Share

Penyakit Ibundaku

*Bram POV*

Tepat pukul tujuh Bram sampai ke rumah. Setelah memasukan mobilnya pada garasi, aku langsung ke kamar dan mendapati istri pilihan ibunda sedang bersolek.

Dina adalah istri pilihan bunda,  perjanjian perjodohan antara bundaku dengan tante Ririn, mama dari Dina, mengharuskan aku menikahi gadis yang tidak aku cintai. Walaupun dia seorang gadis yang cantik, sexy dan berkulit putih mulus. Tetapi rasa cintaku pada Ajeng, tidak memberikan tepat untuknya.

Dina juga seorang gadis yang sangat terbuka dengan segala hal. Dia tidak pernah menutupi apapun. Hanya saja, kasih sayangnya, pada tante Ririn membuat ia mengikuti apa yang menjadi ketentuan atas diri dan masa lalunya, ketika ia menempuh pendidikan di negeri australia.

Aku ingat, pada malam pertama, Dina bercerita tentang masa lalunya. Karena hal itu, aku katakan padanya, kalau aku tidak akan menyentuhnya. Aku juga bercerita padanya, tentang Ajeng. Dan Dina menerima hal itu, seperti aku menerima masa lalunya.

Kami berjanji untuk bisa menghormati privasi masing-masing.  Dina selalu tahu ketika Ajeng datang ke kota. Karena aku selalu menceritakan tentang Ajeng kedatangan Ajeng, padanya. 

"Dina, aku akan bicara padamu tentang Ajeng," ucapku padanya, untuk membuka kebisuan kami di dalam kamar.

Dina hanya menoleh ke arahku dan tersenyum, lalu dina menyambangi ucapan ku," Bagaimana dengan bulan madunya?"

Aku hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaannya. Lalu aku berkata padanya, "Dina, ada hal yang harus aku katakan padamu, dan aku membutuhkan pemdapatmu."

Dina yang mendengar ucapanku, memandang penuh tanya. Lalu kembali aku mengatakan hal yang ia tidak duga sama sekali.

"Dina, apa sebaiknya kita katakan saja pada ibunda, mengenai apa yang sebenarnya telah kita lakoni selama ini sebagai suami istri?"

Mendengar hal itu, Dina menghampiri ku. Dan saat ini kami saling berhadapan dan ia dengan wajah memohon.

"Tidak Bram, aku belum siap untuk hal itu,  apalagi bunda sedang sakit dan bagaimana mungkin aku harus melukai hatinya yang selama ini baik padaku?" Dina menjawab dan memohon padaku.

Aku terdiam mendengar ucapan yang tidak aku sangka dari Dina. Selama ini aku yang sangat berhati-hati jika harus berurusan dengan bundaku. Hanya aku putra tunggalnya, karena bunda harus bercerai atas perintah eyang kakungku.

Ayah adalah lelaki tampan dan baik hati. Hanya dia satu-satunya dari keluargaku yang tahu dan saksi dari pernikahanku dengan Ajeng, dikampung halaman Ajeng. Sedangkan bunda tidak tahu tentang hubunganku dengan Ayah.

Aku tahu dari ayah tentang perceraian yang terjadi antara bunda dan ayah. Dan semua itu karena status sosial Ayah yang berada dibawah bunda.

Akhirnya ayah harus menyerah untuk mempertahankan cintanya. Oleh karena itu, aku akan bertekad mempertahankan cintaku pada Ajeng yang berbeda status denganku.

Aku ingat, dulu perceraian antara bunda dan ayah dilakukan oleh eyang kakungku. Kala itu aku baru kelas tiga sekolah dasar. Aku yang waktu itu tidak tahu menahu tentang eyang kakungku, akhirnya aku melihat dan mengenalnya.

Keributan di rumah kecil kami saat itu, membuat bundaku menanggis dan memohon maaf pada eyang kakungku. Sedangkan ayahku waktu itu hanya bisa tertunduk lesu, bersimpuh dikaki eyang kakungku bersama bundaku.

