Share

Keputusan Ajeng

*Ajeng POV*

Setelah kami selesai sarapan pagi, saudara lelaki sepupu ku menyiapkan mobil yg akan digunakan ke Rumah Sakit untuk menjenguk Paman.

Kami masuk ke dalam mobil, perjalanan menuju Rumah Sakit pun di mulai. Sekitar satu jam dalam perjalanan,  kami sampai di Rumah sakit.

Pada umumnya Rumah Sakit, bentuk dan struktur bangunannya hampir sama antara Rumah Sakit yang satu dengan Rumah Sakiy yang lain. Bagian depan dari rumah sakit tersebut ada sebuah taman.

Di samping sisi kiri dan kanan adalah tempat parkir kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Ada pula supermarket mini, dan beberapa tempat Anjungan tunai mandiri.

Di bagian depan Rumah sakit, ada bangunan besar yang di gunakan untuk bagian Unit Gawat Darurat, dimana setiap pertolongan pertama yang bersifat darurat akan merujuk pada bagian gedung ini.

Lalu sisi gedung dari UGD ada sebuah bangunan lain, yang digunakan sebagai poliklinik, dari beberapa Dokter spesialis yang melakukan tugas kanusiaannya disana.

Sedangkan pada bagian lain dari kedua gedung ini, tepatnya berada di seberang gedung ada sebuah apotik besar. Jadi seluruh resep obat yang di berikan Dokter akan dibawa ke apotik itu.

Saat ini kami sedang menyusuri lorong-lorong panjang menuju ruang rawat inap kelas dua. Disana pamanku di rawat. Untuk ruang perawatan kelas dua, dalam satu kamar di isi oleh dua orang.

Akhirnya kami sampai pada ruang rawat inap di ruangan kelas dua, aku mendapati paman terbaring lemah dengan dua infus di bagian tangannya. Melihat hal itu, membuat hatiku menangis.

"Paman, ini Ajeng sudah disini.” Sambil memegang tangan paman, aku berkata.

Paman yang terbaring lemah, hanya tersenyum menyambut kedatanganku. Terlihat tersenyumnya dengan kondisi wajah yang masih tampak pucat pasi.

"Kapan kamu sampai, Nak?" tanya paman dengan suara yang nyaris tidak terdengar. 

Aku menjelaskan kedatangan ku dini hari. Dan aku juga mengatakan kalau Bram bersama ikut ke kampung untuk menjenguk dirinya, lalu Bram memberikan salam dengan memegang tangan pamanku.

Disana aku menangis, karena selama merasa tidak memperhatikan kondisi pamanku. Dan aku menyalahkan diriku yang tidak mengetahui penyakit yang di deritanya selama ini.

Namun paman mengatakan padaku, kalau dirinya tidak ingin membuat kuatir seluruh keluarga. Jadi paman merahasiakan perihal sakitnya ini. Walaupun akhirnya, keluarga tahu perihal penyakti yang dideritanya.

"Ajeng, memang paman yang tidak ingin memberitahukan penyakit ini, karena paman tidak ingin, semua orang kuatir dengan kondisi paman."

"Tapi...seharusnya paman tidak boleh seperti itu, penyakit itu harus segera diobati, karena semakin lama tidak diobati, akan semakin berat kondisinya," ucapku dengan menahan kesedihan di hati.

Lalu aku mengatakan pada paman, perihal kehamilan-ku. Mendengar kondisi aku yang sedang hamil muda, membuat paman, bibi dan saudara sepupuku tersenyum bahagia.

"Ajeng, putriku...bibi dan paman sangat berbahagia mendengarkan berita bahagia ini, walaupun paman masih di rawat, tetapi bibi yakin, berita bahagia ini bisa membuat kesehatan paman-mu pulih kembali," ucap bibiku dengan tangis bahagis.

"Pa...cepet sehat yaa...ini putri mu, akan punya anak...kita akan mengurus cucu kita, pa," kembali bibiku berkata dengan memegang tangan suaminya dengan berlinangan air mata.

Disana, terpikir oleh ku, bisa merawat  pamanku, sebagai wujud cinta kasih dan balas budi ku, atas jasa dari paman yang telah membesarkan ku selama ini. Lalu pada kesempatan ini, aku utarakan maksudku.

