Share

Tidak Berguna

ISTRIKU TUA

Bab 5 : Tidak Berguna

Seperti hari biasanya, sarapan sudah terhidang di atas meja. Tapi mataku menyipit, cuma ada nasi goreng berwarna pucat dengan setengah potong telor saja. Gelas di samping piring juga hanya terisi air putih, bukan susu seperti biasanya. Dan yang membuat hatiku dongkol, cuma ada tiga batang rokok saja. Mana cukup sehari cuma tiga batang. Jatah rokokku kan dua bungkus sehari, Fani mau korupsi ini.

'Prakkk' kupukul keras meja makan, hingga air minum tertumpah ke dalam nasi goreng.

"Dasar istri tidak berguna, bikin sarapan yang enak saja dia tidak becus," umpatku dengan berang.

Segera kukeluarkan ponsel dan mencari namanya.

"Halo, Assalammualaikum, Mas." Sambut Fani dengan suara sok lembut.

"Dek, sarapan apa ini yang ada diatas meja? Seperti makanan kucing saja!" ucapku dengan suara tinggi.

"Maaf, Mas. Susunya habis, bahan makanan yang lain juga habis. Uang gaji Adek ... "

"Mas mau sarapan bubur ayam, tiga puluh menit lagi harus sudah diantar ke rumah ya!" Belum sempat Fani menyelesaikan ucapannya, aku langsung memotongnya.

"Tapi, Mas ... sekarang Adek sedang mengajar dan ... "

Belum selesai ucapan Fani, aku langsung mematikan telepon. Kulirik jam menunjukan pukul 09.00, berarti pukul 09.30 Fani harus sudah berada di sini. Kuraih handuk di kamar dan bersiul riang memasuki kamar mandi.

Setelah mandi dan berpakaian, terdengar suara motor Fani dari arah depan rumah. Aku ogah membukakan pintu, biar saja dia membukanya sendiri. Kuhidupkan televisi dan duduk didepannya.

"Mas, maafkan Adek, ya. Kayaknya agak lewat dari 30 menit. Ini bubur ayamnya, Adek masukan mangkok dulu, ya," ucap Fani sambil menuju dapur.

Taklama kemudian dia sudah datang kembali dengan semangkok bubur ayam yang aromanya sungguh menggoda.

"Ini, Mas," ujarnya sambil menyodorkan bubut ayam ke tanganku.

"Suapin dong, Sayang," rengekku manja.

Fani sedikit tersipu malu dan kemudian wajahnya berubah bimbang sambil melihat jam di tangannya. Lalu mengeluarkan ponsel dan terlihat sedang mengetik sebuah pesan.

"Ayo, Dek!" aku menatapnya sambil membuka mulut.

Fani terlihat menarik napas dan menyimpan kembali ponselnya. Kemudian menuruti juga mauku, menyuapkan bubur itu sampai habis.

Setelah menyuapiku bubur, Fani malah masuk ke kamar dan berganti pakaian.

"Eh, Dek. Kok gak kembali ke sekolah lagi?" aku menatapnya sedikit heran melihat dia kembali duduk disampingku.

"Adek sudah izin dengan kepala sekolah untuk tidak kembali lagi ke sekolah karena ada urusan mendadak," jawabnya santai.

"Ehm, tapi gaji kamu gak akan di potong, kan?" aku menatapnya sedikit cemas.

Fani tersenyum, "nggaklah, Mas."

"Syukur kalau begitu." Aku meraih tangan Fani dan menciumnya, "makasih ya, Sayang. Mas sayang banget sama Adek."

"Iya, Mas. Adek juga sayang Mas."

Aku sedikit terkejut melihat jemari Fani, cincin emas yang biasa melingkar di jari manisnya kini tak terlihat lagi.

"Dek, cincinmu mana?"

"Barusan Adek jual, buat beli bensin sama bubur ayam buat Mas."

