*Ajeng POV*
Peluit panjang membangunkan aku dari lelapku. Seluruh penumpang kereta mulai terbangun dan mengemasi barang barang bawaan mereka. Begitupun dengan diriku.
Aku turuni tangga terakhir kereta itu dengan berkata dalam hati, 'Harus sampai kapan aku melakukan perjalanan ini?'
Tarikan nafasku membuat kesesakan di dada ini.
Aku menarik koper dan menjinjing sebuah tas menyusuri peron-peron yang terasa begitu dingin kurasa, dibandingkan sebulan yang lalu bahkan sepuluh tahun yang lalu. Ada sebersit keraguan dan kebimbangan dalam hatiku. Tapi aku terus menelusuri peron itu, hingga sampai ke bagian pemeriksaan akhir tiket.
Aku turuni tangga demi tangga dengan begitu banyak keraguan, atas keputusan yang akan aku ambil. Sampai di tangga akhir, aku melihat sosok yang sudah aku kenal selama 15 tahun lalu, telah menunggu dengan senyumnya yang khas.
"Sayang bagaimana perjalanan mu?" Semua baik-baik saja kan?" tanya lelaki yang telah ku kenal selama lima belas tahun itu.
"Ya mas, semua baik-baik saja, seperti biasa nya," jawabku, dalam pelukannya.
Apa yang kurasakan hari ini sama seperti yang kurasakan 15 tahun silam. Dia adalah seorang lelaki yang sangat aku cinta, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Lelaki itu adalah, Bram cinta pertamaku dan terakhirku. Sambil menyusuri jalan menuju parkir, pikiran ku melayang jauh mengingat masa kebersamaan selama kuliah.
"Ajeng sayang.. koq melamun, udah sampai ini kita di parkiran."
Bram membuka bagasi untuk menaruh koperku. Dan kami memasuki mobil, lalu mobil pun melesat kejalan yang masih lenggang di pagi ini.
"Ajeng sayang, mau sarapan apa kita?’’ tanya Bram, sambil mengelus kepala ku.
Aku hanya menghela napas.
"Sayang , kita makan bubur kesukaan kamu yaa?"
"ya mas, jawabku sambil menoleh melihat dirinya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, sampailah kami ke tempat pangkalan bubur yang biasa kami singgahi untuk sarapan. Kami mencari tempat duduk dan memesan bubur.
Setelah memesan, kami pun duduk, dan Bram memegang erat tanganku, sesekali ia mencium punggung tanganku. Dan aku sangat mengerti, dia sangat merindukan diriku, begitupun dengan diriku sendiri.
Aku merasakan kerinduan yang dia rasakan, walaupun lewat genggaman tangannya. Dan bukan hanya memancar dari wajah, tetapi dari suara, perilaku, dan pastinya dari setiap sentuhannya, aku merasakan getaran yang sama.
Walaupun satu bulan sekali kami bersama selama satu minggu saja, tapi itu sudah cukup membuktikan, bahwa kekuatan cinta kami memang begitu kuat. Sehingga perjalanan yang bertahun tahun kami lalui, terasa membahagiakan.
Dan ketika kebersamaan kami yang hanya satu minggu itu berakhir. Kami harus menunggu lagi satu bulan lagi untuk bertemu. Oleh karena itu kerinduan kami yang demikian sangat memuncak tidak bisa kami halau walaupun sedetik.
Tapi entahlah, setelah perjalanan rahasia cinta kami yang telah 10 tahun berlalu, akankah tetap sama, jika aku sampaikan sesuatu padanya tentang kondisiku saat ini? Suara batinku seakan menjerit. Aku hanya takut, jika Bram tidak menyetujui keinginanku.
"Ajeng dimakan buburnya," Bram mengingatkan aku untuk memakan bubur yang telah dihidangkan, berikut teh manis hangat.
Seperti biasa dia yang menambahkan kecap manis pada kerupuk yang ada di dalam mangkok buburku. Dan seperti biasa, dia juga selalu menambahkan kacang kedalam mangkok buburku. Dia adalah orang yang mengerti hal yang ku suka dan yang tidak.
"Terima kasih mas ," ucapku manja padanya.
