Share

Ke Kampung Halaman

*Ajeng POV*

Bram sampai di rumah tepat pukul sembilan malam setelah dia pamit pada bundanya di Rumah sakit serta pada Dina di rumah ibunda.

Setelah berkemas membawa masing-masing satu koper, mereka pun memesan taxi untuk membawa mereka pergi Ke Bandara. Aku merasa gelisah, ketika menuju ke Bandara. Aku sangat kuatir dengan kondisi kesehatan paman yang telah menjadi Ayah bagi diriku.

Ketika aku berpamitan kepada paman satu bulan lalu, kondisi paman baik-baik saja, tidak terlihat ada suatu penyakti yang diderita oleh paman. Tak terasa bulir air mataku jatuh membasahi pipi. Sesekali aku menyeka air mata yang jatuh membasahi pipiku.

"Ajeng sayang, sudah tenangkan dirimu," Bram mencoba menghiburku, dengan mengenggam tanganku, lalu merebahkan kepalaku pada bahu bram.

"Aku sangat takut terjadi sesuatu hal dengan paman mas,"sahutku dengan isak tanggis yang tertahan.

"Semua akan baik-baik saja, saat ini kita hanya bisa mendoakannya,"Bram kembali menguatkan kegelisahan hatiku.

Tiba di Bandara kami memasuki pos pengecekan tiket pesawat. Setelah itu kami masuk kedalam untuk mengikuti prosedur pemeriksaan / scanning  barang bawaan dan prosedur pemeriksaan / scanning  tubuh.

Selesai pada pos pemeriksaan, kami berjalan menuju tempat pemeriksaan tiket. Disana kami menyerahkan kartu tanda pengenal untuk mendapatkan nomor pada kursi penumpang serta menyerahkan koper yang mereka bawa untuk bisa di registrasi dan di bawa ke bagasi kabin pesawat.

Setelah semuanya selesai kami menuju di ruang tunggu. Karena pesawat yang membawa kami, ketujuan baru akan terbang dua jam. kemudian Bram mengajak ku untuk mencari restoran. Karena, kami belum makan malam.

Lalu kami menuju sebuah restoran yang menyediakan nasi campur. Kami memesan makanan dan duduk saling berhadapan satu sama lain. Saat ini kami masing-masing sibuk dengan handphone dan tentunya mempunyai berbagai hal yang dipikirkan saat ini.

Aku terkenang pada masa kecil, masa remaja hingga masa dewasa ketika aku hidup bersama paman, bibi dan kedua saudara sepupu lelakiku. Sedangkan Bram, aku lihat sedang memejamkan matanya. Aku berpikir,' Mungkin saja ia sedang memikirkan bunda yang harusnya ia temani di Rumah Sakit.'

Kenanganku, atas paman yang sangat indah terus bergelayut dalam benakku. Paman lah yang membuat aku, tidak merasa kehilangan ayah. Aku teringat ketika baru pertama kali memakai sepeda yang dibelikan oleh paman.

"Ajeng...mari paman ajarkan cara mengendarai sepeda, ingat kamu hanya perlu keseimbangan."

Masih terdengar jelas kata-kata paman didalam pikiranku.

Saat aku terjatuh, membuat paman sangat panik melihat luka pada bagian jempol kakiku yang mengeluarkan darah karena sepeda yang dikayuh mengenai batu sehingga aku terjatuh.

"Yaaa...Tuhan, putriku terjatuh, mana yang sakit sayang, mana lagi yang sakit?" tanya paman berulang kali dengan kecemasannya. Dan aku masih mengingat detail masalah itu.

Sejak saat itu paman tidak mengizinkan aku untuk mengendarai sepeda hingga saat dewasa. Aku juga teringat ketika, remaja dan sudah diperbolehkan untuk ikut ke kota dan tinggal bersama paman,bibi dan kedua saudara sepupuku.

Aku ingat, setiap paman menerima gaji, ia selalu saja membawakan makanan kesukaanku. Teringat olehku, ketika paman membawakan cake coklat kesukaanku, dan akulah yang pertama kali diminta memilih jenis cake coklat itu.

"Biar putri ayah tercinta dulu yang pilih, nanti jagoan-jagoan ayah sisanya," ucapan paman masih saja terdengar, ketika aku merindukannya.