"Paman dan bibi, aku  berpikir untuk bisa merawat paman di sini," ujar ku pada mereka, dan membuat mereka terkejut dengan keinginanku.

"Ajeng, sebaiknya...kamu tinggal bersama suamimu," suara lirih paman kudengar ketika aku menyampaikan keinginanku.

Tetapi keinginan aku dan kekerasan hatiku melihat kondisi sakitnya paman, membuat aku ingin menjaga paman, sebagai perwujudan kasih sayang yang telah ia limpahkan padaku.

Dan aku merasa lebih nyaman tinggal di kampung halaman, karena setidaknya, aku punya seorang bibi yang bisa memberikan wejangan atas kehamilan muda yang aku jalani saat ini.

Itu pula yang membuat aku mengambil keputusan untuk tetap berada di kampung halaman hingga kelahiran bayiku kelak. Mereka yang mendengarkan keputusan aku, tetap meminta agar aku berpikir kembali atas keputusan itu.

Setelah beberapa lama kami saling bercengrama dan berbicara berbagai hal yang ringan. Tanpa terasa jam besuk pasien pun telah berakhir dan kami pun pamit untuk kembali ke rumah.

"Paman cepat sehat yaa...pokoknya, Ajeng akan tetap di kampung sampai paman sehat," ujarku sambil menggengam tangannya dan mencium pipinya.

Dalam perjalanan pulang baru aku sadari, kalau aku belum meminta izin pada Bram tentang keinginan aku tetap tinggal di kampung halaman, pikir ku, Bram pasti menyetujuinya.

Lalu aku pikir, nanti ketika sampai di rumah paman, aku akan mengatakan perihal keinginan ini pada Bram. Setelah satu jam perjalanan mereka pun sampai ke rumah. Lalu aku ke kamar dan di ikuti oleh Bram.

Begitupun dengan bibi dan kedua sepupu-ku masing-masing memasuki kamar mereka untuk sekedar beristirahat sejenak karena perjalanan panjang di pagi hari ini.

Sesampai di kamar, aku duduk di kursi rotan yang ada persis disamping tempat tidur kami. Begitupun dengan Bram duduk persis di sebelah ku, pada kursi rotan yang ada disana. Hanya saja kedua kursi rotan itu hanya di batasi oleh meja bundar kecil.

"Aku tidak mengerti mengapa kamu mengatakan ingin tinggal di sini dan kamu pun tidak meminta izin pada ku perihal hal ini atau setidaknya kamu memberitahu aku untuk sekedar berbicara," ucap Bram, sebelum aku membicarakan hal ini, dan terdengar ia berbicara dengan nada yang kurang senang atas tindakanku.

"Maafkan aku mas, keinginan yang tadi aku utarakan di hadapan paman, spontan aku katakan karena rasa tanggung jawabku pada paman,"ujarku, melakukan pembelaan atas keputusan ku yang salah. Karena setidaknya Bram harus diberitahukan dahulu perihal hal ini.

"Ajeng, aku tidak bisa menerima keputusan mu seperti itu dan lebih baik coba kamu sampaikan kepada bibi kalau dirimu tidak mendapatkan izin dariku, karena memang aku tidak mengizinkannya," ucap Bram setelah mendengar pembelaanku.

Bram berharap aku berbicara pada bibi, tentang tidak adanya izin dari Bram untuk aku menetap kembali di kampung halaman. Sejenak aku terdiam melihat Bram agak marah atas keputusan yang telah aku putuskan.

Dalam hatiku, ini adalah sebuah dilema bagi diriku saat ini. Disisi lain Pamanku adalah seseorang yang sangat berjasa bagi kehidupanku. Ditambah aku juga sangat ingin melewati masa kehamilan ini, ditemani oleh bibi yang telah aku anggap sebagai ibu kandungan.

Karena sejak di titipkan ke Paman, sewaktu aku baru memasuki sekolah lanjutan pertama. Aku mendapat kabar, kalau ibu kandungku telah menikah lagi. Karena memang saat di tinggal oleh almarhum Ayahnya, ibu kandungnya masih terlalu muda. Dan bagi Ajeng adalah sangat wajar ibu kandungnya mencari suami kembali untuk kehidupan hidupnya.

