarna kekuningan. Entah dimana ia sekarang, Serra tak tahu pasti. Yang ia ingat terakhir kali hanyalah memori ia bertemu dengan Gamma saat perutnya terasa sakit. Dan kini, tubuhnya tak bisa leluasa bergerak ada banyak selang yang terpaksa pada tubuh mungilnya itu. Aroma obat-obatan dan antiseptic menyeruak masuk dalam hidungnya membuat wanita itu tersadar jika saat ini ia sedang berada di rumah sakit. Detik berikutnya, giliran indera pendengarannya yang menangkap sebuah napas lain berhembus teratur sangat dekat dengan dirinya. Serra lantas menoleh ke arah sumber suara. Diterangi dengan cahaya lampu remang-remang, ia melihat Seorang pria bertubuh kekar sedang tertidur pulas menghadap ke arah
“Sampai kapan kau akan bersikap dingin denganku, Ra?” Gamma meletakkan segelas air putih hangat di atas nakas. Pria yang baru saja mandi itu lantas menghempaskan dirinya pada sisi ranjang yang kosong di sebelah Serra. Bukan tanpa alasan ia melayangkan pertanyaan itu. Sejak pagi sikap istrinya itu benar-benar menguji kesabarannya yang setipis tisu. Menolak semua pertolongan pria itu. Bahkan barusan, Serra menolak tawaran Gamma untuk menyuapi sarapan. Untung saja Gamma masih bisa sabar meski pria itu sedang menahan emosi dan kekesalannya saat ini. “Dokter sudah menyarankanmu untuk makan, sekarang makanlah dulu, kalau kau tak mau makan waktumu sembuh juga semakin lama,” lanjut Gamma menasehati. Pria itu sekali lagi menyodorkan sesendok bubur itu di depan mulut istrinya. Namun, alih-alih luluh dengan nasehat yang diberikan, Serra yang belum bisa leluasa bergerak hanya menoleh kearah yang berlawanan. Memalingkan wajah, menolak suapan itu. “Biarkan saja aku mati!” katanya lirih. “Ra—” “
“Anna, atur ulang semua jadwal minggu ini. Meeting dengan tamu arsitek dari bali tolong diundur minggu depan, harinya terserah. Kemudian semua laporan yang tertunda tolong kirim saja ke rumah. Lalu sampaikan kepada seluruh divisi jika ada approval yang mendesak beberapa hari ke depan aku wakilkan kepada William.” Begitulah kalimat yang diucapkan Gamma kepada Anna, sang sekretaris, melalui sambungan telepon. Ditempelkannnya benda pipih berwarna hitam itu di telinga kanan. Tangan kirinya mengurut dahi yang terasa nyeri. Sembari berjalan ia sibuk menjawab beberapa pertanyaan dari sang lawan bicara. Namun, itu tak berlangsung lama, sebab lelaki itu segera memutus sambungan. Pria itu pun melanjutkan langkah menyusuri deretan kendaraan yang tersusun rapi di sebuah area yang luas, dengan ponsel genggam yang masih ia pegang dengan satu tangan. Namun, saat ia sudah hampir sampai di depan mobilnya, sebuah suara menjeda langkah Gamma. Suara yang begitu familiar di telinganya. “Apa maksudmu mew
Malam harinya.Alat penunjuk waktu yang tergantung pada dinding berkelir biru muda sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Itu artinya rumah sakit tempat Serra dirawat sudah tidak menerima pengunjung lagi. Sudah waktunya semua pasien di tempat ini beristirahat. Begitu juga dengan Serra yang seharusnya sudah mulai menyelami alam mimpi.Namun, pada kenyataannya perempuan itu hanya terbaring dengan kedua mata yang masih terjaga. Sudah sekian lama sepi mengambil alih. Hanya detik pada jam dinding yang terdengar. Sesekali suara langkah beberapa orang yang lalu lalang di depan bangsal.Sendirian tanpa ditemani seorang pun yang berjaga di ruangannya.Bu Ambar sudah pulang sejak sore dan Ibu mertuanya sudah meninggalkannya beberapa jam yang lalu. Sedangkan Gamma, lelaki itu belum menampakkan batang hidungnya sejak mereka bertengkar hebat tadi siang. Entah kemana perginya sang suami, Serra sendiri tidak bisa memastikan. Ia tak memiliki alat komunikasi untuk bertanya dimana posisi Gamma saat in