Setelah itu baru kedua saudara lelaki sepupunya. Sungguh kenangan yang tidak bisa dilupakan oleh ku. Begitupun dengan kedua saudara lelaki sepupuku yang sangat menyayangiku.

Aku merasa terlindungi, ketika bermain bersama teman sebaya. Karena kedua saudara sepupuku, selalu menunggu digerbang sekolah ketika jam pulang sekolah telah selesai.

Sedangkan saat ini, pikiran Bram masih teringat dengan kejadian petang tadi di rumah bundanya. Ia  sungguh tidak menyangka, Dina akan melakukan hal seperti itu, selama ini Bram berpikir, Dina sebagai seseorang yang pernah sekolah dan tinggal di luar negeri.

Pastinya mempunyai seseorang yang bisa diajak berbicara dan melampiaskan hasrat dan kebutuhan batinnya selama mereka menjalani pernikahan semu.

Ternyata, Dina tetap mempertahankan status istri yang tidak mencari kenikmatan di luar. Dan pemikiran ini pulalah, yang buat Bram merasa sangat bersalah pada Dina.

Masih sangat jelas terlihat  oleh mata kepalanya sendiri, bentuk diri Dina ketika tanpa busana. Untung saja saat itu, Dina sedang memejamkan matanya, karena sensasi yang dia rasakan waktu itu.

Hingga ia tidak tahu, kalau Bram dengan rasa penasaran yang teramat sangat telah masuk kedalam tirai yang tertutup itu, dan melihat seluruh kejadian yang tidak diduganya.

Setiap mengingat hal itu serasa jantung Bram terdetak lebih kencang dan begitupun ketika dirinya bernapas, seolah-olah ia merasa oksigen disekitarnya berkurang, dan ia pun tidak tahu kenapa hal ini terjadi padanya.

Mungkin saja dikarenakan sifat kelelakian, peningkatan hormon, atau karena rasa bersalahnya. Padahal selama ini dirinya tidak pernah memberikan sedikitpun perhatian atas Dina.

Atau mungkin, karena saat ini Bram telah tahu seutuhnya tentang Dina, baik kebaikan hati dan perhatian pada bunda, maka pikiran ini selalu mengganggu dirinya.

"Mas Bram, koq melamun?" tanyaku pada Bram, karena dari tadi aku mengamati wajahnya yang sedikit tegang.

Kembali aku menanyakan Bram, karena ia tidak menjawab pertanyaanku. Dan tidak memperhatikan sekelilingnya. Yang aku rasa, ia seperti berada di tempat lain.

"Apa mas kepikiran bunda?" tanyaku kembali pada bram yang terlihat tidak memperhatikan apa yang ada di mejanya, ketika makanan yang kami pesan telah datang.

"Ooh tidak...hmmm yaaa,"  jawab Bram seperti kebingungan akan akan jawabannya.

Lalu aku lihat, ia mengambil makanan yang ada hadapannya, dan langsung menyantap, tanpa berkata sepatah kata pun. Aku pun menikmati makanan ku tanpa bertanya lagi padanya. 

Setelah tiga puluh menit kemudian, kami pun selesai dengan santapan makanan malam yang mereka pesan. Lalu kami beranjak ke ruangan lain yang telah disediakan untuk  menunggu jadwal keberangkatan pesawat.

Kurang dari tiga puluh menit lagi kami akan memasuki pesawat yang akan membawa kami ke kampung halamanku dan bertemu dengan paman yang sangat aku kasihi.

Setelah menunggu selama tiga puluh menit, kami pun mendengar panggilan kru maskapai untuk bersiap-siap menyiapkan tiket pesawat dan kartu tanda pengenal sebelum memasuki pesawat.

Kami antre untuk memasuki area lapangan landasan Bandara. Setelah kami melalui pemeriksaan tiket dan kartu identitas, kami pun berjalan memasuki lapangan landasan untuk menuju ke pesawat terbang yang telah terparkir disana.

Kami masuk ke dalam pesawat lalu mencari kursi sesuai dengan nomor yang kami dapatkan ketika melakukan boarding. Tidak lama kemudian, pramugari dari maskapai tersebutmemberikan instruksi-instruksi standar keselamatan internasional kepada para penumpang pesawat.

Setelah melakukan stimulasi tentang instruksi standar  keselamatan kepada para penumpang, maka pesawat pun mulai lepas landas secara perlahan dan akhirnya sampai pada ketinggian yang telah ditentukan.