Yang ku ingat saat itu, eyang sangat marah dan menyalahkan bunda serta ayahku sebagai penyebab dari wafatnya eyang putri. Akhirnya ayah menebus rasa bersalah dan penyesalnya dengan melepaskan bunda pergi bersama ku dan eyang kakung.

Ketika itu aku tidak tahu permasalahan yang terjadi sebenarnya. Hanya saja, setiap hari ayah selalu menyempatkan diri kesekolah untuk bisa berbicara dan mengajak aku bermain serta membelikan beberapa kue kesukaanku, ketika jam istirahat sekolah.

Setiap hari aku di antar dan di jemput oleh sopir eyang kakungku. Hingga akhirnya dimasa sekolah menengah pertama, ketika eyang kakungku sakit. Aku baru tahu cerita yang sebenarnya, tentang bunda dan ayahku.

Bunda bercerita padaku, 'Ayah adalah sopir keluarganya. Dia berasal dari dusun yang jauh dari kota. Karena keuletan dan kejujurannya, ayah disenangi keluarga bunda. Walaupun ia hanya seorang sopir, tetapi ayah melanjutkan kuliah, demi tujuan hidup yang lebih baik.

Sebenarnya hal utama ia kuliah, karena ia ingin dirinya bisa sejajar dengan keluarga bunda. Sampai akhirnya, ayah di wisuda dan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk dirinya dan pujaan hatinya, bunda.

Ayah jatuh cinta pada bunda, ketika bunda masih sekolah lanjutan atas. Diam-diam mereka saling jatuh cinta dan berjanji akan menikah ketika ayah sudah bisa mencapai gelar sarjana dan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak serta punya penghasilan yang layak.

Karena kecerdasaan ayah, perusahaan mempromosikan ayah menjadi kepala pada salah satu cabang pada perusahaan tempat ayah bekerja. Karena ayah merasa penghasilan dan jabatannya telah pantas untuk menyunting bunda, maka ayah memberanikan diri untuk mengemukakan keinginannya pada eyang.

Ketika hal itu diutakan, eyang tidak menyetujui dan merestuinya. Eyang lalu mengusir dan menghina ayah dengan kata-kata yang kasar. Seketika harapan ayah untuk mempersunting bunda kandas. Hanya saja mereka masih menjalin kasih tanpa sepengetahuan eyang kakung.

Akhirnya, atas dasar cinta kasih pada ayah, bunda memberanikan diri untuk pergi dari rumah untuk menikah dengan ayah. Setelah kejadian itu, bunda dan ayah pindah dari kota itu dan memulai hidup mandiri demi cinta mereka.

Sampai akhirnya, mereka dipisahkan oleh eyang kakungku dengan tuduhan penyebab dari wafatnya eyang putriku. Sebagai rasa bersalah, maka bunda pun rela meninggalkan ayahku, walaupun bunda masih mencintai ayah.

Karena bunda pun tidak ingin kehilangan eyang kakung seperti ia kehilangan eyang putri.

'Hmmm lamunan ku sangat jauh, ketika harus mendengar penolakan dari dina.'

Lalu Dina pamit padaku untuk bertemu dengan teman-temannya. Tetapi baru saja Dina melangkah menuju pintu keluar kamar kami. Aku menarik tangannya.

Aku berkata padanya," Din, kita sudahi saja, sandiwara kita yang sudah sepuluh tahun ini, kamu tahu, saat ini Ajeng sedang hamil!"

Sekita dina terdiam dan mundur memasuki kamar kami. Dina terduduk lesu di pinggir tempat tidurnya, karena selama ini aku selalu tidur di sofa yang ada di kamar itu.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Bram?" tanya Dina padaku.

Kini kami saling berhadapan, dan aku lihat Dina memandangku dengan tatapan tajam. Dan untuk pertama kalinya aku melihat, alis tebal Dina mengerut ikut memikirkan jalan keluar dari masalah rahasia kami.

