Share

Bab 2 Hutang Baju

“Arum pulang, ya, Bu.” Arum kembali berpamitan setelah naik di boncengan. Ia mengeratkan rangkulan di pinggang Akmal sebelum motor itu mulai melaju.

“Jangan pernah ke sini lagi, ya ....” teriak Rima dari balik jendela. Meski tak berani menampakkan batang hidungnya, tapi suara cemprengnya terdengar jelas ke telinga Arum.

Bu Rahma mendelik ke arah jendela, ia meletakkan jari telunjuk di bibir agar Rima berhenti dan tidak mengatakan apa pun lagi yang mungkin akan menyinggung hati Arum. Bagaimana pun, mereka sangat membutuhkan bantuan Arum. Sekali pun harus berpura-pura lemah dan terhina di hadapannya.

Arum yang mendengar suara cempreng Rima hanya tersenyum simpul, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.

Akmal terus berpikir sepanjang jalan. Sebenarnya, ia kesal pada Arum dan sungguh tidak menyangka jika istrinya yang dulunya polos dan tidak berani membantah keinginannya itu, kini sudah mulai berani dan menjadi pembangkang.

Akmal merasa karena Arum sudah berpenghasilan besar, sehingga sifat angkuh mulai bertunas di hati istrinya. Terlebih kini, dirinya hanya lah seorang pengangguran. Sehingga Arum semakin merasa di atas awan.

Awas saja kalau aku sudah dapat pekerjaan, aku juga akan perhitungan padanya! Batin Akmal geram.

“Dek, jadi mau belanja?” tanya Akmal saat motor butut yang mereka naiki sedang melaju di depan pusat pasar, tempat favorit para istri berbelanja segala keperluan dapur.

Akmal sengaja menarik pelan gas motornya, agar ia tidak kesulitan jika ingin menyeberang.

“Belanja apa?” Bukannya menjawab, Arum malah balik bertanya.

“Belanja keperluan dapur. Tadi ‘kan kata ibu, kamu pakai dulu uangmu untuk berbelanja sesuai keperluan, setelah itu sisanya kamu berikan pada Ibu.” Akmal mengingatkan kembali ucapan ibunya saat di rumah tadi. Mungkin belum ada sepuluh menit, rupanya Arum sudah lupa.

“Oh, enggak, ah. Aku lagi malas masak, mending beli saja. Lagi pula, lebih hemat kalau beli. Dua puluh ribu sudah cukup sampai malam,” jawabnya sembari memperhatikan lalu lalang pengendara lain.

Arum memang malas masak sejak dirinya hamil. Ia akan muntah setiap kali hidungnya mencium aroma bawang. Yang ia lakukan hanya memasak nasi setiap hari, sementara lauknya ia beli pada warung langganan di kampungnya. Akmal pun tidak keberatan, karena masakan Arum juga kurang sedap di lidahnya. Tidak seperti masakan bu Rahma dan Rima yang terasa gurih karena mengandung banyak micin.

“Ya, sudah!” Akmal kembali menarik gas dan melaju menuju ke arah rumah mereka, membawa perasaan dongkol dan juga kecewa.

Mereka sudah tinggal terpisah dengan bu Rahma sejak setahun belakangan. Setelah setahun pula lamanya masih tinggal serumah dengan wanita itu.

Awalnya, semua baik-baik saja. Tapi entah kenapa tiba-tiba Arum bersikeras agar mereka mengontrak saja. Ia bilang, ia ingin hidup sebagai keluarga mandiri dan tidak bergantung pada orang tua. Akan tetapi, menurut Bu Rahma karena Arum ingin bermalas-malasan saja. Sebab menantunya itu lebih suka rebahan di kamar sambil memainkan ponselnya.

Rumah tempat tinggal mereka sekarang memang cukup jauh, masuk ke sebuah perkampungan. Jalanan menuju ke sana juga rusak parah. Itulah yang terkadang dijadikan alasan bagi Arum untuk menolak setiap kali sang suami mengajaknya berkunjung ke rumah mertuanya.

