Arum, Arum, baru juga kali ini aku menganggur. Kamu sudah sangat keberatan mengeluarkan uang untukku. Pelit banget, sih kamu! Ujar Akmal pelan setelah sang istri tak lagi terlihat dari pandangan mata.
Tanpa disangka, siang itu Bu Rahma dan Rima datang ke rumah kontrakan Akmal dengan mengendarai motor matic keluaran terbaru milik Rima. Motor berwarna merah seharga puluhan juta itu masih terlihat sangat mengkilap, bagian platnya juga masih kosong.
Kendaraan yang dibeli secara kredit itu begitu berkilau di bawah terpaan teriknya matahari. Membuat mata siapa pun yang memandang ikut terpukau, terlebih pengendaranya juga berpakaian necis. Rima membalut tubuhnya dengan kaos ketat yang menampilkan lekuk tubuh, sendal wedges berwarna merah yang menghiasi kakinya, juga topi dan kacamata hitam sebagai pelengkap penampilannya. Sedangkan Bu Rahma mengenakan setelan longgar dan jilbab berpayet, pun dengan kaca mata hitamnya.
Kedua wanita dengan setelan tinggi itu rela diterpa panas matahari yang begitu terik. Semua demi satu keinginan, yaitu mendapat uang pinjaman dari Arum.
“Masuk, Bu, Mbak ...” titah Akmal begitu mereka memarkirkan motornya di bawah pohon jambu air. Akmal tidak ingin bertanya maksud kedatangan mereka yang tiba-tiba. Karena ia pun yakin pasti masih menyangkut tentang uang. Kalau tidak, mereka tidak mungkin mau berkunjung ke rumah ini. Selain jalannya yang rusak, juga karena jarak tempuh yang terlalu jauh.
Akmal lah satu-satunya anak Bu Rahma yang tinggal di pedalaman kampung, kakak dan abangnya semua hidup di pinggir kota.
“Di mana Arum, Mal?” bu Rahma celingukan setelah membuka kacamata hitamnya. Ia meletakkan kaca mata itu ke dalam tas dan memilih menjatuhkan bobot pada kursi yang ada di teras rumah, selain karena gerah, ia juga ingin menikmati udara di luar yang terasa sejuk akibat banyaknya pepohonan di halaman.
“Ada, Bu, di kamar. Sebentar ya, aku panggilkan,” ucap Akmal bersiap melangkahkan kaki masuk ke kamar.
Saat ia sudah berada di depan pintu, perasaannya mulai ragu. Pikirannya teringat akan kejadian tadi. Ia beranggapan jika Arum pasti masih marah padanya.
Jika dalam keadaan seperti ini Akmal malah mengabarkan kedatangan ibunya untuk meminjam uang. Arum bisa mengamuk dan urusannya menjadi lebih panjang.
“Loh, kok masih berdiri di situ? Cepat panggil istrimu!” bentak Rima saat kepala wanita itu menyembul dari balik pintu utama. Ia heran sebab Akmal tak juga keluar bersama Arum.
Nyali Akmal selalu menciut jika menghadapi Rima. Dan anehnya, ia tak pernah sekali pun menolak perintah wanita bermulut judes itu. Baginya, titah Rima adalah suatu kewajiban, mau tidak mau ia harus menurut dan melaksanakannya.
Walaupun mulut Rima itu selalu pedas, tapi ia tidak pernah pelit untuk berbagi makanan. Buktinya, di tangannya sudah ada satu rantang makanan yang pasti akan diberikan pada Akmal. Padahal semalam, ia bilang tidak akan lagi memberi makanan karena marah pada Arum. Tapi, ia tetap saja membawa makanan untuk mereka.
Akmal memberanikan diri untuk bersuara. Ia memanggil sang istri dengan lembut dan mengetuk pintu itu pelan meski dirinya enggan.
Kamar itu sudah dikunci Arum dari dalam. Sebab ia ingin konsentrasi menyelesaikan salah satu cerbungnya.
“Dek, ada Ibu sama Mbak Rima itu, mereka bawakan makanan buat kamu.”
Akmal mengucapkan kalimat itu dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Arum malah semakin marah. Semenjak tidak bekerja, ia seperti telah kehilangan kegarangannya. Akmal selalu takut jika Arum marah dan pada akhirnya, ia lebih memilih diam jika sang istri sedang mengomel.
