Share

Bab 4 MULAI ADA HILAL UNTUK SEMANGAT

Byuur!

Satu gelas air mendarat di wajahku, alangkah aku terkejut saat kulihat Emak sudah siap dengan tangan memegang gelas yang masih berisi air setengahnya lagi.

"Maaf Dian, Emak sudah lancang mengguyur dengan air ini, lantaran kamu susah sekali di bangunkan, jadi Emak terpaksa ambil air untuk menyemburkan pada mukamu," papar Emak penuh permohonan.

Entah disengaja atau tidak, yang jelas memang aku kalau di bangunkan tidur suka susah dari dulu juga, pantas saja Mas Rendi waktu pertama kali menikah sering marah-marah tak jelas.

"Tidak apa Mak," kataku pasrah sambil mengelap wajah dengan selimut yang saat ini ku pakai.

"Emak minta tolong kamu hubungi Mang Odang, Emak mau ngojek. Kaki Emak pegal-pegal sekali Dian," ungkap Mak Jamilah sambil memijat kakinya.

Aku terharu saat mendengar keluh kesah nenek tua itu, pasti kakinya sudah mulai lemah karena dimakan usia, makannya jadi pegal-pegal seperti itu.

"Baik Mak, aku Whatsap dulu ya," kataku sambil mengutak-ngatik benda pipih yang selalu menemaniku sepanjang hari.

Mak Jamilah duduk di tepi ranjang, menunggu balasan dari Mang Odang.

Ku tatap postur tubuh yang telah keriput dimakan usia itu, kasihan sekali Emak, dia harus mencari pundi rupiah seorang diri, di saat nenek seusianya telah beristirahat, tapi Emak masih berusaha banting tulang cari uang.

Terpikir dengan badanku yang sehat serta kuat ini. Ucapan Alina benar sampai kapan aku terus begini. Bagaimana mau ada kemajuan kalau hanya tidur, duduk sambil melamun memikirkan suamiku yang jelas telah tiada.

Kasihan sekali Emak. Baiklah mulai dari sekarang aku akan coba membantunya dengan cara kerja apapun.

"Mak kalau Mak sedang tidak enak badan, lebih baik Mak libur aja dulu. Suara Emak juga serak gitu, mungkin Emak terkena flu," ujarku.

"Mak gak papa Dian, Emak kuat kok. Mak sehat, tuh lihat tubuh Emak masih sehat begini," jawab Emak sambil melenggak lenggokan tubuhnya yang sudah kurus kerempeng.

Teriris hati ini, mungkin tubuhnya sudah terlalu kelelahan, ditambah melihatku yang selalu saja bersedih membuatnya menjadi menambah beban pikiran.

Astagfirullah haladzim, apa yang aku lakukan ini telah salah. Kini aku akan lebih bersemangat untuk hidup.

"Dian gimana Mang Odang? Apa dia sudah membalas pesanmu?"

"Sudah Mak, bentar lagi dia kesini menjemput."

***

Setelah kepergian Emak untuk bekerja, akupun keluar kamar karena perutku yang sudah keroncongan.

Rumah tampak berantakan sekali, biasanya Emak pulang kerja selalu membereskannya. Kasihan sekali, sudah kerja, di rumah pun harus disambut banyak kerjaan. Aku yang masih muda malah terus menerus di kelilingi kesedihan. Betapa bodohnya aku.

Ketika aku membuka tudung saji, yang kulihat hanya ada nasi kotak 1 box.

"Tumben Emak beli nasi kotak untukku, biasanya dia menanak nasi sendiri biar irit," gumamku seraya memakan nasi kotak tersebut dengan lahap.

Kali ini tanganku mulai mengambil cucian piring yang kotor, satu persatu kubersihkan dan di bereskan semua pekerjaan rumah. Setidaknya ketika Emak nanti pulang dia bisa beristirahat dengan tenang.

Ku lap keringat yang menetes di dahi, alangkah lelahnya mengerjakan pekerjaan rumah ini. Pantas saja Emak sering pegal, ternyata aku pun yang masih muda merasa capek tiada tara.

Setelah semua pekerjaan rumah beres, diriku mulai mengambil beras di dalam wadah yang biasanya Emak simpan.

Saat ku cari di tempat biasa, akan tetapi wadah beras itu tak ditemukan.

Badanku terasa lelah, akhirnya aku beristirahat dengan duduk di lantai, tak sengaja melihat wadah beras yang sejak tadi ku cari.

Tangan ini mulai mengambil dan membuka tutup wadah tersebut. Namun, saat ku pandangi dengan gamang isinya telah tiada.

Pantas saja Emak tidak mau berhenti kerja ternyata ini alasannya, sudah tidak ada bekal untuk makan lagi.

Aku semakin terharu dan menyesal saat berlalu dalam kesedihan, sedangkan nenekku kelelahan mencari sesuap nasi. Cucu macam apa aku ini.

Hatiku mulai gundah, harus apa yang kulakukan untuk membantu Emak. Saat aku bersandar di di balik tembok tak sengaja mata ini melirik gerobak cilok peninggalan Mas Rendi.

Mungkin kalau aku perbaiki dan dibersihkan pasti akan bisa dipakai lagi.

Ku tatap gerobak yang telah lama tidak dipakai itu, memang terlihat kumuh dan banyak debu. Betapa banyak kenangan pada gerobak ini.

"Mas, aku pakai gerobak mu ya, semoga aku bisa lebih sukses lagi seperti cita-cita kita dulu," gumamku seraya mengelap dengan air untuk membersihkan debu yang menempel pada gerobak tersebut.

***

"Dian! Dian!," seru Emak yang baru saja pulang, tepatnya jam 5 sore.

Mak Jamilah tergopoh saat melangkah Hendak kerumah.

"Apa sih Mak teriak-teriak?"

"Dian gerobak cilok kenapa bersih sekali. Kamu mau menjualnya? Memangnya siapa yang minat? Pasti yang mau beli yang memandikannya ya?" cerocos Mak Jamilah penuh pertanyaan.

"Enak aja mau di jual!"

"Terus mau kamu apakan?"

"Dian mau jualan Mak, 'kan kata Emak Dian gak boleh berlarut dalam kesedihan Mak, makannya besok Dian mau mulai jualan cilok keliling bantuin Emak," kataku sambil mengukir senyuman.

"Yang bener kamu Dian, kamu tak lagi bermimpi 'kan?"

"Dian bener banget Mak, Dian mau bantu Emak cari duit lagi," kataku meyakinkan.

"Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah kini cucuku sudah bersemangat lagi," ungkap Emak begitu sumringah saat melihat aku yang mulai pulih dari keterpurukan.

Aku memeluk tubuh kurus Emak, wanita paruh baya yang sudah dimakan usia, begitu bahagia seraya bibirnya terus mengukir senyum indah.

'Mak, aku janji senyuman di bibir Emak tidak akan pernah pudar lagi,' batinku seraya masih memeluk wanita tua itu dengan penuh kasih sayang.

"Dian Emak belum beli beras, kamu belikan ya ke warung. Nanti kita mau makan apa?" perintah Mak Jamilah sambil menyodorkan uang berwarna hijau.

"Emak cuma punya uang segini, kamu beli saja 2 kilo ya," ujar Mak Jamilah.

Ku ambil uang berwarna hijau itu, uang itu terlihat jelek yang diambil dari BH emak barusan.

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, "Uang lecek dan lusuh begini emang masih laku Mak?"

"Mak tidak punya uang lagi, hanya itu yang tersisa. Kamu coba saja dulu, kalau misalnya tidak laku, kamu ngutang dulu sana," perintah Mak Jamilah.

"Baik Mak, kalau begitu aku berangkat dulu ya," pamitku seraya pergi keluar rumah.