Seperti tadi, Akmal harus membujuknya setengah mati agar Arum mau beranjak dari duduknya dan bersiap untuk pergi.

“Pelan-pelan, Mas!” titah Arum saat mereka melewati jalanan kampung yang berbatu. Ia berdoa sambil memegangi perut dengan sebelah tangan, sedang wajahnya menampilkan kekhawatiran yang amat sangat.

“Iya, Mas bawa motornya pelan-pelan, kok. Kamu doakan, ya, kalau mas nanti jadi kepala desa, jalanan ini akan mas jadikan aspal yang mulus!” gurau Akmal sembari menyisipkan keinginannya untuk menjadi seorang kepala desa.

Sebagai seorang anak bungsu, Akmal terbiasa hidup manja dan punya banyak keinginan. Hanya saja, ia sering lupa caranya menempatkan posisi dan ambisi.

Cita-citanya ingin menjadi seorang pemimpin bagi orang banyak, namun masih tidak becus dalam memimpin seorang isteri.

“Dek, kamu mau ke mana?” tanya Akmal pagi itu saat dilihatnya Arum sudah bersiap di atas motor dan hendak melajukan motornya.

“Mau beli lauk!” jawabnya tanpa melihat pada Akmal.

Wanita itu kesal pada suaminya sendiri, sebab setelah kepulangan mereka semalam, Akmal tidak henti-hentinya menghakimi Arum. Ia mengatakan berbagai hal yang menyakiti hati Arum hanya karena dirinya bersikukuh untuk tak meminjamkan uang pada sang mertua.

Akmal juga mengungkit segala kebaikan yang pernah dilakukan Rima pada mereka. Termasuk tentang biaya pernikahan mereka dulu. Itu selalu menjadi senjata yang menyakitkan bagi Arum.

“Mas titip batu es, ya. Stok kita sudah habis,” pinta Akmal.

Walau masih jam sepuluh pagi, tapi pria itu sudah mulai kegerahan. Karena matahari sudah mulai naik dan ia baru saja selesai mencabuti rumput di pekarangan rumah. Pekerjaan yang dulunya paling ia hindari dan hanya dikerjakan oleh Arum. Tapi mau bagaimana lagi? Mau tidak mau harus ia kerjakan sekarang, semata-mata untuk menyenangkan hati istrinya yang kini telah bertukar peran dengannya menjadi seorang tulang punggung.

Sebagai suami yang menyandang gelar seorang pengangguran, setidaknya Akmal bisa dilihat sibuk oleh para tetangga. Lagi pula, ia harus pandai mencari muka pada istrinya, agar Arum tidak keberatan mengeluarkan sedikit isi dompetnya untuk jatah rokok Akmal sehari-hari.

“Iya, Mas!”

Arum mengangguk. Meskipun masih kesal, namun ia tetap berusaha menjadi istri yang baik. Arum percaya, Akmal tidak akan selamanya menyusahkannya. Pria itu akan segera memiliki pekerjaan baru dan kembali melaksanakan perannya sebagai seorang tulang punggung.

Mata Arum sibuk mengamati tumpukan rumput yang dikumpulkan Akmal pada sebuah tong besar. Ia tersenyum karena pekerjaan Akmal kali ini begitu memuaskan. Halaman yang tadinya menghijau karena dipenuhi rumput kini sudah kembali bersih.

“Dek, mana es nya?” tanya Akmal begitu istrinya tiba di rumah. Lelaki perlente itu sudah bersiap dengan satu buah teko berisi teh di tangannya. Hanya tinggal memasukkan pecahan es batu maka rasa kering di tenggorokannya akan sirna.

Arum tak menjawab, wajahnya berubah dingin dan masam.

“Mana, Dek?” tanya Akmal lagi penuh selidik. Ia mencoba mengamati isi keresek hitam di tangan Arum lalu menebak alasan perubahan sikap istrinya itu.