Dia hanya tersenyum sembari mengedipkan matanya. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Dalam hati aku bergumam 'oh kekasih hati ku, bagaimana bisa aku menghalau kerinduan ini ketika aku melihat wajah, mimik, suara dan kenakalan mu.'
Aku makan dengan mendengarkan beberapa cerita tentang teman-teman sekantornya. Tentang ibundanya yang saat ini sudah mulai sakit-sakitan. Dan tentang harapan kami, tentang hubungan yang selama sepuluh tahun, kami jaga kerahasiaannya dari ibunda Bram.
Cinta membuatku, merahasiakan status hubungan kami selama ini. Karena aku tidak ingin banyak orang tersakiti atas cinta kami. Karena cinta kami bukan untuk menyakiti siapapun. Selesai sarapan bubur, kami melanjutkan perjalanan ke rumah kami.
Dalam perjalanan aku bercerita banyak tentang kampung halaman yang aku tinggalkan. Tiga puluh menit kemudian, akhirnya kami sampai pada rumah mungil kami. Seperti biasa, aku selalu melihat sekeliling rumah ketika baru sampai rumah. Melihat-lihat berbagai jenis bunga yang aku tanam.
Teras rumah yang terlihat bersih dan tanaman yang terlihat terawat, mengingatkan aku akan kasih sayang Bram yang selalu mengerti tentang diriku dan kesenanganku akan rumah ini.
Bram membuka pintu dan mengangkat koper dan tas yang aku bawa. Kami lalu masuk ke dalam kamar untuk merapikan baju yang ada di dalam koperku. Tetapi karena, kerinduan Bram pada diriku yang bergelora, menunda kegiatanku untuk merapikan pakaian yang masih ada di dalam koper.
Bam langsung membopong ku ketempat tidur dan mencium bibirku dengan lembut.Kerinduan kami pun tumpah dengan setiap kecupan yang dia berikan pada setiap jengkal tubuh ku.
Dengan bisikan cinta dan kasih sayang yang dibisikan ke telinggaku, membuat aku terbawa dalam getaran kerinduanku yang selama ini aku pendam. Hingga aku pun melepaskan segala hasrat yang ku tahan selama ini atas dirinya.
"Ooouuh...Aaahhh...eenaakk, mas...," desahanku kian bertambah keras ketika Bram dengan hasratnya yang membara mengecup dan mengulum area sensitifku.
Aku merasakan kenikmatan yang teramat sangat, hingga aku meminta pada Bram untuk berada diatas tubuhnya. Ketika diatas tubuhnya, aku mendekatkan area sensitifku tepat dibibirnya dengan kedua kaki bersimpuh di hadapannya.
Disana aku pun berkata pada Bram,"Mas, aku ingin yang enak."
Tanpa diminta, Bram telah melumat isi area sensitifku dengan lembut. Dan hasratku yamg kian melambung, membuat aku memajukan dan memundurkan bokongku dari bibir Bram berulang kali.
Hingga pada puncaknya, aku menekan bokongku ke bibir Bram, dan Bram dengan rakus menghisap dan memainkan lidahnya masuk kedalam.
"Ooouuhhh...Aahh...Eennakk mas," jerutku. Akhirnya aku menekan dan menggoyangkan bokongku lebih dalam ke bibir Bram, hingga cairan kenikmatanku tumpah memenuhi bibir Bram.
Setelah puas dengan hasratku, kini Bram mengambil posisi diatas. Ia kini mengangkat kedua kakiku ke bahunya dan melakukan tusukan kenikmatannya kedalam area sensitifku dengan kasar.
Aku yang masih merasakan denyut kenikmatan atas permainan pertama, langsung mengangkat bokong dan mengoyangkan dengan keras hingga Bram tidak mampu menahan rasa nikmat yang ada di ujung batang kelelakiannya.
"Aaarrhhhhh....Ooouuuhhh....keluar aku, Ajeng...Aaarhhhh...nikmatnya," Bram dengan napas tersengal-sendal mendesah dan menekan seluruh batang kelelakiannya ke dalam area sensitifku.
Kami akhirnya terkulai lemas dalam kebahagiaan. Bram yang telah ada disampingku, mengecup mesra keningku. Dan berkata,"Berapa kali tadi keluar?" Dengan tersenyum ia menggodaku.