"Kita harus mengatakan yang sejujurnya pada bunda dan mama Ririn," ucapku pada Dina.

Seketika dina menangis mendengar apa yang menjadi pendapatku. Dan ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Kamu tahu kan Bram, selama ini aku menutup semua rapat tentang masa laluku, Bagaimana mungkin aku membuka aib diriku yang selama ini aku tutupi?" Isak tangis Dina yang tertahan hanya terlihat dari air matanya yang terus mengalir.

Kesunyian kamar yang biasanya kami tempati selama sepuluh tahun akhirnya diisi dengan tangisan Dina. Dan aku yang tidak bisa melihat seorang wanita menangis. Hanya mampu terdiam. Seketika pikiranku kacau.

Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya berdiri menghadap kaca hias di kamar kami. Dan Dina masih terlihat menangis di pinggir tempat tidur kamar kami. Ada sebersit rasa kasihan dihatiku pada Dina. Hanya rasa kasihan bukan cinta, seperti yang aku rasakan pada Ajeng.

Bukan karena dia pernah bersama orang lain dan mempunyai seorang anak di negeri orang. Tapi karena memang aku hanya mencintai Ajengku. Dilema bagi diriku saat ini adalah, harus mengatakan yang sesungguh telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, baik masalah aku dan Ajeng, serta masa lalu Dina pada masa lampau.

Kesunyian itu aku lewati dengan melihat photo-photo Ajeng dan diriku ketika kami menikah. Teringat beberapa tahun yang silam. Ketika kami sama-sama memakai baju abu-abu. Dimana ajeng dari kelas biologi melintas ke laboratorium yang harus melewati kelas kami.

Sejak aku melihat wajahnya yang ayu aku langsung jatuh cinta. Aku adalah seorang playboy tampan dan tajir.  Banyak wanita tergila-gila padaku. Tetapi menurut pandanganku saat itu. Ajeng yang tidak pernah merespon ketika diriku menyapa dan tidak menganggap aku ada, membuat aku penasaran pada sosok kepribadiannya yang bersahaja.

Ia tidak genit seperti wanita lainya.  Dan hal itu yang membuat aku sangat kepicut dengan Ajeng yang mempunyai wajah ayu dan menyejukkan bagi yang melihatnya.

Aku sangat ingat sekali, kejadian ketika aku dan ajeng jadian untuk pertama kalinya.

Ajeng berkata," Kita jalani saja dulu, karena ia ingin mengenal kepribadianku."

Aku tersenyum kecut, ketika Ajeng mengatakan hal itu, Tetapi karena rasa penasaranku dan rasa hormatku padanya maka aku pun menyetujuinya.

Seiring berjalannya waktu, aku semakin mencintai ajeng dengan kepribadian dan keluwesannya sebagai seorang remaja putri yang waktu itu di titipkan  dirumah pamannya.

Ajeng berasal dari desa kecil yang melanjutkan sekolah di kota dan ikut bersama pamannya. Karena ayahnya telah wafat ketika dirinya masih kecil. Aku ingat sekali, bagaimana Ajeng melakukan tugas rumah tangga di rumah pamannya.

Seketika aku tertekun melihat dirinya melakukan banyak hal dirumah itu. Waktu itu sore hari, ketika aku berkunjung kerumah pamannya.

Aku berniat minta izin pada pamannya, untuk mengajak Ajeng keluar untuk pergi ke bioskop. Sewaktu aku kesana, Ajeng sedang menyapu. Setelah itu aku lihat ia menyiram tanaman yang ada di kebun pamannya. Setelah itu ajeng menemui aku .

"Maaf yaa Bram harus lama menunggu, aku mandi dulu yaa," ucap Ajeng menghampiriku di ruang tamu.

Aku hanya menganggukkan kepala, seraya tersenyum manis. Sekitar lebih dari tiga puluh menit, aku ditemani oleh pamannya. Dari pamannya aku baru tahu, kalau Ajeng sudah tidak punya ayah.

