“Akhh!” Pekikan kesakitan beradu dengan suara gedebuk nyaring. Iveryne tidak sempat menghindar. Dia baru mengambil langkah beberapa meter ketika sepasang mata merah menyala melayang ke arahnya, dan menghantamkannya ke sisi dinding kayu.
Sosok setengah asap melayang dengan mata merah bercahaya, fokus pada gadis tidak berdaya yang berusaha bangkit dari posisinya. Sialnya, percuma melawan, tendangan dan pukulan hanya menembus sosok itu. Lagi-lagi sosok itu mengangkatnya, yang entah bagaimana, tidak Iveryne pahami, karena mereka tidak bersentuhan sama sekali dalam hal ini, tapi dia merasa tubuhnya mendadak sangat ringan.Terlempar, lagi! Kali ini menuju meja panjang hingga patah, dan bagian atasnya berhamburan. Iveryne terbatuk-batuk, itu bekas tepung kemarin, ketika mereka selesai membuat kue, tepungnya masih berada di sana, pada tempatnya. Nyeri dan sakit menjalar disekujur tubuhnya. Dengan satu sentakan kecil, Iveryne dengan nafas terengah melempar segenggam tepung, berusaha mengalihkan dan semoga ... berhasil.Sosok itu—entah apa namanya memperhatikan sekitarnya, taburan serbuk putih tepung yang rasanya asing. Mengambil satu-satunya kesempatan, dia mencoba menaiki tangga, dengan lamban—baginya adalah langkah tercepat, mengingat cederanya dan rasa sakit menyengat di area pinggangnya.Tujuannya sekarang adalah senjata, atau minimal belati di kamarnya. Ini akibat ulah Calix! Salahkan lelaki itu yang sibuk menghentikannya alih-alih memberikan senjata yang memadai. Benar-benar mimpi buruk, dia tidak menyangkan akan disambut sedemikian rupa. Tenaga yang terkuras habis dan tubuhnya merosot lelah. Berkuda dua kilometer setelah sadar memang bukan ide yang bagus.Iveryne mencapai tangga terakhir ketika kakinya ditarik jatuh, mencium setiap tangga dengan tidak elegannya. Pekikan kesakitan terkunci di tenggorokan, kesadaran direnggut paksa dan nafasnya tidak beraturan. Satu yang Iveryne pahami adalah, sosok mengerikan hitam itu sekedar mendekatinya, mengamati, dan mendekatkan mata merah itu.Dia kelihatan memindai cermat. Iveryne menyadari tentang semakin dirinya memberontak dan berusaha kabur, sosok itu semakin ganas. Iveryne sampai tidak sadar dia menahan nafas. Sosok itu mencoba menyentuh rambutnya—terkesan percuma, karena itu tetap menembus, seperti bayang-bayang. Iveryne menyipitkan matanya kala sosok itu berangsur-angsur mendekat, hanya berjarak beberapa inci.Cahaya jingga kemerahan terbesit ketika Iveryne menutup mata. Tidak ada suara lain, hening … netra biru cemerlang indah mengerjap ragu. Sosok hitam yang melayang perlahan-lahan menjadi kepulan asap hitam yang kemudian hilang terbawa angin.“Bodoh!” Umpatan tidak ramah itu diiringi suara gemericing pedang yang dimasukkan dalam sarungnya. Ketika pesona onyx kelabu dipadukan dengan keindahan biru cemerlang. Keduanya sama-sama terdiam, seakan lupa alasan keberadaan mereka di sana, tapi suara benda jatuh di belakang memulihkan paksa kesadaran mereka.“Akhh!” Iveryne tidak bisa melupakan sengatan nyeri menyapa pinggangnya, sosok—manusia di depannya melihat ke arah pinggang sang gadis. Melihat mata yang menyipit itu membuat Iveryne tidak tenang, dia baru mengumpulkan sisa keberanian, berniat melihatnya, ketika merasa tubuhnya mendadak melayang.Manusia itu mendudukkannya pada satu-satunya kursi yang tersisa di ruang tengah. Tudung jubahnya jatuh, rambut hitam legam, beberapa helai bergantungan di sisi matanya.