Akmal pikir, Arum merengut karena tidak kebagian menu sebab terlambat datang. Warung lauk langganannya itu memang sangat laris, semua orang harus bergerak cepat kalau ingin kebagian. Akan tetapi, Arum sudah menuangkan sebungkus sup ayam ke dalam mangkok, berikut dengan seporsi perkedel yang ia letakkan ke dalam piring kaca.

Hampir seluruh ibu-ibu di kampung ini membeli lauk ke sana. Warung itu sudah dibuka tiga bulan belakangan, dan sejak saat itu banyak para istri yang jadi malas untuk memasak. Selain rasanya yang memang enak, juga harganya murah. Jika diperhitungkan, biaya yang dikeluarkan tidak akan sebanyak seperti ketika masak sendiri di rumah. Sehingga mereka bisa menyisihkan uang belanja untuk keperluan lain.

“Kamu kenapa, Dek?” Akmal kembali bertanya seraya meraih keresek hitam yang lebih besar dan diyakini berisi es batu.

“Kamu, ya, Mas. Bikin malu aku saja. Tadi, Mbak Susi menagih hutangmu kepadaku. Makanya, kalau tidak punya uang itu jangan sok-sokan beli baju, ditahan nafsumu. Aku juga ‘kan yang susah, mana sudah dua minggu lagi!” protes Arum dengan tampang kesal.

Mendengar ucapan sang istri barusan, Akmal hanya tertegun seraya menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang terasa tercekat.

Iya, dua minggu lalu Akmal memang membeli baju di toko Mbak Susi. Sebenarnya, ia sudah membayar belanjaannya. Hanya saja, masih kurang seratus lima puluh ribu lagi. Selain lupa untuk membayar, Akmal juga memang tidak punya uang. Padahal ia bermaksud untuk meminta uang pada Arum. Akan tetapi, dirinya masih belum menemukan waktu yang tepat untuk membujuknya.

“Iya, Mas lupa!” Akmal menepuk keningnya sebagai penegasan dari ucapannya. Meskipun berbohong, setidaknya ia harus bisa meyakinkan kalau dirinya memang benar-benar lupa.

Arum mendelik, wajahnya berubah seram dan menakutkan. Wanita itu menarik napas panjang sebelum bersiap untuk melanjutkan omelannya.

“Di mana-mana itu suami yang bayar belanjaan istrinya, bukan istri yang bayar belanja suami. Aku malu, Mas. Untungnya Mbak Susi bisikin aku, kalau kedengaran yang lain, mau diletakkan di mana muka aku ini?”

Arum tak kuasa menahan berang. Kian hari kian banyak pula beban yang dititipkan Akmal ke pundaknya.

“Iya, maaf. Mas janji tidak akan mengulanginya lagi!” jawab Akmal lemah. Ia tertunduk merutuki nasib diri yang malang.

Ini pertama kalinya Arum memarahinya. Dan karena ini juga lah ia merasa tak dihormati.

“Maaf, maaf. Kamu itu cuma bikin susah aku saja, tahu, tidak! Aku tak keberatan kalau kamu itu masih menganggur, Mas. Tapi, aku keberatan dengan hutang-hutangmu yang sepertinya tidak ada habisnya!” cecar Arum lagi. Ia lega sebab telah menumpahkan unek-unek yang ia simpan lama.

Bukan bermaksud durhaka, namun Akmal sepertinya sudah terlanjur nyaman dengan segala hal yang ia terima dari Arum.

Akmal tertunduk lesu, ia meletakkan kembali teko itu ke atas meja. Melupakan tentang rasa dahaga yang hilang diganti dengan ucapan menohok dari sang istri.

Arum lantas masuk ke kamar, ia membanting pintu dengan keras dan menangkupkan wajahnya di atas bantal. Berharap jika bebannya yang berat akan berkurang seiring luruhnya air mata.

Seperti itulah Arum, ia tidak pernah mau membagikan kisah hidupnya pada orang lain. Sepedih apa pun takdirnya saat ini, semua hanya dipendamnya sendiri.

Akmal adalah lelaki pilihannya, sehingga ia wajib bertanggung jawab untuk menjaga nama baik suaminya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status