Lampu rumah masih gelap. Padahal hujan deras begini, mendung menggantung begitu pekat, "Kemana Rina?" Aku mengerutkan keningku saat membelokkan mobilku memasuki halaman rumahku.
Setelah memasukkan mobil ke garasi, langsung aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kemana istri dan anakku, kenapa rumah sepi sekali. Benar juga tadi aku tidak melihat motor Rina di garasi, berati kemungkinan dia keluar. Apa jangan-jangan dia kabur gara-gara perkataanku kemarin. Kuambil hp di dalam tasku, lalu mulai mencari kontak Rina dan langsung menekan tombol telepon.Tuuut ... Tuuut ... Tuuut ...Tersambung tapi tidak diangkat. Apa dia pulang ke rumah orang tuanya. Tapi nekat sekali membawa kedua anakku naik motor. Kuacak rambutku karena cemas. Apa ku telepon saja mertuaku. Aku harus bilang apa pada mereka. Iya kalau mereka bertiga di sana kalau tidak bagaimana? Malah hanya membuat kedua orang tua itu khawatir saja.Aku masih berusaha menelepon Rina. Sekali, dua kali, tiga kali. Tetap tidak diangkat. Dia kan nggak lepas dari HP, apa dia sengaja tidak mau mengangkatnya.Lima belas menit kemudian kudengar pagar rumah terbuka, lalu masuklah motor matic berwarna merah. Rina dan Fikri berboncengan memakai jas hujan sedangkan Reza ditutup jas hujan bagian depan milik Rina.Astagaa, dari mana sih mereka. Sudah tahu hujan malah keluar. Aku membantu Fikri turun dan melepas jas hujannya lalu menurunkan Reza dan menggendongnya masuk sementara Rina melepas jas hujannya sendiri."Kalian darimana sih? Aku dari tadi telepon nggak diangkat-angkat. Reza sampai basah begini."Rina masuk sambil cemberut. "Ya namanya anak kecil ditutup jas hujan pasti dibuka-buka terus pah. Aku jemput Fikri di TPQ, tadi hujan pas jam pulang, makanya aku jemput. Reza nggak mungkin aku tinggal sendiri di rumah kan? Ya terpaksa aku bawa sekalian.""Kenapa nggak telepon aku aja biar aku sekalian mampir pas pulang. Jadi kalian nggak hujan-hujanan kan," kataku sambil menggendong Reza masuk ke dalam rumah.Rina cuma melihatku sambil tetap cemberut lalu membuang muka mengambil handuk lalu pergi ke kamar mandi. Aku menyuruh Fikri untuk berganti pakaian karena pakaiannya basah, lalu membawa Reza ke kamar dan menggantikan pakaiannya dengan yang kering, tidak lupa sebelumnya aku balurkan minyak telon di badannya agar dia merasa hangat."Mamah masih marah sama papah?" Rina tidak menyahut pertanyaanku. Dia tetap fokus mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Mungkin tidak mendengar pertanyaanku karena suara hairdryer yang meraung-raung. Ya sudahlah lebih baik aku keluar bermain dengan anak-anak saja.***"Rasain aku cuekin," kata Rina saat melihat ke cermin, suaminya meninggalkan kamar mereka.Tentu saja Rina marah pada Andra. Siapa perempuan yang baik-baik saja setelah dibandingkan dengan teman-teman kerjanya yang katanya cantik-cantik itu. Dia menjadi ibu rumah tangga juga suaminya yang meminta. Sekarang setelah dia mengabdikan diri selama delapan tahun sebagai seorang istri dan ibu bisa-bisanya dibandingkan dengan rekan kerjanya.Dulu dia juga bekerja, sering pergi ke salon, belanja baju baru, sepatu baru, tas baru. Tapi dia sekarang seorang ibu, masa dia mau berfoya-foya seperti masih gadis dulu. Tentu saja dia memikirkan masa depan anak-anaknya.Rina melihat ke cermin. Apa dia memang sudah tidak cantik lagi? Dia memegang wajahnya dan melihat lebih dekat. Kerutan mulai hadir dan ada flek hitam juga. Dia menghembuskan nafas. "Memang aku sepertinya kurang merawat diri," katanya sambil mengelus pipinya.Dia melihat satu set skincare yang dibelikan suaminya ada di atas meja riasnya, belum ada setengahnya terpakai. Sejak ada Reza dia memang rasanya lebih malas merawat diri karena merasa cepat lelah mengurus rumah dan kedua anak mereka. Jadi mending dia istirahat atau sekedar lihat hp sebentar biar tidak bosan. Walaupun akhirnya keterusan dan membuat pekerjaan tertunda."Haah, mas Andra aja yang kurang bersyukur. Istri sudah lelah mengurus anak masih nuntut cantik dan rumah harus rapi." Rina beranjak keluar kamar dan menuju dapur untuk memanaskan makanan yang sudah dimasak siang tadi. Nanti kalau nggak ada makanan, suaminya marah lagi.Andra membuka hpnya setelah selesai makan malam. Ada beberapa notifikasi, ada dari ibu dan dari Yuni. Setelah membuka dan membalas pesan dari ibunya, Andra membuka pesan dari Yuni.