Share

Bab 5 GARA-GARA UANG LECEK

Tanganku bergetar memberikan lembaran uang pada pria yang amat tampan itu, kalau saja aku tau bukan dia yang akan muncul di warung ini, pasti aku mencari pinjeman dulu sama tetangga, sekarang tidak ada pilihan lain lagi deh, "Ini uangnya."

Ada rasa takut juga kalau uangnya di tolak karena alasan jelek, sudah pasti aku malu, sudah seperti di tolak cinta rasanya pasti nyeri.

"Terimakasih Teh, apa gak sekalian aja sama nomor Whatsap nya?" goda Paisal.

Untung matanya tidak meneliti uang ku berikan, alhasil aku terbebas dari rasa maluku dan rasa takutku akan di tolak.

"Paisal! Kamu jangan main-main dengan janda! Apalagi janda itu suaminya telah mati," tegur Bu Salma pada Paisal sekaligus menyindirku.

Pantesan kata Emak mulutnya kayak tutup langseng bolong, eh ternyata bukan sekedar tutup langseng tapi sekalian sama tutup panci yang telah jelek.

"Paisal sana pergi kedalam, kalau sudah, ngapain masih ngobrol! Buang-buang waktu saja," gerutu Bu Salma.

Aku pun yang masih terpaku dengan berat hati melangkah, sebab gerutu Bh Salma amat pedas hampir saja dadaku sesat dengan perkataannya.

Yang jelas aku sudah dapat beras 2 kg, dan misteri uang jelek itu sudah tidak berada di tanganku lagi, aku tinggal caw untuk pulang.

"Diandra!" seru Bu Salma mengejutkanku. Langkahku terhenti akibat seruannya yang amat lantang itu.

Aku kembali menoleh dengan pelan ke arah kediaman wanita yang menurutku menakutkan lebih dari nenek lampir dan nenek Samsiah.

"Iya Bu, saya sendiri," jari telunjukku menunjuk ke arahku.

"Kamu gak salah memberikan uang jelek kaya begini hah?! Jangankan uang jelek, orang jelek sekalian saya tolak!" ungkapnya sambil menggiwing selembar uang lecek yang memang dariku.

Aku mengernyitkan dahi sambil menelan saliva dengan susah payah. Ah sialan, misteriku akhirnya terbongkar. Masih untung juga gak ada Paisal disini, kalau ada pria itu, sudah pasti aku 7 hari 7 malam tidak bisa tidur lantaran merasakan malu.

"Kamu mengaku saja! Bahwa uang ini darimu 'kan?!" sungutnya sambil kedua bola matanya ikut membulat.

Tidak ada kata-kata yang bisa ku ungkapkan dan mengelak, selain berbicara jujur apa adanya, "I-iya Bu Salma itu uang dari saya, tapi tadi saja berikan masih bagus, tapi sekarang kenapa malah berubah ya?" tanyaku begitu polos.

"Jangan sok polos kamu! Mana mungkin uang berubah seketika, sudah pasti dari kamunya juga jelek, mana mungkin anak saya yang nukerin!" hardik Bu Salma sambil bola matanya memutar-mutar.

Amit-amit jabang bayi deh, kalau seandainya ia menjadi ibu mertuaku mungkin seluruh dagingku bisa menghilang karena pikiran ini terlalu terguncang dengan ucapan yang dilontarkan ya.

Tiba-tiba sebuah mobil menghampiri kediaman kami, mobil mewah yang masih lengkap dengan plastik yang membungkus mobil itu, sudah pasti itu Juragan Dingkul, Juragan Dingkuk pasti baru selesai pamer.

"Ada apa sih Mimi, kok marah-marah begitu, jangan marah-marah Mulu ah, nanti kerutan lagi, Mimi harus rilex dan pokoknya gak boleh keliatan tua Bangka ya," bujuk Juragan Dingkul ketika melihat istrinya dengan wajah murka.

"Bagaimana aku tidak marah Pi. Lihat ini, dia membeli beras, masa uangnya jelek banget kaya orangnya, udah jelek, kumal dan melarat pula. Gak ada nasib baik-baiknya sama sekali," celoteh Bu Salmah kembali menghina.

"Ya sudah, kalau begitu Mimi masuk saja ke rumah, biar Dian ini Pipi yang uruskan," kata Juragan Dingkul membujuk sang istri yang berbadan gempal.

"Baiklah, pokoknya Pipi urus dia, jangan sampai dia pulang membawa beras dari kita, apalagi kalau Dian belum memberikan uang," tutur Bu Salma sambil melenggang pelan masuk kedalam rumah.

Busyet giliran sama pawangnya dia nurut banget.

Dari pada aku kena amuk juga sama pawangnya, lebih baik aku pasrahkan saja beras ini, biar makan nanti aku puasa saja sama Emak, lagi pula besok Emak gazian.

"Ini Pak Juragan, ku kembalikan beras ini," kataku sambil menyodorkan kantong beras yang saat ini masih ku jingjing.

Juragan Dingkul hanya memperhatikanku secara saksama dilihatnya dari ujung rambut sampai ujung dengkul, kakinya tidak dia lihat sama sekali.

Tatapannya begitu aneh, dengan sorot mata yang begitu genit.

"Kamu tidak usah memberikannya pada saya, kamu bawa saja itu pulang. Tapi pulangnya saya antar pakai mobil mewah ini ya," godanya sambil memperlihatkan mobil baru miliknya.

"Hah! Tidak Pak Juragan, aku mau pulang saja sendiri," tampikku sambil berbalik arah.

"Ayolah tidak usah malu-malu begitu, lagi pula bahaya kalau seorang janda manis sepertimu berjalan kaki sendirian."

"Tidak Pak Juragan rumah saya dekat sekali dari sini, jadi tidak akan bahaya. Maka akan lebih bahaya lagi kalau saya jalan bareng sama Bapak," tampikku.

Aku mencoba menolaknya sebab aku tak ingi di amuk oleh Bu Salma -istrinya yang super kejam itu, udah wajahnya serem bibirnya juga pedas. Pokoknya lebih menakutkan dari genderuwo yang ada di film-film yang sering ditonton di televisi.

Namun juragan tak hilang akan, ia menarik tanganku dan memaksa mendorong tubuhku untuk masuk ke mobil.

Apa-apaan ini seperti penculikan Atau pembegalan janda cantik dan bohay sepertiku.

Ada rasa takut juga, ketika juragan memaksaku untuk menaiki mobilnya, hingga aku susah untuk keluar kembali. Bagaimana ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status