Share

Istriku Berubah Pelit
Istriku Berubah Pelit
Author: Arumi Nazra

Bab 1 Pinjam Uang

“Dek, mereka mau pinjam, nanti juga dibalikkan, kok. Kamu kok pelit banget, sih, sekarang?” ucap Akmal mulai kehilangan kendali melihat Arum, istrinya. Sementara Arum masih santai memasukkan suapan demi suapan rujak mangga yang dibuat oleh Mbak Rima, kakak iparnya.

Arum terus saja menikmati rujak berbumbu pedas itu tanpa memedulikan ucapan memelas sang suami. Ia bahkan belum ada meminum seteguk air pun dari gelas yang berisi air putih yang sudah disediakan Akmal.

“Dek, kamu dengar, tidak, sih?” Suara Akmal mulai naik satu oktaf. Karena itu, Arum memandangnya sekilas, kemudian melanjutkan kegiatannya menggigit mangga muda itu satu persatu. Akmal menelan ludah, membayangkan betapa kecutnya buah yang berwarna putih kehijauan itu.

Akmal merasa kesal, karena Ibu dan kakaknya sudah menunggu di dapur sejak tadi. Mereka terus saja mendesak Akmal, agar Arum mau meminjamkan uang sebesar tiga juta untuk membayar hutang bank mertuanya yang sebentar lagi akan jatuh masa tempo.

Meminjam, Akmal sudah berulang kali menegaskan pada Arum bahwa mereka hanya meminjam, dan akan dikembalikan jika Andi Nugroho—suami Rima sudah menerima gaji dari bekerja di pabrik sarung tangan.

Akan tetapi, Arum sepertinya tidak berniat sedikit pun untuk mengabulkan permintaan suaminya. Padahal yang Akmal tahu, Arum baru saja menerima uang sebesar sepuluh juta yang kemarin masuk ke rekeningnya sebagai seorang penulis di aplikasi berbayar. Ini bulan ketiga bagi Arum menerima honornya sebagai penulis dan bulan ini pula lah penghasilan terbesar yang ia dapatkan.

Akmal memang sudah hampir setengah tahun menganggur, karena kantor tempat ia bekerja melakukan pengurangan karyawan besar-besaran. Padahal, Akmal baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dengan maksud sebagai modal agar segara menduduki jabatan yang lebih tinggi di kantor. Meskipun pada akhirnya, ia harus berhutang ke sana kemari.

“Aku tidak punya uang sebanyak itu, Mas. Ingat, uangku habis hanya untuk membayarkan hutangmu yang banyak itu. Kalau memang mereka butuh uang, aku akan berikan lima ratus ribu, dan uang itu tak perlu dikembalikan!” tuturnya tenang, barulah Arum mau meneguk habis air yang sedari tadi belum pernah disentuhnya.

Akmal mengusap wajahnya kasar. Ia mengaku, jika saat ini ia memang sedang terlilit banyak hutang, bukan hanya pada satu orang, tapi sampai lima sekaligus. Parahnya, tiga di antaranya adalah para rentenir. Berhubung Akmal sendiri sedang menganggur, maka Arum lah yang akhirnya menggantikan kewajiban itu. Arum harus membayar bunga setiap bulannya, sebelum bisa mengembalikan uang pokoknya.

Selain untuk biaya kuliah, Akmal juga meminjam karena waktu itu ingin membeli sebuah mobil dan sepeda motor baru. Meskipun Arum bersikeras agar Akmal tak perlu membelinya. Akan tetapi, Akmal merasa malu pada rekan-rekannya yang datang ke kantor dengan menaiki kendaraan beroda empat. Sedangkan dirinya hanya mengendarai sepeda motor keluaran lama. Meski pada akhirnya setelah menganggur, keduanya harus ditarik kembali oleh showroom, karena Akmal tidak sanggup lagi membayar cicilan yang mencapai sepertiga dari gajinya setiap bulan, ketika bekerja dulu.

“Jangan bohong, Arum! Bulan ini kamu baru saja menerima honor sepuluh juta. Aku tahu itu, kalau untuk bayar hutang saja, pasti masih ada sisanya!” ucap Akmal geram.

