ISTRIKU TUA
Bab 4 : Bujukan
Kuraih ponsel yang berada di samping bantal. Tenyata ada beberapa pesan dari Fani, kuabaikan saja. Jam menunjukan pukul 06.00, perutku terasa perih karena tadi malam belum sempat terisi apapun.
Ketika membuka pintu kamar, Fani yang tertidur didepannya langsung terbangun lalu memeluk kakiku.
"Mas, maafkan Adek, Mas. Semenjak kita menikah, Adek sudah bertobat dan tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh lagi. Adek sangat mencintai, Mas. Bimbinglah Adek ke jalan yang lurus, Mas. Hidup Adek yang terdahulu memang penuh dosa, tapi semenjak kita menikah, Adek sudah berubah," ucap Fani dengan sambil menangis dan masih memeluk kakiku.
Astaga, kalau bukan karena aku masih ingin hidup enak dengan ongkang-ongkang kaki saja, sudah kutendang dia. Tapi aku berusaha menahan diri dan ada sedikit rasa kasian juga, walau bagaimana pun juga dia adalah istriku. Si pencari nafkah untukku.
"Sudahlah, Dek! Jangan berlutut seperti ini, Mas sudah memaafkanmu. Ayo, bangun!" Aku memegang pundaknya dan berlagak bijaksana.
Fani langsung memelukku sambil terisak, "Makasih, Mas. Adek sayang Mas. Hanya Mas saya yang Adek miliki sekarang, jangan tinggalkan Adek, ya! Adek akan melakukan apapun untuk selalu membahagiakan Mas, Adek janji."
"Iya, Dek. Ya sudah sebaiknya Adek mandi dan bersiap berangkat kerja. Mas mau masak mie instant, Adek mau gak?" aku menghapus air mata di wajah Fani.
"Ehm, mau," jawab Fani agak malu melihat aku menatapnya dengan mata elang kebanggaanku ini. Wanita manapun kalau sudah melihat tatapan mautku ini, pasti meleleh.
***
Setelah sarapan mie instant bersama, Fani pamit berangkat kerja. Namun setelah ritual seperti biasanya yaitu mencium punggung tanganku dilanjutkan mencium pipi kiri dan kananku.
"Adek berangkat dulu ya, Mas. Hari ini Adek pulang awal, cuma kegiatan bersih-bersih saja di sekolah. Kita makan siang diluar ya, Sayang. Kebetulan hari ini Adek gajian."
"Oke, Sayang. Hati-hati di jalan!"
Aku segera menutup pintu, malas juga kalau sampai dilihat para tetangga. Mereka suka bisik-bisik kalau melihatku, dasar Ibu-Ibu tukang gosip. Aku tidak suka mereka, Fani juga sama. Ia tidak pernah mencoba mengakrabkan diri dengan tetangga sekitar, kesepakatan kami memang begitu. Kami tidak mau terlalu akrab dengan siapapun, karena kami tidak mau kehidupan yang sudah enak ini terusik oleh siapapun.
***
Seperti perkataan Fani, jam 11.00 dia sudah tiba di rumah. Aku juga sudah siap dengan styleku, kaos oblong warna merah dan celana selutut berbahan jeans warna hitam. Jam tangan mahal bermerek yang seharga gaji Fani sebulan melingkar di pergelangan tanganku, ini di belikan Fani ketika kami menerima uang hasil penjualan rumahnya beberapa bulan yang lalu. Penampilanku sunggu elegan dan mempesona, bagaimana Fani gak kelepek-kelepek, coba?
"Yuk, Mas!" ucap Fani ketika keluar dari kamar.
Aku menatap penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, usia tuanya terlihat sangat jelas.
"Dek, penampilan kamu itu lhoh ... gak bisa dibuat lebih muda lagi, apa?" aku menyipitkan mata melihat tampilan Fani dengan blezer hitam dan rok jeans biru. Jilbab segiempat yang dililit sana-sini.
"Emang kenapa, Mas?" Fani memperhatikan pakaiannya.
"Jangan berpakaian kayak emak-emak gitulah, Dek. Kamu kelihatan semakim tua dengan penampilan seperti itu," protesku lagi.
"Jadi, menurut Mas, Adek harus berpakaian seperti apa?" wajah Fani terlihat murung, kerutan disekitar matanya semakin nampak jelas.
"Ah, ya sudahlah. Kamu memang sudah tua kok, berpakaian seperti apapun, akan tetap tua begitu." Aku memasang helm. "Pakai maskermu, Dek!" perintahku lagi dan Fani langsung menurut saja.
"Sudah, Mas. Ayo!" Fani mengunci pintu rumah.
"Kamu itu, kalau mau pergi keluar rumah harus selalu memakai masker, ya! Gak usah pamer kecantikan, Mas takut ada yang naksir kamu, gitu." Aku menggoda Fani, padahal sebab sebenarnya aku malu kalau harus berjalan di depan umum bersamanya. Aku tak kuasa mendengar cibiran orang-orang tentang hubungan kami.
***
Sesampainya di restoran, aku memilih menu termahal di sana. Makanan yang namanya keren, biar gak ketinggalan jaman. Maklum di kampung dulu, aku gak pernah makan makanan enak, masuk restoran saja gak pernah. Kedua orang tuaku hanya buruh tani miskin dengan rumah hanya berdindingkan bambu. Ah, aku tidak mau mengingat masa-masa susah itu. Sekarang ada Fani, hidupku terjamin bersamanya.
"Berapa, Mbak?" tanya Fani kepada waiters yang sedang mengantarkan bill ke meja kami.
"Ini, Mbak. Rp750.000,00," tutur si waiters.
Mata Fani terbuka lebar dengan raut wajah tegang sambil mengamati bill di tangannya.
"Gak usaha kaget gitu, Sayang. Cepatan bayar! Dulu aja kita sering makan makanan mewah begini, kamu santai saja," tegurku pada Fani yang masih kasak kusuk kebingungan.
Fani mengeluarkan uang dari dalam tasnya dan kemudian menatapku cemas, "mahal banget ya, Mas?"
"Ehm, biasa saja kok. Dulu juga kamu gak pernah malu-maluin begini," aku menatapnya dongkol.
"Bukannya gitu, Mas. Sekarang keadaan kita sudah berbeda, aku bukan kabid di kantoran lagi. Sekarang cuma guru honorer yang gajinya kecil," ratap Fani dengan kening berkerut.
"Ah, ya sudahlah. Ayo, pulang!" aku berjalan keluar dari restoran, Fani membuntutiku dari belakang.
****
Sesampainya di rumah, Fani langsung duduk di sofa ruang tamu dengan wajah tegang.
"Kenapa, Dek? Masih memikirkan uang 750 itu, ya? Payah kamu, jadi istri kok perhitungan sekali." Aku duduk disampingnya.
"Bukannya gitu, Mas. Kita itu harus berhemat, karena kita itu banyak cicilan yang harus di bayar tiap bulan."
"Maka dengan itu, kamu ikuti saranku untuk menjual rumah yang di tempati suamimu itu. Kamu gak boleh hanya diam begini, setelah dia membuatmu dipecat dari perkerjaan. Dia juga harus merasakan akibat berpisah denganmu. Jangan cuma kita saja yang menderita begini," ucapku dengan kata-kata penuh penekanan, semoga Fani luluh dan mau menuruti mauku.
"Mas, bukan cuma mantan suamiku yang tinggal di rumah itu. Ketiga anak-anakku juga tinggal di sana," jawab Fani dengan suara berat.
"Ah, kamu itu tidak sepenuhnya mencintaiku, Dek. Buktinya kamu masih memikirkan anak-anakmu, katamu dulu ... Tidak ada yang lebih penting dari aku, Mas Fahmimu, suamimu." Aku bangkit dari kursi.
"Mas," Fani menarik tanganku. "Fatur sudah setuju menjual rumah warisan kami yang ada di Bandung, dia sudah mengurus semuanya. Tinggal menunggu pembeli saja," ujar Fani lagi.
Hatiku langsung mendadak dingin, kududukan pantat berdempetan dengan Fani.
"Benarkah itu, Sayang? Adik kamu si Fatur sudah setuju?" aku menatapnya dengan senyum sumringah.
"Iya, Mas. Doakan saja semoga rumah itu cepat laku," jawab Fani sambil memelukku.
Aku semakin memperat pelukan pada wanita gembrot yang lemaknya tersembul sana sini itu, kucium dahinya berkali-kali. Aku harus menyenangkan hati Fani, karena sebentar lagi, dia akan kembali punya banyak uang. Untung aja kedua almarhum orang tuanya meninggalkan banyak rumah warisan, aku akan selalu mencintainya kalau begini. Fani itu mempunyai tiga buah rumah warisan, pertama dijual yang di Jakarta. Dan yang kedua ini yang di Bandung itu. Masih ada sisa yang di Bogor lagi. Hidupku menjadi aman kembali. Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan akan tiduran di atas uang lagi.
Bersambung ....
ISTRIKU TUABab 5 : Tidak BergunaSeperti hari biasanya, sarapan sudah terhidang di atas meja. Tapi mataku menyipit, cuma ada nasi goreng berwarna pucat dengan setengah potong telor saja. Gelas di samping piring juga hanya terisi air putih, bukan susu seperti biasanya. Dan yang membuat hatiku dongkol, cuma ada tiga batang rokok saja. Mana cukup sehari cuma tiga batang. Jatah rokokku kan dua bungkus sehari, Fani mau korupsi ini.'Prakkk' kupukul keras meja makan, hingga air minum tertumpah ke dalam nasi goreng."Dasar istri tidak berguna, bikin sarapan yang enak saja dia tidak becus," umpatku dengan berang.Segera kukeluarkan ponsel dan mencari namanya."Halo, Assalammualaikum, Mas." Sambut Fani dengan suara sok lembut."Dek, sarapan apa ini yang ada diatas meja? Seperti makanan kucing saja!" ucapku dengan suara tinggi."Maaf, Mas. Susunya habis, bahan makanan yang lain juga habis. Uang gaji Adek ... ""Mas mau sarapan bubur ayam, tiga puluh menit lagi harus sudah diantar ke rumah ya!"
ISTRIKU TUABab 6 : KerjaJam di dinding menunjukan pukul 11.20, aku sudah bersiap untuk berangkat kerja untuk hari perdana ini. Fani juga sudah pulang dari sekolah, dia sengaja pulang awal agar mengantarku kerja."Mau berangkat belum, Mas?" tanya Fani."Ayo!" Aku memasukan ponsel dan rokok ke tas kecil selepangku."Lhoh, kok baju seragamnya belum dipakai?" Fani menatapku."Nanti Mas ganti pakaian di toilet Mall saja, malu kalau dari rumah sudah pakai dinas satpamnya." Aku menunjuk kantong plastik hitam yang kusimpan di atas meja ruang tamu. "Oh ya, Dek. Jangan lupa pakai maskernya!"Fani hanya terlihat menarik napas, kemudian kami berangkat. Memakan waktu 15 menit untuk sampai di Mall tempatku berkerja."Sampai sini saja, Dek. Gak usah ikutan masuk ke dalam." Aku menyipitkan mata melihat Fani yang sudah bersiap meninggalkan motor di parkiran."Oh, ya sudah. Adek pulang dulu kalau gitu, Mas yang semangat ya kerja dihari pertamanya," ujar Fani sembari mencium punggung tanganku.Aku men
Istriku TuaBab 7 : DemamSiangnya, benar sekali dugaanku. Aku terkena demam, sekujur tubuhku panas serasa bagai bara api. Tapi Fani malah belum pulang, menyebalkan sekali. Disaat suami sedang sakit begini, dia malah tidak ada.Beberapa saat kemudian, Fani pun tiba di rumah. Aku pura-pura tertidur, aku ingin Fani itu peka dengan apa yang kurasakan. Tapi dia malah acuh, berganti pakaian kerja dengan pakaian lainnya. Mungkin dia akan pergi mengajar les. Astaga, dia tidak mau menghampiriku. Ya sudah, aku pura-pura menggigil saja."Uuuuuuu, uuuuu, aduh ... sakit," rintihku dengan mata terpejam."Mas, kenapa?" tanya Fani sambil duduk di sampingku.Aku membuka sedikit mata, " Mas gak apa-apa, Adek mau ke mana?"Fani merasa dahiku dan wajahnya langsung tampak khawatir, "Mas demam, ya? Badannya panas banget, kita ke dokter sekarang ya!"Astaga, Dokter! Aku takut dokter, aku benci minum obat yang pahit itu, juga jarum suntiknya."Gak mau," rengekku sambil menaruh tangan Fani di kepalaku. "Piji
ISTRIKU TUABab 8 : Berhenti KerjaSejak kejadian itu, Fani menjadi lebih perhatian lagi padaku. Berarti tamparanku waktu itu sangat berkhasiat sekali. Jadi, wanita itu tidak bisa selalu dilembuti terus, sesekali memang perlu diberi kekerasan untuk mendokrin kepatuhannya pada kita. Itu menurutku, Fahmi Hairil Bin Usman. Putra dari petani miskin, yang sebelum berkenalan dengan Fani sangatlah menderita karena untuk beli indomie saja, harus ngutang di warung.Fani memang segalanya buatku, dia bisa menjadi sosok Ibu yang sangat memanjakanku, juga sosok istri yang sangat patuh dan penyayang, serta seorang Ibu Peri yang selalu bisa mewujudkan semua keinginanku. Aku sangat sayang sekali padanya, dan tidak mau sampai kehilangan dia. Hidupku akan berantakan tanpanya, aku tak bisa membayangkan semua itu. Jadi, aku harus bisa membuatnya tak berpaling dariku. Dengan wanita lain, aku gak yakin bisa hidup senyaman ini. Bayangkan saja, hanya dengan mas kawin sepuluh ribu rupiah, aku bisa mendapatkan
ISTRIKU TUABab 9 : GiselaJam di dinding menunjukan pukul 18.30, setelah sholat magrib, Fani sudah bersiap untuk berangkat mengajar les."Mas, Adek berangkat, ya!" Fani mencium punggung tanganku."Iya, sayang. Hati-hati di jalan! Pulangnya belikan Mas martabak manis ya, rasa keju susu." Aku menatapnya lembut."Iya, Mas." Fani mengangguk dan kemudian berjalan menuju pintu.Taklama berselang, deru suara motornya kian menjauh. Aku tersenyum senang dan membuka ponsel. Mengetik sebuah pesan untuk Gisela.[Dek, pulang kerjanya jam berapa?]Tiga detik kemudian, sudah muncul balasan darinya.[Ini sudah di jalan mau pulang, Bang.]Aku tersenyum lagi, bayangan bibir sexi dan tubuh moleknya membius otakku.[Jam berapa kita video callnya, sayang? Abang udah gak sabar 😊][Satu jam lagi, sayang.]Yes, Gisela memanggilku sayang. Rasanya terbang ke awan, aih ...Tepat pukul 19.30, aku langsung melakukan panggilan video. Hatiku dag-dig-dug menunggu Gisela menjawab panggilanku.Taklama kemudian, pang
ISTRIKU TUABab 10 : RibutSejak pertengkaran malam itu, aku sudah menghapus pertemanan dengan Gisela di facebook di depan Fani dan berjanji untuk tidak menduakannya lagi. Hem, itu hanya janji. Masalah bisa terpenuhi atau tidaknya aku tidak tahu juga. Yang terpenting sekarang, Fani bisa percaya dan luluh lagi hatinya padaku."Sayang, ayo sarapan dulu! Mas sudah bikin nasi goreng untukmu," sambutku pada Fani ketika keluar dari kamar.Fani sudah bersiap mau berangkat kerja. Pagi ini dia masih mengenakan kacamata kala berangkat kerja, karena lebam di mata bekas pukulanku waktu itu masih membekas. Padahal sudah seminggu.Fani terlihat melihat arloji di pergelangan tangannya."Baru jam setengah tujuh, Dek. Ayo!" aku menarik tangan Fani dan menuntunnya duduk di depan meja makan."Ayo, sayang ... dicicipi dong masakan Mas!""Iya, Mas. Makasih, ya." Fani senyum sumringah sambil memakan nasi goreng buatanku.Yes, akhirnya Fani bisa tersenyum lagi dan kembali kepelukanku.Setelah menghabiskan s
ISTRIKU TUA Bab 11 : Baku Hantam "Sayang, please ... maafin Mas, ya! Beri Mas satu kali kesempatan lagi, Mas janji gak akan pernah mencoba berselingkuh dan melakukan kekerasan lagi padamu. Maafkan kekhilafan Mas, Dek!" aku masih memelas pada Fani. Ini bukan mengemis namanya, hanya salah satu bentuk usahaku untuk tidak terlempar dari kesejahteraan yang sudah kudapatkan dua tahun ini. Setahun masa pacaran dan setahunnya lagi masa menikah. Fani masih diam, air mata semakin membanjiri wajah penuh kerutan itu. Sekarang ini kulitnya tak lagi kencang sepertu dulu. Maklum, semenjak dipecat dari pekerjaannya dahulu, dia sudah tidak pernah perawatan ke salon lagi. "Dek, maafkan, Mas. Mas tidak tahu juga kenapa juga akhir-akhir ini jadi emosian begini. Mas minta maaf sudah memukulmu, balas, Dek ... ayo, balas!" aku menarik tangan Fani dan memukulkan tangan itu ke wajahku berkali-kali. Tak cukup dengan itu, dramaku terus berlanjut. Kubenturkan kepalaku ke dinding berkali-kali. Sumpah, ini sak
ISTRIKU TUA Bab 12 : Banjir Kehidupanku dengan Fani tetap berjalan monoton, dia tetap berkerja dari pagi sampai malam. Sedang aku, masih makan tidur di rumah. Tak ada yang istimewa setiap harinya, aku mulai bosan. "Mas, Adek sudah telat satu minggu lhoh," ucapnya malam itu ketika sudah berbaring disampingku hendak tidur. "Masa, Dek? Jangan-jangan kamu hamil?" tanyaku senang dan langsung bangkit dari tempat tidur. "Belum tahu juga, Mas. Semoga saja impian kita untuk segera punya anak bisa segera terkabul. Adek sudah beli testpack, besok pagi baru di test." "Semoga saja Adek benaran hamil, Mas ingin anak kita perempuan. Wajahnya cantik, kulitnya putih, tubuhnya montok dan menggemaskan," ujarku sembari mengelus perut Fani. "Iya, Mas. Semoga saja," jawab Fani dengan senyumnya. *** Pagi pun tiba, aku sudah tidak sabar menunggu Fani keluar dari kamar mandi. "Gimana, Dek? Positif, kan?" tanyaku tak sabar. Wajah Fani lesu, "maafkan Adek, Mas. Hasilnya masih negatif." "Aghhhh, lagi-