“Arum pulang, ya, Bu.” Arum kembali berpamitan setelah naik di boncengan. Ia mengeratkan rangkulan di pinggang Akmal sebelum motor itu mulai melaju.
“Jangan pernah ke sini lagi, ya ....” teriak Rima dari balik jendela. Meski tak berani menampakkan batang hidungnya, tapi suara cemprengnya terdengar jelas ke telinga Arum.
Bu Rahma mendelik ke arah jendela, ia meletakkan jari telunjuk di bibir agar Rima berhenti dan tidak mengatakan apa pun lagi yang mungkin akan menyinggung hati Arum. Bagaimana pun, mereka sangat membutuhkan bantuan Arum. Sekali pun harus berpura-pura lemah dan terhina di hadapannya.
Arum yang mendengar suara cempreng Rima hanya tersenyum simpul, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.
Akmal terus berpikir sepanjang jalan. Sebenarnya, ia kesal pada Arum dan sungguh tidak menyangka jika istrinya yang dulunya polos dan tidak berani membantah keinginannya itu, kini sudah mulai berani dan menjadi pembangkang.
Akmal merasa karena Arum sudah berpenghasilan besar, sehingga sifat angkuh mulai bertunas di hati istrinya. Terlebih kini, dirinya hanya lah seorang pengangguran. Sehingga Arum semakin merasa di atas awan.
Awas saja kalau aku sudah dapat pekerjaan, aku juga akan perhitungan padanya! Batin Akmal geram.
“Dek, jadi mau belanja?” tanya Akmal saat motor butut yang mereka naiki sedang melaju di depan pusat pasar, tempat favorit para istri berbelanja segala keperluan dapur.
Akmal sengaja menarik pelan gas motornya, agar ia tidak kesulitan jika ingin menyeberang.
“Belanja apa?” Bukannya menjawab, Arum malah balik bertanya.
“Belanja keperluan dapur. Tadi ‘kan kata ibu, kamu pakai dulu uangmu untuk berbelanja sesuai keperluan, setelah itu sisanya kamu berikan pada Ibu.” Akmal mengingatkan kembali ucapan ibunya saat di rumah tadi. Mungkin belum ada sepuluh menit, rupanya Arum sudah lupa.
“Oh, enggak, ah. Aku lagi malas masak, mending beli saja. Lagi pula, lebih hemat kalau beli. Dua puluh ribu sudah cukup sampai malam,” jawabnya sembari memperhatikan lalu lalang pengendara lain.
Arum memang malas masak sejak dirinya hamil. Ia akan muntah setiap kali hidungnya mencium aroma bawang. Yang ia lakukan hanya memasak nasi setiap hari, sementara lauknya ia beli pada warung langganan di kampungnya. Akmal pun tidak keberatan, karena masakan Arum juga kurang sedap di lidahnya. Tidak seperti masakan bu Rahma dan Rima yang terasa gurih karena mengandung banyak micin.
“Ya, sudah!” Akmal kembali menarik gas dan melaju menuju ke arah rumah mereka, membawa perasaan dongkol dan juga kecewa.
Mereka sudah tinggal terpisah dengan bu Rahma sejak setahun belakangan. Setelah setahun pula lamanya masih tinggal serumah dengan wanita itu.
Awalnya, semua baik-baik saja. Tapi entah kenapa tiba-tiba Arum bersikeras agar mereka mengontrak saja. Ia bilang, ia ingin hidup sebagai keluarga mandiri dan tidak bergantung pada orang tua. Akan tetapi, menurut Bu Rahma karena Arum ingin bermalas-malasan saja. Sebab menantunya itu lebih suka rebahan di kamar sambil memainkan ponselnya.
Rumah tempat tinggal mereka sekarang memang cukup jauh, masuk ke sebuah perkampungan. Jalanan menuju ke sana juga rusak parah. Itulah yang terkadang dijadikan alasan bagi Arum untuk menolak setiap kali sang suami mengajaknya berkunjung ke rumah mertuanya.
Seperti tadi, Akmal harus membujuknya setengah mati agar Arum mau beranjak dari duduknya dan bersiap untuk pergi.
“Pelan-pelan, Mas!” titah Arum saat mereka melewati jalanan kampung yang berbatu. Ia berdoa sambil memegangi perut dengan sebelah tangan, sedang wajahnya menampilkan kekhawatiran yang amat sangat.
“Iya, Mas bawa motornya pelan-pelan, kok. Kamu doakan, ya, kalau mas nanti jadi kepala desa, jalanan ini akan mas jadikan aspal yang mulus!” gurau Akmal sembari menyisipkan keinginannya untuk menjadi seorang kepala desa.
Sebagai seorang anak bungsu, Akmal terbiasa hidup manja dan punya banyak keinginan. Hanya saja, ia sering lupa caranya menempatkan posisi dan ambisi.
