Iveryne menoleh cepat, dia berjarak tiga puluh meter ketika bunyi ledakan muncul dari arah rumahnya, asap hitam mengepul mengelilingi rumahnya. Tergesa-gesa, kakinya mengantarkannya kembali ke rumah, ledakan dan benda berjatuhan makin jelas ketika dia ada di pekarangan.
“Tidak!” Yang membuat kakinya seketika lemas adalah ketika menaiki tangga, ketika kamar Nalaeryn kosong, perabot berserakan, dandelion beterbangan. Samar-samar, teriakan Nalaeryn sebatas ilusi.“Hentikan … “ Kesadarannya di tarik paksa, Iveryne buru-buru bangkit, berlari lagi ke kamar ibunya. Estelle bersandar di dinding, menatap lurus ke arahnya sambil menggeleng, dan sosok hitam berada di depannya. Ibunya itu kelihatan berbeda, rambut perak bercahaya dan mata biru terang yang gemerlapan seindah batu safir.Ketika sosok hitam berbalik ingin menatap sesuatu yang mengalihkan atensi Estelle. Iveryne merasakan sebuah tangan dingin menariknya ke sisi lain ruangan, pinggangnya di peluk erat dan mulutnya dibungkam tangan lain. Punggungnya bertabrakan dengan dada orang di belakangnya, yang berusaha menahan tubuhnya.“Hentikan seluruh kegilaan ini, kalian memicu kekacauan.”“Semua kacau sejak awal.”“Ini tidak sebanding—”“Semua ada harganya.”Iveryne sibuk meronta hingga tidak fokus pada suara gemericing bersahutan, dia berkali-kali menyikut dan menendang, tapi orang di belakangnya tidak bergeming, dia bahkan ragu itu manusia. Dengan satu sikutan terakhir, Iveryne meraba pinggang celananya sendiri, menarik belati kasar, lalu menancapkannya di paha orang itu.Desisan rendah itu lebih mengarah pada keterkejutan, daripada rasa sakit. Tidak ingin melewatkan kesempatan, Iveryne menarik tangan yang ada di mulutnya dan yang menahan pinggangnya, niatnya adalah membantingnya, tapi ketika menoleh, rasa kaget membuncah naik, saat membuka mulut, tidak ada suara yang keluar, kecuali desisan rasa sakit.*****Kesadarannya hilang.Ledakan, teriakan.Nala, Kakak!Ibu!Nafasnya terengah-engah, Iveryne buru-buru duduk, kain tebal yang di lipat jatuh dari dahinya, itu lembab. Tangannya terulur memeriksa dahi, rasanya cukup hangat. Tunggu! Dia … di kompres? Itu artinya demam? Tapi, sejak kapan? Otaknya memutar ingatan, peristiwa itu, apakah—orang demam terbiasa melantur, bermimpi hal-hal aneh.Desisan keluar dari belah bibirnya, sakit di kepalanya masih belum reda, apa ini berarti dia sudah demam lama? Cahaya lembut matahari menyapa, kelihatannya masih sore. Menajamkan penglihatan, ini agak berbeda, rasanya … cukup aneh, seperti bukan—“Kamu sudah bangun?” Iveryne tersentak, seorang lelaki masuk dengan santai sambil membawa mangkok. Tangannya refleks meraba pinggang, tapi nihil, tidak ada tanda-tanda belati. Menoleh ke arah nakas. Iveryne mengambil gelas kosong, mengangkat dengan mata tajam.“Aku paham kenapa Reiger menyuruh memindahkan senjata.”“Siapa kamu?” sentaknya tajam. “Dan … Reiger?” Lelaki itu gagal fokus antara wajah Iveryne dan gelas di tangan gadis itu, ancang-ancang ingin di lempar membuatnya meneguk ludah susah payah.“Er … bisa bicara santai? Takutnya saat bercerita, kepalaku tiba-tiba bocor. Aku berniat baik ingin menggantikan kompres.” Mangkok kayu itu di letakkannya di atas meja yang agak jauh dari kasur Iveryne.“Baik,” gumam Iveryne, gelas kosong itu kembali ke tempatnya, dengan tangan si gadis di sisi nakas, siap melemparkannya kalau-kalau lelaki asing di sebelahnya berniat macam-macam dalam waktu dekat.“Sebelumnya, perkenalkan! Aku, Calix, empat belas tahun dan … lajang.” Kedipan nakal itu di tatap datar oleh Iveryne, juga uluran tangan Calix yang dilirik tanpa minat membuat lelaki itu kembali menarik tangannya, senyum sumringahnya pudar seketika.