Jarum pendek jam di tangan berhenti pada angka dua belas. Suhu beku tadi sudah seperti malaikat yang siap merenggut nyawa mereka berdua. Panik, namun berhasil dihentikan.
”Sudah lima jam kita di sini, tapi belum ada siapa pun yang datang.”Adrian menghirup udara dalam-dalam karena pasokan udara di ruangan itu mulai berkurang. Mesin refregarasi sudah berhasil disumbat dengan potongan daging dan yang tersisa hanya aromanya yang menyengat. ”Bantuan akan datang sebentar lagi. Kita tunggu saja, Pak,” sahut Raisa dengan nada penuh keyakinan. “Saya yakin ini bukan kecelakaan semata. Pasti ada dalang di balik semua ini," ucap Raisa. Mata wanita berambut bergelombang itu berkelabat. Rambutnya sudah tak tertata lagi dan memeluk kedua lututnya di lantai. Adrian mengayunkan kaki mendekati Raisa yang terduduk. Seluruh wajahnya tampak menyala seperti api yang siap membakar. ”Apa maksudmu?” ucap Adrian pelan namun menusuk. “Aku sering mendengar percakapan orang-orang penting di kantor yang ingin menghancurkan reputasimu, Pak,” jawab Raisa seraya mendongak menatap Adrian yang berdiri di hadapannya. Sementara Adrian dengan sengaja melemparkan pandangannya sembarang. Adrian bergeming sejenak mengingat kembali sosok orang yang mengikutinya pada lorong kantor. Apa benar itu ada kaitannya? Tapi siapa dia? “Kau hanya cleaning service di sini. Tidak ada hak untukmu ikut campur urusan kantor. Fokus saja dengan sapu dan kain pel,” ketus Adrian dengan kedua tangan masuk ke saku dan ketiak sedikit terbuka. Sikapnya seolah sedang menghakimi seorang pencuri. "Kalau Anda tidak mau percaya, tak apa, Pak," jawab Raisa tertunduk. Sadar bahwa dirinya hanya seorang cleaning service, Raisa memilih tak melanjutkan pembicaraanny. Adrian terlalu angkuh. Dia tak ingin mendengarkan apa yang orang yang lain sampaikan. Srek .... Tiba-tiba terdengar pintu cold room itu dibuka. Mereka sontak menoleh bersamaan. “Pak Adrian? Bapak ada di sini? Dan ini … Raisa? Apa yang terjadi?” Tanya Ratih yang juga cleaning service—sahabat Raisa. ”Kami terjebak di sini,” tekan Adrian dengan sorot mata yang tajam. Adrian berlalu meninggalkan Ratna dan Raisa. Sementara itu, Ratih menghambur ke arah Raisa dan memberondongnya dengan banyak pertanyaan. ”Jawab Ica! Jawab! Lu gak diapa-apain kan sama Pak Adrian?” Desak Ratih seraya mengguncang lengan Raisa. “Aku lapar,” jawab Raisa dengan wajah melas. Pasalnya sekarang memang jam makan siang. Sementara Raisa memang belum makan dari pagi karena tak terbiasa. ”Yaelah! Ini, nih. Makan sisa keripik sambal ubi gue dulu buat ganjel perut.” Ratih menyodorkan sebungkus keripik yang diambil dari saku kerjanya. Raisa melahap keripik itu dengan sangat bernafsu. Ada bulir bening sebesar biji jagung di dahinya. Mungkin karena dia menahan lapar sejak tadi pagi. Atau mungkin karena sudah? Ratih lekas menggeleng dan menepis sesuatu yang bercokol di kepalanya. ”Lu gak dilecehkan dengan Pak Adrian, ‘kan?” Seloroh Ratih tak sabar. Melihat kondisi Raisa dengan rambut acak-acakan, bibir merahnya tampak pucat, dan ditambah dengan posisi yang dilihatnya tadi, Raisa terduduk dan Adrian berdiri menutupi separuh badannya membuat Ratih berpikir demikian. Raisa menggeleng cepat, namun bayangan Adrian ketika tak sengaja terjatuh dan menindihnya muncul kembali. Dia menggigit bibir bawahnya dan meyakinkan sendiri bahwa itu bukan pelecehan melainkan ketidaksengajaan. Perlahan, wajah