Arum Nurhaziza sebenarnya bukan lah istri yang pembangkang. Namun, Akmal selalu menyalahkan sang istri atas sikapnya yang selalu dianggap pelit karena tidak mau menuruti keinginannya. Arum pun tidak lagi bisa diatur. Wanita itu sering membantah bahkan menolak untuk menolong keluarga Akmal yang kesusahan. Padahal Arum sendiri sudah memiliki penghasilan lebih setelah dirinya mulai terjun dalam dunia kepenulisan. Posisi Akmal semakin tersudut apalagi sekarang ia hanya lah seorang pengangguran dan terpaksa menggantungkan hidup pada istrinya. Apalagi setelah tidak bekerja, Akmal malah mewariskan banyak hutang pada Arum dan membuat wanita itu bekerja lebih keras. Rasa lelah dan kecewa yang mendera, membuat Arum menjadi pribadi yang sedikit berbeda. Sehingga riak-riak kecil kehidupan yang dulunya diabaikan berubah menjadi gelombang besar yang menghantam keduanya. Lalu, bagaimana nasib pernikahan keduanya? Mampukah Arum bertahan dalam pernikahan yang mulai tidak sehat itu?
View More“Dek, mereka mau pinjam, nanti juga dibalikkan, kok. Kamu kok pelit banget, sih, sekarang?” ucap Akmal mulai kehilangan kendali melihat Arum, istrinya. Sementara Arum masih santai memasukkan suapan demi suapan rujak mangga yang dibuat oleh Mbak Rima, kakak iparnya.
Arum terus saja menikmati rujak berbumbu pedas itu tanpa memedulikan ucapan memelas sang suami. Ia bahkan belum ada meminum seteguk air pun dari gelas yang berisi air putih yang sudah disediakan Akmal.
“Dek, kamu dengar, tidak, sih?” Suara Akmal mulai naik satu oktaf. Karena itu, Arum memandangnya sekilas, kemudian melanjutkan kegiatannya menggigit mangga muda itu satu persatu. Akmal menelan ludah, membayangkan betapa kecutnya buah yang berwarna putih kehijauan itu.
Akmal merasa kesal, karena Ibu dan kakaknya sudah menunggu di dapur sejak tadi. Mereka terus saja mendesak Akmal, agar Arum mau meminjamkan uang sebesar tiga juta untuk membayar hutang bank mertuanya yang sebentar lagi akan jatuh masa tempo.
Meminjam, Akmal sudah berulang kali menegaskan pada Arum bahwa mereka hanya meminjam, dan akan dikembalikan jika Andi Nugroho—suami Rima sudah menerima gaji dari bekerja di pabrik sarung tangan.
Akan tetapi, Arum sepertinya tidak berniat sedikit pun untuk mengabulkan permintaan suaminya. Padahal yang Akmal tahu, Arum baru saja menerima uang sebesar sepuluh juta yang kemarin masuk ke rekeningnya sebagai seorang penulis di aplikasi berbayar. Ini bulan ketiga bagi Arum menerima honornya sebagai penulis dan bulan ini pula lah penghasilan terbesar yang ia dapatkan.
Akmal memang sudah hampir setengah tahun menganggur, karena kantor tempat ia bekerja melakukan pengurangan karyawan besar-besaran. Padahal, Akmal baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dengan maksud sebagai modal agar segara menduduki jabatan yang lebih tinggi di kantor. Meskipun pada akhirnya, ia harus berhutang ke sana kemari.
“Aku tidak punya uang sebanyak itu, Mas. Ingat, uangku habis hanya untuk membayarkan hutangmu yang banyak itu. Kalau memang mereka butuh uang, aku akan berikan lima ratus ribu, dan uang itu tak perlu dikembalikan!” tuturnya tenang, barulah Arum mau meneguk habis air yang sedari tadi belum pernah disentuhnya.
Akmal mengusap wajahnya kasar. Ia mengaku, jika saat ini ia memang sedang terlilit banyak hutang, bukan hanya pada satu orang, tapi sampai lima sekaligus. Parahnya, tiga di antaranya adalah para rentenir. Berhubung Akmal sendiri sedang menganggur, maka Arum lah yang akhirnya menggantikan kewajiban itu. Arum harus membayar bunga setiap bulannya, sebelum bisa mengembalikan uang pokoknya.