Hari ini aku hanya berpikir, tentang hal terbaik yang bisa aku lakukan. Aku memang sangat mencintai Bram tapi disisi lain, aku ingin berada di kampung halaman untuk menemani pamanku yang sedang sakit.

Dan keinginan hatiku melewati masa kehamilan ku disini, membuat aku yang harus banyak beristirahat lebih nyaman, apalagi bibi pastikan akan bisa memberikan saran dan wejangannya.

Aku benar-benar menghadapi dilema yang membuat aku harus memilih. Dan sepertinya,' Aku akan tetap di kampung halaman,' pikirku

Setelah kami berisitrahat, aku dan bibi menyiapkan makan malam, hari ini bibi masak makanan kesukaan Bram, yaitu Ayam goreng keremes buatan bibi. Setelah selesai, aku memanggil semua anggota keluarga untuk makan malam bersama.

"Mas, mari kita ke meja makan, kakak sepupuku dan bibi sudah menunggu," ajakku memanggil Bram yang sedang rebahan di kamar.

Kami pun makan malam bersama, kami saling bercerita satu sama lain. Bram juga bercerita tentang penyakit bunda. Selesai makan malam, Bram berkata pada bibiku.

"Bi, sebelumnya saya minta maaf, karena besok saya sudah harus kembali ke kota. Izin yang di dapat dari kantor sebenarnya sudah habis untuk menjaga bunda yang sakit."

"Pada saat kemari, saya hanya dapat tambahan waktu dua hari saja, jadi dengan berat hati saya tidak bisa berlama-lama di sini," ucap Bram pada bibiku ketika kami masih di meja makan.

"Tidak mengapa Nak Bram, sehari ataupun dua hari, itu sudah cukup, dan kami bersyukur ditengah kesibukan, nak Bram masih menyempatkan diri menjengguk pamannya Ajeng," ucap bibiku.

Dalam hatiku,' Mengapa Bram tidak membicarakan keinginan aku tetap disini yaa,' 

Hanya saja untuk sementara ini, aku hanya terdiam. Aku pikir,' Mungkin nanti Bram akan membahasnya lagi ketika kami di kamar.' 

Setelah itu, kakak sepupu ku minta izin untuk bertemu temannya, sedangkan aku membantu bibi merapikan pekerjaan di dapur, dan Bram pergi menuju kamar.

Setelah selesai membantu bibi rapi-rapi di dapur, aku pun minta izin untuk beristirahat, begitu pun dengan bibi, menuju kamarnya untuk beristirahat.

Begitu aku sampai di kamar, aku lihat Bram sedang merapikan pakaiannya. Ia sedang berkemas untuk pulang ke kota esok pagi. Setelah aku lihat, Bram telah selesai berkemas. Aku lalu membuka percakapan pada Bram.

"Mas Bram, aku memutuskan untuk tetap dikampung halaman sampai usia kandunganku, memasuki bulan ke lima sekalian aku juga ingin menemani paman,"ucapku melihat ke arah Bram.

"Baiklah Ajeng, jika itu yang sudah kamu putuskan," jawab Bram dengan nada sedikit kecewa dengan keputusan Ajeng.

Aku berpikir,' Bram sepertinya mengalah, karena tidak ingin bertengkar, apalagi saat ini aku sedang hamil.'

Melihat Bram yang diam tidak sepertinya, aku kembali menanyakan perihal keputusanku untuk tetap dikampung.

"Mas marah yaa...dengan keputusan yang aku ambil?" tanyaku pada Bram yang kulihat sedang rebahan di tempat tidur setelah merapikan pakaiannya ke dalam koper.

"Aku tidak marah, mungkin...memang sebaiknya kamu melalui kehamilan ini bersama bibi, yang telah kamu anggap menjadi ibu kandung kamu."

"Aku harap, kamu bisa bertanya-tanya perihal seputar kehamilan sama bibi, dan tetap menjaga kesehatan kamu yaa," ucap Bram dengan nada suara yang melunak.