“Mas, hutang kamu itu terlalu banyak. Enam juta sudah kubayarkan untung mencicil hutangmu. Satu juta kuberikan pada Ibu untuk membeli obat dan membayar uang sekolah Kiki. Tersisa tiga juta untuk ditabung dan makan sehari-hari,” tuturnya dengan wajah kesal. Ia menyingkirkan piring berisi rujak itu, bukan karena kenyang, tetapi sudah kehilangan selera.

“Berikan saja dua juta, ‘kan masih ada sisanya!” ucap Akmal kekeh.

“Enggak!”

“Arum, kamu tidak bisa, ya, menolong keluarga aku, sekali ini saja, mereka pinjam, bukan minta begitu saja!” Akmal sudah mulai hilang kesabaran, ia emosi melihat istrinya yang kini sangat perhitungan dan pelit pada dirinya. Tapi tidak pada keluarganya sendiri, ia begitu royal mengeluarkan uang untuk Ibu dan adiknya. Bahkan di depan Akmal, tanpa rasa segan sedikit pun.

Tiba-tiba Bu Rahma dan Rima datang dari arah dapur. Dengan setengah berlari, keduanya menghampiri pasangan suami istri yang sedang duduk di ruang tamu rumah itu.

“Heh, Arum. Songong banget kamu, ya! Betul-betul tidak tahu terima kasih. Aku sudah capek buatkan rujak mangga untuk kamu supaya anak di dalam perutmu itu tidak ngences, tapi kamu, kok, pelitnya kebangetan. Tidak mau meminjamkan uang sama kami,” cerocos Rima berang seraya menunjuk ke arah perut Arum yang masih rata.

Arum memang sedang mengandung di tahun kedua pernikahan, usia kehamilannya baru menginjak empat minggu. Itulah kenapa tadi pagi, Arum meminta Akmal untuk membelikan rujak mangga. Akan tetapi, Akmal ingat kalau rujak buatan Rima itu sangat enak, makanya ia minta agar Rima membuatkan rujak untuk Arum, sekaligus sebagai pemancing agar Arum mau meminjamkan uang pada mereka.

“Maaf, Mbak. Aku tidak minta dibuatkan rujak sama Mbak Rima. Aku pikir, rujak ini memang dibelikan Mas Akmal dari penjual di seberang sana,” ujar Arum dengan raut muka yang terkejut. Akmal memang tidak bilang kalau sebenarnya rujak mangga yang tengah dinikmatinya adalah buatan Rima.

Jika Arum mengetahuinya, ia pun akan lebih memilih untuk menahan seleranya ketimbang harus mencicipi makanan yang ujungnya akan ada embel-embel seperti ini. Rima tidak pernah tulus padanya, apa pun yang diberikan wanita itu pada Arum, selalu diiringi dengan maksud yang lain setelahnya.

Akan tetapi, ia sudah terlanjur menghabiskan rujak buatan Rima setengahnya. Ia tidak mungkin memuntahkan lagi makanan yang sudah masuk ke dalam perutnya.

“Jadi, kamu benaran tidak mau meminjamkan kami uang?” tanya Rima. Matanya mendelik pada Arum yang rupanya menatap tajam pada sang suami. Wanita itu berkacak pinggang untuk menunjukkan apa posisinya.

“Enggak, Mbak. Uangku sudah habis membayar hutang Mas Akmal,” jawab Arum pelan, ia bicara sambil terus menatap Akmal yang kini salah tingkah.

Arum kecewa pada sang suami, selain karena rujak yang rupanya adalah buatan Rima, juga karena sikap Akmal yang rupanya tidak henti menyusahkannya. Bukan hanya menanggung hutang sang suami, kini ia malah dibebankan dengan hutang mertua dan iparnya. Walaupun mereka merayu dengan dalih meminjam, tapi tetap saja Arum merasa keberatan. Sebab, ia tahu persis bagaimana sikap keluarga suaminya ini.

“Arum, kata Akmal tadi ‘kan masih ada sisanya. Itu saja yang kamu pinjamkan pada Ibu, tidak apa-apa, kok. Setelah ini, kalian tidak usah memikirkan biaya untuk makan, biar Ibu yang bakalan masak untuk kalian setiap hari,” rayu Bu Rahma memelas. Wanita yang hobinya menggunjing tentang menantunya itu berbicara lembut dan pelan. Berharap agar istri dari anak sulungnya iba dan mau menuruti keinginannya.