Akhirnya kamipun tertidur dalam pelukan cinta. Begitulah cinta, dan kerinduan kami yang terpisah oleh waktu selama satu bulan sekali. Kami curahkan dalam hasrat dan kasih sayang yang mengebu selama satu minggu, dengan penuh kehangatan yang melambungakan kami dalam setiap percintaan.
Yang kami ingini saat ini adalah menghabiskan waktu selama satu minggu dengan mencurahkan cinta dan kasih sayang. Masalah ibunda Bram yang tidak menyetujui hubungan kami, seperti biasa mas bram pun selalu punya cara untuk memberikan alasan pada ibundanya setiap bulan, Ketika ia bertemu denganku.
Dan hal itu bukan masalah yang besar untuk Bram, mengingat dirinya seorang atasan pada sebuah perusahaan. Dimana dirinya, diharuskan untuk mengontrol beberapa cabang diluar kota. Cinta kami yang membara dapat memberikan ide pada Bram untuk berbohong pada ibundanya.
Seperti pagi ini, disaat aku sedang mamasak, Bram diam-diam memelukku dari belakang dan mendaratkan ciumannya di tengkuk leherku. Kami selalu merasa seperti pengantin baru.
Padahal kami sudah menikah selama sepuluh tahun lamanya. Dan Bram adalah seorang lelaki yang romantis dan penuh pengertian. Sangat paham, tentang apa yang membuat aku bertekuk lutut dihadapan. Setidaknya, dia sangat mengerti apa yang kuingini, ketika kami dimabuk asmara seperti ini.
Aku hanya mendesah, “Mas, geli aah..
Dia tambah bersemangat dengan memelukku tambah erat. Hingga akupun merasakan batang kelelakiannya menyentuhku dari belakang.
“Mas, masakanku nanti gosong," ujarku manja dengan memegang tangannya yang melingkar di pinggangku.
Lalu dengan sigap dia matikan api dalam tungku itu. Seketika dia sudah membalikkan tubuhku berada dalam hadapannya. Ciuman hasratnya semakin menjadi. Hingga kamipun harus bercinta di dapur.
Hmmm sungguh kegilaan cinta yang sering dia curahkan padaku. Dan kebahagiaan seperti inilah yang selalu aku rindukan, ketika jarak telah memisahkan kami.
Hubungan jarak jauh, membawaku pada kenangan cinta dan hasrat yang sangat mendalam, dan itu tidak pernah berubah sedikitpun, ketika kami berpisah dan bertemu lagi.
Seringkali, ketika aku kembali ke kampung halaman, aku menangis dalam perjalanan. Karena satu bulan adalah waktu yang lama setelah bulan madu yang sepekan kami lalui.
Seringkali kegetiran melanda isi hatiku dan banyak pertanyaan dalam batin ku yang harus ku jawab sendiri. Tentang mengapa hal ini terjadi? sampai kapan aku menjalani seperti ini? hingga kapan aku bisa hidup bersamanya dalam kehangatan cinta kami?
Tanpa terasa, waktu seminggu yang kami lalui dengan cumbu mesra dan hasrat yang tiap hari bergelora akan berakhir. Seperti pagi ini adalah hari terakhir aku dirumah mungil cinta kami.
Aku harus mengemas seluruh pakaian dan perlengkapan yang aku bawa ketika aku ke kota suamiku, Bram. Dan keinginanku untuk memberitahukan perihal yang seharusnya dia tahu, selalu saja menjadi keraguan dalam diriku.
Bagaimana rasa takut itu aku rasakan, karena Bram telah mempunyai istri, pilihan dari ibundanya. Sedangkan Bram, tidak bisa memberitahukan tentang keberadaan diriku pada ibunda dan keluarganya selama masa pernikahan rahasia kami sepuluh tahun ini.
Pernikahan yang kami lakukan sepuluh tahun yang lalu tanpa restu ibunda Bram. Dan Hanya berjarak satu bulan sejak pernikahanku dan Bram, ibundanya memaksa Bram menikahi gadis pilihannya.
