Home / Fantasi / Iveryne ; Mitos Pedang Iblis / 8 — Insiden Mengerikan

Share

8 — Insiden Mengerikan

Author: Karalynn
last update Last Updated: 2024-01-17 15:21:39

Iveryne menoleh cepat, dia berjarak tiga puluh meter ketika bunyi ledakan muncul dari arah rumahnya, asap hitam mengepul mengelilingi rumahnya. Tergesa-gesa, kakinya mengantarkannya kembali ke rumah, ledakan dan benda berjatuhan makin jelas ketika dia ada di pekarangan.

“Tidak!” Yang membuat kakinya seketika lemas adalah ketika menaiki tangga, ketika kamar Nalaeryn kosong, perabot berserakan, dandelion beterbangan. Samar-samar, teriakan Nalaeryn sebatas ilusi.

“Hentikan … “ Kesadarannya di tarik paksa, Iveryne buru-buru bangkit, berlari lagi ke kamar ibunya. Estelle bersandar di dinding, menatap lurus ke arahnya sambil menggeleng, dan sosok hitam berada di depannya. Ibunya itu kelihatan berbeda, rambut perak bercahaya dan mata biru terang yang gemerlapan seindah batu safir.

Ketika sosok hitam berbalik ingin menatap sesuatu yang mengalihkan atensi Estelle. Iveryne merasakan sebuah tangan dingin menariknya ke sisi lain ruangan, pinggangnya di peluk erat dan mulutnya dibungkam tangan lain. Punggungnya bertabrakan dengan dada orang di belakangnya, yang berusaha menahan tubuhnya.

“Hentikan seluruh kegilaan ini, kalian memicu kekacauan.”

“Semua kacau sejak awal.”

“Ini tidak sebanding—”

“Semua ada harganya.”

Iveryne sibuk meronta hingga tidak fokus pada suara gemericing bersahutan, dia berkali-kali menyikut dan menendang, tapi orang di belakangnya tidak bergeming, dia bahkan ragu itu manusia. Dengan satu sikutan terakhir, Iveryne meraba pinggang celananya sendiri, menarik belati kasar, lalu menancapkannya di paha orang itu.

Desisan rendah itu lebih mengarah pada keterkejutan, daripada rasa sakit. Tidak ingin melewatkan kesempatan, Iveryne menarik tangan yang ada di mulutnya dan yang menahan pinggangnya, niatnya adalah membantingnya, tapi ketika menoleh, rasa kaget membuncah naik, saat membuka mulut, tidak ada suara yang keluar, kecuali desisan rasa sakit.

*****

Kesadarannya hilang.

Ledakan, teriakan.

Nala, Kakak!

Ibu!

Nafasnya terengah-engah, Iveryne buru-buru duduk, kain tebal yang di lipat jatuh dari dahinya, itu lembab. Tangannya terulur memeriksa dahi, rasanya cukup hangat. Tunggu! Dia … di kompres? Itu artinya demam? Tapi, sejak kapan? Otaknya memutar ingatan, peristiwa itu, apakah—orang demam terbiasa melantur, bermimpi hal-hal aneh.

Desisan keluar dari belah bibirnya, sakit di kepalanya masih belum reda, apa ini berarti dia sudah demam lama? Cahaya lembut matahari menyapa, kelihatannya masih sore. Menajamkan penglihatan, ini agak berbeda, rasanya … cukup aneh, seperti bukan—

“Kamu sudah bangun?” Iveryne tersentak, seorang lelaki masuk dengan santai sambil membawa mangkok. Tangannya refleks meraba pinggang, tapi nihil, tidak ada tanda-tanda belati. Menoleh ke arah nakas. Iveryne mengambil gelas kosong, mengangkat dengan mata tajam.

“Aku paham kenapa Reiger menyuruh memindahkan senjata.”

“Siapa kamu?” sentaknya tajam. “Dan … Reiger?” Lelaki itu gagal fokus antara wajah Iveryne dan gelas di tangan gadis itu, ancang-ancang ingin di lempar membuatnya meneguk ludah susah payah.

“Er … bisa bicara santai? Takutnya saat bercerita, kepalaku tiba-tiba bocor. Aku berniat baik ingin menggantikan kompres.” Mangkok kayu itu di letakkannya di atas meja yang agak jauh dari kasur Iveryne.

“Baik,” gumam Iveryne, gelas kosong itu kembali ke tempatnya, dengan tangan si gadis di sisi nakas, siap melemparkannya kalau-kalau lelaki asing di sebelahnya berniat macam-macam dalam waktu dekat.

“Sebelumnya, perkenalkan! Aku, Calix, empat belas tahun dan … lajang.” Kedipan nakal itu di tatap datar oleh Iveryne, juga uluran tangan Calix yang dilirik tanpa minat membuat lelaki itu kembali menarik tangannya, senyum sumringahnya pudar seketika.