[Makasih banget ya pak Andra tumpangannya.] Tentu saja dilengkapi emotikon senyum.[Sama-sama Yun.] Aku membalasnya dengan cepat.TriingAda notifikasi masuk lagi[Istri bapak nggak marah kan pak?][Nggak, lagian dia juga nggak tanya, santai saja.][Syukurlah kalau begitu, selamat istirahat pak Andra.]Tidak ku balas lagi pesan terakhir Yuni. Kuletakkan hp dan keluar untuk menonton TV bersama anak-anak. Kulihat Rina sibuk menyetrika pakaian sambil melihat drakor di hpnya. Syukurlah walaupun sambil melihat drakor dia masih ingat pekerjaannya.Aku menemani anak-anak sambil membereskan satu persatu mainan mereka, kumasukkan dalam boks mainan mereka. Setelah selesai kuambil sapu dan mulai menyapu ruang tamu.Sementara di kamarnya Yuni sedang senyum-senyum sendiri melihat HPnya. Walaupun hanya sederet pesan biasa tapi sudah membuat pikirannya melayang sampai kemana-mana."Mama." Anak perempuan Yuni masuk ke kamar dan mulai menaiki ranjangnya."Mama kenapa senyum-senyum sendili?""Nggak apa-apa. Anak mama sudah makan belum?""Udah tadi sama nenek."Anak Yuni, Zaskia namanya, berumur 5 tahun memang belum lancar mengucapkan huruf r. Walaupun wajahnya lebih mirip ayahnya, Yuni tentu saja menyayanginya. Dia tidak ada hubungannya dengan kelakuan ayahnya.Karena Kia, Yuni bisa melewati semuanya dan berhasil move on. Akan dia lakukan segalanya untuk kebahagiaan Kia, anaknya adalah semangatnya.Kia sebenarnya sering menanyakan ayahnya, apalagi kalau melihat teman-teman seumurannya sedang bermain bersama ayah mereka. Tapi mau bagaimana lagi Arya, mantan suami Yuni tidak mau tahu dengan kehidupan mereka setelah bercerai. Dia lebih mementingkan istri barunya dan tentu saja anak mereka yang baru 2 tahun. Padahal dulu saat Yuni habis melahirkan, Arya sangat cuek bahkan pada Kia. Entah dikasih apa Arya oleh selingkuhannya dulu sampai dia melupakan anak dan istrinya.Mengingat semua kenangannya dulu saat berumah tangga membuat hati Yuni sesak. Tiga tahun sudah dia menjadi janda, single parent untuk anak perempuannya. Perempuan mana yang ingin menjadi janda. Dia pun tidak ingin.Teringat perkataan ibu mertuanya saat Yuni mengadukan perselingkuhan putranya."Makanya jadi perempuan itu yang bener Yun, kalau kamu bisa ngurus suami kamu, dia pasti nggak bakal tengak-tengok yang lain."Nelangsa sekali rasanya. Dia mengadu karena sudah tidak tahan dengan kelakuan suaminya, tapi malah disalahkan karena kesalahan yang tidak dilakukannya. Ibu mertuanya memang kurang suka melihatnya bekerja, dia ingin punya menantu yang duduk manis di rumah saja seperti beliau yang seorang ibu rumah tangga. Mengurus rumah, mengurus suami dan mengurus anak. Dia berpikir karena aku bekerja anaknya pasti tidak diurus dengan baik. Makanya akhirnya berselingkuh.Pada waktu awal kehamilannya Yuni sebenarnya sudah berpikir untuk resign, tapi melihat suaminya yang lama-kelamaan memberi nafkah seenaknya bahkan akhirnya sama sekali berhenti memberinya nafkah tentu saja dia ragu. Suaminya berkilah kalau gajinya sudah habis untuk bayar cicilan mobil barunya, tinggal untuk pegangannya saja sebulan ke depan, lagi pula Yuni sudah punya penghasilan sendiri, harusnya tidak perlu mempermasalahkan itu.Yuni masih bersabar setelah hampir dua tahun tidak dinafkahi, bahkan untuk keperluan putri mereka, suaminya tidak mau repot. Setiap kali Yuni mengatakan kalau gajinya tidak cukup, suaminya hanya memberi sekedarnya bahkan terkadang dia malah mendapatkan umpatan tanpa diberikan uang sama sekali. Sampai akhirnya dia melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya sedang jalan berdua dengan perempuan lain di mall dengan sangat mesra. Tentu saja dia tidak tinggal diam. Dia langsung melabrak keduanya. Pada waktu itu suaminya bilang tidak akan mengulanginya lagi, tapi Yuni masih belum bisa percaya sepenuhnya pada laki-laki itu.Dan akhirnya