Share

Mulai Goyah

Andra terusik dari tidurnya saat sayup-sayup terdengar suara musik yang lumayan keras. "Mah, Jam berapa sih belum tidur?" Dapat kulihat cahaya dari hpnya yang masih menyala. Dia masih menikmati suguhan di layar gadget bergambar apel digigit itu. "Jam satu pah," jawabnya cuek.

"Udah malam tidurlah, besok lagi juga masih bisa lihat hpnya," kataku sambil menutupkan selimut ke tubuhnya. "Iyaa, sebentar lagi. Papa tidur aja."

Bagaimana aku bisa tidur kalau suara musik itu masih berbunyi. Terpaksa ku tutupkan bantal ke telingaku agar tidak mendengarnya lagi.

Kriiiing... Kriiiing... Kriiiing...

Alarmku sudah berbunyi. Jam berapa ini? 05.10. Ya Tuhan, ternyata alarm yang kusetel dari jam empat sudah terlewat beberapa kali. Rina masih tertidur di sampingku, sepertinya dia juga tidak mendengar alarmku berbunyi.

"Mah, sudah jam lima lewat. Bangun," kataku sambil menggoyangkan tubuhnya. "Heeem." Dia hanya menggumam. Entah tidur jam berapa dia. Tentu saja jadi telat bangun kalau dia tidur saja menjelang pagi. Kebiasaannya lama-lama mengganggu siklus tidurnya. Bisa-bisa kesiangan kalau Rina tidak bangun sekarang.

"Mah, cepat bangun. Sudah pagi, belum salat subuh. Nanti kesiangan." Dia belum bergerak. Lebih baik aku bangun dulu dan memulai aktivitas. Setelah selesai salat, aku memasukkan beras ke rice cooker. "Klik" rice cooker sudah dalam proses memasak. Belum kulihat tanda-tanda Rina bangun. "Masih pagi jangan emosi Ndra," kataku pada diri sendiri.

Aku melihat ke kamar kami, benar saja Rina belum bangun.

"Mah, sudah setengah enam. Nanti nggak dapet subuhnya."

Setelah beberapa lama aku membangunkannya akhirnya dia terbangun. Dia kelabakan sendiri bahkan menyalahkan aku kenapa tidak membangunkannya dari tadi. Dia bangun dan mengikat rambutnya asal-asalan.

Setelah salat subuh dia bangunkan Fikri, menyuruhnya salat. Kemudian Rina mulai sibuk di dapur. Kudengar suara Reza yang sepertinya ikut terbangun karena suara berisik mamahnya.

"Anak papa sudah bangun nak?"

Aku menggendong dia dan ku buatkan susu formula agar dia tidak rewel selagi mamahnya memasak. Setelah susunya habis, Reza sudah bisa tertawa dan ingin memainkan mainannya saat melihatnya masih belum selesai ku bereskan dan berceceran di ruang tamu. Ya, masih belum dibereskan dari kemarin. Aku terlalu capek, memutuskan tidur lebih awal, walaupun terganggu di tengah malam dan akhirnya bangun kesiangan.

Ku biarkan Reza bermain sendiri. Aku melihat Fikri sudah selesai mandi, ku bantu dia bersiap dengan seragam sekolahnya. Dan setelahnya memintanya menjaga adiknya sementara aku mandi. Aku mencari pakaian kerjaku di lemari pakaian, ternyata masih kusut semua. Melihat Rina masih sibuk di dapur, aku menyetrika sendiri kemeja dan celana panjangku. Tidak mungkin aku memakai pakaian kusut ke kantor. Nanti dikira sedang ribut sama istri makanya aku nggak diurus. Tapi kalau dipikir benar juga. Aku memang mengurus diriku sendiri.

Aku dan Fikri sudah duduk di meja makan, sedang Reza di kursi bayinya. Makanan sudah siap. Syukurlah kami tidak telat. Masakan buatan Rina memang ku akui sangat lezat. Dia bersungguh-sungguh belajar masak di awal pernikahan kami. Sampai ikut les masak segala, karena aku pernah bilang masakan ibuku sangat lezat. Tentu saja dia merasa tertantang untuk membuktikan dia juga bisa masak.

Memang itu salah satu hal yang membuatku menyukainya. Kalau dia punya kemauan pasti dia akan bekerja keras. Dulu dia adalah juniorku di kampus. Aku salah satu panitia ospek saat Rina baru masuk kampus. Kalau diingat-ingat lucu sekali kami dulu. Aku mulai suka padanya sejak di kampus, tapi tidak ada kesempatan pada waktu itu karena aku sudah mulai disibukkan dengan KKN dan tugas akhir.

Sampai suatu waktu di acara perusahaanku yang lama, aku melihatnya. Iya, dia sekantor denganku waktu itu. Aku masih staff biasa dan belum menjadi manager. Tanpa menunggu lama tentu saja aku langsung mendekatinya. Aku yang pada waktu itu sudah kepala tiga tentu saja sudah tidak ingin main-main lagi. Setelah dekat beberapa bulan aku langsung melamarnya pada ayahnya.

Tanpa terasa sudah delapan tahun usia pernikahan kami. Kata orang masa-masa sulit pernikahan ada di lima tahun pertama. Tapi aku merasa lima tahun pertama pernikahan kami malah adem ayem. Justru di tahun ke delapan ini rasanya agak berat karena aku merasa istriku banyak berubah. Aku mulai merasakan kepenatan dan kebosanan.

Setiap hari aku melihat rekan kerja wanitaku yang masih cantik dan pandai berdandan di kantor. Bahkan tidak sekali dua kali sebenarnya ada beberapa wanita yang terang-terangan menggodaku, bahkan anak baru lulus yang baru mulai bekerja juga ada. Tapi aku mengabaikan mereka demi untuk menjaga keutuhan rumah tanggaku.

Tapi melihat istriku di rumah yang ketika aku berangkat masih belum mandi, bau dapur dan ketika aku pulang dia sibuk dengan gawainya lama-lama aku merasa sedikit goyah. Bahkan kuakui aku merasa kurang tertarik memberinya nafkah batin kalau dia tidak memintanya duluan.

Ya, Rina memang bukan perempuan pemalu untuk urusan ranjang, dia bilang, "Sama suami sendiri kok malu, kalah nanti aku sama pelakor yang nggak tahu malu jaman sekarang mas." Tapi tetap saja anak kedua kami akan lebih mendominasinya di jam malam dua tahun terakhir ini.

Apa mungkin karena itu aku mulai tergoda ketika Yuni, rekan kerjaku yang seorang janda beranak satu itu terlihat memberi kode menyukaiku.

Tentu saja aku tahu dari gelagatnya yang sering mencuri pandang padaku. Dan sering memberikan perhatian padaku, bahkan diluar kepentingan pekerjaan. Apa ku tangkap saja kode darinya dari pada aku galau setiap hari menghadapi kelakuan istriku yang tidak memperhatikanku.

Gila. Memikirkannya saja aku merasa darah lelakiku bergolak. Aku masih muda, kata orang tampan, mapan, bukankah aku memang idaman wanita? "Astaghfirullah." Tiba-tiba aku teringat Reza yang sedang lucu-lucunya. Mikir apa aku dari tadi. Walau bagaimanapun aku seorang imam, aku harus membimbing istriku kalau mau dia menjadi lebih baik lagi. Bukannya beralih pada yang lain.

Kembali nasehat-nasehat ibu terngiang. Ibu selalu menasihati untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. "Kamu sudah berani melamar anak orang, harus kamu jaga dan jangan pernah menyakitinya," kata ibuku yang selalu dia ulang-ulang saat aku mengutarakan keinginanku untuk menikah.

Lama-lama aku menjadi terlihat lebih tua dibanding umurku kalau terus kepikiran Rina. Lebih baik aku melipir sebentar untuk menenangkan diri, dari pada pulang dan aku yakin keadaan rumah masih sama belum dibereskan.

Aku menepikan mobilku di sebuah cafe dengan tema outdoor. Ada live music dan lampu-lampu yang dihias sedemikian rupa agar para pelanggan menjadi lebih rileks dan senang berada disini. Aku memesan es cappucino dan kentang goreng untuk menemaniku melamun.

"Loh, pak Andra." Kudengar seorang memanggil namaku. Aku celingukan mencari sumber suara, ternyata Yuni dan Sari datang berdua untuk nongkrong setelah pulang bekerja.

Mereka berdua menghampiriku, Yuni lalu bertanya, "Bapak sendirian aja pak?"

"Iya nih Yun, Sar."

"Wah ada apa nih laki-laki beristri pulang kantor malah nongkrong sendiri," kata Sari yang kemudian disikut oleh Yuni.

"Maaf pak, keceplosan." Sari sepertinya merasa tidak enak padaku.

"Nggak apa-apa kok Sar, cuma pengen ngadem aja sebentar. Kalian kalau mau pesan silahkan aja mumpung ketemu. Saya yang traktir."

"Waah beneran nih pak? Beruntung banget kita Yun ketemu pak Andra, jadi ditraktir." Sari berkata sambil tertawa.

Kami jadi mengobrol sambil menghabiskan pesanan kami. Tak terasa hari sudah mulai gelap, aku harus segera pulang agar tidak kemalaman di jalan.

"Saya pulang duluan ya Yuni, Sari. Kalian habiskan makanan kalian ya," aku berkata sambil beranjak ke kasir untuk membayar makanan yang kami bertiga pesan.

"Makasih pak Andra," Yuni dan Sari berkata berbarengan.

Aku memutuskan untuk segera pulang, tidak ingin Rina bertanya-tanya karena aku pulang terlambat.

***

"Pak Andra pasti ada masalah di rumah makanya dia nongkrong sendirian begini pulang kantor, pasti karena males pulang," Sari berkata sok tau.

"Sotoy lu Sar." Yuni menanggapi Sari sambil tertawa.

"Ya kali aja lu bisa sekalian mancing di air yang keruh Yun, udah lama kan lu jomblo. Mumpung ada kesempatan sikat ajalah. Pak Andra udah ganteng, pekerjaannya bagus, duitnya banyak, baik lagi. Kurang apa coba dia."

Sari tahu Yuni menaruh rasa pada pak Andra, tapi siapa yang tidak tahu pak Andra seperti apa. Digoda anak magang yang masih muda dan bening aja tetap jejeg tidak tumbang. "Tapi siapa tahu mumpung ada kapal mulai karam sekalian aja lempar batu," pikir Sari.

Yuni pernah beberapa kali kepergok memperhatikan pak Andra tanpa kedip. Mata mereka saling bertemu, Yuni tentu saja salah tingkah. Tiga tahun menjanda, lalu satu tim dengan pak Andra yang tampan, siapa yang tidak suka. Bisa berlama-lama menatap walau pun terpisah kubikel. Memberi perhatian yang sebenarnya tidak perlu. Dia bukan anak remaja tapi tingkahnya tidak jauh beda seperti mereka ketika jatuh cinta.

Tapi Yuni sadar pak Andra sudah dimiliki orang lain. Walaupun kalau menjadi yang kedua dia tidak keberatan sama sekali. "Ah mikir apa aku, jauh sekali," Yuni tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya.

Sari hanya senyum-senyum melihat Yuni yang salah tingkah setelah mendengar kata-katanya. Bukankah laki-laki boleh poligami, apalagi Pak Andra yang baik dan mapan pasti kalau beristri dua dia bisa adil. Dia tahu kisah perkawinan Yuni sebelumnya dimana Yuni diselingkuhi suaminya bahkan tidak diberikan nafkah. Bukankah tidak berdosa kalau dia mendoakan kebaikan untuk sahabatnya agar mendapatkan suami yang baik, yaitu pak Andra.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ulyana
Hayoloh Rina... suamimu itu idaman loh, sedang diincar. Cakep-cakep gih Rin
goodnovel comment avatar
Cindi
Hati-hati Rina suamimu diincar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status