Selain untuk biaya kuliah, Akmal juga meminjam karena waktu itu ingin membeli sebuah mobil dan sepeda motor baru. Meskipun Arum bersikeras agar Akmal tak perlu membelinya. Akan tetapi, Akmal merasa malu pada rekan-rekannya yang datang ke kantor dengan menaiki kendaraan beroda empat. Sedangkan dirinya hanya mengendarai sepeda motor keluaran lama. Meski pada akhirnya setelah menganggur, keduanya harus ditarik kembali oleh showroom, karena Akmal tidak sanggup lagi membayar cicilan yang mencapai sepertiga dari gajinya setiap bulan, ketika bekerja dulu.
“Jangan bohong, Arum! Bulan ini kamu baru saja menerima honor sepuluh juta. Aku tahu itu, kalau untuk bayar hutang saja, pasti masih ada sisanya!” ucap Akmal geram.
“Mas, hutang kamu itu terlalu banyak. Enam juta sudah kubayarkan untung mencicil hutangmu. Satu juta kuberikan pada Ibu untuk membeli obat dan membayar uang sekolah Kiki. Tersisa tiga juta untuk ditabung dan makan sehari-hari,” tuturnya dengan wajah kesal. Ia menyingkirkan piring berisi rujak itu, bukan karena kenyang, tetapi sudah kehilangan selera.
“Berikan saja dua juta, ‘kan masih ada sisanya!” ucap Akmal kekeh.
“Enggak!”
“Arum, kamu tidak bisa, ya, menolong keluarga aku, sekali ini saja, mereka pinjam, bukan minta begitu saja!” Akmal sudah mulai hilang kesabaran, ia emosi melihat istrinya yang kini sangat perhitungan dan pelit pada dirinya. Tapi tidak pada keluarganya sendiri, ia begitu royal mengeluarkan uang untuk Ibu dan adiknya. Bahkan di depan Akmal, tanpa rasa segan sedikit pun.
Tiba-tiba Bu Rahma dan Rima datang dari arah dapur. Dengan setengah berlari, keduanya menghampiri pasangan suami istri yang sedang duduk di ruang tamu rumah itu.
“Heh, Arum. Songong banget kamu, ya! Betul-betul tidak tahu terima kasih. Aku sudah capek buatkan rujak mangga untuk kamu supaya anak di dalam perutmu itu tidak ngences, tapi kamu, kok, pelitnya kebangetan. Tidak mau meminjamkan uang sama kami,” cerocos Rima berang seraya menunjuk ke arah perut Arum yang masih rata.
Arum memang sedang mengandung di tahun kedua pernikahan, usia kehamilannya baru menginjak empat minggu. Itulah kenapa tadi pagi, Arum meminta Akmal untuk membelikan rujak mangga. Akan tetapi, Akmal ingat kalau rujak buatan Rima itu sangat enak, makanya ia minta agar Rima membuatkan rujak untuk Arum, sekaligus sebagai pemancing agar Arum mau meminjamkan uang pada mereka.
“Maaf, Mbak. Aku tidak minta dibuatkan rujak sama Mbak Rima. Aku pikir, rujak ini memang dibelikan Mas Akmal dari penjual di seberang sana,” ujar Arum dengan raut muka yang terkejut. Akmal memang tidak bilang kalau sebenarnya rujak mangga yang tengah dinikmatinya adalah buatan Rima.
Jika Arum mengetahuinya, ia pun akan lebih memilih untuk menahan seleranya ketimbang harus mencicipi makanan yang ujungnya akan ada embel-embel seperti ini. Rima tidak pernah tulus padanya, apa pun yang diberikan wanita itu pada Arum, selalu diiringi dengan maksud yang lain setelahnya.
Akan tetapi, ia sudah terlanjur menghabiskan rujak buatan Rima setengahnya. Ia tidak mungkin memuntahkan lagi makanan yang sudah masuk ke dalam perutnya.
“Jadi, kamu benaran tidak mau meminjamkan kami uang?” tanya Rima. Matanya mendelik pada Arum yang rupanya menatap tajam pada sang suami. Wanita itu berkacak pinggang untuk menunjukkan apa posisinya.