“Tertusuk kayu,” ucapnya kalem, seakan-akan itu hal biasa, selagi Iveryne melotot penuh penekanan.“Aku akan mencabutnya, hanya kayu kecil.”Dengan nafas tak beraturan, Iveryne memberanikan diri melirik area perutnya, kayu sebesar jari tangan orang dewasa tertancap di pinggangnya, dia meringis tanpa suara, nyaris menangis. Menepis kasar ketika tangan kekar di depannya berniat menyentuh potongan kayu itu.Sial! Kenapa emosional di saat begini!“Tolong buat aku pingsan, atau apapun.”“Kepalamu akan sakit ketika bangun nanti. Cobalah tenang, ini akan cepat.” Dia berdecak, karena Iveryne lagi-lagi menepis tangannya.“Apakah kamu pernah menerima kayu di pinggangmu, huh!”“Aku sering dapat yang lebih buruk.” Iveryne menatapnya antara batas percaya atau ragu. “Dasar bodoh! Kamu pikir apa? Pergi sendiri tanpa senjata. Ini bukan sandiwara teater! Beruntung masih hidup.” Tatapan nyalang Iveryne beradu dengan tatapan datar dari onyx kelabu.“Ak—mhh.” Iveryne menutup mulut sembari menggertakan gigi, kulit lehernya ditarik dan merenggang beberapa kali disertai pukulan-pukulan kecil pada lengan orang di depannya ini. Hembusan nafasnya tertahan pada detik-detik tertentu, sakitnya tidak terbantahkan.Suara tercekat di pangkal tenggorokan, nyeri dan perih, serta tangan dingin menyatu di kulitnya. Tidak sopan! Jika keadaan normal, Iveryne bersumpah akan memukul dan menendang lalu membantingnya. Permukaan kulit sucinya! Demi Tuhan! Iveryne menepis jauh-jauh tentang kehangatan nyaman bersarang di permukaan pinggangnya.Dia tidak bisa menahan desisan nyeri, dua potong kayu berbeda ukuran di lengan kiri, dan potongan sebesar jari tangan di pinggangnya. Benar-benar mengenaskan, apalagi ketika pria itu mengelap dengan air. Iveryne tidak peduli lagi dengan atasan bajunya yang dinaikkan, atau posisinya entah bagaimana. Fokusnya terganti dengan sengatan sakit.Sementara sang pemilik netra onyx kelabu itu bersusah payah membatasi hidungnya. Aroma Rasberi yang menggiurkan dan teramat lembut menyapa penciumannya dengan tidak sabar. Sentakan kesakitan gadis di depannya kembali menyadarkan, menariknya dari mengagumi aroma indah milik biru cemerlang ini berlarut-larut, deheman singkatnya berusaha mencairkan atmosfer panas yang tiba-tiba menerpa wajahnya.“Calix dan Guru di Area Pertahanan mengkhawatirkanmu,” ujarnya datar, Iveryne tidak terlalu memperhatikan ketika tangannya sibuk menurunkan atasan dengan hati-hati. “Lain kali bawa senjata.”“Calix sibuk mengkhawatirkan alih-alih memberikan senjata. Omong-omong, terimakasih … “ Iveryne menyipitkan mata, dengan enggan melanjutkan, “Orang asing. Makhluk ... apa itu tadi?” Rasa penasarannya mengambil alih, Iveryne hanya butuh jawaban sekarang.“Dyord, bayangan iblis. Mereka berjaga di sekitar segel gelap.”“Apa maksudmu, segel?”“Pengetahuanmu tentang para penyihir gelap sedikit sekali, ya?”“Diamlah. Kamu tak tahu apapun. Kita sama-sama orang asing.”“Reiger.” Iveryne menyipitkan matanya mencoba memahami.“Maaf?”“Namaku, Reiger.”“Tunggu! Bukankah kamu yang menabrakku di Pasar Ibukota?”*****Mereka ada di taman dandelion. Sisa dari ibunya, yang Iveryne temukan hanya serbuk abu putih, tepat dia mengingat di mana ibunya berdiri malam itu. Hujan dan gemuruh petir tidak menghentikan aksinya bersimpuh pada gundukan di antara dandelion layu terkena rintik hujan.Lima jam lebih dihabiskan Iveryne untuk berdiam dalam Kamar. Merenungi semuanya, Reiger yakin gadis itu meratapi nasibnya, bisa juga memikirkan kakaknya yang tidak memiliki tanda-tanda hidup atau mati. Reiger menyalakan api, tubuhnya basah dan dingin, tidak sulit mencari kayu, banyak patahan meja dapur tepat di bawah hidungnya.Iveryne mengganti pakaiannya, bekas luka yang tidak mengering itu basah dan perih. Dia memakai celana panjang, mengantongi beberapa belati dari akademi. Menekan luka dengan kain bersih yang kering. Dia masuk ke dalam Kamar Nalaeryn, aroma tanaman. Pot-pot yang berjejer rapi di sisi jendela berjatuhan, pecah dengan tanah berceceran di lantai.Kaki kasurnya patah, hanya satu yang tersisa, lantai kamar memunculkan retakan, bantal acak-acakan, situasi kamar yang biasa rapi, Nalaeryn maniak kebersihan, dia ingat membayar dua koin emas agar Nalaeryn bersedia merapikannya. Sebenarnya itu hanya alibi, karena ketika di Pasar Ibukota hari itu, dia tak sengaja menangkap basah Nalaeryn mencuri-curi pandang pada sepatu hak tinggi di etalase toko.Mangkok-mangkok di atas rak, tempatnya bereksperimen dengan perawatan wajahnya bercampur menjadi satu di lantai kayu. Isinya tidak utuh lagi, beberapa mangkok ada yang singgah pada seprai. Iveryne terkekeh, dia ingat Nalaeryn seringkali memaksanya memakai ramuan racikannya. Tidak jarang dia mengirim secara pribadi ke Akademi.'Agar saat pulang nanti, kamu tetap cantik, Ivy! Di sana panas dan … oh! Tidak bisa di biarkan! Awas kalau tidak memakainya!''Kekehan di wajahnya tidak berlangsung lama, nyeri menyengat itu kembali menghampirinya, Iveryne terkekeh geli sampai tidak sadar tangannya sedang menekan luka. Setelah menjulurkan kepala dari jendela, beberapa tanaman di luar sana masih utuh, tertata rapi seolah yang terjadi di dalamnya hanya sebatas ilusi. Dia mengambil satu pot penuh, dia ingat daun hijau besar itu.Ketika terkena cakaran serigala beberapa tahun lalu. Dia hanya perlu campuran air lalu menghaluskannya. Botol-botol yang biasa diisi air dalam kamar itu terbaring dengan keadaan tutup hilang. Sepertinya air di dalamnya tumpah dan mengering.Jadi dia terpaksa turun perlahan ke dapur dan menemukan Reiger bersandar di sisi kursi, mengarah langsung ke perapian, dia sempat lupa keberadaan pria itu. Dia terbangun, entah karena Iveryne terlalu berisik atau memang telinga pria itu kelewat peka terhadap suara minim. Tapi mengingat dia tinggal satu tempat dengan Ksatria Aregorn.Opsi kedua lebih pasti.Iveryne menggigit gulungan kain dengan kuat dan terengah-engah. Reiger sialan itu memaksa untuk membersihkan lukanya lagi sebelum diobati memaksa diberitahu apa saja yang perlu di lakukannya dengan tanaman obat. Tapi rasa sakitnya terbagi dua, antara sensasi dingin yang nyaman akibat tangan merengkuh pinggangnya, dan rasa sakit menyengat oleh luka yang diolesi tanaman obat.“Kita harus kembali,” sentak Reiger tiba-tiba setelah selesai membalut luka Iveryne. Keduanya menoleh pada pedang Reiger yang sarungnya terikat rapi pada pinggang sang pria. Dia menariknya pelan, bagian pedang yang harusnya keperakan, bercahaya jingga-kemerahan.“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm