"Aduh, Mbak, pelan-pelan. Sakit ...." Elrangga meringis kesakitan karena salah satu pelayan di rumahnya tanpa sengaja menekan pipinya yang terlihat sedikit memerah.Elrangga tidak pernah menyangka tamparan Jena sangat keras hingga membuat pipinya lebam. Padahal postur tubuh gadis itu kecil, tapi tenaganya mirip badak."Mau saya ambilkan salep, Tuan?""Ya, boleh," jawab Elrangga sambil memegangi pipi kanannya yang masih terasa nyeri.Pelayan itu pun segera meninggalkan kamar Elrangga untuk mengambil salep pereda nyeri yang berada di lantai bawah. Dia sontak menundukkan kepala ketika berpapasan dengan Abi di depan pintu.Abi berjalan menghampiri Elrangga sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Rasanya dia ingin sekali memberi adik laki-lakinya itu pelajaran karena sudah menghina Jena. Namun, dia sudah berjanji pada Jena agar tidak bertengkar dengan Elrangga."Pipimu kenapa?"Elrangga tergagap mendengar pertanyaan Abi barusan. "Tidak kenapa-napa," jawabnya tanpa berani menatap Abi.
Jena menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu kayu yang ada di hadapannya. Tidak lama kemudian terdengar sahutan dari dalam."Siapa?""Ini, Jena. Apa Jena boleh masuk?""Nggak!" sahut Elrangga ketus.Jena mengerucutkan bibir kesal. Padahal dia ingin meminta maaf tapi Elrangga malah melarangnya masuk.Menyebalkan!"Mas El, Jena boleh masuk, ya ...?" tanya Jena terdengar lembut agar Elrangga mengizinkannya masuk.Elrangga berdecak kesal karena suara Jena membuat pipinya semakin berdenyut. "Aku bilang enggak ya, enggak!"Jena menggeram kesal karena Elrangga sangat keras kepala. Dia akhirnya memutar kenop pintu yang ada di hadapannya tanpa izin Elrangga.Brak!Elrangga berjingkat karena Jena tiba-tiba membuka pintu kamarnya dengan kasar. Kedua mata Jena sontak membulat karena Elrangga hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Memperlihatkan dada bidang dan perutnya yang kotak-kotak.Elrangga terlihat err ... sangat seksi. Apa lagi dengan rambut yang sedikit basah."Ai
Jena cepat-cepat berdiri sambil menahan pantanya yang masih terasa sedikit nyeri. Kedua sudut bibirnya sontak naik ke atas karena melihat Elrangga yang berjalan menghampiri Allecia. Meskipun Elrangga tadi mengatakan tidak, adik iparnya itu ternyata mau menemui Allecia."Minuman apa ini? Rasanya asam sekali. Buatkan aku minuman yang lain!"Pelayan itu mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat untuk menahan emosinya agar tidak meledak karena Allecia sejak tadi menyuruhnya untuk membuat minuman ini dan itu. Padahal Allecia tadi minta dibuatkan air lemon tanpa gula, tapi wanita itu malah minta dibuatkan minuman yang lain.Menyebalkan!Rasanya pelayan itu ingin sekali melempar nampan yang ada di tangannya ke kepala Allecia untuk melampiaskan kekesalannya."Baik, Nona." Pelayan tersebut membawa segelas air lemon itu kembali ke dapur lantas membuat minuman yang baru untuk Allecia.Kening Elrangga berkerut dalam menatap wanita berambut pirang yang duduk membelakanginya karena dia merasa tidak ken
Abi membetulkan letak kaca mata hitamnya yang sedikit melorot. Di hadapannya terhampar jelas laut biru yang sangat luas, seolah-olah tidak memiliki ujung. Pantai Nui namanya. Abi memang ingin mengajak istrinya pergi ke Thailand untuk berbulan madu jika dia sudah menikah. Abi pikir dia akan pergi bersama Dea—mantan kekasih yang masih memiliki ruang khusus di dalam hatinya. Namun, siapa yang akan menyangka kalau dia akan pergi ke Thailand bersama Jena. Gadis yang perlahan-lahan mencuri hatinya "Lautnya indah sekali kan, Jena?"Jena mengangguk. Sepasang mata bulat miliknya sibuk memperhatikan sekitar—takut jika tiba-tiba ada orang yang melihatnya."Kenapa kamu bersembunyi di balik tubuh mas, Jena?""Jena malu, Mas.""Malu kenapa?"Jena memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Saat ini dia memakai bikini berwarna merah yang kontras dengan warna kulitnya putih. Jena sebenarnya merasa risih memakai bikini, tapi Abi memaksanya agar memakai baju renang tersebut.Jena tergagap kar
"Sebenarnya bukan tawuran, sih—" Ardilla melirik Elrangga yang berdiri tepat di hadapannya dengan takut-takut karena kakak kandungnya itu sedang menatapnya tajam sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Amarah tergambar jelas di wajahnya yang tampan."Ardilla cuma berantem di sekolah," lanjutnya."Apa?" Elrangga terenyak mendengar ucapan Ardilla barusan. Adik perempuannya itu memang agak berbeda dengan perempuan kebanyakan.Anak remaja seusia Ardilla biasanya lebih senang menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di mall atau nongkrong di kafe. Namun, Ardilla malah suka pergi ke warnet atau nongkrong di warung kopi pinggir jalan. Adik perempuannya itu bahkan pernah beberapa kali ikut tawuran. Entah ibunya mengidam apa saat hamil Ardilla."Astaga, Ardilla!" Elrangga mendesah panjang. "Kenapa kamu suka sekali membuat masalah?""Kak Rangga jangan marah dulu karena Ardilla punya alasan kenapa sampai berantem di sekolah.""Alasan apa?""Jadi gini, Ardilla tiba-tiba dilabrak sama kakak k
Elrangga tidak bisa bernapas dengan tenang karena terus dihantui perasaan bersalah pada Jena. Semua pekerjaannya tidak ada yang selesai karena dia terus saja memikirkan gadis itu. Elrangga merasa sangat menyesal sudah bersikap kasar pada Jena. Dia bahkan memperlakukan gadis itu seperti pembantu. Andai saja sejak awal dia tahu kalau Jena mengalami kejadian buruk ketika masih kecil hingga membuatnya tidak bisa membaca. Dia pasti akan bersikap baik pada gadis itu.Namun, dia malah mengetahui pengalaman buruk yang dialami Jena dua hari yang lalu. Itu pun harus memaksa Ardilla lebih dulu. Rasanya Elrangga ingin sekali kembali ke masa lalu untuk menghapus kesalahannya pada Jena. Namun, dia tidak mungkin bisa melakukannya.Elrangga masih asyik dengan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari kalau Jerry masuk ke ruangannya. "Stok Croissant di kafe tinggal sedikit, apa kau sudah membuatnya, Ga?"Elrangga tergagap mendengar pertanyaan Jerry barusan. "Kau bilang apa?"Jerry menghela napas panj
Elrangga mengambil kunci mobilnya yang berada di atas meja samping tempat tidur, sebelum pergi dia menyempatkan diri untuk mematut bayang dirinya di dalam cermin. Elrangga hari ini terlihat sangat tampan memakai kaos hitam polos yang dilapisi dengan jaket denim. Dia juga memakai topi hitam untuk melengkapi penampilannya."Tumben kamu wangi sekali, memangnya kamu mau pergi ke mana, Ga?" tanya Anita saat berpapasan dengan Elrangga di tangga."Rangga ada urusan sebentar. Rangga pergi dulu ya, Bu," pamitnya sambil mengecup punggung tangan Anita."Iya, hati-hati." Anita kembali melangkah menuju kamar Ardilla. Dia ingin memberi susu untuk anak bungsunya itu."Ini, minum dulu susunya. Habis itu minum obat." Ardilla mengangguk lalu menghabiskan susu cokelat yang Anita buat untuknya sampai habis. "Ibu tadi bicara sama siapa?""Sama kakakmu.""Maksud Ibu kak Rangga?""Iya, tumben sekali kakakmu pakai baju rapi dan wangi. Apa kakakmu mau kencan?""Apa? Kencan?" Ardilla sontak tertawa mendengar
"Hah?" Jena malah cengo mendengar ucapan Elrangga barusan.Gadis itu terlihat sangat bodoh di mata Elrangga sekarang. Padahal Elrangga sudah berusaha keras untuk meminta maaf, tapi Jena malah diam saja tanpa bereaksi apa-apa.Menyebalkan!Rasanya Elrangga ingin sekali memukul kepala Jena agar sadar kalau dia baru saja meminta maaf. Namun, dia tidak tega melakukannya."Mas El tadi bilang apa? Maaf?" tanya Jena untuk memastikan kalau dia memang tidak salah mendengar.Elrangga berdecak kesal lantas melepas tangan Jena dari genggamannya. "Sudahlah, lupakan!" Elrangga ingin beranjak, tapi Jena malah mencekal pergelangan tangannya."Tunggu!" Jena bergerak memutar lalu berdiri tepat di hadapan Elrangga. "Mas El barusan minta maaf sama, Jena?" tanya gadis itu untuk memastikan."Iya," jawab Elrangga tanpa berani menatap Jena.Kening Jena berkerut dalam karena Elrangga tiba-tiba meminta maaf pada dirinya. "Kenapa Mas El tiba-tiba minta maaf? Memangnya Mas El punya salah sama Jena?" tanya gadis