Setelah ajeng selesai berhias, kami pun pamit. Dalam perjalanan Ajeng terlihat canggung. Dia hanya terdiam dan sesekali mencuri pandang melihatku.

Aku memecahkan kesunyian dengan bertanya segala sesuatu yang berhubungan dengan ha-hal yang waktu itu sedang tranding. Sampai ke persoalan teman-teman kami di sekolah.

Hingga akhirnya kami sampai di bioskop. Aku pun membeli tiket untuk menonton dan membeli beberapa camilan untuk kami bawa ke dalam bioskop.

Awalnya aku ragu untuk mengandeng tangannya. Tapi karena aku sudah merasa yakin kalau dia pun mencintai aku, maka aku beranikan diri umtuk mengandeng tangannya, ketika kami akan memasuki ruangan bioskop yamg agak gelap itu.

Kalau saja saat itu di bioskop terang benderang, mungkin saja akan terlihat warna dari wajahku yang merah karena malu dan nervous.

Kami duduk dibagian tengah. Dan aku memberanikan diri untuk tetap mengengam tangan Ajeng. Sedangkan Ajeng hanya terdiam. Tidak ada kata-kata yang di ucapkan.

Ketika bioskop memutarkan film , pikiran ku melayang entah kemana sampai sampai aku tidak tahu jalan ceritanya. Aku tersenyum simpul ketika mengingat kencan pertamaku dengan Ajeng.

'Ya, dia wanita ku. Kekasih hatiku. Belahan jiwaku. Terlalu sulit melihat celah salah dari seorang ajeng,' bisik hatiku.

Tapi mengapa bunda tidak bisa melihat sisi baik dan santunnya Ajeng, ketika aku katakan kalau aku sudah punya calon.

Dilema yang ku alami ini mau tidak mau , harus aku atasi, karena aku tidak ingin Ajeng terluka untuk kedua kalinya. Setelah Dina menangis dan aku terdiam di kamar kami. Tidak ada yang bisa kami ucapkan, selain kebisuan diantara kami. Sampai akhirnya kami tidur di tempat tidur masing-masing.

Pagi ini aku bangun dengan semangat dan keyakinan atas pembicaraan yang aku katakan pada Dina.

Aku tidak ingin mengorbankan Ajeng atas ketakutanku, atau atas rasa kasihku pada bundaku. Ajeng saat ini sudah banyak berkorban dan berusaha memahami atas apa yang sudah terjadi dalam keluargaku. Jadi aku putuskan, kalau anak kami tidak boleh mengalami penderitaan seperti yang diderita oleh kami.

Aku menyambangi kamar bundaku. Aku melihat dirinya, seorang wanita paruh baya yang cantik dan bersahaja. Ketika ibunda melihatku, Diapun melambaikan tangannya. Memerintahkan aku masuk kekamarnya.

"Kapan kamu datang dari luar kota Bram?" tanya bunda pada diriku.

"Kemarin bunda, hanya saja ketika Bram pulang, bunda sudah terlelap maka, Bram tidak ingin menggangu, langsung ke kamar," jawabku.

Mari kita makan bareng Bram, kita sudah lama tidak makan bersama. Aku mendorong kursi roda bunda hingga sampai ke meja makan. Bunda mengalami stroke beberapa tahun yang silam. Dan saat ini sedang dalam taraf therapi pemulihan.

Kami sampai di meja makan, tetapi aku tidak melihat Dina ada di meja makan.

"Bram, apa Dina terlalu lelah semalam hingga belum bangun tidur?" tanya bunda.

Bunda mencoba bercanda padaku, karena ia pikir, kami melakukan hubungan intim, sehingga ia meyangka, Dina terlambat bangun tidur karena hal itu. Aku hanya tersenyum kecil mendengar celoteh bunda.

Aku mencari dina ke kamarnya. Lalu kami pun, sama-sama pergi ke meja makan. Selesai makan, bunda berbicara padaku perihal keinginannya melihat cucu yang selama sepuluh tahun ini dia harapkan. Dan bunda berharap Dina bisa cepat hamil.