Di dalam pesawat itu, aku dan Bram hanya terdiam satu sama lain. Tangan Bram tetap memegang tanganku dan kepalaku pun bersandar pada pundak Bram. Aku yang takut ketinggian, memejamkan mata.

Sedangkan pikiran Bram, terus melayang pada sosok Dina yang dilihat dalam keadaan tanpa busana. Walaupun Bram terus menghalau pikiran itu, tetapi bayangan tubuh Dina bertambah jelas terlihat.

Bram tidak tahu apa yang dipikirkannya. Yang pasti saat ini, ia memikirkan bentuk lekuk dari tubuh dan area sensitif Dina yang terlihat putih bersih tanpa tumbuh rambut sedikitpun.

Terlihat sekali Dina sangat menjaga kebersihan area sensitifnya. Dan yang  sangat di ingatnya adalah sebuah  daging kecil berwarna kemerahan yang menyembul dibagian tengah area sensitif milik Dina. Hasratnya, ingin sekali melumat daging kecil kemerahan itu. Seketika ia tersadar.

"Pikiran gila apa ini?" kutuk batin Bram.

Satu jam setelah perjalanan, pramugari maskapai pesawat yang kami tumpangi, meminta kami untuk memasang sabuk pengaman dengan menegakkan kursi. Karena pesawat akan melakukan pendaratan.

Dalam beberapa menit kemudian, pesawat mulai melakukan pendaratan dengan menurunan ketinggian pesawat secara bertahap. Hingga ketinggianpun dapat diturunkan sesuai prosedur pendaratan yang berlaku.

Terasa sekali roda kaki dari pesawat tersebut menyentuh landasan dengan getaran yang hampir terasa sama ketika kami naik roller coaster.

Akhirnya kami pun telah mendarat dengan selamat. Dan kami boleh membuka sabuk pengaman, ketika pesawat berhenti dan parkir dengan sempurna.

Setelah itu kamipun mulai bangun dari kursi dan mengantri untuk mengambil barang di kabin pesawat, setelah itu kami mengantri untuk keluar dari pesawat satu persatu.

Lalu kami pun keluar dari pesawat dan berjalan menuju tempat pengambilan koper. Kami mengambil koper dan menuju keluar area dari bandar udara tersebut. Sesampai di luar, kami mencari taxi untuk menuju kampung halamanku yang berjarak sekitar dua puluh lima kilo dari bandara.

Setelah itu kami mendapatkan taxi yang membawa kami menuju ke kampung halamanku. Dalam perjalanan yang akan memakan waktu sekitar dua jam itu, Bram tertidur pulas dikarenakan memang saat ini waktu telah menunjukan pukul satu dini hari.

Sedangkan aku tidak bisa memejamkan mata sedikit pun, karena ketika berada di dalam pesawat, tertidur pulas dengan rasa takutku.

Akhirnya kami sampai di rumah paman. Ketika mobil taxi yang membawa kami masuk ke halaman pekarangan rumah paman. Aku lihat bibi dan salah seorang dari saudara lelaki sepupuku, telah berada didepan teras rumah paman.

Setelah supir taxi menurunkan barang-barang kami, salah seorang saudara lelaki sepupuku membantu menurunkan koper serta tas ku. Sedangkan, aku memeluk bibi dengan perasaan sedih.

"Bagimana kabar mu?" tanya bibi sambil mencium kedua pipi ku.

"Baik-baik saja Bi.’’ Sahutku sambil mencium kedua tangan bibi, dan menyalami saudara lelaki sepupuku.

"Bagaimana kabar mu dan keluarga disana Bram?" tanya bibi Ajeng pada Bram.

"Semua baik-baik bi," jawab Bram sambil mencium kedua tangan bibi Ajeng. serta menyalami saudara lelaki sepupu Ajeng yang saat itu berada disamping bibinya Ajeng.

Mereka pun masuk kedalam rumah. Bram membawa satu koper sedangkan saudara lelaki sepupu Ajeng membawakan satu koper lagi. Mengingat kami sampai ke rumah dini hari, maka bibinya Ajeng meminta kami untuk beristirahat.