pucat itu kembali dialiri darah segar karena tenaganya sudah sedikit terisi. Raisa menceritakan rangkaian kejadian dan Ratih menanggapinya dengan manggut-manggut. Beruntung saat itu panggilan Ratih sempat terhubung meskipun akhirnya mati begitu saja karena baterai ponselnya habis. Ratih memeluk erat tubuh sintal sahabatnya dan begitu menyesal karena tidak datang lebih awal untuk menyelamatkannya. ** Langit sedikit meredup dan awan berarak-arak. Hujan mulai jatuh perlahan membasahi kulit. Waktu Magrib sudah hampir tiba, Raisa menunggangi kuda besinya dan sesegera mungkin melesat membelah jalan kota Jambi. “Kakak bawa makanan nggak? Adek lapar,” ucap Raihan adik bungsu Raisa setibanya di rumah. Raisa menggantung baju hujan yang dikenakannya ke sebuah tiang yang bercabang. “Ada dong! Ini buat kamu. Jangan lupa kasih Kak Rais juga,” balas Raisa seraya menyodorkan beberapa bungkusan. Meski pun lelah saat pulang bekerja, namun sudut mulutnya tetap muncul jika melihat adik-adiknya bisa makan enak setiap hari. Raisa kembali mengayunkan kaki menuju kamar ayahnya untuk mengecek kondisinya. Pria paruh baya duduk di kursi roda dengan wajah nanar menatap ke arah jendela. ”Papa. Kita makan, yuk. Ini Raisa belikan nasi goreng sayur kesukaan Papa,” ajak Raisa seraya membuka bungkusan dan meletakkannya di atas piring. Raihadi urung tersenyum dan wajahnya masih tetap kosong. Semenjak ditinggal meninggal istrinya tiga tahun terakhir dia begitu murung sehingga stressed dan menyebabkan fisiknya melemah. Dan saat itu juga Raisa menjadi tulang punggung demi menghidupi kedua adiknya yaitu Raihan dan Rais. ”Pa … Papa harus sembuh, ya. Kita harus terus melanjutkan hidup meskipun tanpa Mama. Papa jangan khawatir. Raisa akan jaga Papa sebagaimana mama dulu,” lirih Raisa. Dia menatap ke langit-langit sekejap untuk menahan bulir bening jatuh dari sudut matanya. Raisa tak ingin papanya tahu kalau sebenarnya dia juga sangat terpukul kehilangan sosok orang yang paling dicintainya. Dari bibir ranjang Raisa menoleh dan menatap lekat foto wanita yang tersenyum di atas nakas milik papanya. Dia teringat dulu, mamanya pernah bilang kehilangan itu seperti mengosongkan gelas. Mungkin sekarang rasanya menyakitkan, tapi gelas kosong itu siap diisi lagi dengan hal-hal baru, orang-orang baru, bahkan mimpi-mimpi baru. Kata-kata itu lah yang menjadi penyemangatnya sewaktu gagal dinikahi laki-laki idamannya. Dan ucapan itu pula yang menjadi penguatnya saat kehilangan Rita— sosok ibu yang selalu menghiasi hari-harinya. Di bagian hati yang lain, muncul sekelumit rasa penasaran terhadap kematian mama Raisa yang sampai sekarang belum ditemukan penyebabnya. Air mata yang tadi ditahannya kini menganak sungai mengingat peristiwa tiga tahun silam yang menjadi sebab papanya lumpuh dan keluarganya jatuh miskin. ”Ayo, Pa. Makan lagi,” ucap Raisa seraya mendekatkan suapan terakhir ke mulut Raihadi. Raisa tersenyum getir melihat manik mata Raihadi yang tak lagi segar seperti dulu. Ting! Sebuah pesan masuk mengalihkan perhatian Raisa. Sudut matanya berkerut setelah melihat pesan tanpa nama mengirim sebuah video yang memperlihatkan kembali adegan ketika berada di cold room bersama Adrian. [Siap-siap kejutan baru menanti] begitu isi pesan yang mengiringi video itu. Hatinya mencelos saat tahu ada orang yang ingin memanfaatkan kesulitannya untuk kepentingan pribadi. Apa yang dia dengar