Aku hancur saat melihat wanita itu berlari, hingga jatuh bangun untuk masuk ke dalam rumah. Menangis pun percuma, karena tak mampu membantu wanita yang telah melahirkan aku. Sedangkan Asma si wanita terkutuk itu. Dia memalingkan muka seolah tak sudi melihat ibu yang jatuh bangun masuk rumah untuk melihat sertifikat miliknya. "Sertifikat ibu hilang, Alam! Asma mencurinya dan menyerahkan pada rentenir itu, cepat bangun ambil sertifikat itu lagi."Ibu berlari dan terjatuh lagi, aku lihat kepalanya terantuk batu yang cukup besar. Asma bergerak sebentar lalu kembali memalingkan muka, setelah melihat Rika dan mbak Ani menolongnya."Perempuan setan kau sudah membuat ibuku menderita diusia tuanya, Asma!"Aku berniat bangun untuk menyerangnya, namun sebuah tendangan telak menghujam ulu hatiku. Setelah tersyungkur aku benar-benar tak bisa bergerak sama sekali."Aku sudah cukup bersabar selama ini, Mas. Menelan semua hinaan dan caci maki dari keluargamu, hanya demi kehidupan layak dan bahagia
Mbak Ani tampak gelagapan, dia segera memperbaiki sikapnya. Entahlah sepertinya dia memang tak suka kami tinggal di sini."Aku heran, Bu. Memangnya dimana ibu menyimpan sertifikat rumah, sehingga begitu mudah Asma menemukannya.""Dimana lagi kalau tak di bawah kasur. Ibu lupa Asma itu tugasnya babu, tentu dia tau apa saja barang berharga dan dimana benda itu tersimpan."Aku hampir pingsan saat mendengar jawaban Rika. Hari gini masih ada manusia menyimpan barang berharga, di bawah kasur atau tilam tempat untuk tidur."Tak usah dibahas nyatanya bertahun-tahun aman, baru sekarang aja ketahuan dan hilang."Ibu berusaha membela diri, meski dia tau semua ini kesalahannya. Namun di wajahnya masih terlihat ketidakiklasan hatinya saat harus kehilangan rumahnya."Tempat tinggal kita sudah aman. Sekarang bagaimana caranya kita mendapatkan uang, hidup kita sudah miskin terbalik dengan nasib Asma yang terlihat mulai bagus. Bisa merenovasi rumahnya juga.""Aku yakin pasti itu uang haram, Bu. Mana m
"Tetap aja dinginnya beda kalau dengan kipas angin. Aku mau pakai AC.""Kalau ada uang kau bisa beli AC nanti kita pasang di kamarmu, Ka. Saat ini sabar dulu mengunakan kipas angin."Mbak Ani mulai berkata ketus karena Rika bertingkah seperti anak-anak. Dia tak berpikir permintaannya tak masuk akal di saat seperti ini."Atau kau hubungi saja Seno. Bukankah kalian sudah sah, menikah walau belum pasti."Aku dan ibu terkejut mendengar ucapan mbak Ani. Dia benar pernikahan Rika dan seno sah atau tidak. Karena tak ada kata sah dari penghulu, karena istri pertama seno keburu datang dan bilang tak saja."Apa maksudmu, Mbak Ani. Kau tak suka aku, Ibu dan mas Alam tinggal disini? Ingat rumah ini punya anak pertama ibu Mas Dika, jadi kami yang lebih berhak tinggal di sini.""Cukup, Ka. Mau sampai kapan kau bertingkah seperti anak-anak, aku menyayangi keluarga suamiku, karena itu tetap bersama kalian, apa kau lupa semua masalah ini terjadi karena kebodohanmu.""Sudah cukup kalian bertengkar apa
aku tersenyum melihat mas Alam dan keluarganya pucat pasi, saat mengetahui bukan rumahku yang akan di ambil oleh rentenir tapi rumah mereka.Aku sengaja membuat sertifikat palsu karena curiga dengan sikap mas Alam yang selalu berubah. Kalau tak sudi melihatku menikmati uangnya, kenapa tak dia ceraikan aku dari awal.Lagipula aku selalu dengar dia bilang punya rencana, setiap kali ribut dengan ibu atau dengan mbak Ani. Karena itu aku segera mengamankan diri, terutama rumah yang diberikan bapak dan ibu. Rumah yang menjadi saksi perjuangan orang tuaku. Sejak bapak meninggal dan ibu memilih pulang karena emaknya sudah tua dan sakit-sakitan, sedang semua saudaranya ada di luar kota semua. Hasilnya setelah nenek meninggal ibu di ijinkan menjual rumahnya, untuk membantuku merenovasi rumah bapak."Tujuh ratus juta, Asma. Ibu berhasil menjualnya atas bantuan nak Bagus."Sekali lagi pria itu memberikan bantuan yang tak bisa aku balas. Setiap kali aku mengucapkan terima kasih dia akan bilang, to
