Prang!
Bruk!Mataku terbuka mendengar suara keras. Aku langsung terbangun membuat kepalaku jadi pusing. Aku tertidur setelah subuh karena mengantuk, semalam tidak bisa tidur lagi setelah menenangkan Reza. Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam. Reza masih ada di sebelahku, tidak terganggu sama sekali dengan bunyi keras barusan.Aku berdiri dan menuju sumber suara, dari dapur sepertinya. Istriku mencuci piring sambil mendengarkan lagu. Diapun bersenandung kecil mengikuti lirik lagu itu. "Ku menangis, membayangkan. La la la la la..." Mungkin dia tidak hafal liriknya."Suara apa tadi mah, kok keras banget, papah sampai kaget," kataku setelah sampai di dapur."Piring sama cobek jatuh pah." Jawabnya tanpa menghentikan aktivitasnya mencuci piring. Dari nada suaranya sepertinya dia marah."Mamah marah ya?""Nggak."Sudah ku tebak. Apalagi kalau bukan marah. Dia yang salah yang harusnya instrospeksi diri, akhirnya aku yang minta maaf juga. Pagi-pagi sudah bikin energiku terbuang untuk menghadapi Rina yang marah. Kubiarkan saja dia lalu kutinggal mandi. Aku mengajaknya bicara agar menemukan solusi, malah jadi nambah masalah.Baju kerjaku lagi-lagi belum disiapkan. Aku menyetrika pakaianku dan juga seragam sekolah Fikri. Setelah siap, kuajak Fikri ke meja makan. Reza sedang memakan buah apel yang sudah dipotong kecil-kecil di atas kursi makannya.Rina masih menata masakannya di meja makan. Aku menyiapkan piring dan gelas. Dia masih cemberut sambil mengambilkan nasi untuk Fikri. Dia mengambil nasi untuknya sendiri dan mengabaikan aku. Aku yang tidak mau ribut menyendok nasiku sendiri dan menaruh lauk di atasnya. Kami makan dalam diam diselingingi ocehan Reza yang senang setelah disuapi makanannya."Mungkin istriku memang butuh hiburan," batinku. Melihatnya makan sambil menyuapi anak kami rasanya kasihan juga. Dia juga pasti lapar tapi tetap memikirkan anak kami terlebih dulu.Setibanya di kantor aku melihat Yuni menaruh segelas kopi di mejaku."Eh, pak Andra sudah datang. Saya buatin kopi pak, tanda terima kasih kemarin sudah ditraktir."Waah makasih Yun, nggak perlu repot-repot sebenarnya. Nanti juga pak Roni biasa bikin kopi buat saya.""Nggak papa kan pak sekali-kali," katanya sambil tersenyum. Manis sekali."Astaga Andra, jangan sampai tergoda, ingat istri di rumah," aku bicara pada diriku sendiri di dalam hati."Ya sudah saya balik ke meja saya ya pak." Yuni berjalan menuju meja kerjanya. Penampilannya hari ini fresh sekali, rok hitam span selutut dan kemeja pink yang pas di badan, dia memang pintar memadupadankan pakaian. Cocok sekali untuknya. Lalu terbayang Rina dengan daster bolongnya dan rambut yang diikat asal-asalan sedang berbaring sambil melihat hpnya tanpa kedip.Padahal kalau keluar rumah dia bisa loh dandan, pakai pakaian yang bagus. Tapi kalau di rumah kenapa penampilannya sama sekali berkebalikan. Bahkan paket skincare yang dia minta jarang tersentuh, cuma kadang-kadang saja kalau mood baru dia mau pakai.Kugelengkan kepalaku untuk mengusir pikiranku tentang Rina. Aku harus fokus kerja. Aku meminum kopi bikinan Yuni, tanpa sengaja aku bertemu mata dengan dia. Aku pun tersenyum sambil mengangkat gelas kopiku. Pertanda aku menikmati kopi bikinannya. Setelah minum kopi, pikiranku lebih bisa diajak kerja sama. Mari mulai bekerja.***Setelah rapat tim untuk membahas strategi pemasaran, kami pergi untuk makan siang bersama di restoran dekat perusahaan yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Kami segera memesan makanan setelah duduk di kursi.Kebetulan aku duduk di sebelah Yuni, dapat kucium aroma parfumnya yang harum dan manis. Lagi-lagi aku kepikiran Rina yang mulai malas mandi. "Kenapa aku selalu membandingkan mereka sih," aku membatin."Pak Andra kok melamun sih," Sari bertanya padaku yang terlihat diam saja."Ah nggak papa Sar, udah laper. Lama ya makanannya datang," Jawabku mengalihkan pembicaraaan."Bukan karena mikirin seseorang pak," kata Sari sambil menutup mulutnya pura-pura tertawa."Mikirin siapa sih, kamu ada-ada aja Sar.""Ya siapa lagi kalau bukan yang di rumah. Masa mikirin Yuni." Sari masih saja mengompori."Apaan sih Sar, kok nyasar ke aku," kata Yuni sambil melirik ke arahku salah tingkah."Bercanda kali Yun. Ngarep ya lu."Mereka pun tertawa bersama begitupun aku.***Aku sudah bersiap-siap untuk pulang. Tapi kulihat hujan turun dan mulai deras. Beberapa rekan mengeluhkan hujan yang datang menjelang waktu pulang, membuat repot dan macet di jalan. Aku berjalan menuju tempat parkir, sampai kudengar Sari memanggil."Pak Andra." Aku berjalan ke arah Sari dan ternyata dia bersama Yuni."Ada apa Sari?""Yuni mau nebeng pulang boleh nggak pak? Rumah Yuni kan searah sama rumah bapak. Kalau naik ojol kasian nanti basah-basahan dia. Ya pak Andra yang baik dan tampan," katanya sambil tersenyum."Lalu kamu gimana?""Saya dijemput suami saya pak, masih di jalan. Cuma arah rumah saya kan berlawanan sama Yuni. Dari pada bolak-balik kan mending ikut bapak aja biar sekalian.""Ya sudah kalau begitu. Saya ambil mobil saya dulu ya Yun, kamu tunggu di lobi saja."Di perjalanan hujan semakin deras membuat jalanan menjadi macet. Agar tidak bosan aku pun menghidupkan radio, terdengar DJ yang membawakan acara dengan hangat. "Dan untuk pendengar yang sedang terkena macet di jalan karena hujan yang terus mengguyur semoga bisa enjoy habis dengerin lagu ini. Ini dia cinta kita dari Shiren dan Wisnu."Lagu itupun mengalun dengan merdu. Lagu tahun 2000an yang hits pada masanya. "Biar cinta kita, tumbuh harum mewangi." Kudengar lirih suara Yuni ikut bersenandung. Oh iya dia pasti tahu lagu itu. Memang sedang hits waktu dia remaja."Rumah kamu di sebelah mana Yun?""Perumahan sebelum Cita Swalayan pak, bapak tahu kan?""Oh oke, tahu kok, kan sering lewat tiap hari," aku menjawab sambil menoleh kearahnya. Diapun tersenyum melihat ke arahku."Maaf ya pak jadi merepotkan. Tadi sudah mau pesan ojol tapi malah Sari manggil bapak minta buat nganter saya sekalian.""Nggak papa Yun, searah ini, jadi nggak repot.""Istri bapak nggak bakal marah kan pak?""Kenapa marah? Emangnya saya ngapain, santai saja Yun, dia baik kok." Lagian kenapa harus marah wong cuma ngasih tebengan ke rekan kerja. Lagian kalau aku nggak ngomong juga dia nggak tahu.Aku membelokkan setir ke kanan memasuki perumahan tempat tinggal Yuni."Blok F ya pak nanti masuk, rumah nomer 15 paling ujung."Aku mengemudikan mobilku sesuai arah yang ditunjukkan Yuni dan sampailah di rumah bercat kuning yang terlihat bersih dan asri. Yuni sepertinya mengurus rumah dengan baik. Aku menepikan mobil."Makasih ya pak tumpangannya. Mau mampir dulu pak?""Mampir? Mau ngapain aku mampir ke rumah janda muda hujan-hujan begini?" pikirku."Pak Andra.""Eh iya Yun. Emm maksudku lain kali aja, sudah sore takutnya tambah macet jalannya.""Oh ya sudah, saya turun ya pak, makasih sekali lagi." Yuni menutup pintu dan berlari ke teras rumahnya. Dia masih berdiri di teras sambil menungguiku memutar arah mobilku, lalu melambaikan tangannya saat mobilku mulai berjalan."Wangi sekali parfum Yuni, orangnya sudah pergi, wanginya masih ada," kataku menghirup napas dalam-dalam. Andai saja Rina, ah lagi-lagi aku membandingkan mereka.BersambungLampu rumah masih gelap. Padahal hujan deras begini, mendung menggantung begitu pekat, "Kemana Rina?" Aku mengerutkan keningku saat membelokkan mobilku memasuki halaman rumahku.Setelah memasukkan mobil ke garasi, langsung aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kemana istri dan anakku, kenapa rumah sepi sekali. Benar juga tadi aku tidak melihat motor Rina di garasi, berati kemungkinan dia keluar. Apa jangan-jangan dia kabur gara-gara perkataanku kemarin. Kuambil hp di dalam tasku, lalu mulai mencari kontak Rina dan langsung menekan tombol telepon. Tuuut ... Tuuut ... Tuuut ...Tersambung tapi tidak diangkat. Apa dia pulang ke rumah orang tuanya. Tapi nekat sekali membawa kedua anakku naik motor. Kuacak rambutku karena cemas. Apa ku telepon saja mertuaku. Aku harus bilang apa pada mereka. Iya kalau mereka bertiga di sana kalau tidak bagaimana? Malah hanya membuat kedua orang tua itu khawatir saja. Aku masih berusaha menelepon Rina. Sekali, dua kali, tiga kali. Tetap tidak diangkat. Dia k
[Aku hanyalah manusia biasa yang tak pernah lepas dari-]Ringtone hp Andra berbunyi pagi-pagi sekali. Andra melihat hpnya, terlihat nama 'ibu tersayang' sedang memanggil. Andra menjawab panggilan ibunya dengan segera."Assalamualaikum bu.""Wa'alaikumussalam Ndra. Lagi ngapain?""Baru mau mandi ini bu. Tumben ibu telepon pagi-pagi bu. Ada apa?""Ibu kangen sama cucu ibu. Ibu pengen kesana ya nanti sore. Jemput ibu di stasiun.""Apa ibu nggak capek nanti kalau kesini? Nunggu weekend aja ya, nanti Andra sekeluarga kesana.""Nggak ah, ibu pengen nginap di rumah kamu, pengen main sama cucu. Kalau nunggu hari sabtu atau minggu nanti nggak puas. Nanti anak-anak malah kecapekan, Fikri kan udah mulai sekolah SD.""Ya sudah, nanti kabarin aja ya bu, Andra bakal jemput ibu di stasiun.""Nah gitu dong. Ya sudah salam buat Rina ya." "Iya bu."Andra mencari Rina untuk memberitahukan soal kedatangan ibunya nanti sore."Mah," Rina menoleh, "Barusan ibu telepon katanya nanti sore mau ke rumah.""Ibu
Hari-hari ku jalani seperti biasa. Kedatangan ibu membawa berkah pada perubahan Rina. Hampir-hampir aku tidak melihatnya menggenggam hp saat di rumah kecuali sebentar. Saat malam pun dia tidak tidur terlalu larut karena takut bangun kesiangan.Rina juga sepertinya lama-lama capek marah padaku. Mungkin karena ibu juga memberikan satu atau dua nasehat rumah tangga untuk kami, menceritakan rumah tangga beliau dulu dengan almarhum ayah yang bisa awet sampai empat puluh tahun. Lima hari sudah ibu menginap, siang nanti rencananya ibu akan pulang naik kereta. Aku menawarkan ingin mengantarnya pakai mobil tapi ibu menolak. Katanya naik kereta sekarang nyaman dan lebih cepat sampai, naik mobil harus macet-macetan apalagi hari weekend. Kami dari pagi sudah bersiap mau jalan-jalan dulu sebentar dan membawa ibu makan di luar sebelum mengantarnya ke stasiun. Setelah sarapan kami langsung berangkat ke sebuah tempat wisata baru di kota. Banyak permainan anak-anak dan spot foto yang menarik. Setela
Setelah terbangun dari tidur soreku, aku keluar kamar dan mendapati Rina sedang tiduran menonton drakor sambil menangis. Drama perselingkuhan suami dengan perempuan yang lebih muda apa iya begitu menyedihkan. Bukannya biasanya ibu-ibu geregetan kalau nonton film genre begitu.Aku menuju ke dapur untuk mengambil minum. Sudah sore begini Rina belum masak. "Nonton orang berantem kok nangis sih." Aku duduk di depan Rina dan berkomentar. Rina hanya melihatku sekilas dan lanjut nonton. "Mamah marah sama papah?" Tidak ada jawaban. "Dek Rina? Jangan begini terus dong. Kalau ada masalah dibicarakan, jangan aku didiamkan begini."Rina bangun dari tiduran dan duduk melihatku dengan sengit. "Yuni itu yang mas maksud rekan kerja cantik ya? Sampai nganterin ke rumahnya segala." Tepat. Itu yang bikin dia marah. "Kan tadi papah udah bilang waktu itu hujan deras. Papah cuma ngasih tebengan aja, kebetulan rumah Yuni searah sama rumah kita. Jadi kan sekalian jalan." "Terus kenapa nggak cerita sama aku
Aku kecewa dengan Rina yang semakin hari justru semakin menjadi. Aku pikir kemarin dia kelelahan, ternyata setelahnya dia justru semakin keterlaluan. Awalnya dia bilang capek karena selama beberapa hari ibu di rumah dia tidak bisa istirahat. Tapi ternyata kebiasaannya bermalas-malasan kembali lagi.Benar juga, bagaimana aku bisa berharap dia berubah hanya dalam semalam. “Padahal dia begitu takut aku berselingkuh hanya karena aku mengantarkan Yuni pulang.” Kuhela nafas panjang merebahkan diriku di samping Rina yang sedang meninabobokan Reza.Aku melihat ke langit-langit kamarku, teringat kejadian siang tadi. Aku mendengar Yuni dan Sari yang sedang mengobrol di pantry saat istirahat siang. Sari sedang menenangkan Yuni yang sepertinya sedang sedih, hanya sekilas aku mendengar karena tidak enak berdiri terlalu lama di dekat mereka.“Mas Arya keterlaluan Sar, hari minggu kemarin aku dan Kia bertemu dengannya di mall. Kia langsung berlari ke arahnya dan memanggilnya ayah, tapi bisa-bisanya
Setelah mendengar perkataan Andra soal ayahnya Kia langsung menangis. Andra merasa bersalah karena membuat anak kecil itu kembali mengingat kejadian kemarin. Dia pun mengelus kepala Kia dan memeluknya.“Iya, iya maafin om Andra ya.” Tangisan Kia menarik perhatian pengunjung. Beberapa orang seperti memandang tidak suka karena merasa terganggu, sebagian lain seperti penasaran kenapa Kia menangis keras.Andra meminta maaf lewat isyarat kepada pengunjung yang lain yang merasa terganggu. Kami berusaha mengalihkan perhatiannya agar dia merasa terhibur. Fikri yang melihat Kia menangis juga sepertinya merasa kasihan, dia berbagi video kartun kesayangannya yang ada di hpku. Setelahnya Kia lumayan tenang.Kia awalnya hanya melihat saja tapi sudah mulai terlihat senyumannya kembali saat melihat karakter kuning yang lucu. Mereka tertawa bersama, walaupun masih ada sisa air mata yang menggenang di mata Kia. Beberapa kali aku merasa Kia melihat ke arahku saat aku mengobrol dengan Yuni.Saat Kia mel
Tidak ada yang salah dengan sebuah keinginan. Asal keinginan itu tidak merugikan orang lain. Menginginkan kebahagiaan seperti yang orang lain miliki tentu saja boleh, tapi bukan dengan merebut sumber kebahagiaan orang itu.***Yuni tengah bersiap untuk berangkat ke kantor. Dia terlihat sedang mencoba beberapa kemeja. Setelah beberapa kali dia mencoba, kemeja putih dan celana panjang hitam dia pilih. Kemeja yang sangat pas di badannya. Dia sengaja membuka satu kancing bagian atasnya, membuat dadanya yang putih dan mulus terlihat.Dia juga berdandan lebih lama dari biasanya. Dia mencoba make-up korean look yang membuat wajahnya terlihat lebih muda. Sempurna. Dia puas dengan hasil pulasannya. Setelah beberapa kali belajar dari youtube akhirnya dia bisa mendapatkan hasil make-up yang dia inginkan. Rambut sepinggangnya yang lurus dia biarkan terurai.Yuni keluar kamar dan pergi ke ruang makan. Di sana ibunya sudah menyiapkan sarapan untuknya. Kia juga sudah duduk dengan segelas susu coklat
Mobil Andra berhenti di depan rumah Yuni. “Mau mampir dulu pak?” Yuni menawarkan. “Nggak usah Yun, saya langsung jalan pulang saja ya.” Yuni mengangguk dan tersenyum. Dia mengucapkan terima kasih lalu turun. Dia berlari menuju teras rumahnya.“Om Andlaaa.” Kia sudah di teras dan memanggil Andra. Kia melambaikan tangannya pada Andra sambil tersenyum lebar.“Om Andla sini main.” Kia melambaikan tangan meminta Andra untuk masuk ke rumahnya. Andra hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Tapi Kia merengek pada Yuni, “Mah om Andla suluh masuk, Kia mau main sama om Andla.” Yuni berusaha menjelaskan kalau Andra harus segera pulang.Andra yang melihat Kia hampir menangis akhirnya tidak tega dan memutuskan memarkirkan mobilnya. Dia turun dan berlari masuk ke dalam teras rumah Yuni. “Yey, sini om, masuk ke lumah Kia. Mainan Kia banyak.” Kia menarik tangan Andra memintanya masuk.Yuni mengulas senyum melihatnya. Kia pintar sekali. Yuni mengikuti keduanya memasuki rumah. “Sini om Andla, lihat