di kantor selama ini benar. Banyak petinggi-petinggi kantor yang ingin menikam jantung perusahaan sendiri. Bulan separuh menggantung di langit. Seharusnya Raisa bisa tidur nyenyak malam ini atas insiden yang melelahkan di tempat kerjanya. Namun, pesan yang diterima membuatnya tak bisa tidur. Keesokan harinya, Raisa diminta menghadap Adrian di kantor. ”Ada yang sengaja menjebak kita. Saya dituduh melecehkan kamu karena video itu,” ucap Adrian dengan tatapan tajam mengarah ke depan. Mata Raisa melebar mendengar ucapan atasannya itu. Raisa semakin penasaran dengan orang yang sengaja menjebak mereka dan tega memanfaatkan situasi buruk kemarin. ”Saya akan menikahi kamu untuk menjaga citra baik saya dan perusahaan," ucap Adrian datar. Raisa tergeragap mendengar ucapan itu. Menikah? Dengan laki-laki sombong ini?“Ya,” jawab Pak Brengos singkat yang tetap menatap layar ponselnya ketika aku berada di depan meja kerjanya. Lelaki itu belum dikatakan tua. Dari penampakannya kutaksir usianya masih tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Tentang kenapa semua orang memanggilnya ‘Brengos’ mungkin wajahnya terlalu banyak bulu hingga agak menyeramkan.“Saya ingin meminta pabrik ini untuk lebih memperhatikan limbahnya. Saya membawa laporan bahwa pabrik Bapak ini membuang limbah ke sembarang tempat. Hingga bahan kimia-nya meracuni tanah di kebun duku dan durian kami, Pak.”“Ngomong sama manajer sana!”Astaga. Apa semua orang di pabrik ini segitu cueknya dengan orang lain. Sedari tadi aku selalu bertemu dengan orang yang tiada kepedulian terhadap tamu. Satpam yang meremehkan, staf yang tak menghargai, dan kepala pabrik yang sama tak pedulinya. Aku mengelus dada, menarik napas dalam. Sabat, Cinta.“Maaf, tapi Bapak kepala pabrik.”Tatapannya baru terarah kepadaku, membuatku agak menunduk agar tatapan kam
KUTUTUP PINTU ruangan direktur. Kami beranjak menuju lift. Namun, betapa terkejut di dekat lift api sudah membakar besar sekali.“Astaghfirullah, Allahuakbar,” pekikku. Aku menarik Mas Rama menuju jalan darurat di tangga belakang. Namun kudapati di sana api pun sudah membesar. Kami terjebak. Kalau aku nekad melewati api itu, bisa-bisa sebagian besar tubuhku ikut tebakar pula. Belum lagi Mas Rama yang masih lambat, ia tak bisa berlari melewati api.Bagaimana ini? Aku berpikir. Namun detak jantung kecemasan terlanjur menguasai kalbu hingga ketakutan yang ada.“Bu Cinta, Pak Rama, anda di dalam sana?” suara Dennis terdengar memekik dari lantai bawah. “Iya, Den. Kami di sini. Apinya besar, Den.”“Mumpung apinya masih kecil, terobos, Pak, Bu!”“Mas, ayo kita terobos apinya.” Aku menarik tangan Mas Rama. Namun suamiku itu malah terbengong. Ya Allah, di saat seperti ini biasanya Mas Rama orang yang menengkanku. Dia orang pertama yang membuatku merasa sejuk dalam hati, ringan dalam napas. Na
“ULYA, jaga mulut kamu!” ucapku dengan tegas pada dokter muda nan cantik itu. Apa, cantik? Hilang semua kecantikannya, terbatalkan oleh akhlak kasarnya. Kalimatnya barusan meruntuhkan semua image-nya.“Auu.” Ulya memegangi pipinya. “Kurang ajar kamu, Cinta.”Tamparanku memang tak seberapa kerasnya. Mungkin ia tak merasa sakit sama sekali, tapi aku hanya ingin menunjukkan kalau aku tak mau kalah dengan serangan mentalnya itu. Aku paham ia hanya menjatuhkan keyakinanku pada diriku sendiri, agar perlahan mundur dari Mas Rama. Tentu saja tidak semudah itu.“Mulutmu yang harus disekolahkan. Bisa bicara yang menenangkan aja saat seperti ini? Pahami kondisi. Jangan asal ceplos, di saat yang salah dan pada orang yang salah.”Tap tap. Suara langkah Dennis mendekat. Dengan segera ia memasangkan badan di depan diriku, menjadi tameng.“Maaf, saya tidak akan membiarkan Bu Cinta lebih jauh lagi berbicara dengan anda,” ucap Dennis.Ulya tersenyum sebelah bibir. “I don’t care.”Ulya melangkahkan kaki