Dengan sisa keberanian, aku minta waktu pada bunda untuk membicarakan sesuatu hal yang penting. Maka ketika aku, bunda, dan Dina duduk di ruang keluarga. Aku mulai mengatakan pada bunda, kalau saat ini, aku akan menjadi seorang ayah.

Seketika bunda terlihat sangat bahagia dan terharu mendengarnya. Sampai-sampai dia minta Dina mendekat kearahnya karena ia ingin memeluk Dina.

Lalu kembali aku menyambung kataku," Tapi bunda...," ucapanku terbata-bata.

"Calon ibu dari anakku bukan dari Dina," ujarku pada bunda dan merasa lidahku terasa kelu.

Mendengar ucapanku seperti itu, membuat bunda terkejut, dan berkata dengan dahi berkenyit.

"Apa maksudmu Bram?"  Aku lihat keryitan dahi bundaku mempertanyakan ucapanku.

Lalu aku menceritakan perihal ajeng pada bunda. Dari kami berpacaran sewaktu sekolah menengah atas hingga Ajeng menunggu sampai aku selesai kuliah. Dan akupun bercerita pada ibunda perihal sewaktu aku bercerita padanya tentang calon istriku dan bunda menentangnya.

Sampai akhirnya aku pergi dari rumah dan ketika kembali kerumah, segala persiapan pernikahan sudah disiapkan tanpa seizin diriku. Namun aku melakukan keinginan bunda karena menghormati dan mengasihinya.

Bahkan aku pun mengatakan pada bunda, kalau ayahlah yang menjadi saksi pernikahan antara aku dan Ajeng.

Belum selesai aku menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Dina, seketika bunda histeris menangis dan jatuh pingsan. Aku tidak tahu harus bagaimana dengan hal ini. Tapi aku sudah tidak dapat menarik semua perkataan yang tadi aku katakan pada bunda.

Tidak ada jalan yang lebih baik, selain membicarakan segala kebohongan yang telah sepuluh tahu aku dan Dina tutupi. Tetapi aku sama sekali belum sempat mengatakan apapun tentang yang terjadi antara aku dan Dina selama ini.

Aku membawa ibunda ke rumah sakit dengan perasaan yang tidak menentu. Ada penyesalan, ada kesedihan, ada pula perasaan lega ketika semua kebohongan yang selama sepuluh tahun, aku tutupi dengan rapi terbuka.

Sesampai di Rumah Sakit, bunda di periksa dengan dokter spesialis. Dan bunda dinyatakan harus menginap beberapa hari di Rumah Sakit. Karena dokter harus memantau  penyakit strokenya, yang sudah dalam penyembuhan tapi sekarang mengalami kemunduran lagi.

Dokter menanyakan kepadaku beberapa pertanyaan perihal yang menyebabkan bunda pingsan. Akupun mengatakan apa yang harusnya aku katakan. Perihal keterkejutan bunda atas tindakanku yang mengatakan segala kebohonganku selama ini.

Terlebih perihal ayah yang tidak pernah aku sampaikan ke bunda. Kalau selama ini kami sering bertemu, makan bareng, memancing ikan dan nonton bola  selayaknya seorang anak lelaki dan ayahnya.

Aku melihat bundaku tertidur lelap di ruang rawat inap Rumah Sakit dengan perasaan menyesal. Ketika aku ingin meninggalkan bundaku untuk istirahat, aku baru menyadari kalau bunda sudah terlihat semakin tua, ditambah dengan penyakit stroke yang telah dideritanya selama tiga tahun ini.

Dalam hati aku berucap, "Bunda maafkan aku, aku katakan semua ini, karena aku merasa inilah jalan kebenaran yang harus aku putuskan demi kita semua." 

Setelah berkata pada bunda yang masih dalam keadaan tertidur lelap, aku pun meninggalkannya untuk pulang ke rumah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
wieke dwi
karena dina tahu tentang ajeng dan tidak masalah, mestinya ajeng bisa dinikahi bram secara negara
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status