satu bulan kemudian dia benar-benar marah saat memergoki suaminya di hotel bersama wanita yang sama. Dia memang sengaja mengawasi suaminya setelah kejadian di mall. Bercerai adalah keputusan terakhirnya. Dia sudah tidak mau lagi hidup bersama laki-laki itu.Dua tahun belakangan hidupnya sudah damai bersama ibu dan putrinya. Dia memutuskan resign dan pindah rumah. Mencari pekerjaan baru dan memulai semuanya dari awal. Sampai ketika dia mulai mengenal Andra, perasaan itu dia rasakan kembali. Laki-laki tampan, mapan dan yang pasti setia. Dia melihat beberapa kali Andra yang menolak bahkan menghindar dari rekan wanita yang terang-terangan menggodanya. Siapa yang tidak jatuh cinta dengan laki-laki seperti itu.Yuni melihat putrinya yang sudah tertidur memeluk guling di sebelahnya."Kalau saja pak Andra jadi ayah kamu sayang, dia pasti bisa memberikan kamu kasih sayang seorang ayah yang selalu kamu mau," Yuni berkata sambil mengelus rambut putrinya. "Dan tentu saja kasih sayang seorang suami," batinnya. Yuni tersenyum-senyum membayangkan semua itu sampai dia terlelap dan melanjutkan khayalannya di dalam mimpi.BersambungPerasaan Rina semakin tidak enak karena suaminya belum kunjung datang. Padahal jarak kantor Andra ke rumah sakit tidak sampai setengah jam. "Mampir kemana sih Mas Andra." Rina melihat hpnya lagi. Reza tertidur di pangkuannya setelah lelah menangis. Dia diminta keluar untuk menenangkan putranya. Apalagi Reza masih kecil tidak seharusnya diijinkan masuk ke ruangan. Rina mengawang, menatap dinding dan plafon rumah sakit. "Rina!" Lamunan Rina buyar saat mendengar suara yang memanggil namanya. "Pah. Kamu kenapa?" tanya Rina. Dengan susah payah dia bangkit dari kursi sambil menggendong Reza. "Ada insiden di jalan. Aku nabrak." Andra tampak meringis sambil mengelus kepalanya. Andra datang dengan dahi memerah. Penampilannya juga acak-acakan, kemejanya sudah keluar dari celana dan lengan kemejanya sudah tergulung sampai ke siku. "Ya ampun kok bisa sih Pah." Rina ingin menyentuh luka di dahi Andra tapi ditepis oleh Andra. "Ibu gimana?" tanya Andra. "Barusan sudah di
'Permintaan pertemanan diterima'Sebuah notifikasi muncul di hp Rina. Baru saja Rina akan membukanya, suara Bu Aisyah terdengar memanggilnya. "Iya bu." Rina meletakkan hpnya, segera mendekat pada bu Aisyah. Ibu mertuanya terlihat kesakitan terduduk di lantai teras. "Ibu kenapa bu?" Rina buru-buru berlari mendekati Bu Aisyah. Bu Aisyah memegangi dadanya, keringat dingin mulai terlihat di dahinya, pertanda dia sedang menahan sakit. "Sa...kit Rin." Rina panik dan segera meminta tolong tetangga samping rumahnya. "Bu Vina, tolong bu. Mertua saya sakit, bisa tolong antar ke rumah sakit." Rina sudah tidak bisa tenang, dia kembali ke rumah setelah Bu Vina menyanggupinya."Ibu tahan ya, kita ke rumah sakit sekarang." Bu Aisyah yang duduk bersandar ke dinding hanya mengangguk lemah.Rina ke dalam rumah dan menggendong Reza yang sedang tidur dan bersiap ke rumah sakit. Dalam perjalanan, dia sudah mencoba menghubungi suaminya tetapi tidak juga diangkat. "Kemana aja sih nih orang, kenapa
Yuni tersenyum saat melihat status yang dia posting dilihat oleh Andra. Tidak biasanya atasannya itu melihat statusnya."Pak Andra pasti sadar kalau itu buat dia. Hihi." Yuni bicara sendiri."Mama ngapain sih?" Kia mendekatinya. "Cantik nggak mama sayang?" Yuni memperlihatkan foto yang dia posting. Kia mengangguk, "Cantik. Kalau Kia cantik nggak?" "Cantik dong, anak mama." Yuni mencium kening Kia. "Om Andla nggak ke sini ya ma? Kia kangen pengen main baleng.""Hari ini om Andra nggak bisa ke sini sayang, neneknya Fikri datang jadi om Andra nggak bisa main dulu sama Kia." "Oh ada nenek." Kia diam tidak berkata lagi."Kia kenapa?" "Nggak apa-apa ma, aku masih sebel sama temenku di sekolah. Dibilangin Kia punya ayah dia nggak pelcaya." "Biarin aja ya sayang, anak nakal nggak usah ditemenin. Kia main sama yang lain aja ya." Yuni sebenarnya kesal juga dengan anak-anak itu. Mungkin kapan-kapan dia harus datang ke acara sekolah anaknya dan menegur anak yang bicara tidak baik pada Kia.