“Dek, keluar Dek!”
“Hmmmm!” Hanya suara itu yang terdengar dari balik pintu. Tak lama, pintu itu pun terbuka, Arum keluar dengan wajah yang masih ditekuk.
“Senyum, dong, nanti cantiknya hilang, loh!” bujuk Akmal. Akan sangat tidak etis jika Arum memamerkan wajah seperti itu kepada mertua dan kakak iparnya.
Arum memutar bola mata jengah, ia terus memelotot pada Akmal sepanjang jalan menuju keluar.
“Arum, ini ibu bawakan banyak makanan untuk kalian, kamu tidak perlu repot-repot masak hari ini. Ayo, dicoba. Rasanya enak, loh!”
Bu Rahma menyerahkan rantang kaleng berukuran empat tingkat itu kepada Arum. Ia berharap agar sang menantu telah memberi keputusan yang akan menyenangkan hatinya.
“Tapi, Arum sudah ada lauk, Bu. Tadi beli sup dan perkedel,” tolak Arum sopan. Ia tahu jika makanan itu adalah masakan Rima.
“Jangan, seharusnya kamu simpan saja uangmu. Mulai besok, biar Ibu saja yang menyediakan makan untuk kalian,” pinta Bu Rahma, mengutarakan alasan yang dikiranya dapat meluluhkan hati Arum yang keras.
“Memang kenapa, Bu? Arum sudah biasa beli lauk di warung. Lebih praktis dan hemat,” ucap Arum sembari melipat keningnya.
“Begini loh, Rum. Mbak ‘kan sudah diskusi sama Ibu. Kamu bilang ‘kan uangmu itu tinggal untuk kebutuhan sehari-hari. Jadi, lebih baik uang itu kamu berikan saja pada kami, sebagai jaminannya, Mbak lah yang akan masak buat kalian setiap hari, sampai uang itu kami kembalikan,” ucap Rima cengengesan tanpa malu dan juga segan. Matanya bergantian melirik ke arah Arum dan Akmal.
Arum hanya diam, tampaknya ia sedang berpikir. Tangannya memijit pelan pelipisnya.
“Ayolah, Arum, turuti saja!” batin Akmal penuh harap.
Bu Rahma dan Rima sama-sama tegang, harap cemas menunggu jawaban dari orang yang paling diharapkan. Akmal pun tak kalah tegangnya. Menunggu jawaban Arum sama cemasnya seperti hendak mengucap Ijab Qabul di hadapan ayah mertuanya dua tahun lalu.
“Paket!”
Tiba-tiba seorang lelaki berpakaian seragam bertuliskan nama ekspedisi terkenal, menghentikan laju motornya tepat di depan rumah ini. Sontak mereka semua mengalihkan pandang ke arahnya.
“Pak Akmal?” ucapnya sembari membaca sebuah tulisan yang tertera pada kemasan plastik berwarna hitam.
“Iya, saya.”
Mendengar namanya dipanggil, Akmal lantas beranjak dan mendekat pada pria itu. Ia lalu meraih bungkusan yang terasa berat dari tangan pria di hadapannya.
Ia kemudian mengucapkan kata terima kasih sebab sang kurir sudah rela berpanas-panasan demi mengantarkan pesanannya.
“COD, Pak. Bayar dulu,” tutur si kurir lagi, berhasil membuat jantung Akmal hampir lepas.
Iya, Akmal lupa. Paket ini dipesannya dengan sistim bayar di tempat atau istilah bekennya COD. Ia memesan dua hari yang lalu melalui aplikasi belanja berwarna orens.
Wajah Akmal menegang begitu melihat Arum melotot ke arahnya. Matanya bulat seperti hendak meloncat dari tempatnya.
Hening. Semua mendadak diam tak bersuara, kecuali suara ayam betina yang sepertinya baru saja bertelur.
“Berapa?” tanya Akmal setelah membalikkan badan ke arah kurir yang masih berdiri dekat motornya yang penuh barang.
“Dua ratus dua puluh ribu, Pak.”
Akmal terlihat menelan ludah, berharap dapat membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering.
Seolah paham akan tatapan sang suami, Arum kini mendengkus kesal, matanya semakin melotot ngeri. Walaupun tampak marah, ia kemudian mengambil dompetnya di kamar. Sepertinya ia malu pada si kurir paket karena sudah menunggu lama.
“Bu, jangan dulu, lah. Arum pasti lagi kesel itu,” bisik Akmal pada ibunya. Hari ini saja, Akmal sudah membuat Arum kesal sampai dua kali, ia tidak ingin ibunya pun ikut-ikutan membuat istrinya kesal. Bisa semakin panjang nanti urusannya.
“Jadi, kapan, Mal? Ibu takut kalau orang bank datang!” gumam Bu Rahma bingung. Ia tidak tahu harus meminjam ke mana lagi jika Arum tak juga ingin membantunya.
“Besok, Bu. Akmal akan rayu Arum, pasti dia mau, Bu. Akmal janji.”
Akmal memohon pada ibu dan kakaknya. Sementara si kurir, memandang mereka dengan tatapan heran.
“Ini, dua ratus dua puluh ribu. Terima kasih, ya, Bang!”
Arum keluar, lantas memberikan dua lembar uang berwarna merah dan selembar berwarna hijau kepada si kurir bertubuh cungkring. Suara Arum terdengar begitu lembut, lain halnya saat bicara pada Akmal. Dan hal itu membuat Akmal merasa cemburu.
Setelah selesai berurusan dengan kurir paket, ia pun kembali duduk bergabung bersama ketiga orang yang sedang menunggunya. Arum menatap datar ke arah Bu Rahma. Seolah menunjukkan bahwa beginilah putranya, selalu menyusahkan dirinya.
"Alhamdulillah, ya, Mas. Akhirnya kita bisa menginjakkan kaki di kampung ini lagi. Aku rindu sekali dengan suasana kampung ini," ujar Arum saat ia dan suaminya baru saja sampai ke rumah lamanya, setelah setahun meninggalkan desa ini dan hidup di kota.Sudah tiga hari mereka tiba tapi selama ini hanya tinggal di rumah Bu Hayati--ibunya. Arum ingin melepaskan rindu di kampung kelahirannya sekaligus mengenalkan putri semata wayangnya yang baru berusia lima bulan pada kerabat dan tetangganya di kampung.Pasangan itu sangat berbahagia karena anak yang dinantikan telah lahir dengan sehat dan selamat. Mereka memberinya nama Amara Shaza Qamira yang mempunyai arti anak perempuan baik hati yang memiliki kecantikan bagaikan bulan.Bayi dalam gendongan Arum itu sangat rupawan. Kulitnya putih bersih dengan mata yang bersinar terang. Hampir delapan puluh persen wajahnya mewarisi kecantikan Arum. Mereka berharap jika Amara tidak hanya memiliki wajah yang cantik, namun hati yang cantik pula."Iya, Ma
Akhir dari kisah"Siapa itu?" ujar Bu Rahma penasaran, keningnya mengkerut beberapa lipatan ketika sebuah sedan berwarna silver masuk ke halamannya. Baru saja tamu mereka pergi, kini mereka kedatangan tamu lagi."Ayah ...." teriak Rayen ketika bola mata bocah berusia enam tahun itu menangkap sosok ayahnya turun dari kendaraan roda empat tersebut. Ia lantas berlari menghambur ke pelukan sang ayah. Menumpahkan segala rindu setelah perpisahan yang cukup lama.Cukup lama anak beranak itu berdiri di sana, di samping mobil yang dibeli Andi beberapa hari yang lalu."Andi!" gumam Bu Rahma. Ada binar harapan ketika sang menantu itu datang ke sini. Apalagi mengendarai sebuah mobil, meski hanya keluaran lama. Barangkali ia ingin kembali pada Rima, harapnya.Rima tak kalah bahagianya, setelah sekian lama, akhirnya ia bisa berjumpa kembali dengan Andi--lelaki yang dikasihinya.Hingga binar-binar harapan itu memudar saat dilihatnya Andi tak datang sendiri, bukan dengan Lila melainkan seorang wanita
Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit. Rima sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Tak banyak yang berubah, keadaanya masih tetap sama. Sakit dan cacat. Tak bisa bekerja mau pun bicara. Hanya duduk sepanjang hari di kursi roda. "Rayen, tolong tambahkan kayu bakar ke tungku, ya!" ujar Bu Rahma, tangannya sedang sibuk meracik sayuran sehingga terpaksa meminta bantuan pada cucunya yang masih kanak-kanak tersebut."Iya, Nek." Bocah berusia enam tahun itu mengentikan sejenak aktivitasnya, yaitu membersihkan air liur Rima yang sering menetes membasahi bahu kanannya.Dengan cekatan, ia mengambil beberapa bilah kayu yang telah disusun neneknya di ujung dapur yang berdinding anyaman bambu tersebut. Lalu memasukkannya ke dalam tungku hingga api yang tadi sempat hendak padam kembali marak."Bunda haus?" ucap bocah itu setelah selesai melaksanakan perintah neneknya. Ia duduk menghadap ibunya yang tersenyum haru. Rima mengangguk cepat, kepalanya bergoyang- goyang ke bawah. Tak lama, Rayen
Karena Bu Rahma sudah tiba di rumah sakit, maka Arum dan Zulham pun kembali ke rumah. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana apalagi Arum tengah hamil muda. Ia butuh istirahat yang cukup demi menjaga kesehatan dirinya dan calon anaknya.Zulham berpesan agar keluarga itu tak perlu memikirkan biaya. Mereka hanya harus fokus pada kesehatan Rima, sementara untuk biaya makan selama di rumah sakit, Bu Salamah berinisiatif agar meminta sumbangan pada semua warga desanya."Sekali lagi terima kasih, ya, Rum, Pak Zulham. Kami sangat berhutang budi pada kalian. Mohon doanya agar Rima segera sadar," ucap Bu Rahma saat mengantar kepulangan Arum dan Zulham menuju parkiran mobil.Rima sudah keluar dari ruang operasi. Namun, keadaannya masih koma. "Ya, Bu. Lusa kami akan berkunjung ke sini. Semoga anak Ibu segera sembuh," sahut Zulham tersenyum ramah. Ia kemudian menggandeng tangan istrinya menuju mobil mewah yang terparkir di sudut rumah sakit. Bu Rahma masih terpaku di tempatnya. Hatinya retak me
Itulah sebabnya, ia meminta Zulham membawa Arum ke rumahnya karena keadaan tidak memungkinkan ia untuk ke sana. Bu Rahma ingin memohon ampun pada Arum atas perbuatannya yang lalu, barangkali setelah mendapat maaf dari Arum, Allah tak mengirimkan musibah yang lain lagi.Zulham sengaja merahasiakan keberadaan Akmal pada keluarganya selama ini atas permintaan ustadz yang menangani Akmal. Karena sebagian besar jin yang mengganggu mental Akmal berasal dari keluarganya sendiri. Ia takut jika keluarganya tahu, hal itu akan menghambat jalan kesembuhan bagi Akmal."Siapa yang kecelakaan, Sayang? Apa benar temanmu?" tanya Zulham setelah memarkirkan mobilnya secara sembarangan di halaman. Ia buru-buru turun dan menghampiri Arum setelah wanita itu mencium takzim tangan suaminya yang sudah pergi sejak semalam.Zulham berangkat semalam sore setelah dikabarkan pihak pesantren. Ustadz yang menangani Akmal sudah memperbolehkan lelaki itu pulang, karena Akmal dirasa sudah sehat dan bisa kembali bersosi
"Pencuri ... kejar dia!" teriak Bu Wulan menunjuk pada Rima yang membawa kabur gelang seberat lima gram tersebut."Ayo kejar sampai dapat ...." sahut yang lain begitu bersemangat. Para ibu-ibu yang kebanyakan berusia empat puluhan itu tampak menghambur ke jalanan desa yang beraspal untuk mengejar Rima."Ibu ... Ibu ... biarin saja. Gak perlu dikejar," teriak Arum pada barisan emak-emak yang berlari bak anak SD yang kegirangan ketika lonceng berbunyi. Ada yang mengangkat gamisnya ke atas, menyingsing lengan bajunya, hingga melepas wedges agar dapat menangkap Rima yang jaraknya sepuluh meter di depan mereka. Wanita itu lari tunggang langgang menyadari posisinya sedang tidak aman. Ia tidak menduga jika Ibu- ibu pengajian itu sangat kompak mengejarnya, persis seperti memburu minyak goreng murah.Sebenarnya Arum tidak begitu mempermasalahkan gelang itu. Ia lebih khawatir pada para wanita yang berlari kencang di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tidak ingin melihat mereka celaka hanya