“Enggak, Mbak. Uangku sudah habis membayar hutang Mas Akmal,” jawab Arum pelan, ia bicara sambil terus menatap Akmal yang kini salah tingkah.
Arum kecewa pada sang suami, selain karena rujak yang rupanya adalah buatan Rima, juga karena sikap Akmal yang rupanya tidak henti menyusahkannya. Bukan hanya menanggung hutang sang suami, kini ia malah dibebankan dengan hutang mertua dan iparnya. Walaupun mereka merayu dengan dalih meminjam, tapi tetap saja Arum merasa keberatan. Sebab, ia tahu persis bagaimana sikap keluarga suaminya ini.
“Arum, kata Akmal tadi ‘kan masih ada sisanya. Itu saja yang kamu pinjamkan pada Ibu, tidak apa-apa, kok. Setelah ini, kalian tidak usah memikirkan biaya untuk makan, biar Ibu yang bakalan masak untuk kalian setiap hari,” rayu Bu Rahma memelas. Wanita yang hobinya menggunjing tentang menantunya itu berbicara lembut dan pelan. Berharap agar istri dari anak sulungnya iba dan mau menuruti keinginannya.
“Hmm, maaf, Bu. Aku tidak bisa. Tapi kalau ibu mau, aku akan berikan lima ratus ribu untuk ibu,” jawab Arum masih teguh dengan pendiriannya. Meskipun kesal, namun Arum tetap bersikap baik pada sang mertua.
“Sini rujaknya, aku menyesal buat rujak ini untuk kamu,” tutur Rima kesal, tangannya menarik kembali piring berisi sisa rujak yang sudah berkurang separuhnya.
“Ini Mbak, aku bayar saja rujaknya. Cukup?”
Arum mengambil selembar uang berwarna biru dari dompetnya. Meletakkannya di atas meja bulat di depannya.
“Kurang ajar kamu, ya! Selain pelit kamu juga sombong, baru juga punya uang jutaan, gayanya sudah selangit!” teriak Rima, sepertinya emosi wanita itu sudah naik sampai ke ubun-ubun.
Ia tidak sanggup lagi ber-akting lemah lembut di hadapan Arum, setelah adik iparnya itu menolak keinginan mereka.
“Aku tidak pelit, Mbak. Aku hanya lebih mementingkan kkebutuha. Lagi pula, hutang itu ‘kan jadi tanggung jawab Mbak, bukan ibu apalagi aku.”
Arum masih terus beralasan, membuat Akmal semakin berpikir macam-macam tentang istrinya.
Memang pelit sekali Arum ini. Mentang-mentang karirnya sedang berada di atas, Arum jadi sangat perhitungan. Padahal sepuluh hari lagi dia juga akan menerima honor dari menulis di aplikasi lain. Gerutu Akmal dalam hati.
Arum memang baru saja mengembangkan bakatnya di dunia kepenulisan. Ia biasa menerbitkan karya-karyanya di dua aplikasi kepenulisan yang berbeda.
“Halah, dasar! Bilang saja kalau kamu itu memang pelit, aku juga bisa lebih pelit dari kamu. Ingat, ya, aku tidak akan pernah lagi memberi makananku untuk kamu!” ucap Rima mengancam. Matanya mendelik dan memindai pada Arum yang masih betah duduk di kursi tamu. Ia mulai menampakkan lagi kebenciannya pada sang adik ipar.
Rima memang jago dalam hal masak memasak. Makanannya terkenal lezat dan menggoyang lidah. Ia juga sering memberikan makanannya pada orang lain. Termasuk Akmal dan Arum. Arum sendiri memang mengakui kelezatan masakan kakak iparnya.
“Sudahlah, Rim. Mungkin Arum memang masih bingung untuk mengatur keuangannya. Tidak apa-apa, Rum. Kamu belanjakan saja dulu keperluan kamu. Kalau ada sisanya, barulah kamu pinjamkan pada ibu. Tidak apa-apa, kok!”
Bu Rahma berbicara dengan bijak, bermaksud untuk melerai perselisihan antara anak dan menantunya.
Sebenarnya, ia pun tidak kalah geramnya dengan Rima. Seperti seekor singa, ia ingin menelan Arum bulat-bulat saat itu juga. Akan tetapi, ia terpaksa menahan perasaan itu demi mendapatkan bantuan dari menantu yang memang sedang banyak uang itu.
Arum hanya tersenyum simpul, seakan hatinya pun membenarkan ucapan sang mertua. Mungkin lebih baik jika ia membelanjakan dulu uangnya untuk keperluan dapur, barulah sisanya dipinjamkan pada sang mertua.
Akmal sangat berharap jika istrinya mau berubah pikiran, agar tanah dan rumah ibunya tidak ditarik oleh pihak bank, karena sudah dijaminkan ole Rima setahun yang lalu.
“Ya sudah, Arum pamit pulang, ya, Bu.”
Arum lantas undur diri, ia tidak ingin berlama-lama berada di rumah yang sempat menjadi neraka baginya. Meskipun setelah ini, Akmal akan memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan juga pikiran yang menganggap dirinya tak pernah betah berkunjung lama ke rumah mertua.
“Iya, hati-hati, ya. Ayo Akmal antarkan istrimu, pelan-pelan saja naik motornya. Ingat, dia sedang hamil,” titah Bu Rahma sembari mengantarkan keduanya sampai ke depan pintu. Sementara Rima masih mematung di tempat semula sambil memegangi piring berisi rujak di tangannya.
Wanita itu merasa hatinya sangat panas. Ia tidak terima dengan penolakan yang dilontarkan Arum barusan.
"Alhamdulillah, ya, Mas. Akhirnya kita bisa menginjakkan kaki di kampung ini lagi. Aku rindu sekali dengan suasana kampung ini," ujar Arum saat ia dan suaminya baru saja sampai ke rumah lamanya, setelah setahun meninggalkan desa ini dan hidup di kota.Sudah tiga hari mereka tiba tapi selama ini hanya tinggal di rumah Bu Hayati--ibunya. Arum ingin melepaskan rindu di kampung kelahirannya sekaligus mengenalkan putri semata wayangnya yang baru berusia lima bulan pada kerabat dan tetangganya di kampung.Pasangan itu sangat berbahagia karena anak yang dinantikan telah lahir dengan sehat dan selamat. Mereka memberinya nama Amara Shaza Qamira yang mempunyai arti anak perempuan baik hati yang memiliki kecantikan bagaikan bulan.Bayi dalam gendongan Arum itu sangat rupawan. Kulitnya putih bersih dengan mata yang bersinar terang. Hampir delapan puluh persen wajahnya mewarisi kecantikan Arum. Mereka berharap jika Amara tidak hanya memiliki wajah yang cantik, namun hati yang cantik pula."Iya, Ma
Akhir dari kisah"Siapa itu?" ujar Bu Rahma penasaran, keningnya mengkerut beberapa lipatan ketika sebuah sedan berwarna silver masuk ke halamannya. Baru saja tamu mereka pergi, kini mereka kedatangan tamu lagi."Ayah ...." teriak Rayen ketika bola mata bocah berusia enam tahun itu menangkap sosok ayahnya turun dari kendaraan roda empat tersebut. Ia lantas berlari menghambur ke pelukan sang ayah. Menumpahkan segala rindu setelah perpisahan yang cukup lama.Cukup lama anak beranak itu berdiri di sana, di samping mobil yang dibeli Andi beberapa hari yang lalu."Andi!" gumam Bu Rahma. Ada binar harapan ketika sang menantu itu datang ke sini. Apalagi mengendarai sebuah mobil, meski hanya keluaran lama. Barangkali ia ingin kembali pada Rima, harapnya.Rima tak kalah bahagianya, setelah sekian lama, akhirnya ia bisa berjumpa kembali dengan Andi--lelaki yang dikasihinya.Hingga binar-binar harapan itu memudar saat dilihatnya Andi tak datang sendiri, bukan dengan Lila melainkan seorang wanita
Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit. Rima sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Tak banyak yang berubah, keadaanya masih tetap sama. Sakit dan cacat. Tak bisa bekerja mau pun bicara. Hanya duduk sepanjang hari di kursi roda. "Rayen, tolong tambahkan kayu bakar ke tungku, ya!" ujar Bu Rahma, tangannya sedang sibuk meracik sayuran sehingga terpaksa meminta bantuan pada cucunya yang masih kanak-kanak tersebut."Iya, Nek." Bocah berusia enam tahun itu mengentikan sejenak aktivitasnya, yaitu membersihkan air liur Rima yang sering menetes membasahi bahu kanannya.Dengan cekatan, ia mengambil beberapa bilah kayu yang telah disusun neneknya di ujung dapur yang berdinding anyaman bambu tersebut. Lalu memasukkannya ke dalam tungku hingga api yang tadi sempat hendak padam kembali marak."Bunda haus?" ucap bocah itu setelah selesai melaksanakan perintah neneknya. Ia duduk menghadap ibunya yang tersenyum haru. Rima mengangguk cepat, kepalanya bergoyang- goyang ke bawah. Tak lama, Rayen
Karena Bu Rahma sudah tiba di rumah sakit, maka Arum dan Zulham pun kembali ke rumah. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana apalagi Arum tengah hamil muda. Ia butuh istirahat yang cukup demi menjaga kesehatan dirinya dan calon anaknya.Zulham berpesan agar keluarga itu tak perlu memikirkan biaya. Mereka hanya harus fokus pada kesehatan Rima, sementara untuk biaya makan selama di rumah sakit, Bu Salamah berinisiatif agar meminta sumbangan pada semua warga desanya."Sekali lagi terima kasih, ya, Rum, Pak Zulham. Kami sangat berhutang budi pada kalian. Mohon doanya agar Rima segera sadar," ucap Bu Rahma saat mengantar kepulangan Arum dan Zulham menuju parkiran mobil.Rima sudah keluar dari ruang operasi. Namun, keadaannya masih koma. "Ya, Bu. Lusa kami akan berkunjung ke sini. Semoga anak Ibu segera sembuh," sahut Zulham tersenyum ramah. Ia kemudian menggandeng tangan istrinya menuju mobil mewah yang terparkir di sudut rumah sakit. Bu Rahma masih terpaku di tempatnya. Hatinya retak me
Itulah sebabnya, ia meminta Zulham membawa Arum ke rumahnya karena keadaan tidak memungkinkan ia untuk ke sana. Bu Rahma ingin memohon ampun pada Arum atas perbuatannya yang lalu, barangkali setelah mendapat maaf dari Arum, Allah tak mengirimkan musibah yang lain lagi.Zulham sengaja merahasiakan keberadaan Akmal pada keluarganya selama ini atas permintaan ustadz yang menangani Akmal. Karena sebagian besar jin yang mengganggu mental Akmal berasal dari keluarganya sendiri. Ia takut jika keluarganya tahu, hal itu akan menghambat jalan kesembuhan bagi Akmal."Siapa yang kecelakaan, Sayang? Apa benar temanmu?" tanya Zulham setelah memarkirkan mobilnya secara sembarangan di halaman. Ia buru-buru turun dan menghampiri Arum setelah wanita itu mencium takzim tangan suaminya yang sudah pergi sejak semalam.Zulham berangkat semalam sore setelah dikabarkan pihak pesantren. Ustadz yang menangani Akmal sudah memperbolehkan lelaki itu pulang, karena Akmal dirasa sudah sehat dan bisa kembali bersosi
"Pencuri ... kejar dia!" teriak Bu Wulan menunjuk pada Rima yang membawa kabur gelang seberat lima gram tersebut."Ayo kejar sampai dapat ...." sahut yang lain begitu bersemangat. Para ibu-ibu yang kebanyakan berusia empat puluhan itu tampak menghambur ke jalanan desa yang beraspal untuk mengejar Rima."Ibu ... Ibu ... biarin saja. Gak perlu dikejar," teriak Arum pada barisan emak-emak yang berlari bak anak SD yang kegirangan ketika lonceng berbunyi. Ada yang mengangkat gamisnya ke atas, menyingsing lengan bajunya, hingga melepas wedges agar dapat menangkap Rima yang jaraknya sepuluh meter di depan mereka. Wanita itu lari tunggang langgang menyadari posisinya sedang tidak aman. Ia tidak menduga jika Ibu- ibu pengajian itu sangat kompak mengejarnya, persis seperti memburu minyak goreng murah.Sebenarnya Arum tidak begitu mempermasalahkan gelang itu. Ia lebih khawatir pada para wanita yang berlari kencang di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tidak ingin melihat mereka celaka hanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments