"Ah...." Nova tidak mempunyai energi. Direktur Nova mendesah berkali-kali, memikirkan kenapa setiap hari mendapatkan kesialan atau sudah takdir Nova? Hari yang buruk. "Apa yang semalam aku lakukan? Apa aku sudah gila?" "Direktur kenapa?"Nova tidak menjawab.Nova melangkahkan kaki masuk ke perusahaan pimpinan ayahnya. Sekretaris baru—Liana—siap taat dengan perintah dari Direktur dan sungguh melakukan pekerjaan. Sesuai janji, datang ke kantor tidak terlambat lagi seperti kemarin.Wanita itu menggunakan rok ketat pink muda dengan blouse putih serta rambut diikat satu, wajah Liana lebih anggun dan menarik. Sedangkan, Nova? Tidak rapih, penampilan tidak rapih. Hihi rambutnya, seperti sarang burung, dan dia tidak memakai dasi. Liana melihat Nova dari ekor matanya, melihat luka lebam di wajah Nova. Dia merasa bersalah dengan kejadian di club dan Liana ingin meminta maaf. “Direktur. A—aku—”“Berhenti! Kamu jangan bertanya tentang lukaku," kata Nova cepat. “Aku tahu. Kamu sudah melihat be
Menghapus nama keluarga? Nova menggeleng tidak mau. Lelaki itu sudah membayangkan betapa menderitanya ketika namanya dihapus oleh sang Ayah. Lagian ada-ada saja Presdir Dika ingin penghapusan nama Nova di kartu keluarga. ***Pintu lift terbuka dan Liana sadar dari lamunan. Liana masuk ke dalam lift, telinganya mendengar suara familiar, menyapa Liana . Suara itu .... Liana tahu pemilik suara tidak asing baginya.“Hai, kita satu lift lagi. Mungkin kita berjodoh dengan lift ini.”Gombalan? Ah, kenapa Evan selalu membuat Liana tertawa.Tanpa melihat, Liana tahu suara yang menyapa malam ini dari dalam lift adalah Direktur Evan. Lelaki yang terjebak di lift bersama Liana tempo hari lalu.Deg ... deg ... deg. Om my god, jantung Liana berdebar kencang melihat senyuman manis Evan. Dia tidak pernah lagi merasakan debaran jantung berpacu cepat, kecuali ketika bersama Revan. "Hai." Liana menyapa Evan dengan canggung dan gugup. Satu lift lagi bersama Evan? Ah... Seperti mimpi. "Oke, Lian. Ayolah
“Selamat pagi, Presdir Dika,” sapa Liana sopan ketika bertemu dengan Dika di halaman kantor. “Semoga hari Presdir menyenangkan.” Liana tersenyum manis.Presdir Dika juga menyapa Liana dengan mengangguk sopan lalu melanjutkan langkah kaki di ikuti sekretaris Andra dari belakang. Langkah kaki Presdir Dika berhenti, dia baru saja mengingat sesuatu. Lelaki tua itu berbalik badan memanggil Liana. Liana segera berlari kecil menghampiri Presdir.“Ya? Presdir? Ada yang bisa Liana bantu?"“Sekretaris Liana, kenapa kamu berada di sini?” tanya Presdir Dika ke Liana lalu beralih ke sekretaris Andra. “Tolong bilang ke supir saya supaya mengantarkan sekretaris Liana.”Liana bingung, dahi berkerut. “Apa? Maksud dari Presdir apa?” tanya Liana.“Pergilah ke rumah saya, menjemput Nova. Jangan membuat dia bermalasan. Menggunakan kekuatan fisik tidak apa, saya sudah mencoba menggunakan kekuatan kekerasan. Tidak bisa merubah sikap dan sifat Nova. Jadi, jika tidak bisa menggunakan kekuatan pendidikan, pukul
Nova bingung dengan reaksi Liana."Kenapa? Ada apa sekretaris Liana?" Nova mulai mencari sesuatu kesalahan dalam dirinya, sedetik kemudian dia baru sadar. Dia memakai celana dalam bergambar Naruto di pantat Nova. Nova langsung terlonjak dan berteriak heboh, tangan Nova mengambil alih selimut—selimut di tangan Liana dan terjatuh ke lantai—lelaki itu langsung menutupi tubuhnya.Nova terkejut dan malu, dia sadar di dalam kamarnya ada Liana. “Kamu gila?! Mengapa kamu masuk ke kamar aku?!” tanya Nova tidak terima. “Wah, sekretaris Liana. Berani sekali kamu masuk ke kamar bossmu tanpa mengetuk pintu.” Nova menggerutu kesal, kepalanya menggeleng tidak percaya."Tidak, Direktur. Aku sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Aku datang ke rumahmu karena perintah dari Presdir Dika,” jawab Liana gugup. “Maaf, aku minta maaf Direktur,” kata Liana canggung. Dia mengintip Nova dari celah jari."Apa yang kamu lihat? Aku sudah menutupi dengan selimut," ujar Nova dengan nada lirih.Liana membuka