"Astaga, emangnya kamu sudah gak punya uang lagi?"

"Gak ada lagi, Mas. Gaji dari sekolah sudah habis, terus gaji mengajar les, minggu depan baru diterimanya."

"Oh, begitu." Aku menarik napas.

"Mas mau kerja gak? Ada tawaran kerja nih?" tanya Fani tiba-tiba.

"Kerja?" aku sedikit kaget. "Kerja apa? Kamu kan tahu, Mas gak punya Ijazah. Semua Ijazah dari TK sampai SMA sudah habis di makan rayap," ujarku sambil membaringkan kepala dipangkuannya.

"Ada suami teman Fani di Sekolah mau berhenti kerja, karena sudah ada kerjaan baru. Terus kalau Mas mau, langsung kerja saja, gak perlu pakai surat lamaran segala. Kerja di Mall, di Bioskop Citimax. Bagian jaga tiket masuk."

"Hem, penjaga tiket bioskop?" aku bangkit dan duduk dihadapan Fani. "Emang gak ada kerjaan yang lebih bagus apa? Jadi manager kek atau direktur kek di perusahaan gitu?" aku menerawang.

Fani terlihat menarik napas, mungkin dia kesal dengan pertanyaaku. Tapi, aku hanya bertanya. Barangkali saja ada lowongan menjadi direktur, pasti langsung kuterima.

"Kerjanya cuma dua kali saja dalam seminggu, Mas. Mas kebagian shif hari rabu dan sabtu, dari jam 12 siang sampai jam 01.00 malam, gajinya Rp 1.500.000,00. Kan lumayan buat tambahan kebutuhan kita sehari-hari, mau gak, Mas?" Fani terlihat antusias.

Aku mengerutkan dahi, "terus nanti kamu pergi mengajar les gimana? Kan motor kita cuma satu."

"Begini saja, Mas. Kalau siang Adek yang antar Mas ke sana, terus kan jam 17.30 istirahat dan masuk kembali jam 18.30 nanti Mas yang bawa motor sendiri. Gimana?"

"Ehm, terus kamu mengajar les malamnya gimana?"

"Adek bisa minta antar Burhan saja, itu lhoh ... mantan staf di kantor dulu. Boleh gak, Mas?"

"Burhannya mau nggak ngantar? Mas sih gak apa-apa, asal jangan yang macam-macam saja."

"Jadi Mas mau terima perkerjaan ini?" wajah Fani terlihat berbinar-binar.

"Mau sih, cuman ... kalau Mas gak betah, Mas langsung berhenti, ya."

"Iya, Mas. Dicoba saja dulu." Fani memelukku dan kemudian mencium pipi kiri kanan.

Aku ikut tersenyum juga, lumayanlah. Kerja cuma dua hari dalam seminggu, gajinya juga lumayan.

Tiba-tiba saja, mataku terhenti pada perut Fani yang semakim gembrot. Benar-benar tidak ada body sedikit pun, bentuk tubuhnya semakin menjadi persegi saja. Aku mendadak jengah, semakin bikin ilfil saja wanita tua ini.

"Dek, kamu kok gak hamil-hamil, ya? Mas kan kepengen punya anak."

"Mungkin Allah belum mempercayakannya rezeky itu pada kita, Mas yang sabar saja. Yang penting setiap malam kita tetap usaha." Fani menatapku genit.

"Kamu gak pakai KB kan, Dek?"

"Nggak, Mas. Kan semenjak kita menikah, kb sudah Adek lepas."

"Apa mungkin kamu sudah terlalu tua untuk punya anak ya, Dek?" ucapku sedikit ketus.

Raut wajah Fani langsung berubah muram, "Adek mau ambil minum ke dapur dulu."

Kenapa dengan Fani? Apa dia tersinggung dengan ucapanku barusan? Emang kenyataannya kok dia tua, emang mau dibilang muda. Itu malah fitnah namanya.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status