“Aku hanya berjaga-jaga,” jawab Raisa menghindari tatapan Adrian. “Berjaga-jaga dari siapa?” Adrian sebenarnya tahu bahwa akan ada banyak orang yang mengincar Raisa. Termasuk pria bertopeng itu. Orang yang pernah menikam lengan Raisa. Kemudian, Kirana atau bisa jadi orang suruhan Selena. Raisa terdiam dengan napasnya tersengal-sengal. Adrian menyentuh tangannya lembut. “Aku tidak ingin kau hidup dalam ketakutan, Raisa.” “Aku tidak takut. Aku hanya bersiap-siap. Apa pun bisa terjadi denganku, Adrian,” jawab Raisa menarik lengannya. Adrian menggeser posisinya dengan duduk di bibir ranjang, lalu mengulurkan tangannya ke pipi sang istri. “Aku tahu kau kuat, Raisa. Tapi, kau tak perlu melakukan ini sendirian,” ucap Adrian mengiba. Raisa menatap Adrian penuh emosi. “Aku sudah sendirian selama bertahun-tahun, ini bukan hal baru bagiku, Adrian.” “Hei. Lihat aku. Lihat! Aku di sini,” bisik Adrian. “Kau tidak sendiri, Raisa. Ada aku. Suamimu,” lanjut Adrian menghela napas. Hening. Rais
“Kau sudah gila, Adrian?! Menikahi seorang wanita tanpa nama, tanpa status! Apa kau tahu berapa banyak investor yang mulai meragukan perusahaan kita?!” Adrian dengan tenang menyesap kopinya, “Ini pernikahanku, bukan urusan bisnis, Papa. Lagi pula kenyataannya tidak begitu. Justru Raisa bisa mengatasi permasalahan perusahaan dengan cerdas. Dia bukan cleaning service biasa.” Selena tertawa sinis, menyilangkan tangan di dada. “Jangan naif, Adrian. Semua yang kita lakukan ada dampaknya bagi perusahaan. Reputasimu akan tetap dipertanyakan publik.” Meja panjang dari marmer hitam berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menjuntai di langit-langit. Di ruang makan keluarga suasana menegang. Adrian menatap Selena tajam. “Aku tidak peduli dengan reputasi yang dibuat-buat. Aku hanya peduli dengan kebenaran.” William— papa Adrian mendengus lalu berkata, “kebenaran? Apa maksudmu?!” “Aku mulai menyelidiki. Tentang Raisa. Tentang keluarganya. Dan ternyata, ada hubungan antara ke
Malam turun dengan tenang, tapi udara di balkon terasa berat oleh percakapan yang belum terucap. Langit gelap membentang luas, hanya diterangi bintang-bintang yang bersinar samar, sementara angin malam berembus pelan membawa aroma embun dan sisa wangi bunga dari halaman. Adrian menemukan Raisa duduk di balkon sedang menatap langit malam dengan ekspresi sendu. “Aku ingin bicara denganmu,” ucap Adrian dingin. Raisa menoleh, melihat ekspresi Adrian yang begitu sulit diartikan. Wanita berpiyama Bortuques itu menghela napas, lalu berdiri. “Aku juga ingin bicara denganmu, Adrian.” “Aku tahu kau ingin mendapatkan keadilan untuk keluargamu, Raisa,” ucap Adrian menatapnya tajam. Raisa terdiam. Adrian melangkah lebih dekat, ekspresinya seolah menegang. “Tapi aku ingin tahu satu hal. Apakah kau benar-benar mencintaiku? Atau semua ini hanya bagian dari rencanamu?” Raisa menahan napas. Tangannya mencengkeram kuat pagar besi yang dingin. Pertanyaan itu menusuk langsung ke hatinya. Dia