Share

Rahasia Adhitama

-Aku mencintai kamu, kamu mencintai dia, lalu aku bisa apa?- Ailuna Cintai Permadi.

"Gila, rasanya sendi-sendiku remuk semua! Dia itu manusia atau singa?" Gumamku lirih. "Ah benar, singa ganteng!" Lanjutku sembari terkekeh geli.

Aku merendam tubuhku dalam air hangat di kamar Adhitama, rasanya sungguh nyaman.

Kini terlihat bayanganku di cermin samping bathup dan menghapus tetesan air di sana, agar aku dapat kembali menatap wajahku dengan jelas. Aku melihatnya, sebuah tanda merah hasil karya yang Adhitama cetak di leherku.

“Aku sudah sering mendengar rumor tentang keangkuhanmu, tapi semalam kamu seolah berubah menjadi sosok dengan dua kepribadian, membuatku semakin bingung bagaimana cara menghadapimu.” Aku kembali menghela napasku berat.

Segala tentang Adhitama terlalu rumit, hingga melebihi hafalan metabolism cycle yang menjadi momokku selama kuliah.

"Bagaimana dia bisa hidup damai di kehidupan sosial dengan sifat dingin seperti itu?" Gumamku lagi.

Aku melipatkan handuk melingkari tubuhku, kemudian berjalan kembali menuju kamar pribadiku. Namun sungguh, aku tak pernah menduga dengan pemandangan yang aku lihat saat ini. Adhitama tertidur diatas ranjangku dengan begitu tenang.

“Apakah begitu panasnya permainan kita hingga membuatmu begitu kelelahan?”

Aku baru melihatnya, saat tidur, wajahnya terlihat begitu bersahabat.

“Aku berharap, hanya wajah ini yang akan kamu tampilkan di depanku. Namun sayang semua itu hanya harapan.” Gumamku, aku hanya bisa tersenyum melihat pemandangan langka ini.

Aku kembali berjalan menuju walk in closet dan menyulap penampilanku dengan sebuah dress floral yang terlihat lebih feminim.

Dengan langkah pelan aku meninggalkan kamar tanpa berniat membangunkan Adhitama, kemudian berjalan ke arah pantry.

“Aku merasa kasihan dengan nyonya Ailuna.”

Aku mendengar suara lirih dari dalam pantry, dan aku belum tuli. Dengan jelas aku mendengar namaku disebut. Ah, aku melupakan fakta bahwa bergosip adalah salah satu kenikmatan hakiki bagi seorang wanita. Aku memutuskan untuk tetap berdiam dan mendengarkan mereka dengan seksama.

“Apa yang perlu dikasihani dari nyonya, dia cantik, kaya, baik, tidak ada satupun yang kurang darinya.” Sahut suara lain.

“Awalnya aku mengira nyonya hanya pencitraan saat dengan keras dia menolak kita untuk menyebutnya ‘nyonya’, seolah dia ingin mengembangkan image down to earth-nya. Namun melihat beberapa hari ini dia terlihat sibuk didapur dan tanpa malu membantu pekerjaan kita membuatku tahu, bahwa dia adalah sosok yang benar-benar baik.”

Tentu saja, orang tuaku mendidikku dengan baik, dan banyak orang yang mengatakan hal itu padaku. Masa bodoh dengan tingkat kepercayaan diriku yang sekarang bertambah tinggi.

“Lantas apa yang kamu permasalahkan?”

“Kita semua tahu bahwa Tuan Adhitama tak mencintai nyonya.”

Deg.

Jantungku terasa dihantam sesuatu. Padahal itu adalah kenyataan yang sudah aku ketahui, namun kenapa rasanya lebih begitu menyakitkan saat mendengarnya dari orang lain?

“Stt, jangan keras-keras! Kita bisa mati kalau sampai tuan mendengar ini!"

Aku terkekeh, mereka lucu. Jika mereka takut ketahuan mengapa tak membicarakannya diluar saja?

“Ayolah, itu sudah bukan rahasia lagi, Tuan tak mencintai nyonya Ailuna karena ada wanita lain yang dia cintai.”

Mataku seketika membulat, jantungku terasa seperti diremas. Tunggu wanita lain? Siapa? Mengapa aku baru mengetahui fakta ini?

“Benar kata nyonya besar, nyonya Ailuna lebih pantas bersama Tuan Adhitama, wanita bbernama Yasmin ang memperlakukan kita seperti budak itu hanya penjilat bermuka dua. Argh.. mengingat bagaimana perlakuan dia pada kita seminggu yang lalu benar-benar membuatku muak.”

Namanya Yasmin? Pasti dia gadis yang sangat cantik hingga mampu membuat seorang Adhitama jatuh hati. Ah, mengapa aku justru memujinya? Mengapa Adhitama tak menikah saja dengan wanitanya? Kenapa dia justru akan menikah dengan wanita lain saat itu?

