Izinkan Suamimu Menikah Lagi
Bab 5.
Kami sudah duduk melingkar di meja makan. Dan Mas Fathan pun sudah kembali. Entah dari mana.
Aku terus menatap Nunik yang sedang mengambil makanan untuk anaknya. Seandainya, dia bukan calon orang ketiga dalam rumah tangga kami, bisa dipastikan aku akan bersahabat dengannya. Dia wanita kuat dan hebat yang sanggup mengemban amanah menjaga anak berkebutuhan khusus. Sayangnya, rasa simpati itu memudar ketika mendengar dia siap menjadi maduku.
"Fathan itu sangat suka sambal hati ampela selain tumis cumi cabe hijau." Ibu menatap Nunik yang sudah selesai menyiapkan makanan untuk anaknya.
Wanita berkerudung merah itu menatap ibu dengan serius.
"Benarkah, Bu? Berarti sama seleranya dengan Risma. Itu artinya ...." Nunik menghentikan ucapannya ketika ia melirik ke arahku. Lalu, ia senyum-senyum sendiri. Entah apa yang dipikirkan?
"Namanya juga …." Ibu segera menutup mulut saat Mas Fathan melotot ke arah ibunya.
"Ibu dan Mbak Nunik mau ngomong apa? Kenapa tidak diteruskan?" Aku yang sejak tadi hanya menjadi pengamat kini ikut bersuara.
Ibu dan anaknya saling pandang. Begitu pun dengan Nunik yang menghentikan pergerakan tangannya yang hendak menyendok nasi. Kenapa mereka? Firasatku mengatakan mereka sedang mengaburkan hal besar yang tidak aku ketahui.
"Sayang. Kita mulai makan ya! Aku sudah lapar." Mas Fathan segera mengambil piring di depannya yang sudah kuisi nasi dan lauk.
"Ya, Nabila. Kita makan saja. Lupakan ucapan Ibu yang tidak penting sama sekali." Ibu mertua ikut menimpali. Senyum tipis dia persembahan untukku. Aku mengangguk meskipun hati ini bertanya-tanya.
Piringku memang sudah terisi dengan sedikit nasi dan lauk pauk. Tapi, aku tidak berselera untuk makan malam ini. Walaupun begitu, aku pun tak beranjak dari tempat duduk. Ingin melihat bagaimana mereka semua bersandiwara di hadapanku.
Aku ingin mengabaikan ucapan Ibu dan Nunik yang sengaja mereka gantung, tapi tidak bisa. Aku yakin apa yang mau diucapkan itu justru sesuatu yang penting atau bahkan bersifat rahasia. Buktinya Mas Fathan sampai melotot ke arah Ibu. Tapi rahasia apa? Itu yang mengganggu pikiranku.
Nasi dan lauk yang ada di atas piring hanya kuaduk-aduk. Tanpa ingin menyuapkan ke dalam mulut. Ucapan dua wanita itu cukup mengganggu pikiran. Hingga lapar ini hilang dengan sendirinya.
"Mbak Nabila nggak makan?" Aku mendongak, menatap Nunik yang sedang memandangku.
"Tidak selera makan." Hanya itu kata yang meluncur dari bibir ini.
"Kenapa, Sayang? Nggak enak makanannya?" Mas Fathan yang telah selesai makan mengelus tanganku dengan lembut. Aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin aku jujur padanya. Toh, dia dan ibunya pun sama saja.
"Tadi aku merasa lapar, tapi entah mengapa mendadak hilang selera." Hanya itu alasan yang dapat aku kemukakan.
"Kamu sakit?" Mas Fathan meletakkan punggung tangannya di atas keningku. Aku tersenyum tipis. Dia kira aku sakit betulan apa?
"Nanti kalau lapar makan ya?" pinta Mas Fathan. Aku mengangguk. Lalu piring di depanku pun ditariknya.
"Biar Mas habiskan. Kasihan makanannya hanya buat mainan." Lagi-lagi aku mengangguk.
Nunik mengernyitkan kening saat menatap mas Fathan. Entah apa yang membuatnya heran?
"Kok Mas Fathan mau-maunya sih menghabiskan makanannya Mbak Nabila. Kata bapakku itu tidak baik. Istrinya bisa ngelunjak nantinya." Ucapan Nunik sukses membuatku mengerutkan dahi.
"Coba tanya ke Ibu atau Mas Fathan. Pernah aku ngelunjak selama delapan tahun ini? Kalau dasarnya istri ngelunjak, ya, ngelunjak aja tanpa suami memakan makanan istrinya. Tolong jangan jadi provokator di rumah ini." Aku kira kata-kata itu cukuplah untuk membungkam mulut jahilnya Nunik.
Kulirik Mas Fathan yang asyik mengunyah makanannya.
Perempuan bernama Nunik itu pun terdiam. Tapi, bibirnya meruncing. Wajahnya memerah. Entah malu atau marah? Siapa suruh siapa nyinyir.
"Ayo dilanjutkan lagi makannya, Nik." Ibu mengelus pundak calon menantu keduanya itu. Wanita satu anak itu pun mengangguk. Lalu, kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Sebenarnya, apa yang dikatakan Nunik ada benarnya, Nabila. Tidak baik suami memakan makanan sisa istrinya. Bisa ngelunjak nantinya." Suara Ibu yang lembut mampu membuat Nunik tersenyum. Mungkin dia merasa dibela.
"Apa menurut Ibu, selama ini aku ngelunjak pada suami? Delapan tahun aku mengabdi pada Ibu dan Mas Fathan. Pernah aku membantah kemauan kalian? Bahkan, aku rela meninggalkan karir yang sedang bagus-bagusnya demi menemani Ibu tinggal di sini. Lalu, di mana letak ngelunjaknya, Bu? Padahal, Mas Fathan memakan makanan sisaku pun bukan baru kali ini. Tapi, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya." Kutatap satu per satu wajah yang ada di depan meja makan.
Semua terdiam. Bibir Ibu pun terkatup rapat.
Dadaku naik turun sebab emosi di dalamnya. Segera kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya berharap sesaknya di dalam sini segera berkurang.
Aku yang sudah dikuasai emosi tidak lagi peduli siapa yang dihadapi. Dulu, aku akan berusaha keras menekan rasa saat ada ketidakcocokan dengan Ibu. Tapi, saat ini aku sudah tidak ingin lagi terlihat menurut. Ibu lah yang merubahku menjadi begini. Seandainya saja Ibu tidak menghadirkan calon madu, maka aku pastikan akan tetap sendiko dawuh.
Kuteguk satu gelas air putih yang ada di hadapan hingga tandas.
"Segitunya aku berkorban untuk keluarga ini, tapi tidak ada penghargaan apapun. Bahkan, Ibu dengan tega memintaku untuk mengizinkan Mas Fathan menikah lagi. Padahal, belum tentu anak Ibu itu bisa menghamili istri keduanya setelah kawin lagi." Suaraku meninggi.
Sorot mata tajamku mengarah pada Ibu, lalu berganti pada Nunik.
Wanita itu tiba-tiba terbatuk hingga tersedak. Lekas Ibu menyodorkan segelas air putih untuknya.
Aku hanya tersenyum tipis saat melihatnya kepayahan.
"Mbak. Aku minta maaf kalau kata-kataku menyulut emosi Mbak Nabila." Nunik kembali bersuara setelah dirinya membaik.
Aku terdiam. Tidak ingin merespon ucapannya.
"Tapi, kalau boleh ngasih masukan, ya, Mbak. Janganlah diungkit-ungkit kebaikan kita pada orang lain. Nanti pahalanya luntur lho."
Gelas dalam genggaman segera kuletakkan di atas meja. Kutatap nyalang wanita yang merupakan calon madu hitamku itu.
"Masalah pahala itu biar menjadi urusanku dengan Tuhan. Di sini aku bukan mau mengungkit, tapi mau mengingatkan kapan aku ngelunjak? Sementara, sepanjang pernikahan justru pengorbanan yang kulakukan untuk keluarga ini."
Emosi yang sudah mulai mereda kembali tersulut. Sebenarnya, tidak salah apa yang dikatakan Nunik. Tidak seharusnya aku mengungkit tentang kebaikan yang pernah dilakukan. Tapi, egoku tidak mau dikalahkan. Aku tidak mau dilihat lemah oleh Nunik dan Ibu. Agar mereka tidak bisa menginjak-injak harga diriku.
Segera, kutinggalkan meja makan dengan penuh emosi. Langkah kaki kubawa ke kamar. Di sana aku ingin menenangkan diri.
***
"Nabila. Ibu mau bicara, Nak. Keluarlah!" Suara Ibu beriringan dengan ketukan pintu di kamarku.
Apa yang mau mereka bicarakan. Apa Ibu masih berniat membahas tentang pernikahan kedua Mas Fathan, setelah aku marah besar seperti tadi? Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Aku pun sudah menyiapkan persyaratan yang akan membuat kalian semua berpikir ulang!
Izinkan Suamimu Menikah LagiBab 6Dengan enggan aku membuka pintu kamar. Wajah sumringah Ibu muncul di hadapan. Apa yang membuatnya tampak bahagia? Apa mereka sudah membahas tentang hari pernikahan itu? "Ibu mau minta tolong sama kamu, Nak. Tolong siapkan kamar untuk Nunik dan anaknya, Sayang." Tanpa rasa bersalah Ibu ngomong demikian. Nunik mau nginep? Makin ngelunjak kan? Memangnya di sini ada kamar berapa? Memangnya aku akan mengizinkan? Tidak! Dulu, apa pun yang diperintahkan oleh Ibu aku akan menurutinya. Tapi, kalau sekarang. Jangan harap. Sudah saatnya aku menunjukan kekuasaan."Nunik mau menginap di sini, Bu?" Tatapan tajamku mengarah pada iris berwarna hitam milik Ibu. Ibu mengangguk ragu-ragu."Bu. Di sini hanya ada dua kamar. Apa Ibu bersedia satu kasur dengan Nunik dan anaknya?" Ibu menggelengkan kepala.Aku pun sudah menduga jawabannya. Ibu pasti menolak. Sebab di kamar Ibu ranjangnya kecil. Sesuai keinginananya waktu itu."Lalu, Nunik suruh tidur di mana? Kan di sini
Izinkan Suamimu Menikah Lagi Bab 7 Mas Fathan pulang selang tak berapa lama setelah kutelepon. Terdengar deru motornya. Namun, aku tidak berniat menyambutnya seperti biasa. Biarlah, toh sebentar lagi dia akan menikah. Dan aku akan membiasakan tanpa dirinya."Nabila di mana, Bu?" Dari balik pintu kamar, kudengar suara Mas Fathan yang serak. Apa yang terjadi dengannya? Dari mana saja dia? "Istrimu ada di kamar. Than, jangan lupa nanti ke luar lagi. Kita harus merembukkan segala sesuatunya saat ini. Tadi istrimu juga sudah setuju." Suara Ibu terdengar jelas. Semangat sekali ibu mertua hendak menjodohkan Mas Fathan dengan Nunik. Tidak kudengar jawaban dari Mas Fathan.Derap langkah Mas Fathan semakin dekat. Tak lama kemudian kenop pintu diputarnya. Dengan wajah kusut dan langkah gontai mas Fathan masuk ke kamar.Dia menatapku sejenak sembari menutup pintu kembali. Aku yang sedang duduk di bibir ranjang menyambutnya dengan seulas senyum."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?" Mas Fathan
Izinkan Suamimu Menikah LagiBab 8Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Bu RT yang merangkap sahabatku pun sudah duduk di antara kami. Awalnya, Ibu kaget serta bingung saat melihat kedatangan Bu RT malam-malam begini. Namun, aku acuh terhadap reaksi mertua. "Aku sengaja mengumpulkan kalian di sini sebab ingin menyampaikan sesuatu." Semua mata menatapku dengan seksama. Segera, kubetulkan posisi duduk dengan tegak lurus."Untuk apa ya, Mbak kita dikumpulkan? Kalau untuk membahas pernikahan kenapa harus ada orang lain di sini?" Lihatlah calon adik maduku itu, perempuan dengan tingkat percaya diri yang tinggi sekali. Dia pikir aku mau ikut campur tentang teknik pernikahannya. Ogah! "Beliau bukan orang lain. Namun, Bu RT. Aku sengaja mengundangnya untuk menjadi saksi atas perjanjian kita." Bu RT— Asyila mengangguk saat mata Nunik menatapnya lekat."Perjanjian?" tanya Ibu dan Nunik secara bersamaan. Aku mengangguk dengan senyum penuh kemenangan.Lalu, kukeluarkan kertas putih dari saku
Izinkan Suamimu Menikah Lagi Bab 9"Tidak! Ibu tidak mau kalian menikah secara siri. Itu tidak adil untukmu, Nunik. Ibu mau kamu menikah dengan Fathan secara resmi di mata negara. Agar kamu memiliki hak yang sama dengan Nabila." Napas Ibu terengah-engah. Emosi sedang menguasai dirinya. Semua terdiam saat satu persatu wajah kami ditatap tajam oleh Ibu.Aku kembali membetulkan posisi duduk. Kali ini kaki kanan kusilangkan. Lalu, kedua tangan kulipat di depan dada. Saat ini aku hanya ingin menjadi penonton dari mereka."Tapi, Mbak Nabila tidak mau membuat surat izin poligami kalau kita tidak mau menandatangani surat perjanjian itu, Bu." Nunik merajuk. Suaranya dibuat semanja mungkin. Tatapannya diarahkan kepadaku. Kubalas dengan senyum meremehkan. "Kamu tenang saja. Nabila akan menjadi urusan Ibu." Bu Saropah berusaha menyakinkan calon menantunya. Dengan penuh percaya diri Nunik mengangguk, tanda setuju. Dia pikir gampang menaklukkan aku? Tidak semudah itu Marimar!Aku masih diam. Ing
Izinkan Suamimu Menikah LagiBab 10Hatiku hancur kembali setelah mendengar kabar dari Mas Fathan. Tanpa sadar air mataku pun menetes membasahi pipi. Namun, aku tidak boleh terlalu sedih di sini. Aku harus segera ke rumah sakit. Suamiku butuh dukunganku. Kamu harus kuat, Mas! Tunggu aku, Sayang.Tidak membuang waktu lama, aku lekas Mengganti baju. Tidak mungkin ke rumah sakit dengan mengenakan piyama.Segera, kuambil tas cangklong dari lemari kaca. Lalu, segala keperluan administrasi rumah sakit pun segera kumasukkan ke dalamnya. Tidak lupa uang dan ATM. "Mau ke mana kamu, Nabila?" Suara Ibu menghentikan langkahku. Kutatap sekilas Bu Saropah yang sedang memandangku penuh selidik. Dinilainya penampilanku dari ujung kepala hingga kaki. Aku mengatur napas sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Ibu."Mbak, mau ke mana malam-malam begini? Ingat, seorang wanita itu tidak baik keluar tanpa mahramnya. Sementara, Mas Fathan tidak ada di rumah." Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ibu
Izinkan Suamimu Menikah Lagi Bab 11"Mbak, istrinya Mas Fathan?" Suara pria itu membuatku menoleh. Dari arah belakang terlihat seorang perawat laki-laki datang menghampiri aku yang sedang mengurus administrasi suami. Aku memicingkan mata. Berusaha mengingat siapa laki-laki berseragam putih tersebut. Tapi, nihil. Otakku tidak mampu mengenalinya."Iya, saya sendiri. Mas-nya siapa ya?" Aku masih berusaha mengingat-ingat."Saya orang yang menemukan Mas Fathan, Mbak. Maaf tadi dompetnya sempat saya buka untuk melihat KTPnya. Ini saya mau mengembalikan barang-barang beliau yang saya temukan." Pria muda tersebut menyerahkan dompet, handphone serta kontak motor milik suamiku."Oh … terima kasih banyak ya, Mas. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan suami saya kalau tidak ada Mas-nya." Aku menangkup kedua tangan di depan dada setelah memasukkan barang-barang milik mas Fathan ke dalam tas cangklongku."Itu sudah menjadi kewajiban saya, Mbak. Bukankah sesama manusia arus tolong menolong." Dia
Izinkan Suamimu Menikah Lagi Bab 12Bu Saropah masih berlutut di hadapanku. Saat ini aku hanya bisa memandangi dengan nanar. Ibu sebegitu inginnya aku memberikan izin Mas Fathan untuk menikah lagi. Aku jadi penasaran dengan wanita yang bernama Nunik yang telah berhasil membelenggu dan menawan hati Ibu, hingga perempuan yang dulu sangat menyayangi aku rela melakukan menjatuhkan harga dirinya di hadapanku. Secara fisik, Nunik jauh berada di bawahku. Kalau boleh sombong, aku menang banyak ke mana-mana. Tapi, wajahnya yang biasa itu mampu membuatku tersingkir dari hati Bu Saropah, mertua yang selama delapan tahun hidup bersamaku.Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya agar sesaknya dada ini bisa berkurang. Kutekan emosi sekuat-kuatnya di dalam sini agar tidak meledak. Kurapalkan istighfar puluhan kali di dalam hati agar diri ini bisa tentang."Baik, Bu. Kalau memang kepergianku ini bisa membuat Ibu bahagia akan kulakukan itu. Tapi, mohon bersabar hingga Mas Fathan membuka mata." Aku menata
Izinkan Suamimu Menikah LagiBab 13POV Author"Mbak. Kok sudah pulang? Katanya mau nungguin Mas Fathan? Kenapa berubah pikiran?" Nabila yang baru hendak menginjakkan kaki ke dalam rumah sudah dicerca pertanyaan oleh Nunik."Bukankah ini yang kamu mau? Aku pulang kamu datang menunggu Mas Fathan?" Nabila menatap Nunik sekilas sebelum akhirnya berjalan dan menyenggol pundak perempuan yang dinginkan mertuanya tersebut Nabila berlalu masuk ke dalam kamarnya. Rasa kantuk sudah tidak dapat ditoleransi lagi setelah semalaman tidak memejamkan mata.Ditabrak Nabila membuat Nunik terkesiap sesaat tapi sejurus kemudian ibunya Risma tersebut mengembangkan senyumnya. "Benarkah apa yang dia bilang? Aku memiliki kesempatan untuk menunggu Mas Fathan? Yes! Akhirnya perempuan itu pengertian juga. Oke, aku datang Mas. Tunggu aku. Biarlah istri tuamu istirahat di rumah. Ada aku yang akan menggantikannya." Dengan gembira Nunik menutup pintu. Lalu, dia berjalan dengan riang menuju dapur. Wanita yang se