Liana berusaha menahan cengkraman tangan yang semakin kuat di area leher. Liana menggeleng kepala, matanya tersorot memohon. Permohonan Liana acuhkan Revan. Hingga wajahnya beberapa kali menghindar tidak beraturan, walaupun dipaksa untuk diam dan menikmati. Liana tidak mau.Langkah kaki Liana perlahan memundur, menghindari dari lelaki yang sedang dikendalikan oleh napsu. Sial, punggung Liana mengenai dinding, itu artinya posisi sedang terkunci.Dia marah.Lelaki itu menatap Liana dengan sorot mata elang yang tajam. “Kenapa kamu tidak mau. Kenapa kamu selalu menghindari! Lyn Liana! Bukalah mulutmu, balaslah lumatan bibirku. Ayolah, sayang. Jangan membuatku marah!” gertak Revan tidak sabar.Menjijikkan.Lagi-lagi Liana menggeleng tidak.“Kenapa?! Liana! Kita sudah berpacaran lima tahun, salahkah aku meminta ciuman walaupun cuma kecupan di bibirmu?”Lelaki itu, pacar Liana. Seharusnya Liana yang marah padanya, kenapa jadi dia yang marah-marah. Memang, sejak mereka pacaran tidak pernah m
Sepanjang perjalanan pulang guyuran hujan. Liana terus menangis terisak, meraung-raung membuat orang-orang yang melihatnya tertawa atau sedikit merasa iba dan kasihan.Tanpa tahu malu, Liana manangis. Jujur, dalam hatinya masih mencintai Revan. Dia berharap hubungan langgeng sampai ke pelamian dan Revan bersedia menyembuhkan phobianya. Tetapi, tidak sesuai keinginan Liana. Liana mengutuk mantan kekasih yang akan meraih kebahagiaanya, tetapi lelaki itu mempunyai niat merusak masa depan dan kehidupan Liana.“Revan! Brengsek!” Liana memaki menyebut Revan dengan kata brengsek. Dada Liana semakin bergemuruh tidak karuan dan sesak.“Aku kutuk, Revan menderita selamanya. Tidak punya anak, mandul sekalian baru tahu rasa,” kutuk Liana. “Kalau tidak, menjadi bujang lapuk. Tidak ada yang mau sama dia untuk menjadi suami, mampus!”Semakin tidak jelas berkata, Liana semakin tidak waras.Liana tidak sadar, ada seorang lelaki berdiri di belakangnya dengan memegang sebuah payung kuning. Lelaki itu ter
Di dalam ruang kerja, Direktur Nova berbicara panjang lebar, marah dan kesal kepada sekretaris. Karena Liana tidak menjawab panggilan ponselnya dan Nova berteriak tidak ada balasan dari Liana.Kemana Liana pergi?Nova berteriak di dalam ruang kerja. "Sekretaris Liana!" Untuk ke lima kali Nova berteriak keras memanggil nama sekretaris Liana. Di dalam hati Nova berkata kotor, hatinya sudah panas. Nova bertanya kepada diri sendiri, kemana perginya sekretaris Liana? Apakah Liana tidak membawa ponsel? Seharusnya, jika Liana pergi, harus meminta izin kepada boss atau menghubungi lewat ponsel, mengirim pesan. Jadi, Nova tidak kebingungan ketika membutuhkan dan mencari sekretaris.Boss pemalas itu harus berdiri dari duduk lalu keluar ruang kerja dan mencari Liana di meja kerja. Nova berdecak melihat meja kerja kosong, tidak ada Liana di sana. Tapi, tas dan ponsel tergeletak di atas meja. Itu artinya, Liana masih berada di kantor dan tidak pergi jauh. Huh. Nova menghembuskan nafas kasar. Nova
“So, it's a date?” tanya Evan dengan manis.Kencan? Liana mengedipkan mata, bingung dengan perkataan Evan. Liana make sure pertanyaan yang dibuat oleh Direktur Evan adalah untuk wanita itu.Evan tertawa kecil, dia mengelak lalu menjelaskan jika Evan ingin mengajak Liana makan siang di restourant. Tentu saja bukan date. “Bukan ... bukan date,” kata Evan berusaha meluruskan perkataan tadi. “Kita hanya makan siang di restourant, mungkin membuat otak akan lebih fresh atau segar dan melepaskan stres.”Senyum Liana memudar, dia mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia mengharapkan kencan bersama Evan? "Aha..." Liana malu.Evan lebih malu, dia telah berani bertanya, apakah ini sebuah date atau bukan. Pertanyaan tadi secara spontan saat mereka duduk di restourant yang berada tidak jauh dari kantor.“Aku hanya bertanya karena aku tidak tahu,” ungkap Evan jujur."I know." Liana terkekeh melihat ekspresi malu dan wajah Evan berwarna merah, lelaki itu berusaha menjelaskan. "Aku pikir, kamu mengajakku