"Masuk Asma tak perlu kau lihat terus keluarga itu. Biarkan nasib membawa mereka pergi kemana?"Aku segera masuk ke dalam rumah. Menemui orang-orang yang telah banyak membantuku. Menjalankan sholat Maghrib dan makan bersama masakan Mak Ijah."Akhirnya kita bisa makan lesehan, dengan rasa makanan kampung."Kami tertawa karena Mak Ijah dan ibu memasak tumis kangkung, udang dan cumi goreng beserta ikan bakar dengan lalapan dan tentu sambal belacan tak ketinggalan sambal kecap dengan cabe potong."Setelah pertunjukan luar biasa karya Asma. Kita bisa menikmati makanan ini dengan tenang dan nikmat."Mak Ijah berkata dengan nada bercanda, namun membuat hatiku sedikit perih. Apakah tindakanku sudah keterlaluan memberi mereka pelajaran."Tak perlu kau pikirkan itu, Asma. Kalau bukan kau yang bertindak begitu, bisa jadi kau dan anakmu yang bernasib seperti mereka saat ini."Ibu benar aku tak perlu merasa kasihan pada mereka, karena mereka juga tak merasa kasihan padaku dan anak mas Alam."Sekar
"Seperti tak ada pria lain di luar sana, Mbak. Kenapa tetangga juga yang ingin mbak nikahi?"Saat itu aku sempat marah apalagi saat mendengar alasan adikku menolak Alam menjadi Abang iparnya."Waktu hari raya kau tak akan merasakan mudik, mbak. Orang rumah mertuamu beberapa langkah dari rumah. Belum lagi kalau bercerai, pasti sesama tetangga saling musuhan."Sebuah alasan yang lucu tapi waktu akhirnya membuktikan. Meski bertetangga, aku tak mengenali sifat asli Alam."Tapi aku suka, Mbak. Artinya kita bisa membuatnya malu dan gigit jari, pria seperti dia memang harus diberi pelajaran. Memberi istri tak mau tapi mau minta punya istri, kan kurang ajar itu."Kami tertawa sepertinya akan ada pertunjukan bagus lagi kali ini. Karena terus menganggu lebih baik beri lagi pelajaran pada Alam."Kau urus saja mbak ikut rencanamu tapi jangan pakai polisi. kasihan ibu dan adiknya, kalau tak ada sapi perahnya."Aku menyerahkan kunci dan surat-surat penting motor itu. Biarlah kali ini adikku yang me
"Apa ada yang kalian rahasiakan pada kami, Mas Bagus?"Aku menatap pria yang sudah banyak membantuku itu. Entahlah melihat istrinya tidur telentang begitu, aku jadi sedikit curiga.Mas Bagus justru terlihat tak enak, saat aku bertanya sembari menatap istrinya. Tiba-tiba aku terkejut saat ibu memukul bahuku dengan keras."Dasar tidak sopan, kenapa kau bertanya seperti itu. Tak usah takut nak Bagus dan Carisa tak akan merebut anakmu."Aku baru sadar lalu menatap mas Bagus yang menunduk dan mendekati istrinya. Aku segera mencekal tangan pria itu dan meninggalkan mereka kebelakang.Tak lama aku kembali membawa sesuatu. sedangkan mas Bagus dan mbak Carisa sudah bersiap hendak pulang."Tunggu dulu mbak Carisa kenapa mau pulang buru-buru. Kita belum berbicara sedari tadi."Aku menatap mbak Carisa tampak jelas wanita itu menatap benda yang aku bawa. Dia terlihat menatap suaminya lalu perlahan langkahnya mendekat padaku."Bi...bisa minta mangga mudanya satu saja, Mbak Asma."Aku memeluknya yan
Aku dan mas Bagus segera melepaskan pelukan. Dan melihat betapa marahnya saudara lelaki mbak Carisa."Kau salah paham, Mas Dewa. Kita temui Carisa."Mas Bagus meraih tangan mas Dewa dan membawanya masuk ke ruangan dokter. Aku sadar diri, sebaiknya pulang saja sembari menunggu kabar dari mas Bagus."Apa dia cemburu, kalau tidak kenapa dia semarah itu? Bukankah dia bisa bertanya dulu sebelum marah-marah."Aku berjalan menuju jalan raya, lalu menghentikan sebuah taksi. Aku memilih langsung pulang karena percuma jalan-jalan tanpa membawa dompet dan uang."Semoga aku tak salah menerka, apalagi saat melihat wajah bahagia mas Bagus. Apa mungkin mbak Carisa hamil? Yah semoga saja itu benar."Aku menarik napas sembari berucap dalam hati. Pak sopir sampai melirik dari kaca depan, mungkin terlalu keras aku menarik napas."Mbak baik-baik saja?"Aku segera mengangguk karena pak sopir tampak cemas atau mungkin takut terjadi sesuatu pada penumpangnya "Tidak apa-apa pak."Pria itu kembali tenang dan