“Kapan kita kembali ke sini?”
“Mustahil. Tidak aman.” Iveryne mendelik tidak percaya, sebelum Reiger mencapai tangannya, dia lebih dulu berlari tergesa-gesa menaiki tangga, menghindari beberapa bagian yang patah dan hancur.Reiger, yang masih tidak mau mereka mati sia-sia dengan sigap menahan Iveryne saat kakinya sampai pada tangga terakhir. Dengan paksa menggendongnya, tapi dia langsung menurunkannya ketika gadis itu memekik keras-keras. Dia meninju wajah Reiger dengan marah.Pinggangnya yang sakit baru saja bertubrukan dengan bahu kokoh yang keras. Sensasinya menusuk.“Sakit, sialan!” hardiknya, tangan kirinya refleks mencengkeram sisi pinggang bagian kiri.“Kita akan dapat yang lebih buruk. Kalau kita masih di sini. Para Dyord akan segera kemari, aku tak bisa melawan semuanya.”“Aku hanya perlu … mengambil pedang.”Mulut Reiger terbuka tanpa sadar, ada beberapa pertanyaan menggenang dalam benaknya. Iveryne menggeser tubuh jangkungnya setelah berkata demikian, bergegas pergi tanpa mempedulikannya.Keadaan kamar Estelle tidak berbeda jauh dari Kamar Nalaeryn. Sama-sama seperti baru dilanda angin kencang. Iveryne tidak banyak bergerak, Reiger rupanya sangat berguna, dia hanya perlu berkata, dan pria itu langsung melakukannya. Alasannya adalah, “Kamu terlalu lamban. Kita akan mati sebelum melangkah keluar dari sini.”Gagangnya biru-perak. Di sana, seperti tidak ada perubahan. Letaknya masih sama seperti terakhir Iveryne melihatnya. Tidak bisa membuang waktu untuk kagum, Reiger segera mengangkatnya dengan satu tangan mengelilingi punggung. Iveryne refleks melingkarkan tangan di bahunya, setelah pedang perak tersampir indah di sisi lain pinggang Reiger, pria itu merampasnya.“Tunggu! Aku … di sini?!” Dia mencak-mencak kesal, Reiger mengangkatnya, meletakkannya di bagian depan.“Aku tidak mau mengambil resiko kamu pingsan atau jatuh di Jalan.” Reiger segera naik di belakangnya, Iveryne tidak pernah merasa sebingung ini sebelumnya ketika menaiki kuda.“Tunggu! Bagaimana kudamu?” Iveryne melirik kuda hitam yang asik memakan rumput halaman rumahnya.“Akan kuambil nanti.” Dengan begitu, mereka meninggalkan tempat itu. Iveryne tidak tahu ingin meletakkan tangan di mana ketika Reiger langsung memacu kudanya.Biasanya dia dengan lihai memacu tali kuda, dengan mudah mengatasi berbagai tali yang terselip, tapi kini, tidak ada yang bisa dia rasakan selain sentakkan di kedua sisi pinggangnya, dan sengatan pada pinggang kiri bagian depan, Kaiden mengambil alih.Mereka baru setengah kilometer ketika salah satu Dyord melayang menabrak kuda yang ditunggangi keduanya hingga tubuh mereka terlempar. Iveryne berguling di Tanah, sementara Reiger terlempar pada salah satu Pohon hingga patah. Iveryne meringis tanpa sadar melihatnya, tapi saat melihat pria itu kembali berdiri sambil mengambil pedangnya yang terlempar, seolah … tidak terjadi apapun.Iveryne lebih mengasihani dirinya sendiri!Mengapa dia menjadi beban!Apakah para Dyord memiliki hobi dengan membanting seseorang! Karena jika mereka bisa disentuh, Iveryne akan dengan bahagia mencekik salah satu—semuanya, kalau tangannya masih baik-baik saja. Tapi melihat kondisinya dan sosok mereka yang seperti bayangan, Iveryne berusaha mengubur dalam-dalam keinginannya itu.Tubuhnya beringsut mundur, satu lusin Dyord melayang ke arahnya. Sinar jingga-kemerahan menebas empat sampai tujuh lebih bayangan itu, yang kemudian berubah menjadi kepulan asap hitam dan mengudara. Reiger maju ke depannya, melepas topeng setengah wajahnya dan meletakkannya di wajah Iveryne tiba-tiba sambil berseru teramat keras, “Pakai itu!”Dua tali berwarna merah menggantung lunglai di sisi topeng itu, benang terlampau tipis, yang dia sendiri tidak pahami, entah bagaimana bisa menahannya. Tidak ada perubahan yang dialaminya, kecuali kalau Dyord hanya diam menatapnya lewat mata merah menyala