Sekarang suasana kampung ini sedikit jauh berbeda setelah aku lebih suka mengurung diri.

Tampak lebih indah dari sebelumnya, ditambah pemandangan persawahan yang mulai menguning membuat suasana pemandangan menjadi indah dan bebas dari polusi udara.

Rasanya aku malu sekali ketika orang pada memandangku, mungkin mereka heran denganku yang baru saja keluar rumah. Setidaknya 3 tahun lamanya aku terpuruk dan memilih mengurung diri.

Saat sudah sampai di warung juragan Dingkul, juragan yang amat kaya di kampung ku ini, selain kaya juga Bu Haji Salma sangat sombong dan angkuh. Itupun aku tau dari Emak kalau pulang belanja.

Tatkala aku masuk kedalam warung yang amat besar ini, aku kembali di kejutkan dengan cahaya yang terpancar dari wajah seorang pria muda. Wajahnya begitu tampan juga meneduhkan, bahkan ia juga alim. Kopiah yang melekat di kelapanya menambah ketampanan serta kealimannya.

Degh!

Jantung ini kembali berpacu, dekupannya tak bisa ku kendalikan saat mata ini mulai memandang wajah pria yang kini ku hampiri.

Kalau gak salah itu Paisal, dia adik kelasku waktu SMA, bahkan pernah menembakku waktu kami sama-sama masih sekolah SD, tapi ku tolak cintanya karena dia ingusan membuatku ilfil, pokoknya beda dengan penampilannya sekarang, kini pria itu lebih rapi dan juga manis.

Ahh, tiba-tiba Paisal menatapku saat aku mulai mendekatinya.

Matanya begitu berbinar, senyum yang ia lemparkan kepadaku membuat seluruh tubuh ini gemetar.

Andai sekarang dia menembakku pasti aku sudah jungkir balik di buat olehnya.

"Teh mau beli apa?" Suara itu terkesan merdu.

Mendengar suaranya saja membuat telingaku betah di sini.

"Aku mau beras Sal, 2 kg saja," jawabku sedikit agak malu-malu babi. Eh malu-malu kucing keleus.

Pria itu mengantongi 2 kg beras, lalu memberikannya kepadaku, hingga tangan kamipun bersentuhan, ah dada ini semakin dak-dik-duk saja.

Hampir saja jantungku akan copot di perdaya olehnya, padahal Paisal tak melakukan apa-apa.

"Sal kamu sudah pulang ya?" tanyaku mencoa mengakrabi pria yang saat ini telah berada di hadapanku.

Kebetulan Paisal kuliah di Jakarta, makannya wajahnya terurus dan gak seperti dulu, jangan sampai deh berbalik, aku yang mencintainya.

Mencintai sih boleh, tapi kalau untuk menikah sepertinya aku tidak Sudi lagi, lantaran kejadian kemarin tak bisa ku lupa dan membuat hati ini semakin membekas.

"Kuliah Paisal sudah beres Teh, tinggal nunggu wisuda."

"Oh gitu ya, selamat ya Sal," kataku memberi ucapan selamat sambil merogoh uang yang ku selipkan di saku celana tadi.

Duh aku malu juga kalau sampai Paisal melihat uang pemberian dariku, mana Emak memberikannya uang lecek dan sobek, malah sudah di tambal dengan lakban hitam, mana lakbannya hitam lagi, jadi kesannya makin jelek aja di uang.

Jujur aja aku tak berani memberikannya bisa mampus nih, gimana ya?

Tiba-tiba Bu Salma -ibu dari Paisal datang, bisa semakin runyam kalau uang ini tidak di berikan.

Terpaksa deh uang jelek itu harus ku berikan, tapi di terima gak ya, uangnya sudah tak layak juga. Tapi kalau aku ngutang, sudah pasti aku akan kena sembur. Akhirnya aku bimbang dan hanya garuk-garuk kepala yang amat gatal, kaya monyet yang bingung mau makan buah kelapa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status