Mendengar begitu perhatian dan mengertinya Bram dengan keinginannya, membuat aku terharu dan bersyukur mempunyai suami baik seperti Bram.

Lalu dengan rasa cinta kasih Bram memeluk ku dan mencium kening ku. Bram lalu mengatakan padaku kalau dirinya ingin bercinta denganku sebelum kembali ke kota.

"Sayang, kita melakukannya perlahan, hmmmm kalau bagaimana kamu diam saja yaa...," Bram dengan lembut dan sesekali menciumku agar aku memperbolehkan dirinya bercinta denganku.

Karena rasa cinta dan kasian aku pada keinginan Bram, lalu kamj pun bercinta dengan sangat berhati-hati. Aku hanya bisa terdiam saja, ketika Bram yang sudah berhasrat melakukan kepuasan batinnya pada diriku.

"Aarrhhhh...ooouuhhh....," desah Bram ketika menyelesaikan hasrat batinnya.

Setelah selesai dengan hasratnya akhirnya kami pun tidur, karena besok pagi sekali, Bram akan berangkat ke kota.

Pagi-pagi sekali Bram telah bangun, demikian juga denganku serta penghuni rumah lainnya. Seperti biasa aku membantu bibi menyiapkan sarapan pagi.

Apalagi hari ini Bram akan kembali ke kota dengan menggunakan pesawat. Dan rencananya akan terbang sekitar jam sepuluh pagi.

Setelah kami sarapan pagi, Bram pun pamit kepada bibi dan saudara lelaki sepupu-ku Dan Bram pun mengatakan pada bibi, kalau ia menitipkan ku disana untuk sementara waktu.

"Bi, saya titip Ajeng disini...sesuai keinginan Ajeng, agar ia bisa lebih tenang dimasa kehamilannya," ucap Bram pada bibiku.

Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, taxi yang pesan oleh Bram pun datang menjemputnya. Ketika akan memasuki mobil taxi tersebut, Bram mencium kedua pipi-ku  dan mencium keningku. Bram juga menasihati agar aku bisa menjaga kehamilan, dengan baik dan selalu menjaga kesehatan.

"Ajeng, tolong jaga kesehatan yaa, dan jaga juga anak kita," ucap Bram.

Merasakan perpisahan kembali, membuat aku menangis, ketika melepas kepergian Bram ke kota. Melihat aku menangis, Bram menghapus air mataku. Ada kesedihan dihatiku, karena harus berpisah dengan Bram.

Padahal baru saja ia merasakan kebersamaan dalam membina rumah tangga. Tetapi ini adalah sebuah keputusan yang telah aku diambil, jadi aku tidak akan menyesalinya.

Akhirnya Bram pun masuk ke dalam taxi menuju bandara untuk kembali ke kota. Aku melihat kepergian Bram, hingga taxi itu tidak terlihat. Memang ada kesedihan dihatiku, karena tidak bisa bersama Bram.

' Tetapi Bram mengatakan pada ku, kalau dirinya akan menjenguk aku dua minggu sekali. Jadi dalam satu bulan Bram akan ke kampung dua kali. Maka hal yang bisa aku lakukan adalahlah menunggu,' itu lah yang aku pikirkan saat ini.

Lalu aku pun masuk kedalam rumah,  mencari sebuah kalender yang dipasang pada tembok di dapur. Aku melingkari tanda pada tanggal yang ada di kalender,  sebagai pengingat, kalau tanggal tersebut Bram akan datang menjengukku.

Bibi yang melihat apa yang aku lakukan pada kalender yang terpasang di tembok itu. bertanya padaku.K

"Kenapa dilingkari pada tanggal itu Ajeng?" tanya bibinya sembari tersenyum padaku.

"Bi...,ini sengaja di tandai, supaya Ajeng ingat tanggal kedatangan mas Bram...," jawab ku memberitahukan hal yang sudah jadi kesepakatan aku dan Bram.

Lalu bibi mengatakan pendapatnya padaku.

"Ajeng, seharusnya kamu ikut dengan suamimu, karena dia adalah bagian dari hidup mu," bibinya memberikan wejangannya.