“Pak Andra,” Yuni memanggil. Andra menoleh pada Yuni, “Ya?” Yuni terlihat salah tingkah, “Em, saya mau ngundang bapak makan malam di rumah saya nanti malam. Bapak bisa kan? Sebagai ucapan terima kasih saya sama bapak. Bapak udah baik banget sama anak saya, ucapan terima kasih saja saya pikir nggak cukup pak.” “Sepertinya nggak bisa Yun.” Jawaban Andra langsung melunturkan senyum Yuni. Padahal dia sudah berpesan pada ibunya untuk memasak makan malam spesial karena dia ingin mengundang Andra makan malam. Bahkan dia berdebat dengan ibunya karena itu. Bu Maryam tidak setuju dengan Yuni yang ingin merebut perhatian Andra. Setelah meyakinkan ibunya beberapa lama, barulah bu Maryam mau mengalah walau berat hati.Tapi Andra menolaknya langsung tanpa berpikir terlebih dulu. “Ibu saya mau datang Yun. Jadi saya nggak bisa, maaf ya.” Walaupun alasan Andra karena ibunya, tetap saja Yuni merasa kecewa. Dia pikir mereka sudah lumayan dekat, dan dia tidak mau membuang kesempatan lagi. Dia juga mu
“Ih kok nggak dibales sih sama pak Andra.” Yuni cemberut. Dia merebahkan dirinya di sebelah putrinya masih dengan melihat hpnya. Berharap Andra akan segera membalasnya. "Huh. Pak Andra lagi ngapain sih?" Yuni meletakkan hpnya.Yuni menatap buah hatinya sambil tersenyum. Kia terlihat senang sekali malam itu, tidak berhenti tersenyum karena Andra begitu baik padanya. Yuni mengelus rambut Kia, “Sebentar lagi Kia punya ayah yang sayang sama Kia. Mama janji sama Kia, Kia bakal dapat kasih sayang seorang ayah seperti yang Kia mau selama ini." Yuni mengubah posisi tidurnya menjadi telentang, dia memejamkan matanya dan membukanya kembali. Wajah Andra terbayang di pelupuk matanya. Dia mengusap wajahnya, "Kenapa aku ini." Napasnya terlihat memburu. Yuni seorang wanita biasa. Dia yang sudah menjanda selama tiga tahun tanpa pria disisinya, entah kenapa tiba-tiba malam ini hanya dengan memikirkan Andra membuat dirinya merasa panas.***Rina membuka matanya saat mendengar bunyi berisik dari ara
Rina duduk di sofa ruang tamu dengan gelisah. Sudah setengah sembilan malam tapi suaminya belum sampai rumah. Tidak ada notifikasi di hpnya dari suaminya, tapi Rina tidak ingin menghubungi lebih dulu. Dia gengsi karena sedang marah. “Lebih baik aku nonton drakor saja lah dari pada kepikiran mas Andra terus,” kata Rina sambil membaringkan dirinya di sofa. Anak-anaknya sudah tertidur lebih awal. Sepertinya mereka kecapekan karena tadi siang dia mengajak mereka ke playground. Dia sangat suntuk seharian di rumah. Pekerjaan rumah yang banyak dan itu-itu saja membuatnya bosan dan ingin menikmati waktu di luar rumah. Sambil menunggu Fikri dan Reza bermain dia memesan minuman di cafe yang berada di depan playground.Rina asyik bermain hp dan menikmati waktu sendiri. “Rina.” Dewi, temannya Rina terlihat menggandeng anaknya dan mendekat ke arahnya. Mereka heboh sendiri saat bertemu, tidak lupa cipika cipiki. Dewi meminta anaknya untuk bermain di playground bersama Fikri dan Reza, sedangkan De