“Hmm, maaf, Bu. Aku tidak bisa. Tapi kalau ibu mau, aku akan berikan lima ratus ribu untuk ibu,” jawab Arum masih teguh dengan pendiriannya. Meskipun kesal, namun Arum tetap bersikap baik pada sang mertua.

“Sini rujaknya, aku menyesal buat rujak ini untuk kamu,” tutur Rima kesal, tangannya menarik kembali piring berisi sisa rujak yang sudah berkurang separuhnya.

“Ini Mbak, aku bayar saja rujaknya. Cukup?”

Arum mengambil selembar uang berwarna biru dari dompetnya. Meletakkannya di atas meja bulat di depannya.

“Kurang ajar kamu, ya! Selain pelit kamu juga sombong, baru juga punya uang jutaan, gayanya sudah selangit!” teriak Rima, sepertinya emosi wanita itu sudah naik sampai ke ubun-ubun.

Ia tidak sanggup lagi ber-akting lemah lembut di hadapan Arum, setelah adik iparnya itu menolak keinginan mereka.

“Aku tidak pelit, Mbak. Aku hanya lebih mementingkan kkebutuha. Lagi pula, hutang itu ‘kan jadi tanggung jawab Mbak, bukan ibu apalagi aku.”

Arum masih terus beralasan, membuat Akmal semakin berpikir macam-macam tentang istrinya.

Memang pelit sekali Arum ini. Mentang-mentang karirnya sedang berada di atas, Arum jadi sangat perhitungan. Padahal sepuluh hari lagi dia juga akan menerima honor dari menulis di aplikasi lain. Gerutu Akmal dalam hati.

Arum memang baru saja mengembangkan bakatnya di dunia kepenulisan. Ia biasa menerbitkan karya-karyanya di dua aplikasi kepenulisan yang berbeda.

“Halah, dasar! Bilang saja kalau kamu itu memang pelit, aku juga bisa lebih pelit dari kamu. Ingat, ya, aku tidak akan pernah lagi memberi makananku untuk kamu!” ucap Rima mengancam. Matanya mendelik dan memindai pada Arum yang masih betah duduk di kursi tamu. Ia mulai menampakkan lagi kebenciannya pada sang adik ipar.

Rima memang jago dalam hal masak memasak. Makanannya terkenal lezat dan menggoyang lidah. Ia juga sering memberikan makanannya pada orang lain. Termasuk Akmal dan Arum. Arum sendiri memang mengakui kelezatan masakan kakak iparnya.

“Sudahlah, Rim. Mungkin Arum memang masih bingung untuk mengatur keuangannya. Tidak apa-apa, Rum. Kamu belanjakan saja dulu keperluan kamu. Kalau ada sisanya, barulah kamu pinjamkan pada ibu. Tidak apa-apa, kok!”

Bu Rahma berbicara dengan bijak, bermaksud untuk melerai perselisihan antara anak dan menantunya.

Sebenarnya, ia pun tidak kalah geramnya dengan Rima. Seperti seekor singa, ia ingin menelan Arum bulat-bulat saat itu juga. Akan tetapi, ia terpaksa menahan perasaan itu demi mendapatkan bantuan dari menantu yang memang sedang banyak uang itu.

Arum hanya tersenyum simpul, seakan hatinya pun membenarkan ucapan sang mertua. Mungkin lebih baik jika ia membelanjakan dulu uangnya untuk keperluan dapur, barulah sisanya dipinjamkan pada sang mertua.

Akmal sangat berharap jika istrinya mau berubah pikiran, agar tanah dan rumah ibunya tidak ditarik oleh pihak bank, karena sudah dijaminkan ole Rima setahun yang lalu.

“Ya sudah, Arum pamit pulang, ya, Bu.”

Arum lantas undur diri, ia tidak ingin berlama-lama berada di rumah yang sempat menjadi neraka baginya. Meskipun setelah ini, Akmal akan memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan juga pikiran yang menganggap dirinya tak pernah betah berkunjung lama ke rumah mertua.

“Iya, hati-hati, ya. Ayo Akmal antarkan istrimu, pelan-pelan saja naik motornya. Ingat, dia sedang hamil,” titah Bu Rahma sembari mengantarkan keduanya sampai ke depan pintu. Sementara Rima masih mematung di tempat semula sambil memegangi piring berisi rujak di tangannya.

Wanita itu merasa hatinya sangat panas. Ia tidak terima dengan penolakan yang dilontarkan Arum barusan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status