Mendengarkan hal itu, aku hanya terdiam dan merenunggi apa yang telah dikatakan oleh bibi. Tetapi kekerasan hati ku, membawa ku tetap pada pendirianku. Dan beranggapan kalau keputusanku, adalah hal yang benar.

kembali bibi berkata padaku,"Ajeng, bisa jadi...keinginan kamu untuk tinggal di kampung, karena keinginan si jabang bayi, karena biasanya beberapa orang hamil muda mempunyai berbagai keinginan yang berbeda-beda."

❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

Sementara itu, Bram pun telah sampai si bandara dan sedang menunggu jadwal keberangkatannya ke kota. Di perkirakan sepuluh menit lagi, seluruh penumpang akan diminta untuk bersiap-siap.

Setelah terdengar instruksi dari maskapai penerbangan untuk mempersiapkan diri masuk ke gate yang di tentukan, Bram pun bersiap-siap dengan kartu tanda pengenal dan tiket yang telah dibelinya.

Setelah masuk dalam pesawat, seperti biasa pramugari memberikan panduan keselamatan selama dalam pesawat, setelah itu pesawat pun lepas landas.

Setelah satu setengah jam penerbangan di angkasa, pesawat pun mendarat dengan selamat. Bram keluar dari pesawat menuju tempat pengambilan koper.

Selesai Bram mengambil koper dirinya, menuju pintu keluar dan memesan taxi untuk pulang ke rumah bundanya. Ketika di dalam taxi, Bram langsung menghubungi Ajeng dalam sambungan telepon.

"Sayang, aku sudah sampai yaa..., ingat kamu jaga kesehatan, dan ingat kontrol tiap bulan ke dokter kandungan yaa...," ujar Bram dalam sambungan telepon.

Sekitar satu jam kemudian, Bram pun sampai ke rumah bunda. Setelah membayar biaya taxi, Bram membuka pintu pagar dan masuk ke dalam rumah.

"Mbok, apa bunda dan Dina ada di rumah?" tanya Bram pada asisten rumah tangga yang sedang membersihkan ruang tamu.

"Ada pak Bram," jawab asisten rumah tangganya.

"Bunda... saya telah sampai," Bram memanggil bundanya.

Bram berjalan menuju kamar bunda, dan langsung masuk ke kamarnya.

"Syukurlah Bram," sahut bunda ketika dilihatnya Bram telah sampai di kamar.

Bram lalu mencium tangan bunda dan memeluknya dengan erat.

"Bagaimanaa kondisi kesehatan bunda sekarang?" tanya Bram, duduk di sisi tempat tidur.

"Bunda rasa, sekarang sudah semakin baik, dan rencananya beberapa hari lagi, bunda akan kontrol serta menjalani therapi," jawab bunda memberitahukan kondisi dirinya saat ini.

"Bagaimana dengan pekerjaan mu, apa semua lancar-lancar saja?" 

"Semua lancar terkendali koq bun..."

Selesai bercakap-cakap dengan bunda, Bram pun minta izin ke kamar, untuk menaruh koper.

"Bunda, istirahat dulu yaa...Bram akan ke kamar, merapikan pakaian."

Bram pun meninggalkan kamar bunda menuju kamarnya. Sesampai dikamar, dilihat Dina sepertinya habis mandi. Dan itu terlihat dari handuk berwarna biru yang masih melekat di bagian tubuhnya.

Biasanya Bram mengetuk pintu, ketika akan memasuki kamar mereka. Tetapi kali ini , Bram masuk tanpa mengetuk pintu, sehingga membuat Dina terkejut melihat kedatangannya, terlebih ketika ia hanya membalutkan handuk di tubuhnya.

"Ooh....maaf, aku masuk tanpa mengetuk pintu," ucap Bram, menatap ke arah Dina.

"Yaa...mas, tidak apa-apa, aku yang salah... karena keluar kamar mandi hanya pakai handuk saja," jawab Dina, membuka lemari untuk mengambil pakaian dan kembali ke kamar mandi.

Melihat Dina ke kamar mandi untuk mengganti pakaian, Bram pun keluar kamar dengan perasaan tidak menentu serta detak jantung yang tidak beraturan.

Dalam hati ia berkata,' Ada apa dengan diriku?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status