"Selamat pagi, Sayang!" Kedua pipi Serra terasa hangat, ada rona merah yang menyembul ketika sapaan itu tertangkap gendang telinganya. Bagaimana tidak? Ia baru saja membuka mata, berusaha mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang tertinggal di alam mimpi, tetapi sudah disambut dengan suara serak basah dari sesosok pria di sebelahnya. Baru saja Serra ingin membuka bibir untuk menjawab sapaan itu, sebuah daging lembut sudah lebih dulu menempel di bibirnya. Serra yang tak siap dengan perlakuan itu hanya bisa diam kala bibir mereka bertaut. Wanita itu memejamkan mata menikmati perlakuan sang suamiTidak ada nafsu, hanya perasaan cinta yang dinyatakan Gamma melalui pagutan lembutnya. Kendati ciuman itu hanya berlangsung singkat, tetapi mampu menimbulkan gelenyar aneh yang melonjak hingga puncak kepala.Siapa yang tidak tersipu diperlakukan secara demikian? Serra jamin, wanita manapun akan merasakan bunga-bunga bermekaran dalam dada bila mengalami hal yang sama. Terlebih, sudah lama mereka tak
“Maaf, sebelumnya apakah kita pernah saling mengenal?” tanya Serra dengan hati-hati, ia takut menyinggung perasaan wanita bergaun biru ini. Seingatnya, Serra belum pernah mengenal perempuan ini, hanya tidak merasa asing dengan wajahnya. Seperti pernah melihat, akan tetapi ia lupa dimana. Atau mungkin itu hanya perasaan Serra saja? Tidak bisa dipastikan juga. Sedangkan sang lawan bicara kini melekuk bibirnya, tersenyum manis walau dengan kesan sedikit terpaksa. Perempuan dengan rambut yang terurai panjang itu berjalan ke arah meja kecil yang ada di samping Serra berbaring. Detik berikutnya ia meletakkan barang bawaannya di sana. “Salam kenal, Aku Rossa, mantan pacar Gamma,” katanya terang-terangan setelah mengulur tangan membuat Serra melebarkan kedua kelopak matanya. Sebentar! Apa katanya tadi? Mantan? Jadi ini mantan kekasih Gamma sebelum menikah dengannya? Bukankah Rossa adalah nama mantan kekasih yang mengkhianati suamiya itu sebelum hari pernikahan mereka tiba? Hanya itu sekilas
“Semua saham milik Adam juga asset miliknya sudah berhasil kita balik nama!” William meletakkan tumpukan map dengan berbagai warna pada meja kaca milik Gamma. Lelaki itu baru saja bertemu dengan seorang notaris yang sebelumnya sudah ditunjuk untuk melakukan proses legalitas pembalikan nama semua aset milik Adam menjadi milik Gamma. Kedua sudut bibir lelaki itu mengembang kala melihat semua hasil yang dikerjakan sang notaris. Walau harta milik Adam dan Rossa tak sebanding dan tidak sebanyak milik mereka, tetapi para pria itu tersenyum puas. Ya, Gamma sudah berhasil membuat Rossa yang tidak bisa melakukan apa-apa, kini tunduk kepadanya. Seperti kesepakatan mereka beberapa minggu yang lalu, dimana Rossa memohon agar nama suaminya diselamatkan dan meminta Gamma untuk tidak membatalkan proyek itu serta menuruti semua syarat yang diberikan. Wanita itu akhirnya setuju menyerahkan semua asset milik suaminya untuk dibalik nama menjadi milik Gamma Pranadipta. Dengan begitu, Gamma bisa menguas