3. Be Yours
-Apakah ini bagian dari cinta? Kalau tidak, kenapa rasanya begitu luar biasa?- Ailuna Cintia Permadi"Katanya malam pertama itu sakit, memangnya sesakit itu?" Gumamku sembari menetralkan suara degub jantungku.Aku memandang pantulan wajahku dalam cermin. Aku tak pernah sadar jika aku memiliki bulu mata yang cukup panjang hingga membuat garis mataku terlihat sangat jelas."Well, you're so beautiful May!" Pujiku pada diri sendiri.Bibirku memiliki warna pink alami dengan ukuran yang pas untuk wajah tirusku. Aku tak pernah mengubah warna rambutku, meski warnanya agak kecoklatan ini adalah warna alami yang diturunkan langsung dari ibuku. Jangan lupakan mata coklatku yang berasal dari ayahku.Aku memegangi dadaku yang berdegub kencang. “Oh My God, what should I do?”Tubuhku semakin panik saat netra coklatku menangkap jarum jam yang menunjukan pukul sembilan kurang dua menit. Aku menepuk-nepuk pipiku, membenarkan dress tidur berbahan satin yang ku pakai agar terlihat lebih rapi.“Baiklah Maya, nggak perlu takut, ini nggak akan sakit! Sudah waktunya pergi!” ucapku sungguh-sungguh.Dengan langkah yang sedikit ragu, aku mulai berjalan menuju kamar yang berada tepat disamping kamarku. Aku berdiri tepat didepan pintu berwarna coklat yang membatasi antara kamarku dan kamar Adhitama, ya kami memiliki kamar yang berbeda, namun terdapat pintu penghubung diantara kedua ruangan tersebut.Tok. Tok. Tok.Aku mengetuk pintunya pelan, berharap tak mengganggu seseorang yang berada di dalam sana.“Masuk!” seruan dari dalam ruangan membuatku memutar kenop pintu searah jarum jam.Klek.Aku melihatnya, sosok bertubuh tegap dengan setelan tak berbeda saat aku melihatnya beberapa jam yang lalu. Dia berdiri di depan jendela, dengan pandangannya tertuju ada hitamnya malam.“Rupanya aku terlalu antusias.” Gumamku sedikit kecewa, dia bahkan terlihat sangat santai untuk semua hal yang membuatku begitu gugup.Adhitama menoleh ke arahku, dia memberikan tatapan menyelidik dari ujung kaki hingga ujung kepala. Membuatku semakin terpojokkan.“Kemarilah! Jangan terus berdiri disitu, memangnya kamu satpam?"Aku mengangguk seperti anak kucing dan mulai berjalan pelan ke hadapan. Dia menyentuh daguku dengan ibu jadi dan jari telunjuknya, membuatku mendongak kearahnya.“Not bad.” Gumamnya.Tatapannya berubah menjadi tatapan mengintimidasi, seolah siap menerkam ku kapan saja dia mau.Cup.Satu kecupan mendarat di bibirku, membuat tubuhku kembali menegang seketika.“Tak usah tegang, bukankah ini bukan pertama kalinya bagimu?” bisiknya di telingaku.Lengan kekarnya menarik pinggangku untuk semakin mendekat, dia mengunciku dalam dekapannya, sementara aku hanya pasrah masuk ke dalam permainannya.Adhitama menatap mataku begitu dalam, aku memberanikan diri mengulurkan tanganku di bahunya, kemudian turun menyentuh dada bidang miliknya dari balik kemeja. Tanganku bergetar hebat, namun tiba-tiba dia kembali menundukan kepalanya dan mendaratkan kecupan di bibir merah mudaku, kini dengan begitu lembut. Hingga tanpa sadar aku memejamkan mataku saat dia mulai melumat bibirku begitu seperti ice cream.Aku semakin menggila saat tanpa sadar mengalungkan tanganku ke tengkuk Adhitama yang semakin membuat jarak kami tak terbatas. Gila, bagaimana bisa ada perasaan membucah seperti ini?Dia melepas pagutan kami, memandangku dengan tatapan dingin, kemudian berbisik dengan suara serak yang membuatku semakin meremang hebat. “Lets start it!”Adhitama membawaku ke atas rajang king size miliknya. Aku kembali memejamkan kedua mataku saat dia kembali melahap bibirku dengan rakus, seolah bibirkulah makanan paling manis yang pernah ada di dunia ini.Tubuhku semakin tak terekendali saat sentuhan tangannya mendarat ditanganku, menelusuri setiap inci lengan yang tak tertutupi apapun hingga mendarat di pergelangan tanganku. Dia mencengramnya begitu kuat, sangat kuat.“Hmp..” terlalu kuat hingga membuatku sedikit memekik disela pagutan kami.Nafasku masih terengah saat dia menarik dengan paksa gaun tidurku melalui kepala, kini tak ada satupun yang menghalangi kami, segalanya seolah menghilang tanpa ku tahu sejak kapan itu terjadi.Aku nyaris berteriak, namun tertahan karena dengan cepat Adhitama kembali menguasaiku dan melahap habis bibirku yang sudah sedikit membengkak.Kecupannya mulai turun dileherku, membuatku kembali merasakan sengatan aneh saat rasa sakit menyelinap di bagian leherku. Aku meremas rambut peraknya sambil sesekali menggigit bibir bawahku agar tak mengeluarkan suara apapun.Dia kembali menatapku dengan tatapan sayu, kemudian mengecup dahiku seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Tahan sebentar, aku tak akan membuatmu sakit.” Lirihnya.Adhitama berusaha menembus sesuatu yang menghalanginya untuk mengusai tubuhku, kali ini sorot matanya terlihat tulus, dia sama sekali tak ingin menyakitiku.Aku menahan napas saat sesuatu dalam tubuhku terasa terkoyak, namun aku tak dapat menahan air mataku, hingga membuatku menutup mata.“Ayolah arghh.” Dia menggeram tertahan.Namun tiba-tiba saja pergerakannya terhenti seketika. Membuat suasana hening.“Mengapa?” Gumamnya mengambang.Sungguh, rasanya sungguh tidak nyaman, aku meringis menahan sakit. Saat aku merasakan tubuhnya semakin menjauh aku menahan tubuhnya dengan cepat. Aku mulai membuka mata dan menatapnya dengan tatapan memohon. Demi Tuhan, aku tak akan membiarkan pengorbananku ini sia-sia.Aku melihat Adhitama yang terlihat bingung, aku tahu sekarang penyebab keraguan dimatanya, dia sudah mengetahui setelah melihat beberapa bercak darah tercetak jelas diatas dikasur.“Tapi aku…”Aku menggeleng pelan, satu tets air mata kembali keluar dari sudut mataku.“Arghh, baiklah, ini tak akan lama, tahanlah sebentar lagi.” Ucapnya.Adhitama mulai menyentakan tubuhnya dengan tempo lambat, membiarkanku terbiasa dengan gerakan-gerakan yang dia lakukan. Semakin lama gerakannya semakin cepat, dan dalam, tanganku kembali melingkar dilehernya.“Nggh!” tanpa sadar aku mulai meleguh.Sebuah perasaan aneh yang baru saja aku raakan benar-benar memabukkanku.“Call my name babe.” Bisiknya dengan suara serak.“Ngg Kak Tama!""Pergerakan Adhitama semakin menjadi, dia mendorong dirinya masuk lebih dalam dengan tempo yang cepat. Ini gila, semua hal yang Adhitama lakukan pada tubuhku sungguh membuatku menggila. Aku menginginkan lebih dan lebih.Wajah merah padam Adhitama benar-benar terlihat menggoda, membuatku semakin mengerti bagaimana sempurnanya ini semua. Kecepatan Adhitama semakin tak terkendali, membuatku mendesis hebat saat tubuhku bergoyang dengan tempo yang sangat cepat.“Oh God, kak Tama!""“Argh!"Adhitama mengerang keras saat sesuatu terasa mengalir dalam tubuhku. Sungguh rasanya membuatku merasa seperti berada di langit ketujuh. Tubuhnya terjatuh di atasku dengan begitu lemah. Nafas kami masih memburu.Dia menggulingkan badan disampingku, refleks aku mendekapnya namun segera ditepis oleh tangannya.Dia beranjak dari ranjang dan mulai memakai pakaiannya yang berserakan di atas lantai. Kakinya berjalan keluar dari kamar tanpa mengucapkan sepatah katapun.Memangnya apa yang aku harapkan dari perasaan ini? Balasan? Itu terlalu berlebihan. Bersama dengannya saja sudah seperti mimpi? Aku cukup tahu diri untuk itu.“Selamat tidur kak Tama!” Gumamku sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh polosku dan mulai memejamkan mata. Berharap, semua ini tak akan berakhir.Bersambung.-Aku mencintai kamu, kamu mencintai dia, lalu aku bisa apa?- Ailuna Cintai Permadi. "Gila, rasanya sendi-sendiku remuk semua! Dia itu manusia atau singa?" Gumamku lirih. "Ah benar, singa ganteng!" Lanjutku sembari terkekeh geli. Aku merendam tubuhku dalam air hangat di kamar Adhitama, rasanya sungguh nyaman.Kini terlihat bayanganku di cermin samping bathup dan menghapus tetesan air di sana, agar aku dapat kembali menatap wajahku dengan jelas. Aku melihatnya, sebuah tanda merah hasil karya yang Adhitama cetak di leherku.“Aku sudah sering mendengar rumor tentang keangkuhanmu, tapi semalam kamu seolah berubah menjadi sosok dengan dua kepribadian, membuatku semakin bingung bagaimana cara menghadapimu.” Aku kembali menghela napasku berat.Segala tentang Adhitama terlalu rumit, hingga melebihi hafalan metabolism cycle yang menjadi momokku selama kuliah."Bagaimana dia bisa hidup damai di kehidupan sosial dengan sifat dingin seperti itu?" Gumamku lagi. Aku melipatkan handuk melingkari t
5. Itu Dia Yasmin-Tak peduli siapa yang kamu cintai, nyatanya akulah yang ada disampingmu.- Ailuna Cintai Permadi"Jadi namanya Yasmin? Wanita seperti apa yang mampu menaklukan laki-laki dingin seperti kak Tama?" Gumamku semala perjalanan menuju tempat kerjaku. Aku kembali kesini, Rumah Sakit Kirana, tempatku menghabiskan masa koas. Kakiku berjalan melewati loby dengan wajah datar. Semua petugas admisnistrasi, perawat, ahli gizi, bahkan petugas kebersihan terlihat memandangku penasaran. Aku hanya bisa tersenyum. Ya sudah kupastikan berita tentang pernikahanku yang tiba-tiba telah sampai ke telinga mereka dengan selamat.Untunglah aku mendapat jam sore, jadi aku bisa terlebih dahulu mempersiapkan diri setelah libur panjangku."Luna..!" Suara cempreng Raisa menggema di telingaku. Gadis berambut ikal itu berlarian tanpa tahu tempat. Aku berharap tak ada dokter senior yang melihat ini atau kami akan mendapatkan masalah besar."Lo jahat banget sama gue, sumpah gue mau bikin aksi ngambek s
6. Sudah terlanjur jatuh-Meski jatuh rasanya sakit, tapi sakit itu hilang saat melihatmu.- Ailuna Cintia PermadiSendi menunduk lesu setelah kepergian Adhitama menuju ruangan rawat wanita yang dia cintai. Shit, berpikir tentang ini saja membuat jantungku terasa begitu nyeri, aku harap aku tak mengalami atheroskerosis setelah ini.Aku kembali memandang wajah Sendi yang memaksakan diri untuk mendongakan wajahnya menghadapku, kegusaran terlihat jelas dari sorot matanya yang sedikit bergetar.“Wanita itu pacarnya kak Tama kan?” tanyaku lirih.Sendi terlihat terkejut mendengar pertanyaan yang aku lontarkan padanya, dia semakin kebingung."Kamu tidak perlu menyembunyikan apapun lagi dariku Sendi, setidaknya jangan berbohong tentang pertanyaanku barusan."“Ma..maafkan saya nyonya, bukan maksud saya menutupi masalah ini dari nyonya. Ada satu dua hal yang mungkin tidak boleh saya katakan pada nyonya, bukan karena saya tidak ingin, hanya saja nona Yasmin itu…”“Tidak perlu kamu teruskan Sendi!
7. Bertemu Yasmin-Kalau dia secantik ini, kenapa kamu menerimaku?- Ailuna Cintia PermadiSepeninggal Raisa, aku masih berusaha memejamkan mataku barang sebentar saja. Tubuh, otak, bahkan hatiku benar-benar letih secara bersamaan. Otakku terus saja bekerja memutar-mutar memori kelam yang sangat ingin aku hilangkan dari hidupku, membuatku kesusahan masuk ke dalam alam mimpi.Tok. Tok. Tok.Samar aku mendengar suara ketukan dari arah pintu, tak biasanya para koas mengetuk pintu saat berniat memasuki ruang koas, terlalu sopan. Karena penasaran, dengan malas aku beranjak dari ranjangku dan membuka pintu perlahan.“Hai Lun..” Sapa laki-laki berkacamata yang tidak lain tidak bukan adalah Keanu.Aku menegang seketika mengingat kejadian tak mengenakan tadi pagi saat aku menolak ajakannya untuk mengobrol berdua. Apa dia belum menyerah juga?“Hm, ada perlu apa dokter datang kemari?” Dia menengok Panerai yang melingkar di tangan kirinya. “Aku tahu kebiasaanmu melewatkan waktu makan, belum terla
8. Aku Terusik-Apakah normal untuk merasakan hal semacam ini pada wanita yang baru aku temui?-Adhitama WijayaAku menyesap wine ditanganku dalam diam, entah apa alasannya aku memilih untuk berdiam diri disini, dikamar wanita yang telah aku nikahi beberapa hari yang lalu, pemandangan diluar kamar ini ternyata cukup bagus, rentetan bunga berwarna putih, yang aku sendiri tak tahu namanya itu berhasil menyita perhatian siapapun yang melihat kearahnya.Seperti sosok bernama Ailuna, gadis yang belum genap seminggu aku kenal itu memang menarik perhatianku. Aku tak memungkiri jika gadis itu memiliki aura tersendiri yang membuat orang lain merasa nyaman untuk berada didekatnya. Namun bagiku hanya sebatas itu.Aku tak bisa melupakan bagaimana kuatnya sengatan saat untuk pertama kalinya dia memeluk tubuhku tanpa aba-aba, dia seolah mengalirkan ribuan volt listrik yang membuat tubuhku bergetar hebat.“Gadis muda yang aneh dan juga berani.”Aku tersenyum miring saat kembali mengingatnya. Gadis bo
9. I'm a Liar-Statusku memang miliknya, namun hatiku adalah milikmu.- Adhitama Wijaya"Syukurlah..” Aku menghembuskan nafasku lega, jantungku berangsur normal. Takut kehilangan, itu yang aku rasakan. Bagaimanapun, kita akan merasakan hal tersebut saat sudah terbiasa dengan sesuatu ataupun seseorang. Seperti halnya diriku yang selalu merasa bahwa Yasmin lah yang paling mengerti diriku, Yasmin lah yang aku butuhkan, dan Yasmin lah yang membutuhkanku.Kami bagai tumbuhan dan oksigen yang saling membutuhkan. Sungguh, mendengar dia dalam keadaan tak baik-baik saja membuat seolah semua oksigen disekitarku ditarik paksa hingga membuatku kesulitan bernapas.Aku meregangkan pelukanku, menangkup wajahnya, kemudian meneliti setiap inci wajahnya yang-syukurnya-terlihat baik-baik saja.“Berhentilah membuatku khawatir, Mine, kamu tahu? Kau membuatku hampir mati di jalanan karena melajukan mobilku di atas kecepatan rata-rata.”Rasa kesal menjalar di hatiku saat melihat Yasmin yang masih terdiam ta
10. Sahabat Lama-Katanya aku itu terlalu bodoh untuk urusan asmara. Tapi itu bukanlah salahku, karena aku selalu percaya kata-kata bahwa nobody’s perfect, but I’m perfect for you.- Ailuna Cintia Permadi“Sudah tahu nyakitin, tapi tetap aja di liatin.” Suara bariton laki-laki di belakangku berhasil membuatku semakin menegang.Aku menoleh kebelakang, netraku menangkap sosok laki-laki yang tersenyum miring kearahku.“Kamu...”Aku menyeret tangan kanannya menjauh dari ruang rawat Yasmin. Aku tak peduli dengan gerutuannya di sepanjang jalan.Brak! Aku mendorongnya ke dinding di salah satu lantai tangga darurat yang sepi.“Aw, sakit Ai, ternyata lo nggak berubah, tetep kaya Samsonwati ya!” gerutunya sambil sesekali meringis.Aku menatapnya tajam, sangat tajam, setajam silet. Aku tak peduli jika tiba-tiba kepalanya putus karena tatapan nyalangku, palingan nanti jadi temenan sama hantu jeruk purut. Dia menelan ludahnya dengan susah payah.“Kapan kamu pulang?” tanyaku mengintimidasi.Dia men
11. Makan Malam Pertama-Ini pertama kalinya kita makan bersama, berada di meja makan yang sama, makan makanan yang sama, dan menghidup oksigen yang sama. Rasanya mendebarkan, aku ingin melakukan ini setiap hari denganmu. - Ailuna Cintia PermadiAku mulai mengeluarkan beberapa bahan dari lemari pendingin. Banyak hal yang sudah aku cari tahu tentang Adhitama, dari makanan favoritnya hingga alergi yang di deritanya melalui mommy Rosa. Syukurlah dia tak memiliki hal semacam itu.Beberapa menit kemudian mulai tercium aroma masakan yang aku tumis diatas minyak zaitun. Aku menyiapkan dua porsi siap saji diatas meja makan tepat saat suara langkah kaki yang terdengar mendekat.“Makanan udah siap.” Ucapku sambil tersenyum.Dia hanya menatapku datar, kemudian menarik salah satu kursi kayu yang menciptakan derit lemah sebelum dia duduki.Dia menatap salad quinoa daging yang masih mengepulkan uap panasnya.“Apa kamu ingin membuatku gemuk dengan memakan daging dimalam hari?” tanyanya dengan sorot