Perkataan Bu Nani dan Indri terus menghantui pikiran Aidah. Bagaimana kalau Arkan terus tak menyentuhnya? Bagaimana kalau dia tak memiliki keturunan lagi karena Arkan belum bisa menerimanya sebagai istri? Aidah merasa depresi sendiri, hingga menjadikannya selalu murung akhir-akhir ini.“Aidah, aku mau mandi,” kata Arkan setelah bakda Isya. Berkutat dengan pekerjaan seharian membuat tubuhnya terasa lengket dan tak nyaman.“Ya.” Aidah menyahut singkat, dia sibuk bersama ponselnya sambil duduk di atas ranjang. Sendirian. Karena Rizki tengah bersama Bu Heni di kamar sebelah.“Handuknya?” tanya Arkan merasa heran. Biasanya, Aidah selalu menyiapkan keperluan suaminya itu sebelum sang lelaki mandi. Dari mulai handuk sampai baju. Tapi sekarang, Aidah diam saja dan bertingkah sedingin batu.Aidah tak menyahut, dia meninggalkan ponsel sementara untuk mengambil handuk baru di lemari. Kemudian tanpa kata dia menyodorkan begitu saja pada Arkan.Bukannya langsung masuk kamar mandi, Arkan malah tert
“Indri, kamu lihat jam tangan Mas yang satu lagi, nggak?” tanya Alman saat hendak memakai benda tersebut. Lelaki itu memang memiliki dua buah jam tangan, yang satu biasa dipakai sehari-hari karena tergolong murah, dan satunya lagi jarang dia pakai karena harganya memang mahal.“Jam tangan yang di laci?” Indri balik bertanya seraya memainkan ponsel.“Iya.”“Lho, ‘kan aku jual, Mas.” Alman langsung menoleh dengan mata membulat mendengar jawaban Indri.“Kamu jual?” ulangnya sambil mendekat. Indri mengangguk dengan ringan.“Kenapa kamu jual, Indri? Ya ampun ....”“Lho, lho. Kemarin ‘kan aku sudah izin, mau jual jam tanganmu itu buat belanja baju sama Ibu. Biar Ibu seneng dan nggak terlalu sedih mikirin kakak sulungmu itu.”“Kapan, Indri? Kapan kamu meminta izin? Kapan juga aku mengizinkannya?” “Ya sebelum aku belanja sama Ibu, lah. Makanya, Mas. Jangan banyak ngelamun, jadi orang ngomong itu kamu nggak dengerin, otak kamu nggak fokus.”Alman tak menjawab, dia hanya bisa menghela napas ya
"Aidah, aku mohon. Aku ingin kembali denganmu." Dengan wajah memelas Alman meminta, Aidah terdiam sejenak. Hatinya begitu iba melihat Alman hidup dengan derita.Sejatinya Alman tak bersalah, karena memang semua kehancuran itu berawal dari hasutan keluarganya."Kalau boleh jujur, aku juga masih cinta sama kamu, Mas." Aidah berkata lirih, kini giliran Alman yang terpaku."Aku tak pernah mau menikah dua kali dalam seumur hidup. Aku juga kasihan pada Rizki, kalau kita bercerai berai seperti ini.""Jadi, kamu mau rujuk denganku, Aidah?" tanya Alman cepat seraya meraih kedua tangan Aidah, dan wanita itu tak menolak."Iya, Mas. Asal kamu janji, takkan menyakitiku lagi.""Janji, Aidah. Janji! Tapi, bagaimana dengan suamimu, Arkan?""Aku tak mencintainya, Mas. Dia tak memperlakukanku dengan laik selama ini. Dia tak pernah memberikanku nafkah batin, aku lebih tersiksa karena harus berpura-pura bahagia padahal sebenarnya tidak.""Ya Tuhan, Aidahku. Tapi tidak apa, yang penting, sekarang semuanya
"Memangnya harus, ya?" tanya Arkan, ragu hendak memberikan roti buatan Aidah yang akan dijadikan menu baru di outlet mereka."Kalau Mas nggak ngizinin, nggak apa-apa." Aidah menjawab lembut."Ya sudah lah, dari pada mubazir. Mereka 'kan tetangga kita juga." Arkan mengunggingkan senyum.Kedua makhluk itu lantas kembali berjalan setelah membagikan roti buatan Aidah, mereka hendak menuju ke rumah Alman juga Indri. Gara-gara kejadian semalam, Arkan jadi izin tak masuk sekolah. Lelaki itu ingin menghabiskan waktu bersama sang pujaan, walau lisannya tak mengutarakan demikian."Assalamu'alaikum." Arkan mengetuk pintu, sementara Aidah terdiam di sampingnya sembari membawa bingkisan roti.Tak menunggu lama, si empunya rumah terdengar menjawab salam kemudian membuka pintu bercat putih itu dengan segera."P-Pak Arkan? Aidah?" Indri nampak terkesima."Ganggu ya, In?" tanya Arkan terdengar bersahabat. Karena memang mereka pernah satu sekolah dulu, jadi Arkan merasa tak sungkan pada wanita itu."O