Kami pun masuk ke kamar yang telah disiapkan untuk kami, lalu aku masuk ke kamar mandi untuk sekedar mencuci muka dan mengganti pakaian. Begitupun dengan Bram, ia mencuci muka dan mengganti pakaian.

Lalu kami beranjak ke tempat tidur kami. ketika berada di tempat tidur, Bram mencoba mencium bibir ku. Tetapi aku menolak, karena rasa lelahku dalam perjalanan tadi.

Tetapi Bram terus mencoba merajuk dan mengoda aku, agar ia bisa menikmati hasrat cintanya bersamaku.

"Sayang, Aku ingin sekali bercinta dini hari," rayu bram dengan mencoba memegang area sensitif ku. 

Tetapi aku tetap menolak. Dan langsung mengingatkan kondisiku.

"Maaf mas Bram, aku benar-benar tidak mood dan lagi pula kita seharusnya mendengarkan saran dokter, untuk tidak melakukan hubungan suami istri."

"Mas kan tahu, itu akan menjadi masalah besar dengan kandunganku," ujar ku panjang lebar menjelaskan hal itu sebagai penolakanku sambil membelakangi Bram, dan beristirahat.

Akhirnya Bram pun tidak bisa memaksakan hasratnya padaku, lalu ia pun mencoba untuk memejamkan matanya. Karena besok kami semua akan menjenguk pamanku yang berada di Rumah Sakit.

Tetapi hasrat Bram yang menggebu-gebu sejak melihat Dina dirumah bunda. Dan masuk dalam pikirannya, ketika berada di Bandara, hingga saat berada di dalam pesawat.

Membuat dirinya tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya masih saja teringat akan pemandangan indah yang dilihat. Karena tidak kuatnya hasrat itu, Bram memutuskan untuk melakukan melakukan hasratnya, yang dia lakukan dengan tangannya sendiri sambil mengingat kembali lekuk tubuh Dina yang dilihatnya.

Tanpa sadar, dirinya telah merasakan sensasi yang sangat mendalam pada hasratnya, dia pun memanggil lirih nama Dina hingga mencapai klimaks.

Terasa melegakan bagi hati Bram, ketika batinnya telah terpuaskan. Ia telah menumpahkan segala hasrat yang sejak kemarin sore telah ditahannya hingga dini hari baru tertuntaskan.

Setelah itu Bram pun beranjak ke tempat tidur karena rasa kantuk yang telah dirasakannya.

Aku bangun sekitar pukul enam langsung menuju dapur. Dilihat bibiku sedang menanak nasi dan sedang mempersiapkan makanan pagi untuk kami.

"Selamat pagi Bi," ujarku pada bibi, dan bibi  menoleh ke arahku.

"Pagi Nak, gimana tidurmu bisa nyenyak?" jawab bibi dan menanyakan kondisiku.

Lalu aku membantu bibi menyiapkan makanan untuk sarapan kami dan memasak beberapa makanan kesukaan paman yang akan mereka bawa ketika membesuk nanti.

sambil memasak, aku membicarakan perihal sakit pamanku. Karena selama ini, aku melihat paman baik-baik saja. aku berpikir, kenapa sampai tidak mengetahui kondisi paman sebenarnya.

Menurut bibiku, paman selama ini menyembunyikan perihal penyakitnya agar kami semua tidak was-was terhadap dirinya. Sungguh suatu hal yang menyedihkan ketika hal itu ku dengar.

Menurut bibinya saat ini paman menderita penyakit ginjal. Tetapi paman telah ditangani oleh Dokter spesialis penyakit dalam dan menurut cerita dari bibi, kondisi paman saat ini sudah agak membaik setelah di bawa ke Rumah Sakit.

Rencananya pagi ini, setelah mereka sarapan pagi, kami akan membesuk paman di Rumah Sakit. Setelah dua jam berlalu, makanan yang dimasak oleh aku dan bibi pun selesai.

Dan aku menyajikan sarapan tersebut di meja makan. Sedangkan bibi sedang menaruh beberapa makanan pada rantang yang akan dibawanya ke Rumah Sakit. Setelah itu, aku  membangunkan Bram dan saudara lelaki sepupuku untuk sarapan pagi.

Mereka pun akhirnya sarapan bersama di meja makan sambil sesekali bercerita tentang banyak hal. Terasa keakraban diantara Bram dan saudara sepupuku. Dan itu membuat aku bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status