Cita-citanya ingin menjadi seorang pemimpin bagi orang banyak, namun masih tidak becus dalam memimpin seorang isteri.
“Dek, kamu mau ke mana?” tanya Akmal pagi itu saat dilihatnya Arum sudah bersiap di atas motor dan hendak melajukan motornya.
“Mau beli lauk!” jawabnya tanpa melihat pada Akmal.
Wanita itu kesal pada suaminya sendiri, sebab setelah kepulangan mereka semalam, Akmal tidak henti-hentinya menghakimi Arum. Ia mengatakan berbagai hal yang menyakiti hati Arum hanya karena dirinya bersikukuh untuk tak meminjamkan uang pada sang mertua.
Akmal juga mengungkit segala kebaikan yang pernah dilakukan Rima pada mereka. Termasuk tentang biaya pernikahan mereka dulu. Itu selalu menjadi senjata yang menyakitkan bagi Arum.
“Mas titip batu es, ya. Stok kita sudah habis,” pinta Akmal.
Walau masih jam sepuluh pagi, tapi pria itu sudah mulai kegerahan. Karena matahari sudah mulai naik dan ia baru saja selesai mencabuti rumput di pekarangan rumah. Pekerjaan yang dulunya paling ia hindari dan hanya dikerjakan oleh Arum. Tapi mau bagaimana lagi? Mau tidak mau harus ia kerjakan sekarang, semata-mata untuk menyenangkan hati istrinya yang kini telah bertukar peran dengannya menjadi seorang tulang punggung.
Sebagai suami yang menyandang gelar seorang pengangguran, setidaknya Akmal bisa dilihat sibuk oleh para tetangga. Lagi pula, ia harus pandai mencari muka pada istrinya, agar Arum tidak keberatan mengeluarkan sedikit isi dompetnya untuk jatah rokok Akmal sehari-hari.
“Iya, Mas!”
Arum mengangguk. Meskipun masih kesal, namun ia tetap berusaha menjadi istri yang baik. Arum percaya, Akmal tidak akan selamanya menyusahkannya. Pria itu akan segera memiliki pekerjaan baru dan kembali melaksanakan perannya sebagai seorang tulang punggung.
Mata Arum sibuk mengamati tumpukan rumput yang dikumpulkan Akmal pada sebuah tong besar. Ia tersenyum karena pekerjaan Akmal kali ini begitu memuaskan. Halaman yang tadinya menghijau karena dipenuhi rumput kini sudah kembali bersih.
“Dek, mana es nya?” tanya Akmal begitu istrinya tiba di rumah. Lelaki perlente itu sudah bersiap dengan satu buah teko berisi teh di tangannya. Hanya tinggal memasukkan pecahan es batu maka rasa kering di tenggorokannya akan sirna.
Arum tak menjawab, wajahnya berubah dingin dan masam.
“Mana, Dek?” tanya Akmal lagi penuh selidik. Ia mencoba mengamati isi keresek hitam di tangan Arum lalu menebak alasan perubahan sikap istrinya itu.
Akmal pikir, Arum merengut karena tidak kebagian menu sebab terlambat datang. Warung lauk langganannya itu memang sangat laris, semua orang harus bergerak cepat kalau ingin kebagian. Akan tetapi, Arum sudah menuangkan sebungkus sup ayam ke dalam mangkok, berikut dengan seporsi perkedel yang ia letakkan ke dalam piring kaca.
Hampir seluruh ibu-ibu di kampung ini membeli lauk ke sana. Warung itu sudah dibuka tiga bulan belakangan, dan sejak saat itu banyak para istri yang jadi malas untuk memasak. Selain rasanya yang memang enak, juga harganya murah. Jika diperhitungkan, biaya yang dikeluarkan tidak akan sebanyak seperti ketika masak sendiri di rumah. Sehingga mereka bisa menyisihkan uang belanja untuk keperluan lain.
“Kamu kenapa, Dek?” Akmal kembali bertanya seraya meraih keresek hitam yang lebih besar dan diyakini berisi es batu.
“Kamu, ya, Mas. Bikin malu aku saja. Tadi, Mbak Susi menagih hutangmu kepadaku. Makanya, kalau tidak punya uang itu jangan sok-sokan beli baju, ditahan nafsumu. Aku juga ‘kan yang susah, mana sudah dua minggu lagi!” protes Arum dengan tampang kesal.
Mendengar ucapan sang istri barusan, Akmal hanya tertegun seraya menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang terasa tercekat.
Iya, dua minggu lalu Akmal memang membeli baju di toko Mbak Susi. Sebenarnya, ia sudah membayar belanjaannya. Hanya saja, masih kurang seratus lima puluh ribu lagi. Selain lupa untuk membayar, Akmal juga memang tidak punya uang. Padahal ia bermaksud untuk meminta uang pada Arum. Akan tetapi, dirinya masih belum menemukan waktu yang tepat untuk membujuknya.