mengerikan.Ayunan lihai pedang Reiger dengan Dyord yang melawan kelihatan tidak seimbang. Perak logam yang seharusnya berbentuk mata pedang diliputi warna jingga-kemerahan yang agak bercahaya, tidak terlalu terang atau gelap. Perkelahian masih bisa ditebak, kecuali saat para Dyord bertambah banyak dan pertarungan makin sengit.Iveryne ingin sekali membantu, matanya mengarah pada pedang yang terlampir di sisi pinggang Reiger, itu pedangnya—calon pedangnya di masa depan, berbagai kemungkinan merampas muncul di benaknya, tapi keadaan pria itu sendiri dikelilingi belasan Dyord yang siap mengepungnya. Iveryne selamat sekarang pun patut di syukuri.Terlempar berkali-kali, menabrak kayu hingga menciptakan retakan di Tanah. Dan luka tipis di pelipisnya—yang sialnya menambah ketampanannya. Iveryne bukan peminat pria tampan, tapi ketika melihat gerakan lihai dan kegigihannya bertarung tidak bisa membuatnya berhenti berdecak kagum dengan mata berbinar.'Bersama Reiger, sama dengan aman.''Kesempatan tidak boleh di sia-siakan.''Jadi ketika pria tampan menolongmu, pura-pura lemah saja.''Tapi aku sekarang memang tidak berdaya!'*****Iveryne duduk dalam perpustakaan di Area Pertahanan setelah perjalanan heroik mereka. Ditemani tumpukan buku dan topeng setengah wajah milik Reiger, yang tanda sadar ternyata masih dipakainya. Pantas saja tadi Calix yang menyambut mereka menatap dengan mata melebar. Iveryne tidak punya wajah lagi untuk keluar dan menyapanya.Setelah ucapan Reiger tentang minimnya pengetahuan Iveryne mengenai penyihir gelap, dia jadi berniat mencari tahu semua sampai akar-akarnya. Dan ada ribuan lebih buku yang memuat semua tentang itu, termasuk tentang ‘Penyihir Gelap, Penyihir Hitam, Penyihir Mantra’ bahkan ada ‘Cara Menjadi Penyihir melalui pengorbanan’[Penyihir gelap, para penyihir yang mampu mengubah wujud, menjadi apapun, bahkan siapapun. Diketahui beberapa puluh tahun lalu, banyaknya serangan antara para Elther dan penyihir, mengakibatkan kepunahan antara bangsa yang sama-sama kuat dalam pihak berbeda. Pembantaian habis-habisan pada kaum penyihir, dan juga pembalasan dendam tanpa ampun pada bangsa Elther.][Beberapa dari kedua bangsa yang tersisa dipaksa bersembunyi. Yang tersisa dari Bangsa Elther sibuk memperkuat pertahanan dan para Kaum Penyihir sibuk menambah sekutu, memperluas wilayah, harus kekuasaan membuat salah satu dari mereka berniat balas dendam.][Diperbarui tahun lalu]Kata-kata itu membuat semangat Iveryne meluap-luap. Dia menjadi bersemangat membacanya lebih jauh. Beberapa buku yang dibacanya diperbarui kira-kira hingga setengah abad lalu dan puluhan tahun lalu. Itu adalah bagian terakhir halaman.Jadi dia membaliknya lagi, membacanya dari awal, ini benar-benar menyenangkan, mengorek informasi dari sejarah.[Penyihir gelap adalah keturunan murni penyihir dan penyihir. Lalu penyihir hitam, mereka setengah darah makhluk lain. Kadang para penyihir jatuh cinta pada makhluk lain, atau sekedar memanfaatkan mereka untuk awet muda, dengan meminum darah anak perawan berusia delapan belas tahun ke atas dan menyerap jiwa mereka.]Iveryne bergidik ngeri dengan bacaannya, usianya sekarang masih tujuh belas tahun. Kurang dari lima bulan lagi akan mencapai kedewasaan. Dan adanya pikiran tentang keberadaan para penyihir yang tidak pernah menjadi permasalahannya cukup menakutkan. Jika jiwanya diserap saat dia tidur, dan belum sempat menikah atau …Tidak, tidak!Iveryne mengetuk-ngetuk kepalanya, pikirannya terlalu jauh. Para penyihir tidak akan sampai di Ashtanshire karena para Elther sudah melindungi tanah itu dengan pengorbanan dan darah yang tidak terbatas jumlahnya. Mereka adalah pahlawan yang luar biasa bagi seluruh masa depan yang tersedia di Ashtanshire.[Cara membunuh mereka, dibakar dengan api. Dipercaya, api yang menghanguskan mereka akan langsung membawa jiwanya dalam Neraka menuju penghakiman. Mereka tidak akan bisa memasuki Dunia Bawah, tidak ada tempat bagi para jiwa-jiwa gelap di Dunia Bawah.]Bacaannya membuat kerutan di dahi Iveryne, dia buru-buru membalik halaman ke beberapa halaman terakhir. Halaman pertama dan selanjutnya hanya memuat tentang asal-usul dan keperluan, bahkan ada mantra penyihir yang terselip di sana, benar-benar sesuatu.[Para penyihir dipercaya merencanakan balas dendam pada generasi Elther, bersumpah merebut daratan Ashtanshire. Bagi mereka, yang terkuat harus menjadi pemimpin, dan yang murni, akan selalu berada di atas. Mereka yang tidak penting, lebih baik tidak ada.][Rencananya termasuk bersekutu dengan pangeran neraka, iblis yang menyandang simbol keserakahan penyihir, Mammon. Mereka percaya, iblis itu bisa membantu menghapus pelindung Elther. Satu-satunya jalan menyebrang Mammon menuju dunia adalah pengorbanan. Sepasang remaja di atas delapan belas tahun masing-masing mewakili dua belas bulan. Simbol dari masing-masing sembilan pengorbanan.]Di bawahnya, Iveryne bisa melihat tanda yang sama, seperti yang terlihat di lantai kamar ibunya. Awalnya dia mengira hanya kotor akibat kekacauan, tapi itu adalah tanda dari sembilan pengorbanan. Ada gambar bulan, api, permata, matahari, entah gambar apa lagi. Tanda berbentuk lingkaran dikelilingi tanda dari elemen-elemen lain.“Mencari ilmu, eh?”Iveryne mendongak, menemukan Reiger bersandar pada rak tinggi sambil membolak-balikkan buku. Perban membalut rapi lengan atasnya, juga bagian pinggangnya yang tertutup baju.“Menambah informasi. Tidak mungkin bertanya terus-terusan.”“Untung kamu sadar.” Diliriknya Reiger tidak santai. Pria di depannya kelewat jujur, seluruh isi hatinya seperti mengalir begitu saja.“Apakah keberatan jika seandainya saya bertanya sesuatu?”Dengan helaan nafas kasar, Iveryne duduk tegak sambil melipat tangan di atas meja, berlagak seperti murid paling teladan dalam kelas. Reiger melirik singkat dari lipatan buku, mengendikkan bahunya acuh.“Sangat,” sahutnya. Iveryne bersungut, fokus pada buku kembali.“Oh, Terimakasih telah menjawab,” hardiknya.“Apa yang ingin kamu tanyakan.”“Tidak, terimakasih. Tidak ingin merepotkan Anda, sungguh.”“Katakan saja.” Reiger biasanya acuh, tapi kali ini, dia ikut penasaran. Lagipula, guru Ragon mempercayakan gadis itu padanya. Keterdiaman Iveryne membuatnya tidak puas, jadi dia bergerak maju, menarik buku yang memblokir pandangan keduanya.Iveryne, posisinya duduk bersandar pada dinding Perpustakaan melotot kaget, Reiger menghimpitnya di antara tubuh kekar dan tembok. Hidung Iveryne merah, menahan malu luar biasa antara keterkejutannya.Dan rona merah serupa menjalari telinga Reiger.“Ekhem!” dehemnya keras. “Katakan saja, aku akan … berusaha menjawabnya.” Dia menarik langkah mundur, mencoba tenang dengan bersandar santai sementara Iveryne menatapnya aneh sambil memeluk buku. Dia mengusap hidungnya perlahan untuk menghilangkan rona kemerahan aneh itu, sementara Reiger menyentuh telinganya sendiri.“Itu tentang … apa yang para penyihir lakukan di rumahku?”Iveryne bertanya setelah hening beberapa saat. Reiger membalik halaman terakhir yang bahkan tidak dibacanya. Dia sedang bersandar pada rak tinggi sambil meletakkan kembali buku, padahal sejak tadi dia hanya memperhatikan Iveryne sampai tidak sadar bukunya terbalik.Reiger mengangguk-anggukan kepalanya paham.“Katanya ibumu tahu sesuatu untuk membangkitkan kembali pedang Deathraze, agar pedang itu memunculkan mengungkap lokasinya.”“Deathraze? Pedang iblis?” Iveryne menutup buku, seluruh atensinya fokus pada Reiger selagi pria itu menatap rak yang menyusun buku teratur sesuai abjad. “Bukankah itu hanya mitos?”“Apa yang kamu dengar tentang itu?”“Aku hanya tahu kisah Selene dan Argios, orang asing—”“Mereka tidak pernah menjadi asing.”“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm