“Aku tidak bohong, Serra! Banyak temanku yang hamil besar tetapi aura mereka tak seperti dirimu. Dan harus aku akui kau benar-benar cantik, sekarang!” BRAK! Belum sempat Serra menjawab rayuan Bian, pintu utama berbahan kayu jati itu terbanting sempurna di luar sana. Sontak saja kedua manusia yang sedang bertukar dialog di ruang tamu terlonjak kaget dan menghentikan obrolan mereka. Suara gebrakan itu cukup memekakkan gendang telinga sampai-sampai Serra menyipitkan kedua kelopak matanya seraya mengusap dadanya sendiri. “Astaga!” pekik wanita itu. Begitu juga dengan Bian yang kini celingukan mencari sumber suara itu. Jangan bertanya siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Gamma? Ya, Hanya ia satu-satunya orang yang pulang ke rumah ini dengan membawa perasaan kesal. Lelaki itu sengaja menendang pintu dengan keras dan sekarang berdiri di ambang pintu dengan tatapan datar. Pintu utama yang sudah terbuka lebar, memperjelas apa yang ia lihat dalam CCTV saat ia masih di kantor tadi – istr
Tubuh Serra tersentak ke belakang. Suara menggelegar yang lolos dari bibir Gamma membuat tubuh wanita itu mendadak kaku dan tenggorokannya terasa kering. Perempuan itu hanya bisa menelan ludahnya dengan kasar. Keinginan untuk membantah argument sang suami lenyap begitu saja tatkala melihat betapa tajamnya tatapan yang menghunus ke arahnya. Bisa Serra lihat dengan jelas bagaimana kedua pualam hitam milik suaminya itu penuh dengan kilat yang menyambar. Gamma murka. Serra tidak menyangka jika Gamma akan semarah ini. Ia pikir, ketika hubungan rumah tangga mereka sudah membaik seperti ini suaminya itu akan terbuka dan menerima siapapun yang bergaul dengannya termasuk Bian. Ia juga beranggapan bahwa Gamma lebih percaya kepadanya. Akan tetapi, semua perkiraan dalam kepalanya justru salah besar. Jika bisa mengulangnya mungkin Serra hanya akan mengajak Bian untuk duduk di taman atau di depan halaman rumah saja. Bukan di ruang tamu. Niat awalnya hanya menerima Bian sebagai tamu biasa lagip
“Kenapa kau bertanya begitu, hm?” Lelaki berkemeja putih itu mengusap sebulir air yang telah menganak sungai di wajah mulus istrinya. Tidak banyak tetapi cukup menganggu bagi Gamma. Meski ia paham Perasaan wanita hamil memang terlalu sensitive seperti ini. Gamma pikir Serra tidak akan pernah bertanya lagi perihal perasaan dan cinta. Pun, Selama lima bulan terakhir perempuan itu tak pernah mengungkit masalah ini. Ia mengira bahwa Serra sudah paham apa arti sikapnya selama ini tanpa ia katakan. Namun, ternyata istrinya itu butuh pengakuan. Sementara Serra yang ditanya masih enggan membuka suara. Dalam hati perempuan itu sekarang berkecamukbanyak hal dan saat ini ia hanya perlu jawaban Gamma. Sudahkah laki-laki itu mencintainya? Atau ia yang harus bekerja lebih keras lagi untuk meluluhkan hati suaminya. Itu hal yang lumrah kan? Bukankah kebanyakan wanita memang seperti itu? Mereka lebih menyukai kata romantis dari pada sebuah tindakan dan sikap yang dilakukan. Padahal, saat seorang p
William menekuk dahinya kala melihat keadaan rumah yang sedang ia tapaki itu sunyi. Pria itu sudah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak jua menemukan seseorang yang ia cari. Pasalnya pintu utama rumah itu terbuka lebar, namun sang penghuni rumah bak pergi ke negara antah berantah. Tak ada satupun tanda-tanda kehidupan.Bukan sang tuan rumah yang menyambut kedatangannya, melainkan suara Televisi di ruang tengah yang dibiarkan menyala tanpa pemirsa. Lalu bekas kopi dan teh di ruang tamu pun belum dibereskan.William sempat menduga bahwa kedua cangkir kotor itu adalah bekas dari suguhan untuk Bian. Namun yang menjadi pertanyaannya, mengapa belum juga dibereskan? Jika Gamma pulang sekitar pukul tiga sore, maka logikanya menganalisa bahwa selambat-lambatnya tamu bernama Bian itu pulang pukul empat. Itu pun jika tidak terjadi adu argumentasi.Saat ini, hari sudah petang dan jam yang menggantung di dinding sudah menunjukkan pukul enam sore. Seharusnya Gamma sudah ada di rumah in
