Share

Itu Dia Yasmin

5. Itu Dia Yasmin

-Tak peduli siapa yang kamu cintai, nyatanya akulah yang ada disampingmu.- Ailuna Cintai Permadi

"Jadi namanya Yasmin? Wanita seperti apa yang mampu menaklukan laki-laki dingin seperti kak Tama?" Gumamku semala perjalanan menuju tempat kerjaku.

Aku kembali kesini, Rumah Sakit Kirana, tempatku menghabiskan masa koas. Kakiku berjalan melewati loby dengan wajah datar. Semua petugas admisnistrasi, perawat, ahli gizi, bahkan petugas kebersihan terlihat memandangku penasaran. Aku hanya bisa tersenyum. Ya sudah kupastikan berita tentang pernikahanku yang tiba-tiba telah sampai ke telinga mereka dengan selamat.

Untunglah aku mendapat jam sore, jadi aku bisa terlebih dahulu mempersiapkan diri setelah libur panjangku.

"Luna..!" Suara cempreng Raisa menggema di telingaku. Gadis berambut ikal itu berlarian tanpa tahu tempat. Aku berharap tak ada dokter senior yang melihat ini atau kami akan mendapatkan masalah besar.

"Lo jahat banget sama gue, sumpah gue mau bikin aksi ngambek sama lo!" Ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya.

Kadang aku lupa, jika gadis dihadapanku ini adalah seorang calon dokter dengan umur dua tahun lebih tua dariku.

"Ngambek aja gih, gue nggak peduli" Jawabku acuh, aku kembali melanjutkan perjalananku.

Kemudian tanganku kembali ditarik oleh Raisa. "Ih, Lun, lo tuh harusnya jelasin ke gue bisa-bisanya lo nggak ngundang gue waktu pesta pernikahan lo. I'm so sad, gue kira lo udah nggak menganggap gue sebagai temen." Lirihnya.

Aku menghela napas pelan, jelas aku tak mengundang siapapun mengingat yah, itu semua terjadi begitu saja tanpa persiapan apapun, bahkan tamu yang berdatangan sebagian besar berasal dari

pihak Adhitama dan sebagian kecil lainnya adalah keluarga besarku.

Aku tersenyum padanya, aku merasa beruntung memiliki teman seperti Raisa yang bahkan selalu berusaha ada untukku.

"Im so sorry Sa, gue bakal traktir lo sebagai permintaan maaf." Rayuku padanya.

Raisa menggeleng cepat. "No, I want you to tell me about your honeymoon."

Mataku terbelalak mendengar penuturan Raisa yang sangat frontal, wajahku pasti sudah berubah menjadi hijau sekarang. Dengan cepat aku berjalan menjauh tanpa memperdulikan seruan Raisa yang lagi-lagi semakin membuat kami menjadi pusat perhatian.

Bruk.

Karena terlalu fokus menjauhi Raisa, membuatku tanpa sengaja menabrak tubuh seseorang.

"Aw.. maaf." Lirihku.

Aku menongakkan kepala, namun seketika aku tak bisa menutupi ekspresi keterkejutanku saat melihat sosok laki-laki dengan snelli berlengan pendek yang membalut tubuh tegapnya.

"Luna." ucapnya menggantung, terlihat bahwa dia tak kalah terkejutnya denganku.

Bagaimana hidupku begitu drama seperti ini, hari pertama masuk setelah kabar pernikahanku tersebar aku dipertemukan dengannya, dokter spesialis anak Keanu Ravens. Seorang laki-laki yang secara terang-terangan mengungkapkan rasa sukanya padaku.

"Ah, dokter Keanu maaf. Aku tadi terburu-buru karena Raisa."

"Bolehkah aku meminta waktumu sebentar?" potongnya.

Aku menelan ludah menahan kegugupanku, sungguh ini bukanlah situasi yang bagus untuk mengobrol berdua dengannya.

"Apa yang ingin dokter katakan, jika dokter tidak keberatan disini saja karena sepertinya saya akan sibuk setelah ini" Jawabku senormal mungkin.

Dia meneliti tubuhku, pada akhirnya pandangannya berakhir pada jari manis ditangan kananku. Aku melihatnya, rahangnya terlihat menegang.

"Apa kabar itu benar?" tanyanya dingin.

Kabar? Oh kabar pernikahanku? Hm aku membenci saat-saat seperti ini karena membuatku terlihat seperti orang jahat. Setelah berkonspirasi dengan otakku, aku memutuskan untuk mengangkat tangan kananku.

"You can see this." Jawabku lirih.

Dia menarik nafasnya kasar, wajahnya memerah. "Kita harus bicara Ailuna!" suaranya terdengar tertahan.

Aku tak bisa terus seperti ini. Sungguh, aku tak bisa mengatur kepada siapa hatiku terjatuh. Dan aku tak ingin sedikitpun memberinya harapan, karena aku tahu, mengharapkan yang tak pasti itu sungguh menyakitkan, seperti situasiku saat ini. Aku tak ingin Keanu semakin tersakiti karena ketidakberdayaan ku untuk membalas perasaanya.

"Meow."

Yes, Raisa datang tepat waktu.

"Hm, dok, sepertinya kucing peliharaan saya sudah lapar, jadi saya harus pergi memberi makannya segera jika tidak ingin dia mati kelaparan. Saya izin pergi dulu." Ucapku tergesa, aku berlari kecil menyusul Raisa.

"Tapi Ailuna."

Aku menoleh kembali kearahnya.

"Maaf." Ucapku dengan sangat lirih, dan mungkin laki-laki berkacamata itu tak akan pernah mendengarnya karena jarak kami yang terlampau jauh.

Aku duduk disalah satu ranjang susun tempat para koas beristirahat dengan wajah lesu, berkali-kali aku menghela nafasku berat.

"Lo gila ya Lun? Sumpah lo nekat banget. Nikah itu bukan cuma masalah hati lo Lun, lo nggak bisa terus mengandalkan perasaan lo kaya gini." Rancau Raisa.

Yang dikatakan Raisa memang benar, sungguh tak ada yang salah sedikitpun dari rancauannya barusan.

"Lo nggak perlu ingetin gue, gue tahu

kalau gue terlalu nekat, tapi,"

"Hm, bentar Lun, lo nggak sepenuhnya salah si, secara gue juga gadis single yang normal. Siapa sih yang nggak terpikat sama pesona seorang Adhitama Wijaya. Bujangan most wanted di negri ini. Gue juga mungkin akan melakukan hal yang sama, tapi bukannya ngajak nikah juga Lun, paling nggak pacaran dulu kek atau apa yang bisa membuat lo lebih yakin lagi sama keputusan lo itu."

Raisa menarik napasnya dalam-dalam. "Well nggak ada yang tahu lo nikah sama siapa di RS, mereka tahunya kalo lo udah mencampakkan dokter-ganteng-Keanu karena hamil duluan sama orang lain."

Ucapan Raisa berhasil membuatku membelalakan mata tak percaya, bisa-bisanya orang-orang berpersepsi sampai sejauh itu.

"Sekarang mendingan lo simpan fakta tentang Adhitama Wijaya sebelum lo jadi materi gosip Perawat Dina setiap bulannya." Ancam Raisa dengan wajah serius.

Sungguh, ucapan Raisa tak ada faedahnya sama sekali. Aku jadi semakin bingung harus menceritakannya dengan siapa. Aku harap kak Barram ada disini, dialah satu-satunya temanku yang paling normal.

"Gimana goyangannya? Gue yakin lo

pasti ketagihan!" ucapnya lagi tanpa beban.

Bruk.

Aku memukul kepalanya dengan bantal cukup keras.

"Aw, sialan, gue pastiin yang gue ucapin tadi itu bener-bener terjadi. Wah gue nggak nyangka, Adik gue yang paling polos ini udah dewasa aja." Ucapnya sambil mengelus rambutku.

"Kayanya mendingan gue masuk jam kerja lebih cepat, daripada disini lama-lama sama lo, bisa gila gue." Ucapku sembari meraih snelli yang ku letakkan di atas kursi.

"Ceilah, gila karena goyangan bang Adhitama ya?" serunya sambil terkikik geli.

Aku mengedarkan pandangan disekitarku, kemudian menghela nafasku lega setelah tahu tak ada satu pun orang di dekat ruang koas. Akhirnya aku mendapat jatah di IGD karena telah terjadi suatu kecelakaan beruntun yang memakan banyak korban. Saat aku sedang membalut luka salah satu korban patah tulang, netraku berhasil menemukan sosok Sendi yang terlihat panik dengan perban melingkar di kepalanya.

Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Setelah rapi aku menghampiri Sendi yang terlihat masih kebingungan.

"Sendi?" Seruku berjalan mendekatinya.

"Nyonya." ucapnya lirih, dia melihatku dari atas sampai bawah.

"Ternyata nyonya.."

"Apa yang membawamu kemari?" selaku sedikit gugup, aku memilin-milin jariku tanpa sadar.

Dia menundukkan kepala, membuatku semakin tak sabar mendengarkan ucapan yang tak juga keluar dari mulutnya.

"Oh itu, saya minta maaf nyonya, saya

tidak..."

"Sendi!" seru suara yang sangat aku kenali.

Aku melihatnya, Adhitama berjalan mendekati kami dengan nafas memburu dan raut wajah sendu, wajahnya terlihat lebih frustasi dibandingkan saat sebelum pernikahan kami. Apa ini? jika bukan Adhitama lalu siapa?

"Bagaimana keadaanya?" tanya Adhitama. "Cepat jawab!" Suaranya semakin meninggi.

Sepertinya dia tak menyadari keberadaanku. Rahangnya terlihat mengeras saat melihat Sendi yang seolah ragu untuk menjawab.

"Cepat jawab aku, kamu tau kan kalau aku bisa mati tanpa wanita itu?" Geramnya pada Sendi yang masih terdiam.

Matanya semakin nyalang. "Sekali lagi aku tanya, bagaimana keadaan Yasmin?" Kini suaranya menjadi dingin.

Deg.

Aku tersenyum miris setelahnya. Ternyata, Yasmin memang seberharga itu untuk seorang Adhitama Wijaya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status