Mengapa dia membuatku bersimpati padanya ketika pada kenyataanya ternyata dia sudah tidak sendiri? Aku kira saat itu dia benar-benar tersiksa dan membutuhkan pertolonganku, namun ternyata sebaliknya. Kini aku yang butuh pertolongan.

“Dan parahnya lagi, aku mendengarnya dari kepala pelayan bahwa tuan pergi ke rumah Rose selama tiga hari yang lalu, tepat setelah pernikahannya dengan Nyonya Ailuna. Tuan benar-benar sudah dibutakan oleh wanita jahat itu.”

Kepala pelayan? Sendi? Mengapa semuanya seperti ini? Mengapa hanya aku disini yang terlihat seperti orang bodoh? Aku memegang dadaku yang terasa semakin sesak! Sudah cukup, sepertinya aku sudah tak sanggup lagi jika harus mendengar kenyataan pahit yang terjadi di hidupku.

Tok. Tok. Tok.

Aku mengetuk pintu, kemudian berjalan masuk ke dalam pantry.

“Selamat pagi?" Sapaku dengan senyum ramah, aku memiliki bakat untuk menutupi perasaanku. Jika ada nominasi wanita dengan akting terbaik, mungkin aku akan masuk kedalamnya dan kemudian memenangkan grammy awards.

“Se.. selamat pagi nyonya.” Jawab mereka gugup.

Aku melihat raut mereka sedikit menegang, tentu saja mereka pasti ketakutan. Aku akan mengajarkan mereka cara berakting suatu hari nanti, jika sempat.

“Aku ingin memasak sarapan untuk kak Tama, apa yang sering dia makan dan minum saat pagi?”

“Ah itu, tuan Adhitama jarang sarapan, dia hanya akan meminum kopi saat pagi.”

Aku menganggukan kepala, dia penyuka kopi ternyata. Aku melirik jam Alexandre Christie yang melingkar di tangan kiriku yang sudah menunjukkan pukul sepuluh. Sepertinya tak masalah membuat menu yang menambah glukosa Adhitama meningkat di jam-jam seperti ini.

“Hm, tolong siapkan buah mangga, pisang, yogurt plain, susu cair dan es batu.” Pintaku pada mereka.

Tanpa menunggu lama, semua bahan telah siap di hadapanku.

“Terimakasih banyak.” Ucapku sampil tersenyum.

Ah lagi-lagi aku tersenyum hanya dengan membayangkan jika nanti Adhitama akan menikmati makanan yang aku buat. Aku tahu aku bodoh, tak perlu mengumpat padaku.

Tak perlu waktu lama, dua porsi banana-manggo smoothies telah siap disajikan. Aku memakan satu porsi dengan lahap, aku tak menambahkan gula karena pisang dan mangga yang disiapkan sudah manis alami, sepertiku.

"Wah nyonya, kelihatannya enak sekali." Puji salah satu pelayan.

"Kapan-kapan saya buatin kalian juga." Jawabku sembari tersenyum.

Inilah aku, aku bukan seseorang yang suka terlarut dalam kesedihan, benar kata orang-orang, lebih baik menjadi orang yang tidak tahu apa-apa, meski pada kenyataanya aku harus membohongi diriku sendiri. Tak apa, aku baik-baik saja dengan semua itu. Aku kuat, aku kuat.

“Hm, bisakah kalian siapkan satu teh hijau?” pintaku lagi.

“Baik nyonya.” Jawab mereka.

Melihat aku yang terlihat baik-baik saja sepertinya membuat mereka lega. Ya, pada akhirnya aku akan merahasiakan segalanya. Aku akan berpura-pura tak tahu, membiarkan semua orang menganggapku bodoh. Aku tak peduli, sungguh, aku ingin menikmati masa-masaku bersama Adhitama tanpa menghawatirkan apapun. Que sera-sera, aku akan membiarkan semuanya terjadi sesuai kehentak Tuhan.

Satu gelas teh hijau telah siap diatas meja. Aku menuliskan beberapa catatan disana, meski tidak mungkin, aku berharap Adhitama akan membacanya.

“Tika?”

“Ya nyonya?” dengan langkah cepat Tika menghampiriku.

“Kali ini aku benar-benar akan pergi bekerja, tolong sampaikan pada Mommy dan kak Tama. Itupun jika mereka menanyakan keberadaanku.” Aku tersenyum, mengapa aku jadi seperti ini?

Tika terlihat mengerutkan keningnya, namun kemudian mengangguk. "Baik nyonya."

“Aku pergi.” Ucapku sembari berjalan keluar mansion tanpa menoleh kebelakang.

Beberapa menit kemudian, seorang laki-laki berjalan perlahan menuju meja makan dan membaca sebuah note kecil yang tertempel diatasnya. Sebuah senyuman tipis terbit dibibirnya.

'Semoga hari kak Tama penuh energi! See you soon, husband!'

“Ck, wanita bodoh! Salahmu sudah masuk ke kandang singa.” decihnya setelah melempar note tersebut ke sembarang tempat.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status