Sudah tiga puluh menit lamanya William dan Romana duduk di sofa berwarna abu-abu itu sembari menonton sebuah acara televisi. Namun, apa yang mereka tunggu tak kunjung terjadi. Ya, mereka menginginkan Gamma segera keluar dari kamar dan menemui mereka. Ah, tapi ya sudahlah, mereka memaklumi bahwa apa yang sedang dilakukan Gamma demi menjaga keharmonisan rumah tangga mereka.“Astaga, kuat sekali kakakku itu, Bu? Sudah tiga puluh menit kita menunggu tapi dia tak kunjung keluar juga! Main berapa ronde, sih, dia?” gerutu William seraya memeriksa arloji hitam yang melingkar di tangan kanannya. Detik itu juga gerutuan sang putra bungsu membuat tawa Romana pecah seketika.“Astaga, Nak. Kau ini, jangan seperti itu. Biarkan saja. Namanya juga pasangan suami istri, sudah sewajarnya bila mereka ingin melakukannya. Jika kau menikah besuk pasti begitu juga, makanya cari pasangan, Will. Supaya kau bisa seperti kakakmu!” Sindir wanita paruh baya itu.Bukan tanpa alasan sang ibu mentakan begitu. Sampai
Serra berjalan menapaki ubin berbahan marmer berwarna putih itu dengan hati-hati, mengimbangi langkah sang suami. Untuk menuju kamar, biasanya ia hanya berjalan beberapa meter saja dari dapur, tetapi kali ini ia harus berjalan sebanyak dua kali lipat sebab rumah yang ia tinggali selama tiga bulan ke depan tiga kali lipat lebih besar dari rumah yang ia tinggali sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh suaminya dan juga kesepakatan yang sudah disetujui, mulai pagi ini Serra dan Gamma kembali pindah ke rumah utama Pranadipta bergabung bersama dengan William dan juga Romana. Bukan tanpa alasan mereka segera pindah ke rumah ini, sebab pengerjaan renovasi rumah mulai dikerjakan dalam minggu ini. Ya, Serra tahu, suaminya mengejar waktu agar tidak terlalu dekat dengan waktu kelahiran bayi mereka. Sebetulnya, keputusan Gamma yang ini sudah disanggah berulang kali oleh Serra. Istrinya itu tidak ingin pindah. Menurut perempuan itu, walaupun sedang renovasi masih ada tempat yang bisa ditinggali d
Kedua alis Serra spontan menyatu. Apa yang terjadi dengan Gamma dahulu, ia juga tidak paham. karena jujur selama menikah dengannya tidak pernah sekalipun pria itu bercerita tentang masa lalu. Ia hanya mengetahui sedikit tentang kisah cintanya yang gagal dengan seorang model ternama dari sang mertua. Pun ia sudah mengkonfirmasi kepada Gamma dan pria itu membenarkan fakta itu. Sontak bati Serra bertanya-tanya, adakal hal lain yang tidak ia ketahui tentang suaminya? Apa lagi tentang masa lalunya. “Kenapa begitu? Memangnya ada apa denganmu di masa lalu?” selidik Serra setelah mendengar peringatan suaminya. Tentu perempuan itu merasa ada yang janggal. Jika memang tidak terjadi apa-apa kepada suaminya di masa lalu, bukankah Gamma tidak perlu repot-repot untuk memberikan Serra nasihat seperti itu? “Bukan apa-apa, Sayang. Dulu aku itu nakal, jadi aku malu kalau istriku harus tahu kelakuan nakalku dulu sewaktu remaja. Aku juga tidak ingin kau tahu dari rumber yang salah. Itu saja,” jawab pri
Sepasang kaki jenjang milik seorang wanita sedang berjalan di sebuah Lorong penghubung antar ruangan. Ia tidak sendirian. Romana, sang mertua dengan sabar dan telaten menemani Serra berjalan sembari menjelaskan bagian-bagian juga fungsi setiap ruangan. Seluruh bangunan ini hampir semuanya berwarna putih. Warna lain yang dominan hanyalah cokelat tua juga kuning gading. Bangunan itu semakin nampak estetik dan mewah berhias dengan perabotan juga aksesori yang berwarna emas. Sore ini Serra memilih menghabiskan waktunya dengan mengelilingi rumah sang mertua. Jujur saja meskipun sudah pernah menginap di rumah ini, ia belum pernah mengertahui bagaimana detail setiap sudut bangunan yang megah ini. “Nah, Serra, ini adalah foto-foto keluarga Pranadipta dan ruangan ini sering digunakan untuk melaksanakan acara penting yang digelar tertutup. Kau tahu? Kedutaan besar untuk Jerman pernah berkunjung di tempat ini. Waktu itu, Gamma berhasil membuat perjanjian kerja sama dengan pemerintah jepang untu