“Iya, Mas lupa!” Akmal menepuk keningnya sebagai penegasan dari ucapannya. Meskipun berbohong, setidaknya ia harus bisa meyakinkan kalau dirinya memang benar-benar lupa.
Arum mendelik, wajahnya berubah seram dan menakutkan. Wanita itu menarik napas panjang sebelum bersiap untuk melanjutkan omelannya.
“Di mana-mana itu suami yang bayar belanjaan istrinya, bukan istri yang bayar belanja suami. Aku malu, Mas. Untungnya Mbak Susi bisikin aku, kalau kedengaran yang lain, mau diletakkan di mana muka aku ini?”
Arum tak kuasa menahan berang. Kian hari kian banyak pula beban yang dititipkan Akmal ke pundaknya.
“Iya, maaf. Mas janji tidak akan mengulanginya lagi!” jawab Akmal lemah. Ia tertunduk merutuki nasib diri yang malang.
Ini pertama kalinya Arum memarahinya. Dan karena ini juga lah ia merasa tak dihormati.
“Maaf, maaf. Kamu itu cuma bikin susah aku saja, tahu, tidak! Aku tak keberatan kalau kamu itu masih menganggur, Mas. Tapi, aku keberatan dengan hutang-hutangmu yang sepertinya tidak ada habisnya!” cecar Arum lagi. Ia lega sebab telah menumpahkan unek-unek yang ia simpan lama.
Bukan bermaksud durhaka, namun Akmal sepertinya sudah terlanjur nyaman dengan segala hal yang ia terima dari Arum.
Akmal tertunduk lesu, ia meletakkan kembali teko itu ke atas meja. Melupakan tentang rasa dahaga yang hilang diganti dengan ucapan menohok dari sang istri.
Arum lantas masuk ke kamar, ia membanting pintu dengan keras dan menangkupkan wajahnya di atas bantal. Berharap jika bebannya yang berat akan berkurang seiring luruhnya air mata.
Seperti itulah Arum, ia tidak pernah mau membagikan kisah hidupnya pada orang lain. Sepedih apa pun takdirnya saat ini, semua hanya dipendamnya sendiri.
Akmal adalah lelaki pilihannya, sehingga ia wajib bertanggung jawab untuk menjaga nama baik suaminya itu.
"Alhamdulillah, ya, Mas. Akhirnya kita bisa menginjakkan kaki di kampung ini lagi. Aku rindu sekali dengan suasana kampung ini," ujar Arum saat ia dan suaminya baru saja sampai ke rumah lamanya, setelah setahun meninggalkan desa ini dan hidup di kota.Sudah tiga hari mereka tiba tapi selama ini hanya tinggal di rumah Bu Hayati--ibunya. Arum ingin melepaskan rindu di kampung kelahirannya sekaligus mengenalkan putri semata wayangnya yang baru berusia lima bulan pada kerabat dan tetangganya di kampung.Pasangan itu sangat berbahagia karena anak yang dinantikan telah lahir dengan sehat dan selamat. Mereka memberinya nama Amara Shaza Qamira yang mempunyai arti anak perempuan baik hati yang memiliki kecantikan bagaikan bulan.Bayi dalam gendongan Arum itu sangat rupawan. Kulitnya putih bersih dengan mata yang bersinar terang. Hampir delapan puluh persen wajahnya mewarisi kecantikan Arum. Mereka berharap jika Amara tidak hanya memiliki wajah yang cantik, namun hati yang cantik pula."Iya, Ma
Akhir dari kisah"Siapa itu?" ujar Bu Rahma penasaran, keningnya mengkerut beberapa lipatan ketika sebuah sedan berwarna silver masuk ke halamannya. Baru saja tamu mereka pergi, kini mereka kedatangan tamu lagi."Ayah ...." teriak Rayen ketika bola mata bocah berusia enam tahun itu menangkap sosok ayahnya turun dari kendaraan roda empat tersebut. Ia lantas berlari menghambur ke pelukan sang ayah. Menumpahkan segala rindu setelah perpisahan yang cukup lama.Cukup lama anak beranak itu berdiri di sana, di samping mobil yang dibeli Andi beberapa hari yang lalu."Andi!" gumam Bu Rahma. Ada binar harapan ketika sang menantu itu datang ke sini. Apalagi mengendarai sebuah mobil, meski hanya keluaran lama. Barangkali ia ingin kembali pada Rima, harapnya.Rima tak kalah bahagianya, setelah sekian lama, akhirnya ia bisa berjumpa kembali dengan Andi--lelaki yang dikasihinya.Hingga binar-binar harapan itu memudar saat dilihatnya Andi tak datang sendiri, bukan dengan Lila melainkan seorang wanita
Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit. Rima sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Tak banyak yang berubah, keadaanya masih tetap sama. Sakit dan cacat. Tak bisa bekerja mau pun bicara. Hanya duduk sepanjang hari di kursi roda. "Rayen, tolong tambahkan kayu bakar ke tungku, ya!" ujar Bu Rahma, tangannya sedang sibuk meracik sayuran sehingga terpaksa meminta bantuan pada cucunya yang masih kanak-kanak tersebut."Iya, Nek." Bocah berusia enam tahun itu mengentikan sejenak aktivitasnya, yaitu membersihkan air liur Rima yang sering menetes membasahi bahu kanannya.Dengan cekatan, ia mengambil beberapa bilah kayu yang telah disusun neneknya di ujung dapur yang berdinding anyaman bambu tersebut. Lalu memasukkannya ke dalam tungku hingga api yang tadi sempat hendak padam kembali marak."Bunda haus?" ucap bocah itu setelah selesai melaksanakan perintah neneknya. Ia duduk menghadap ibunya yang tersenyum haru. Rima mengangguk cepat, kepalanya bergoyang- goyang ke bawah. Tak lama, Rayen
Karena Bu Rahma sudah tiba di rumah sakit, maka Arum dan Zulham pun kembali ke rumah. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana apalagi Arum tengah hamil muda. Ia butuh istirahat yang cukup demi menjaga kesehatan dirinya dan calon anaknya.Zulham berpesan agar keluarga itu tak perlu memikirkan biaya. Mereka hanya harus fokus pada kesehatan Rima, sementara untuk biaya makan selama di rumah sakit, Bu Salamah berinisiatif agar meminta sumbangan pada semua warga desanya."Sekali lagi terima kasih, ya, Rum, Pak Zulham. Kami sangat berhutang budi pada kalian. Mohon doanya agar Rima segera sadar," ucap Bu Rahma saat mengantar kepulangan Arum dan Zulham menuju parkiran mobil.Rima sudah keluar dari ruang operasi. Namun, keadaannya masih koma. "Ya, Bu. Lusa kami akan berkunjung ke sini. Semoga anak Ibu segera sembuh," sahut Zulham tersenyum ramah. Ia kemudian menggandeng tangan istrinya menuju mobil mewah yang terparkir di sudut rumah sakit. Bu Rahma masih terpaku di tempatnya. Hatinya retak me
Itulah sebabnya, ia meminta Zulham membawa Arum ke rumahnya karena keadaan tidak memungkinkan ia untuk ke sana. Bu Rahma ingin memohon ampun pada Arum atas perbuatannya yang lalu, barangkali setelah mendapat maaf dari Arum, Allah tak mengirimkan musibah yang lain lagi.Zulham sengaja merahasiakan keberadaan Akmal pada keluarganya selama ini atas permintaan ustadz yang menangani Akmal. Karena sebagian besar jin yang mengganggu mental Akmal berasal dari keluarganya sendiri. Ia takut jika keluarganya tahu, hal itu akan menghambat jalan kesembuhan bagi Akmal."Siapa yang kecelakaan, Sayang? Apa benar temanmu?" tanya Zulham setelah memarkirkan mobilnya secara sembarangan di halaman. Ia buru-buru turun dan menghampiri Arum setelah wanita itu mencium takzim tangan suaminya yang sudah pergi sejak semalam.Zulham berangkat semalam sore setelah dikabarkan pihak pesantren. Ustadz yang menangani Akmal sudah memperbolehkan lelaki itu pulang, karena Akmal dirasa sudah sehat dan bisa kembali bersosi
"Pencuri ... kejar dia!" teriak Bu Wulan menunjuk pada Rima yang membawa kabur gelang seberat lima gram tersebut."Ayo kejar sampai dapat ...." sahut yang lain begitu bersemangat. Para ibu-ibu yang kebanyakan berusia empat puluhan itu tampak menghambur ke jalanan desa yang beraspal untuk mengejar Rima."Ibu ... Ibu ... biarin saja. Gak perlu dikejar," teriak Arum pada barisan emak-emak yang berlari bak anak SD yang kegirangan ketika lonceng berbunyi. Ada yang mengangkat gamisnya ke atas, menyingsing lengan bajunya, hingga melepas wedges agar dapat menangkap Rima yang jaraknya sepuluh meter di depan mereka. Wanita itu lari tunggang langgang menyadari posisinya sedang tidak aman. Ia tidak menduga jika Ibu- ibu pengajian itu sangat kompak mengejarnya, persis seperti memburu minyak goreng murah.Sebenarnya Arum tidak begitu mempermasalahkan gelang itu. Ia lebih khawatir pada para wanita yang berlari kencang di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tidak ingin melihat mereka celaka hanya