Share

Simbiosis Mutualisme

Izinkan Suamimu Menikah Lagi

Bab 4

Aku terpaku menatap sosok di depan pintu. Benarkah dia calon maduku? Aku kira yang datang adalah wanita cantik yang agresif atau seseorang yang terlihat berkelas. Dugaanku salah. Di depanku, berdiri seorang wanita dengan wajah dan tampilan yang sederhana. Dia menatapku dengan seulas senyum. Di sampingnya berdiri seorang bocah perempuan down sindrom. Terlihat dari wajahnya — seribu wajah. 

"Assalamualaikum, Mbak Nabila. Kenalkan nama saya Nunik." Suara lembut wanita itu mampu membuatku mengalihkan pandangan. Kujawab salamnya seraya menerima uluran tangan perempuan tersebut. Aku bersalaman dengan kepala penuh tanda tanya. Siapa wanita ini? 

Apa saja yang telah Ibu katakan pada Nunik? Sehinga dia langsung bisa mengetahui namaku. Seharusnya, aku tidak perlu merasa aneh apabila ia mengetahui namaku lebih dahulu, tidak menutup kemungkinan Ibu sudah menceritakan segalanya pada wanita di hadapan. Apa mereka sudah lama saling mengenal dan diam-diam sudah mempersiapkan segala sesuatunya? 

Memikirkan itu dadaku sesak seketika.

"Bu Saropah-nya ada, Mbak?" Nunik kembali menyadarkan aku dari lamunan.

" Ada, Mbak. Mari masuk! Sudah ditunggu oleh Ibu dan Mas Fathan." Kubuka pintu lebar-lebar, lalu mengomandonya masuk ke dalam rumah.

"Silakan duduk dulu, Mbak Nunik." Aku menunjuk ke arah sofa berwarna coklat tua.

Kutinggalkan Nunik dan anaknya di ruang tamu. Kubawa langkah kaki ke arah Mushola yang ada di dalam rumah kami. Ibu dan Mas Fathan masih shalat Magrib. Sementara, aku lagi kedatangan tamu bulanan. Sehingga tidak bisa ikut jamaah bersama mereka.

Dari jarak setengah meter, aku mendengar obrolan Ibu dan anak. Segera, kubawa langkah kaki ke balik tembok. Aku berdiri di sana. Mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Ibu sudah mempersiapkan segala sesuatunya, Fathan. Tugasmu tinggal minta izin pada Nabila." Suara ibu terdengar jelas. 

Ya Allah … jadi diam-diam Ibu sudah mempersiapkan segala sesuatunya? Ya Allah … Ibu tega sekali. Bisa-bisa wanita itu mempersiapkan semuanya tanpa mempedulikan perasaanku. Sampai hati Ibu melakukan semua ini? Padahal, aku sangat mempedulikan segala kebutuhannya.

"Aku tidak begitu yakin Nabila akan memberikan izin untuk menikah lagi, Bu." 

Mas Fathan terdengar pasrah. 

"Begitu sepertinya lebih baik, Than. Ya, lebih baik kamu nurut pada ibumu ini biar semua cepat selesai. Yuk, segera ke ruang tamu. Sepertinya, tadi Nunik sudah datang."

Segitu inginnya Ibu memiliki menantu baru. Tapi, mengapa harus Nunik? Apa keistimewaan wanita itu selain hebat mengurus anak down sindrom? 

 Segera, aku keluar dari persembunyian. Lalu, berjalan seolah-olah baru datang. Kulihat Ibu sedang melipat mukena. Mas Fathan pun masih melepaskan sarungnya. Mereka tidak ada yang menyadari kedatanganku.

"Bu, Mas. Tamunya sudah datang," ucapku dengan wajah datar. Tidak ada senyuman yang menghiasi bibirku. 

"Tuh, kan tamu kita sudah datang." Wajah Ibu terlihat sumringah. Sementara, Mas Fathan tampak biasa saja. Apa yang membuat Mas Fathan tidak antusias dengan kedatangan Nunik? Apa karena wanita itu tidak lebih cantik dari aku? 

Aku berjalan menuju ruang tamu dengan perasaan campur aduk.

"Assalamualaikum, Mas, Bu." Nunik menyambut kedatangan Ibu dan Mas Fathan. Lalu, wanita itu menyalami Ibu, mereka pun berpelukan setelahnya. Dua wanita beda generasi itu sepertinya sudah sangat akrab.

Kenapa hatiku sakit melihat pemandangan ini. Wanita itu memang tidak cantik, tapi mampu membuatku cemburu. Belum menjadi maduku saja sudah berhasil merebut hati Ibu. Bagaimana jika Mas Fathan dan Nunik sudah sah dalam ikatan perkawinan? Sudah pasti aku tersingkirkan. 

"Mas, apa kabar?" Wanita yang umurnya kira-kira sama dengan aku itu menegur Mas Fathan dengan ramah. 

"Kabar baik. Kenalkan ini Nabila — istriku. Cantikkan?" Mas Fathan yang ada di sebelahku langsung merangkul pundak ini. Aku tersenyum tipis sembari melihat tangan yang berada di atas pundakku. 

Mas Fathan terlihat menghindari Nunik.

"Aku sudah tahu. Ibu sudah banyak cerita tentang Mbak Nabila. Orangnya sangat cantik." Tatapan wanita itu tulus. Tidak ada kebohongan dari sorot matanya.

"Masya Allah … Mbak juga cantik. Oh ya, saya masuk ke dalam dulu, ya. Mau menyiapkan makan malam." Seulas senyum kupersembahkan untuk Nunik. Lalu, tanpa melihat ekspresi Ibu atau pun Mas Fathan segera kutinggalkan ruang tamu.

Aku mempersiapkan makan malam dengan kepala yang penuh tanda tanya. Benarkah Nunik calon maduku? 

 Semua menu yang kubeli di rumah makan Pagi-Sore sudah kutuang semua ke dalam piring. Tumis cumi cabe hijau, sambal hati ampela, cah kangkung dan juga ada peda seblok pesananku.

Semua piring telah kusiapkan di atas meja. Setelah memastikan semuanya siap, aku kembali ke ruang tamu. Hendak memanggil mereka.

Segera kuhentikan langkah kaki ini di ruang tengah saat samar-samar kudengar obrolan Ibu dengan Nunik di ruang tamu.

"Ibu senang kamu sudah kau datang ke sini, Nunik. Artinya kamu sudah siap dengan pernikahan itu. Dan setelah makan malam nanti kita bahas masalah ini dengan Nabila."

Ya Allah … pernikahan Mas Fathan semakin dekat. Dan kenapa semua terasa mendadak begini. Ya Rabb ... kuatkan hati hamba-MU ini. Aku bersandar di tembok. Tubuhku lunglai seketika. Hatiku benar-benar hancur mendengar ucapan Ibu barusan. Aku benar-benar tidak menyangka Ibu begitu tega terhadapku. Padahal, delapan tahun aku mengabdikan diri padanya. Bahkan, aku rela meninggalkan karir yang sedang bagus-bagusnya demi menemani beliau. Tapi, begini balasannya. 

"Lebih cepat lebih bagus, Bu. Risma butuh sosok seorang Ayah. Dan Ibu pun butuh seorang cucu. Kita simbiosis mutualisme lah, Bu." Selanjutnya mereka terkekeh bersama.

Ya Allah … mereka bahagia di atas penderitaanku. Baiklah, Lo jual gua borong. Kalau aku tidak bisa menghentikan pernikahan itu, sebaiknya aku membuat perjanjian hitam di atas putih. 

Aku kira Nunik adalah wanita yang peka sehingga tidak tega menyakiti perempuan lain. Tapi, nyatanya perkiraanku salah. Dengan terang-terangan wanita itu akan menikahi suamiku. Awalnya aku bersimpati padanya, sebab dia menjadi perempuan hebat dengan anak down sindrom. Tapi, simpati itu kini berubah menjadi rasa tidak suka karena dengan terang-terangan siap menjadi maduku. 

Sebisa mungkin aku mengumpulkan serpihan kekuatan. Sehingga benar-benar membentuk kekuatan penuh. Aku harus bangkit. Tidak boleh kalah dan lemah. Akulah ratu di rumah ini. Siapa pun yang masuk ke dalamnya harus tunduk patuh dengan peraturan yang aku buat. Lekas, kuketik pesan untuk sahabat dekatku yang sekaligus merangkap sebagai Bu RT. Kuminta wanita itu untuk datang ke rumah ini. Lihat, apa yang akan aku lakukan untukmu, Nunik! 

Segera, aku keluar dari tempat persembunyian. Kulanjutkan langkah kaki menuju ruang tamu. Lagi-lagi hatiku dibuat ngilu oleh mereka. Ibu dan anaknya Nunik terlihat sangat akrab. Seolah mereka sudah cukup lama mengenal. Keduanya bisa tertawa lepas saat bercanda yang menurutku hal remeh.

Apa Ibu memang sudah sering bertemu dengan mereka? Tapi, kapan? Ah, aku lupa kan Ibu memang sering bepergian sendiri. 

"Yuk, kita makan malam dulu! Oh ya, Mas Fathan ke mana?" Kutatap Ibu dan Nunik secara bergantian. Namun, keduanya hanya bisa mengedikkan bahu. 

Kenapa Mas Fathan menghilang? Apa karena dia benar-benar tidak ingin bertemu Nunik? 

Baiklah, Bu, Nunik. Silakan kalian merasa happy saat ini. Tapi, lihat apa yang akan terjadi setelah kita makan malam nanti. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
klu pernikahan itu terjadi kamu g akan pernah jadi ratu lagi. jgn sok2an mau membalas perbuatan mereka. kakau kamu dipoligami kamu pantas jd babu mereka. udah dungu,banyak bacot tukang drama lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status