“Ceritakan, di mana ini?” Calix melangkah maju dengan wajah senang, mendekati sisi kasur Iveryne, berniat mendudukinya, tapi sang pemilik mencegatnya. “Kamu, duduk di sana.” Dia menunjuk pada sofa panjang di sisi pintu, jarak mereka berkisar antara dua setengah meter.“Kamu yakin bisa mendengar dari sana? Kelihatannya kasurmu lebih empuk—baik, baik! Aku duduk di sana, oke? Kita damai.” Calix tak punya pilihan selain mengangkat kedua tangan, mengisyaratkannya untuk tetap tenang, karena Iveryne benar-benar mengambil gelas itu lagi.“Bicara, atau tidak sama sekali.”“Tanyakan saja.”“Bagaimana aku bisa berada di sini?”“Itu … aku tidak tahu rinciannya, tapi tadi malam aku lihat Reiger dan Guru Ragon bicara, tidak terlalu tahu apa yang mereka diskusikan. Lalu Reiger menghilang, saat kembali, dia membawamu.”“Siapa Guru Ragon?”“Aregorn.” Calix menjawab, sepersekian detik setelahnya, dia menatap Iveryne rumit. “Informasi itu ... membantu?” lanjutnya karena gadis itu memandangnya dengan mata membelelak dan mulut ternganga.Aregorn?KSATRIA AREGORN?!Apa-apaan ini? “Bukankah para Ksatria Aregorn di nyatakan gugur dalam perang berpuluh-puluh tahun lalu?” imbuhnya.“Aku bukan peramal. Tanyakan saja pada guru Ragon kalau ingin tahu. Tapi jangan katakan pada Reiger atau Guru Ragon aku menguping pembicaraan mereka, oke?” Untuk bagian terakhir, dia menganguk acuh.“Di mana, ini? Apa semacam kamp pelatihan?” Iveryne berpikir, apa ibunya yang mengantarkannya ke sini, karena cita-citanya dan Estelle kebetulan punya kenalan seorang Ksatria Aregorn ... terakhir.“Kamp … pelatihan?” Menyadari tatapan penuh tanya mengarah padanya, Iveryne bisa menyimpulkan itu berarti, bukan.“Bukan, eh? Jadi, di mana aku sekarang?”“Suatu tempat di perbatasan. Kami lebih suka menyebutnya, Area Pertahanan. Ada Perpustakaan, Rumah, Kamar Mandi, Tempat Latihan. Lalu tepian danau indah, dan rumah kaca! Untuk keperluan pengobatan sebenarnya. Tapi jika kamu ingin menanam hal lain, bo—”“Oke, cukup! Apa ada sesi perkenalan?”“Untuk?”“Nama dan tempat tinggal, lalu usia—”“Omong kosong. Kamu langsung diterima, jadi, selamat datang di Area Pertahanan, Nona … kamu belum beritahu namamu.”“Ryn.”“Hanya Ryn?”“Hanya itu yang perlu kamu tahu.”“Kenapa?”“Karena kamu tidak lebih dari orang asing.” Calix menatapnya penuh pengkhianatan, apa-apaan ini, orang asing katanya?!Hei! Aku yang menyelamatkan hidupmu!Sejujurnya Reiger, tapi ... aku mengobatimu!Huh! Untung cantik.“Hei, dengar, kita mungkin masih tidak saling mengenal, tapi semua yang diterima dalam lingkup Area Pertahanan adalah keluarga, mengerti?” Calix menunggu hal seperti ini, sebenarnya, karena dia cukup terobsesi menginginkan kakak perempuan.“Satu pertanyaan lain.”“Tanyakan, aku senang mendengar suaramu.” Calix menopang dagu dengan telapak tangan, menatap penuh binar pada gadis itu, walau kadang sulit membaca ekspresi yang dikeluarkannya.Iveryne menatapnya rumit.“Ibuku yang mengantarkanku ke sini?”“Akhh!” Pekikan kesakitan beradu dengan suara gedebuk nyaring. Iveryne tidak sempat menghindar. Dia baru mengambil langkah beberapa meter ketika sepasang mata merah menyala melayang ke arahnya, dan menghantamkannya ke sisi dinding kayu. Sosok setengah asap melayang dengan mata merah bercahaya, fokus pada gadis tidak berdaya yang berusaha bangkit dari posisinya. Sialnya, percuma melawan, tendangan dan pukulan hanya menembus sosok itu. Lagi-lagi sosok itu mengangkatnya, yang entah bagaimana, tidak Iveryne pahami, karena mereka tidak bersentuhan sama sekali dalam hal ini, tapi dia merasa tubuhnya mendadak sangat ringan.Terlempar, lagi! Kali ini menuju meja panjang hingga patah, dan bagian atasnya berhamburan. Iveryne terbatuk-batuk, itu bekas tepung kemarin, ketika mereka selesai membuat kue, tepungnya masih berada di sana, pada tempatnya. Nyeri dan sakit menjalar disekujur tubuhnya. Dengan satu sentakan kecil, Iveryne dengan nafas terengah melempar segenggam tepung, berusaha mengalihka
“Kapan kita kembali ke sini?” “Mustahil. Tidak aman.” Iveryne mendelik tidak percaya, sebelum Reiger mencapai tangannya, dia lebih dulu berlari tergesa-gesa menaiki tangga, menghindari beberapa bagian yang patah dan hancur. Reiger, yang masih tidak mau mereka mati sia-sia dengan sigap menahan Iveryne saat kakinya sampai pada tangga terakhir. Dengan paksa menggendongnya, tapi dia langsung menurunkannya ketika gadis itu memekik keras-keras. Dia meninju wajah Reiger dengan marah. Pinggangnya yang sakit baru saja bertubrukan dengan bahu kokoh yang keras. Sensasinya menusuk. “Sakit, sialan!” hardiknya, tangan kirinya refleks mencengkeram sisi pinggang bagian kiri. “Kita akan dapat yang lebih buruk. Kalau kita masih di sini. Para Dyord akan segera kemari, aku tak bisa melawan semuanya.” “Aku hanya perlu … mengambil pedang.” Mulut Reiger terbuka tanpa sadar, ada beberapa pertanyaan menggenang dalam benaknya. Iveryne menggeser tubuh jangkungnya setelah berkata demikian, bergegas pergi t
Selene senang sekali saat kelahiran adiknya, sinar bulan paling cerah abad itu ketika Selene mendatangi ibunya. Argios, adik Selene mengalami pemikiran lugu, di sembunyikan dari dunia luar membuatnya bersedih setiap saat, dia tidak punya kemampuan apapun, tidak pernah diberatkan tugas, tidak bisa bergaul dengan mudah karena orang tuanya. Hyperion dan Theia sangat-sangat takut dia akan dimanfaatkan kegelapan. Apalagi saat ramalan Pythia, pendeta Apollo di Delphi yang mengatakan bahwa putra bungsu mereka akan menjadi salah satu kegelapan paling bersejarah yang memegang peran paling penting dalam pemusnahan dan pembantaian dalam skala besar-besaran.Setelah satu abad, tidak ada yang berubah, Selene meminta pada Elther—Goeron untuk menempa sebuah pedang dari cahaya bintang murni Asteria, cahaya paling terang dan keberkatan api Hestia. Pedang yang memancarkan cahaya luar biasa itu akhirnya bisa membuat sepintas senyum mengembang pada wajah Argios.Dia berlatih dengan Dewi perang, Athena, k
“Keluarga? Aku?” Iveryne menunjuk dirinya. “Mengapa?” “Karena kamu berada di Area Pertahanan! Kami tidak mudah menerima orang baru, lho. Untukmu pengecualian. Selain Guru Ragon, aku juga mulai menyukaimu!” Iveryne mengernyit jijik, senyum di wajah Calix lama-lama menjadi menggelikan. Lelaki itu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang rapi, terlewat lebar sampai Iveryne bertanya-tanya bagaimana bisa mulutnya tidak robek. “Tidak bisa, aku hanya—” “Hei, tidak peduli siapa kamu, darimana asalmu, atau bagaimana masa lalumu. Sekarang, kita keluarga! Kita akan memperbaiki semuanya bersama-sama!” Iveryne menatapnya setengah kagum, dia menyeka air pada sudut matanya sembari berkata, “Tidak kusangka … “ Dia sesegukan mengatakan akhir kalimatnya, Calix mendekat berniat menepuk-nepuk punggungnya. “Bisa serius, rupanya.” Calix menghentikan langkah dengan geram. Sementara Iveryne di sisi danau tertawa puas. “Kamu merusak suasana,” ucapnya malas, kembali duduk bersandar di pohon sambil
[Dyord, bayangan iblis, terbuat dari jiwa gelap yang di bunuh. Penyihir memanfaatkan mereka untuk menjadi tameng pelindung tidak terkalahkan. Berasal dari nereka dan mengabdi pada pengeran neraka, Asmodeus. Hanya api suci Dewi Hestia yang bisa mengirimkan mereka kembali, atau api neraka, yang dengan senang hati para Dyord terima]“Hellfire,” gumam Iveryne, pikirannya berkelana tentang nama pedang Reiger. Pria itu pasti membunuh Dyord atau mengetahui sejarahnya, dan begitulah dia terinspirasi nama yang—cukup hebat!Dia duduk di kamar dengan sarang Archer bergoyang, burung hantu itu masih belum sembuh total setelah kejadian dua hari lalu, dan Calix menyarankan mengurungnya tetap dalam Sangkar. Lima hari bersama Reiger dan Calix bukan hal yang buruk. Masakan Calix benar-benar enak, dan buruan Reiger juga tidak pernah mengecewakan. Mereka sepakat akan membicarakan ini dengan Guru Ragon, karena kepulangan beliau besok setelah lima hari berada di Ibukota tanpa memberi kabar. Calix meminjamk
Iveryne mengerang frustasi, percakapan pertamanya dengan Guru Ragon tidak bisa dikatakan baik. Dia melihat pedang perak yang menggantung di pinggang rampingnya dengan indah. Kecewa, marah, kesal. Iveryne belum pernah merasa tidak berguna seperti ini dalam hidupnya. Dia bukan ksatria dan tidak punya mana sempurna dalam dirinya karena baru berusia tujuh belas tahun, dan sekarang dia kehilangan seluruh keluarga di bawah hidungnya sendiri. Keluarga barunya memang baik dan menerimanya, kecuali Reiger, terlepas dari entah sudah sifatnya begitu sejak awal atau bagaimana. Dia memasuki rumahnya, menyapu lagi kenangan terakhir sebelum benar-benar pergi. Dia nekat berjalan berpuluh-puluh kilometer—tidak sejauh itu, hanya saja Iveryne suka melebih-lebihkan karena kakinya terasa kebas. Dia tidak menaiki kuda karena Reiger pasti menemukannya, tapi tujuannya benar-benar mudah ditebak. Ransel kulit hitam tergantung pada dinding kamarnya—yang membuat Iveryne merasa janggal karena kamarnya kelihatan
“Kamu benar!”“Aku harus siap ke depannya!” Iveryne tidak main-main dengan ucapannya waktu itu. Reiger di buat kaget dan Calix, tidak bisa menahan mulutnya untuk menganga lebar. Gadis itu melewati batas kegigihan tertinggi, keinginannya untuk menguasai seni pedang membuat decak kagum tersendiri dari Guru Ragon. Kesehariannya tidak lagi di habiskan dengan bercanda, meski kadang Calix mengajaknya bercanda karena terlalu serius. Pagi dihabiskan untuk lari pagi, lalu tengah hari dengan latihan fisik, dan sore untuk latihan seni pedang. Iveryne butuh menghabiskan satu tahun lagi di akademi untuk mempelajari hal itu, dan sekarang, dia mendapat dari keluarga barunya, Ksatria Aregorn itu sendiri. Jika dulu Iveryne berani mengatakan bersedia melakukan apapun untuk jadi murid Ksatria Aregorn. Sekarang hatinya mempertanyakan itu, kehilangan keluarga untuk mencapai tujuan bukan sesuatu yang dia inginkan! Jika harganya semahal ini, Iveryne tidak akan melakukannya. Iveryne sering mengasah pedang
Kediaman Guru Ragon agak sepi, beliau sedang sakit, di sisi kanan kamarnya ada Ruang Kesehatan yang bersebelahan dengan Kandang Kuda. Lalu di sisi kirinya adalah Ruang Senjata, bersebelahan Kamar Iveryne. Jadi ketika terdengar panggilan Calix di seberang sana menginterupsi di malam yang sunyi, dia refleks mendongak heran.“Guru memanggilmu,” ujarnya, bertumpu pada kedua lutut.“Apa aku membuat kesalahan?” Calix mengendikkan bahunya acuh. Biasanya Guru Ragon tidak pernah memanggilnya secara pribadi begini, selalu ada perantara, entah itu Reiger yang mengajak latihan, lalu bertemu di Ruang Latihan, hanya di situlah biasanya mereka bertemu.Mungkin karena sedang sakit … Iveryne mengangkat ibu jari tanda setuju, berbelok menuju Kediaman Sang Guru. Dia belum pernah ke situ sebelumnya, bahkan Calix yang notabenenya lebih lama darinya juga sama. Hanya Reiger seorang yang sering, mereka menduga dia melaporkan alasan kuatnya yang berhubungan dengan kepentingan berkuda malam-malam.Suara batuk