Sebelumnya Bram memberitahu ibundanya, kalau ia akan menikahi aku. tetapi ibunda Bram menolak diriku, karena ia berjanji pada sahabatnya, untuk menjodohkan anak-anak mereka.
Teringat olehku, kepergian Bram ke kotaku, dan menikahi ku, dikarenakan ia ingin meyakinkan ibundanya, bahwa aku adalah gadis satu satunya pujaan hatinya.
Memang kami menikah secara agama saja, tidak punya sehelai kertas, tapi tekad dan kuatnya cinta kami membawa kami kepernikahan yang tidak disetujui oleh ibunda Bram.
"Hmmmm sedang melamunkan apa sayang?" tanya Bram membuyarkan lamunanku tentang masa lampau.
Aku hanya tersenyum melihat kehadirannya disampingku, ketika aku sedang merapikan pakaian yang akan ku bawa pulang ke kampung. Ingin rasanya aku mengatakan hal yang sebenarnya aku katakan. Hanya saja aku takut, membuat dirinya terbebani atas apa yang terjadi pada diriku.
Tapi kejadian tadi pagi membuat aku tidak bisa mengelak atas apa yang terjadi pada diriku. Aku merasakan mual-mual ketika harus menyikat gigi. Dan itu membuat hatiku terus bertanya dalam hatiku. 'Apakah aku harus mengatakan, kalau aku...?'
Seperti siang ini, tiba-tiba saja rasa mual yang telah aku rasa dalam dua minggu ini kembali menggangu. Aku berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi dari perut ku. Dan Bram yang mengetahui aku muntah di kamar mandi, mencariku disana.
"Yaa Tuhan...Ajeng, kamu sakit... kamu masuk angin?’’ tanya bram dengan cemas.
Setelah aku keluar dari kamar mandi. Aku pun terduduk di sisi dari tempat tidur. Bram memijat punggungku dengan memberikan minyak penghangat, agar aku merasa lega.
"Ajeng, kita ke dokter ya hari ini," ujar Bram masih menemaniku yang terduduk disisi tempat tidur.
"Kamu jangan dulu balik ke kampung, aku tidak ingin terjadi sesuatu hal dengan diri mu."
Tanpa terasa air mataku menetes dan aku menanggis sejadi jadinya. Mendengar Bram mencemaskan diriku. Bram pun terkejut dengan suara tangisanku yang dirasanya mendadak.
"Ajeng sayang... kenapa nanggis?" tanya Bram sambil meraih tubuhku menghadapnya.
Dengan suara terbata-bata dan hampir tidak terdengar aku katakan padanya, "Mas, aku hamil."
Setelah aku sampaikan apa yang menjadi ganjalan hatiku, tangisku pun semakin menjadi keras.
Bram memeluk erat tubuhku. Dia pun ikut menangis. Dan dia berkata padaku,"Sayang aku bahagia mendengarnya, dan mari kita lalui bersama semua kebahagiaan kita ini."
"Aku tidak ingin membuat dirimu bersedih atas berita bahagia yang seharusnya kita rayakan."
"Sudah cukup pengorbananmu selama ini. apapun resikonya, aku harus katakan pada bunda, tentang kita dan kehamilan kamu,’’ ucap Bram sambil terus memelukku.
“Bayi didalam rahimmu adalah buah cinta kita, dan aku berjanji, tidak akan ada seorangpun yang mampu memisahkan kita."
Pelukan mas bram, membuat aku sedikit tenang. Dia memegang perut ku, dan menciumnya berkali-kali.
Aku berpikir dalam hati,' Terkadang kecemasan dan ketakutan atas hal apapun yang kita pikirkan, ternyata tidak seperti apa yang kita cemaskan dan takutkan.'
'Kita hanya perlu jujur dan berani mengatakannya. Karena setiap keberanian bukan berarti tidak adanya ketakutan, akhirnya yang aku takutkan selama ini, ternyata membuahkan kebahagiaan, bukan hanya untuk diriku saja tapi untuk Bram.'
Harapan besar ku, Kehadiran anak diantara kami kelak akan membuat kami semakin mencintai dan aku sangat berharap Bram dapat menjaga kami dengan baik. Tetapi, ketika teringat akan ibunda Bram, Ada sebersit kecut dan galau dalam hatiku.
Mengingat aku bukan istri pilihan ibunda Bram. Tapi aku yakin dan percaya, Bram mampu mencari jalan keluar, atas apa yang terjadi. Dan yang aku juga yakin, Bram akan mengambil langkah yang bijak dalam masalah yang kami hadapi saat ini.
Aku teringat, setelah Bam menikah denganku di kampung halaman. Dia pamit meninggalkanku, untuk bisa memberitahu bundanya, perihal ia yang telah menikah tanpa seizin ibunda.
Tetapi setelah berselang dua minggu kemudian, aku mendengar kabar sedih yang Bram katakan langsung padaku. Kata Bram, ketika dia sampai di rumah, ibunda telah menyiapkan segala persiapan pernikahan dirinya dengan gadis pilihan ibunda.
Karena keluarga mempelai wanita sudah datang, dan persiapan sudah hampir rampung maka Bram tidak bisa mengatakan yang seharusnya dia katakan pada ibundanya, dan keluarga besarnya. Maka pernikahan kedua Bram dengan wanita pilihan bundanya pun dilaksanakan.
Aku ingat, bagaimana kondisiku, sewaktu Bram bercerita tentang pernikahan keduanya. Yang membuat hatiku hancur, hingga tanggisku pecah seketika. Khayalku tentang restu dari bundanya, dan bisa diterima dalam rumah Bram hancur.
Perlu waktu seminggu untuk meyakinkan hatiku atas segala yang sudah terjadi. Bram dengan setia menemani aku untuk bisa memahami kondisinya saat itu. Dia terus meyakinkan diriku, dengan memeluk dan mengatakan tidak akan berpaling pada cinta yang lain, terlebih pada istri pilihan ibunda.
Bahkan dia mengatakan padaku, kalau.ia tdak menyentuh sehelai rambutpun dari wanita pilihan ibunya ketika malam pertama mereka. Setelah satu minggu dalam keterpurukan, aku akhirnya berupaya menerima kondisi Bram. Karena aku yakin dan percaya akan kisah cinta kami.
Kami berpacaran hampir lima tahun. Dan dalam lima tahun itu tidak sesekali Bram, melakukan perbuatan yang melecehkan diriku. Dia tetap menjaga aku tidak ternoda hingga kami kepelaminan dan kami menghabiskan malam pertama dengan keluguan dan rasa malu dan canggung kami.
Dan saat ini, akupun merasakan hal yang sama seperti pada saat berita pernikahan atas perjodohan itu disampaikan kepadaku. Ya, sepuluh tahun yang lalu, sama seperti ketika aku memberitahukannya tentang kehamilanku.
Keyakinan aku akan cinta kasihnya, membuat aku percaya kalau dirinya akan menjagaku dan melindungi buah cinta kami.
“Ajeng sayang.., mari kita pergi ke dokter kandungan, aku ingin anak kita sehat, ujar Bram sambil memapah diriku.
Aku pun menganti pakaianku. Bram dengan cinta kasihnya, membantu aku menganti pakaian, dengan sesekali mencium mesra kening ku dan rambutku.
"Jangan menangis lagi ya sayang, nanti anak kita jadi cenggeng” ujar Bram menggodaku.
Setelah mengunci dan menutup semua pintu rumah, kami menuju mobil untuk pergi ke dokter spesialis kandungan, dengan pengharapan, semua akan baik-baik saja dan berjalan lancar.
*Bram POV* Tepat pukul tujuh Bram sampai ke rumah. Setelah memasukan mobilnya pada garasi, aku langsung ke kamar dan mendapati istri pilihan ibunda sedang bersolek. Dina adalah istri pilihan bunda, perjanjian perjodohan antara bundaku dengan tante Ririn, mama dari Dina, mengharuskan aku menikahi gadis yang tidak aku cintai. Walaupun dia seorang gadis yang cantik, sexy dan berkulit putih mulus. Tetapi rasa cintaku pada Ajeng, tidak memberikan tepat untuknya. Dina juga seorang gadis yang sangat terbuka dengan segala hal. Dia tidak pernah menutupi apapun. Hanya saja, kasih sayangnya, pada tante Ririn membuat ia mengikuti apa yang menjadi ketentuan atas diri dan masa lalunya, ketika ia menempuh pendidikan di negeri australia. Aku ingat, pada malam pertama, Dina bercerita tentang masa lalunya. Karena hal itu, aku katakan padanya, kalau aku tidak akan menyentuhnya. Aku juga bercerita padanya, tentang Ajeng. Dan Dina menerima hal itu,
*BRAM POV* Keesokan harinya, aku lihat bunda telah siuman. Dan aku melihat kondisi bunda dari jendela yang ada di ruang tamu pasien. Karena saat ini aku berada di ruang tamu, yang ada di ruang perawatan bunda. Untuk saat ini, aku belum berani untuk bertemu bunda. Aku tidak ingin bunda mengingat kejadian kemarin. Oleh karena itu aku tidak ingin mengganggu ketenangan bunda. Hanya dina yang menunggu bunda di dalam kamar perawatannya. Dan saat ini, aku melihat dina sedang menyuapi bunda. Tetapi aku sama sekali tidak bisa mendengarkan pembicaraan diantara mereka. Aku masih menunggu di ruang tamu, ketika seorang perawat memasuki ruang perawatan, untuk memberikan obat yang harus di minum oleh bunda. Setelah itu, aku lihat bunda meminum obat yan diberikan obat pada perawat tadi. Lalu Dina terlihat, berpamitan pada bunda dan meminta bunda untuk beristirahat. Dina akhirnya keluar dari kamar bunda. Dan melihat aku yang sedang duduk di se
*Bram POV* Aku masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dimulai dengan membersihkan bagian bulu-bulu halus pada wajahku, dengan foam wajah. Lalu aku membersihkan seluruh tubuhku. Setelah itu, aku mulai menyiram seluruh bagian tubuhku. Terasa sangat segar sekali setelah beraktifitas di pagi ini. Ketika hampir selesai aku meminta Ajeng untuk mengambilkan handuk, yang memang dengan sengaja tidak aku bawa, karena aku ingin mengajaknya mandi bersama. "Ajeng sayang, tolong ambilkan aku handuk, Aku lupa membawanya." Terdengar sayup-sayup Ajeng menjawab panggilanku padanya" Yaa Mas." Hanya beberapa menit kemudian, Ajeng telah membawakan handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Lalu dengan sengaja aku menyiram tubuhnya dengan shower. "Aduh...mas ini, basah bajuku, dan lihat handuknya juga basah," ujarnya dengan kedua bola mata yang mendelik kearahku. Aku lalu memeluk dan mencium dirinya yang telah basah kuyup. Melihat seranga
*Ajeng POV* Sekitar jam lima sore aku baru terbangun dari tidur siang. Kalau saja perutku tidak berteriak minta diisi mungkin saja, aku masih bermalas-malasan di tempat tidur. Aku raih ponselku yang berada di dekat meja kecil samping tempat tidurku. 'Hmmmm, kenapa mas Bram tidak menghubungi ku yaaa?' gumamku dalam hati. Aku membuka panggilan masuk, karena aku pikir, bisa jadi mas Bram menghubungiku, karena aku tertidur, bisa jadi aku tidak mendengar panggilannya. Tetapi, setelah aku cek, ternyata mas Bram tidak menghubungiku. Kemudian aku menghubungi Bram, tetapi sudah sampai beberapa kali, tidak satu pun panggilanku di jawab oleh Bram, dan itu membuat diriku kesal dibuatnya. 'Koq bisa sih....mas Bram tidak menjawab panggilanku, hmmmm lagi dimana dia sekarang?' gumamku dalam hati. Aku lalu beranjak dari tempat tidur menuju kulkas, untuk melihat, makanan atau camilan apa yang masih tersisa. Karena aku sudah sangat lapar sekali. Te
*Ajeng POV* Suara dering ponselku, terdengar keras ketika waktu menunjukan pukul lima pagi. Terhentak Aku terbangun, sekilas aku melihat Bram masih tertidur pulas ketika aku mengambil ponsel yang berada persis disamping meja sisi kanan tubuh mas Bram yang masih tertidur nyenyak. "Hallo Ajeng, ini bibi," terdengar suara bibiku ada di sambungan telpon dengan suara paraunya menangis. Ia memberitahukan kalau pamanku sakit, di kampung halaman. Bibi meminta aku untuk bisa pulang ke kampung halaman karena pamanku sedang sakit parah. "Baik bi, Ajeng akan segera pulang dengan mas Bram," Jawabku menahan isak tanggisku yang tertahan. Setelah aku menutup pembicaraanku dengan bibi lewat Sambungan telepon. Tanggisku pun meledak, hingga membuat Bram terbangun. Dalam keadaan bingung dan kaget Bram menghampiri diriku. "Ajeng, kenapa kamu menangis?" tanya Bram menghampiriku dan memeluk erat tubuhku.Bram sengaja membiarkan aku men
*Ajeng POV* Bram sampai di rumah tepat pukul sembilan malam setelah dia pamit pada bundanya di Rumah sakit serta pada Dina di rumah ibunda. Setelah berkemas membawa masing-masing satu koper, mereka pun memesan taxi untuk membawa mereka pergi Ke Bandara. Aku merasa gelisah, ketika menuju ke Bandara. Aku sangat kuatir dengan kondisi kesehatan paman yang telah menjadi Ayah bagi diriku. Ketika aku berpamitan kepada paman satu bulan lalu, kondisi paman baik-baik saja, tidak terlihat ada suatu penyakti yang diderita oleh paman. Tak terasa bulir air mataku jatuh membasahi pipi. Sesekali aku menyeka air mata yang jatuh membasahi pipiku. "Ajeng sayang, sudah tenangkan dirimu," Bram mencoba menghiburku, dengan mengenggam tanganku, lalu merebahkan kepalaku pada bahu bram. "Aku sangat takut terjadi sesuatu hal dengan paman mas,"sahutku dengan isak tanggis yang tertahan. "Semua akan baik-baik saja, saat ini kita hanya bisa mendoaka
*Ajeng POV* Setelah kami selesai sarapan pagi, saudara lelaki sepupu ku menyiapkan mobil yg akan digunakan ke Rumah Sakit untuk menjenguk Paman. Kami masuk ke dalam mobil, perjalanan menuju Rumah Sakit pun di mulai. Sekitar satu jam dalam perjalanan, kami sampai di Rumah sakit. Pada umumnya Rumah Sakit, bentuk dan struktur bangunannya hampir sama antara Rumah Sakit yang satu dengan Rumah Sakiy yang lain. Bagian depan dari rumah sakit tersebut ada sebuah taman. Di samping sisi kiri dan kanan adalah tempat parkir kendaraan roda empat dan kendaraan roda dua. Ada pula supermarket mini, dan beberapa tempat Anjungan tunai mandiri. Di bagian depan Rumah sakit, ada bangunan besar yang di gunakan untuk bagian Unit Gawat Darurat, dimana setiap pertolongan pertama yang bersifat darurat akan merujuk pada bagian gedung ini. Lalu sisi gedung dari UGD ada sebuah bangunan lain, yang digunakan sebagai poliklinik, dari beberapa Do
*Bram POV* Setelah keluar dari kamar itu perasaan ku sungguh sangat kacau. Jantung ku masih berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak, untuk kedua kali, aku melihat Dina keluar dari kamar mandi hanya dengan mengunakan selembar handuk yang melingkari ditubuhnya. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu apalagi kami adalah pasangan suami istri. Hanya saja selama ini, komitmen yang sudah kamk ikrarkan menjadi penyebab jantung ku berdetak kencang. Ditambah kejadian tempo hari yang sungguh menyita sebagian pikiranku, tentang rasa bersalah ku pada Dina. Sampai-sampai aku berpikir, apa rasa bersalah ku pada Dina, yang membuat perubahan pada hati dan pikiranku. Sedangkan hasrat yang aku rasakan saat ini, menurut ku, hanyalah dari rasa kasian ku pada diri Dina, yang melampiaskan kebutuhan batinnya dengan caranya sendiri.M "Mas Bram sudah kembali dari kampung halaman Ajeng?" tanya Dina yang tiba-tiba sudah berada di belakang ku.