“Ceritakan, di mana ini?” Calix melangkah maju dengan wajah senang, mendekati sisi kasur Iveryne, berniat mendudukinya, tapi sang pemilik mencegatnya. “Kamu, duduk di sana.” Dia menunjuk pada sofa panjang di sisi pintu, jarak mereka berkisar antara dua setengah meter.

“Kamu yakin bisa mendengar dari sana? Kelihatannya kasurmu lebih empuk—baik, baik! Aku duduk di sana, oke? Kita damai.” Calix tak punya pilihan selain mengangkat kedua tangan, mengisyaratkannya untuk tetap tenang, karena Iveryne benar-benar mengambil gelas itu lagi.

“Bicara, atau tidak sama sekali.”

“Tanyakan saja.”

“Bagaimana aku bisa berada di sini?”

“Itu … aku tidak tahu rinciannya, tapi tadi malam aku lihat Reiger dan Guru Ragon bicara, tidak terlalu tahu apa yang mereka diskusikan. Lalu Reiger menghilang, saat kembali, dia membawamu.”

“Siapa Guru Ragon?”

“Aregorn.” Calix menjawab, sepersekian detik setelahnya, dia menatap Iveryne rumit. “Informasi itu ... membantu?” lanjutnya karena gadis itu memandangnya dengan mata membelelak dan mulut ternganga.

Aregorn?

KSATRIA AREGORN?!

Apa-apaan ini? “Bukankah para Ksatria Aregorn di nyatakan gugur dalam perang berpuluh-puluh tahun lalu?” imbuhnya.

“Aku bukan peramal. Tanyakan saja pada guru Ragon kalau ingin tahu. Tapi jangan katakan pada Reiger atau Guru Ragon aku menguping pembicaraan mereka, oke?” Untuk bagian terakhir, dia menganguk acuh.

“Di mana, ini? Apa semacam kamp pelatihan?” Iveryne berpikir, apa ibunya yang mengantarkannya ke sini, karena cita-citanya dan Estelle kebetulan punya kenalan seorang Ksatria Aregorn ... terakhir.

“Kamp … pelatihan?” Menyadari tatapan penuh tanya mengarah padanya, Iveryne bisa menyimpulkan itu berarti, bukan.

“Bukan, eh? Jadi, di mana aku sekarang?”

“Suatu tempat di perbatasan. Kami lebih suka menyebutnya, Area Pertahanan. Ada Perpustakaan, Rumah, Kamar Mandi, Tempat Latihan. Lalu tepian danau indah, dan rumah kaca! Untuk keperluan pengobatan sebenarnya. Tapi jika kamu ingin menanam hal lain, bo—”

“Oke, cukup! Apa ada sesi perkenalan?”

“Untuk?”

“Nama dan tempat tinggal, lalu usia—”

“Omong kosong. Kamu langsung diterima, jadi, selamat datang di Area Pertahanan, Nona … kamu belum beritahu namamu.”

“Ryn.”

“Hanya Ryn?”

“Hanya itu yang perlu kamu tahu.”

“Kenapa?”

“Karena kamu tidak lebih dari orang asing.” Calix menatapnya penuh pengkhianatan, apa-apaan ini, orang asing katanya?!

Hei! Aku yang menyelamatkan hidupmu!

Sejujurnya Reiger, tapi ... aku mengobatimu!

Huh! Untung cantik.

“Hei, dengar, kita mungkin masih tidak saling mengenal, tapi semua yang diterima dalam lingkup Area Pertahanan adalah keluarga, mengerti?” Calix menunggu hal seperti ini, sebenarnya, karena dia cukup terobsesi menginginkan kakak perempuan.

“Satu pertanyaan lain.”

“Tanyakan, aku senang mendengar suaramu.” Calix menopang dagu dengan telapak tangan, menatap penuh binar pada gadis itu, walau kadang sulit membaca ekspresi yang dikeluarkannya.

Iveryne menatapnya rumit.

“Ibuku yang mengantarkanku ke sini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Iveryne ; Mitos Pedang Iblis   75 — Kehidupan Reiger

    “Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua

  • Iveryne ; Mitos Pedang Iblis   74 — Dandelion Hitam

    Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke

  • Iveryne ; Mitos Pedang Iblis   73 — Wilayah Terlarang

    “Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang

  • Iveryne ; Mitos Pedang Iblis   72 — Dalam Penjara

    Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa

  • Iveryne ; Mitos Pedang Iblis   71 — Kristal Lunaris

    Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t

  • Iveryne ; Mitos Pedang Iblis   70 — Aula Pertemuan

    “Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status