"Alman?" Mata Bu Nani nampak berbinar kedatangan anak bungsunya itu.Alman tak menjawab, dengan kuyu dia langsung terduduk di sofa ruang televisi. Diambilnya botol besar air mineral yang berembun, menandakan jika minuman itu sangat dingin."Alman, untung kamu ke sini. Kebetulan Ibu lagi ada perlu sama kamu," ucap Bu Nani. Kedatangan Alman membuatnya lupa pada acara infotainment di televisi yang tengah dia tonton."Ibu lagi butuh uang, Man. Sekitar satu juta, buat bayar hutang Mbakmu ke tetangga, sama buat kebutuhan Ibu juga," lanjutnya tanpa bertanya keadaan si bungsu. Padahal, terlihat jelas sekali jika Alman sedang tidak baik-baik saja."Laksmi, Mbakmu nggak bisa bantu Ibu, Man. Dua hari lalu dia baru dicerai si Sopyan.""Hah? Cerai?" Ini pertama kalinya Alman bersuara karena benar-benar terkejut."Iya, Man. Si Sopyan ternyata selingkuh, punya istri lagi dia, bahkan udah punya anak seumuran Rizki sama selingkuhannya. Tanpa sepengetahuan Laksmi, rumahnya dijual dan uangnya dibawa per
"Lho, Aidah mana, Bu?" tanyaku bingung, melihat istriku tak ada di dapur bersama para wanita yang memasak, termasuk ibu juga ketiga kakak perempuanku."Di kamar aja tuh!" Mbak Ida menyahut, aku hanya menghela napas sambil menyimpan sayuran yang baru saja kubeli.Kebiasaan memang, kalau keluargaku sedang ada acara atau hajatan, Aidah pasti tak pernah mau membantu urusan dapur. Entah kenapa. Padahal, di rumah dia sangat hobi masak."Alman samperin dulu ya, Bu.""Nggak usah, Man. Mungkin istrimu capek." Ibu menjawab sambil mengupas kentang, tak tega aku melihatnya. Sedari tadi beliau belum berhenti bekerja.Tanpa basa-basi lagi aku ke luar dapur dan menuju kamar depan, tempat kami beristirahat jika berkunjung ke rumah ini.Benar saja, rupanya Aidah ada di sana."Aidah, lagi apa? Kok nggak bantu-bantu?"Aidah yang tengah tidur menyamping menoleh."Lagi nyusuin Rizki, Mas." Tadinya, aku ingin marah. Tapi mendengar alasannya seperti itu, niatku untuk menasihatinya urung seketika."Ya sudah,
ISTRIKU TAK PERNAH MEMBANTU MEMASAK DI ACARA HAJATAN KELUARGAKU (2)"Kalau kamu pulang, bagaimana kata Ibu dan Mbak-mbakku, Aidah? Apa yang akan mereka pikirkan nanti?" ucapku sambil menatapnya yang sibuk mengemasi baju ke dalam koper kecil."Aidah!" Terpaksa aku meninggikan suara, sampai Rizki yang tengah anteng memainkan robot kecil di atas ranjang mendongak melihat ayahnya sendiri.Aidah sendiri berhenti memasukkan barang ke dalam koper, tangannya mengusap air mata yang trus mengalir.Kuhela napas dalam, merasa bersalah sebenarnya sudah beberapa kali membentak Aidah."Aidah, Mas mohon. Jangan begini, ya? Mas malu sama Ibu dan kakak-kakak Mas kalau kamu begini.""Kenapa kamu hanya memikirkan perasaan Ibu dan kakak-kakakmu, Mas?" tanyanya lirih, membuat dadaku mundur secara refleks."Dari awal aku sudah bilang, aku akan ke sini saat hari H. Bukan beberapa hari sebelumnya. Tapi Mas nggak mau dengerin aku dan memaksa kami untuk hadir sebelum acaranya digelar," lanjutnya sambil terisak.
Akhirnya, aku sendiri memilih memakai baju yang dibawa Aidah. Kasihan juga istriku kalau dia pakai baju beda sendiri kalau aku harus ikut seragaman bareng keluarga."Kamu udah nyiapin ini sebelum pergi ke sini?" tanyaku saat Aidah mengancingkan kemeja batikku yang terakhir. Dia mengangguk."Kamu 'kan tahu kalau Mbak Ida jahitin seragam buat kita. Kenapa kamu bawa baju seragaman juga?" tanyaku lagi, merasa kalau Aidah sudah mengetahui cerita yang akan terjadi."Jaga-jaga, Mas. Untung 'kan aku bawa baju ganti lain? Hehe." Aku menghela napas, pasti Aidah sedih dengan kejadian ini. Tapi mau bagaimana lagi? Biarlah tak seragaman dengan ibu juga ketiga kakakku, yang penting masih bisa samaan dengan keluarga kecilku.Setelah selesai berganti baju, aku, Aidah juga Rizki keluar kamar. Semua orang di luar nampak sudah berias, para wanita terlihat pangling karena riasan di wajah."Mbak Ida, udah selesai, nih. Silakan kalau Aidah mau didandanin," kataku. Tak sabar rasanya melihat wajah istriku di