Share

Bab 3 MOVEON ITU GAK NGAMPANG

3 TAHUN BERLALU

POV DIANDRA.

Air mataku pecah ketika aku memandang gerobak cilok yang sering Mas Rendi pakai untuk berjualan cilok keliling. Ada rasa menyesal di benakku ketika saat itu aku tinggalkan dia sendirian. Mungkin kalau aku tak meninggalkannya kala itu, aku akan mati bersama Mas Rendi atau mungkin Mas Rendi akan selamat bersama ku kalau aku tidak meninggalkannya sendirian pada saat itu.

Mas, nyatanya sampai saat ini aku belum bisa melupakanmu, aku terlalu lemah tanpamu. Mas aku merindukanmu, apakah kau disana juga merindukanku.

Rasanya aku ingin secepatnya menyusulmu ke alam sana. Kalau saja bunuh diri itu tidak dosa, maka akan aku lakukan. Kau pergi meninggalkan sejuta luka, kesiapan ku belum sempurna untuk kau tinggalkan begitu saja.

Inilah yang membuatku hampir saja depresi, aku menyesali perkataan ku yang amat egois dan menyebalkan padamu. Ucapan yang keluar dari mulutku ini begitu kasar, kurang sopan bahkan tidak ada rasa hormat pada suami. Aku begitu menyasal Mas, dadaku rasanya sesak tatkala kini aku sadar pria yang menyayangiku dengan segenap jiwa harus pergi secepat ini.

Andai waktu bisa ku ulang, alangkah aku ingin berbakti pada suamiku, aku ingin mengulang semuanya.

"Dian, boleh Emak masuk?" sahut Mak Jamilah dari balik pintu membuyarkan lamunanku.

Aku langsung membuka pintu kamar yang telah tertutup rapat sejak tadi, semua itu ku lakukan agar Mak Jamilah tidak bawel, yang selalu memerintahku untuk makan.

"Ada apa Mak? Buka saja," kataku dengan wajah datar.

"Dian, tidak baik kamu terus berlarut dalam kesedihan, biarkan suamimu tenang di sana Nak, cukup kamu doakan dia, jangan sampai semua itu kamu jadikan beban dalam hidupmu Nak," tangis Mak Jamilah pecah ketika melihat Dian yang masih termenung memandangi gerobak cilok bekas sang suami dari balik jendela kamar.

"Mak, andai Mak tau, melupakan tak semudah membalikan telapak tangan. Bahkan aku sampai saat ini belum bisa melupakan Mas Rendi begitu saja, kisah cinta kami terlalu indah untuk dilupakan, bagiku Mas Rendi adalah nyawaku Mak," ungkapku menumpahkan isi hati ini.

"Tapi Nak, bukan harus begini caranya, kamu masih muda, masih banyak hal yang harus kamu lakukan. Waktumu di setiap menit, setiap detik, bahkan setiap nafasmu keluar itu sangat berharga. Apakah kamu tidak ingin menggunakan semua itu dengan lebih baik lagi."

Mak Jamilah menghampiriku yang masih duduk di tepi ranjang sambil memandangi gerobak yang masih terparkir di halaman.

"Bersandarlah Nak, di pundak Emak," kata Mak Jamilah mempersilahkan pundaknya untuk kepalaku.

"Nak, kamu harus semangat menjalani hidup yang penuh dengan rintangan dan ujian ini, kalau kamu terus begini, termenung tanpa adanya rasa semangat, bagaimana dengan Emak. Apa kamu tidak kasihan pada Emak? Emak sedih Nak, lihat kamu begini. Emak berharap kamu mulai buka lembaran baru lagi ya?" papar Mak Jamilah sambil tangannya mengelus kepalaku.

Sentuhan tangannya yang sudah keriput itu mampu memberiku kenyamanan, hingga aku pun tertidur pulas di bahu Mak Jamilah. Mataku terpejam seketika.

Mungkin semua kata per kata yang diucapkan oleh Mak Jamilah benar, kalau saja aku terus begini berarti aku telah menyia-nyiakan sisa waktuku yang paling berharga.

Maafkan aku Mak telah merepotkanmu selama ini, Maafkan aku juga dengan segala keegoisanku. Aku mencintai Mas Rendi bukan berarti aku harus memikirkan orang yang telah tiada.

Tangis Mak Jamilah semakin luruh saat melihat aku tertidur di sandaran pundaknya.

Mak Jamilah teringat bahwa Alina -sahabatku waktu SMA sudah menunggunya sejak tadi.

Mak Jamilah menyelipkan rambutku pada sela telingaku, sambil membangunkan ku dengan pelan dari sandaran bahunya.

"Nak, ada temanmu kesini, sejak tadi dia ingin bertemu katanya. Kamu temui dia ya, pasti dia rindu terhadapmu."

"Alina Mak?" tebakku.

Tiada sahabat yang paling baik dan selalu menemani saat duka maupun duka selain Alina sahabatku waktu SMA dulu.

Alina sosok wanita cerdik, pintar dan juga dari golongan orang berada, tapi walaupun Alina terlahir dari orang kaya raya dan terpandang di kampungnya tak sedikitpun ada rasa sombong dan angkuh pada wanita itu. Bahkan dia mau berteman denganku, padahal aku hanyalah orang miskin, bahkan hanya sekedar makan saja keluargaku terlalu kepayahan. Apalagi sejak kepergian suamiku untuk selamanya, aku semakin bingung dengan cara apa bisa membantu Emak.

Sejak aku menikah dengan Mas Rendi, aku dan Alina sempat tidak bertemu, lantaran Alina kuliah di dikota, dan kini kuliahnya telah usai. Ia telah kembali ke kampung lagi, walaupun ia telah lulus kuliah tapi tidak ada sikap sombong padanya, dia tetap menjadi wanita yang ramah dan sopan pada siapapun.

Dan kini Alina ke rumahku, pasti untuk mengucapkan bela sungkawa atas kepergian suamiku.

"Silahkan Nak masuk," perintah Mak Jamilah pada Alina yang masih mematung di balik pintu kamar.

"Terimakasih Mak," kata Alina sambil memutar knop pintu kamar.

Aku menoleh ke arah Alina, wanita yang saat ini berada di hadapanku, nasibnya amat beruntung sekali, dia tampak lebih cantik dan putih, rambut panjang terurai rapi.

Alina melemparkan senyuman padaku, akan tetapi bibirku terasa masih berat untuk melakukan hal itu.

"Boleh aku duduk di sampingmu?" tanya Alina.

"Boleh Al, duduklah." Aku mempersilahkan Alina duduk di tepi ranjang bersamaku.

Aku masih fokus terhadap gerobak cilok yang sering Mas Rendi pake untuk jualan cilok, gerobak itu kini terlihat kumuh dan berdebu.

"Katanya suamimu meninggal dulu gara-gara korban tabrak lari ya? Kok bisa sih, mungkin orang itu punya masalah dengan suamimu, atau gimana Dian?" tanya Alina penasaran dengan cerita terjadinya kecelakaan tragis Mas Rendi 3 tahun silam.

"Semuanya gara-gara aku Lin, andaikan aku waktu itu tidak cemburu terhadap Sari dan tidak berlari menyebrang jalan. Mungkin saat ini Mas Rendi masih bersamaku, semuanya salah aku Lin, semuanya aku yang salah, dan akhirnya Mas Rendi tertabrak mobil berwarna merah merona lantaran menyelamatkan diriku. Tapi kalau saja orang yang mempunyai mobil itu bertanggung jawab atas perbuatannya mungkin Mas Rendi akan tertolong, namun nyatanya dia malah kabur begitu saja, meninggalkan suamiku yang terbengkalai lemah," lirih Dian begitu menyesali diri.

"Apa! Mobil warna merah?" Alina terkejut kala aku menyebutkan mobil warna merah.

"Apa kamu tau yang punya mobil itu Al?" tanyaku heran.

Alina terdiam sesaat, saat aku sudah tak sabar menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Ti-tidak Dian, lagipula mobil berwarna merah 'kan banyak di dunia ini," ungkap Alina.

"Aku pikir kamu tau," lirihku datar.

Memang benar ungkapan Kania, mobil berwarna merah di dunia ini banyak. Tapi plat nomornya sampai saat inipun aku masih ingat, dan aku tidak akan pernah melupakan kejadian pada saat itu, kejadian di mana hari-hariku telah dihancurkan olehnya. Dengan berat hati aku harus kehilangan separuh jiwaku.

"Makannya kamu harus sehat, harus semangat untuk hidup Dian, kalau kamu kuat, kamu cari siapa orang yang mempunyai mobil merah itu, lalu kamu balaskan dendammu kepadanya. Jangan biarkan hidupnya tenang di dunia ini, karena kamupun butuh waktu lama untuk memulihkan hatimu yang hancur itu," papar Alina mencoba menyemangati ku, bukan maksudnya untuk menghasut ku ke lobang yang salah, hanya saja agar aku kembali bersemangat.

"Kamu benar Al, aku harus sehat serta harus kuat, aku akan cari dia dimanapun berada, aku akan menghancurkan hidupnya kembali," sahutku sambil kedua tangan mengepal erat disisi.

Aku menghela nafasku dengan pelan. Hatiku terasa tenang saat aku tidak memendamnya dalam hati sendirian.

"Dian, kamu masih ingat 'kan dengan Intan yang tidak bisa bicara itu?" tanya Alina.

Aku hanya menganggukan kepala, "Masih, memangnya kenapa?"

"Dia tidak bisa bicara, tapi dia bisa menjalani hidup di dunia yang penuh derama dan lika-liku ini, walaupun hinaan serta cemoohan menghadang tapi Intan tidak pernah putus asa."

"Lalu? Apa hubungannya?"

"Maksudku apalagi kamu yang normal, hidup sempurna mempunyai organ tubuh yang komplit dan masih kuat dalam melakukan aktivitas, masa iya kamu mau termenung di dalam kamar sambil memikirkan suamimu yang telah pergi? Lihat Mak Jamilah, ia sudah tua, apa kamu tega membiarkan seorang nenek tua mencari nafkah untuk makan kamu yang jelas-jelas masih sehat," tutur Alina memberi motivasi.

Penuturan Alina ada benarnya. Mau sampai kapan aku terus begini, menjalani hidup tanpa arah tujuan.

"Ayolah semangat! Tunjukan pada Mak Jamilah bahwa kamu bisa membahagiakannya," kata Kania memberi semangat.

"Sebenarnya kamu beruntung Dian, kamu mempunyai Mak Jamilah yang menyayangimu lebih dari apapun. Kamu tatap aku." Aku dan Alina saling berpandangan, "Aku memang mempunyai harta banyak, bapakku seorang pengusaha, tapi apa? Dengan berat hati aku harus kehilangan ibu kandungku, dan kini aku tinggal bersama ibu tiriku yang jahat. Tak ada kasih sayang yang tulus yang mereka berikan untukku, mereka hanya fokus dengan adik yang terlahir dari rahim ibu tiriku. Bahkan papahku terkadang lupa bahwa dia mempunyai aku. Dulu aku sempat ingin menjadi kamu, karena apa? Karena kamu mempunyai Mak Jamilah, seorang nenek yang mengurusmu dengan penuh kasih sayang yang tulus. Kamu lebih beruntung dariku Dian," Alina menumpahkan isi hatinya yang paling dalam, wanita itu begitu sendu.

Ternyata bukan hanya aku yang terpuruk di dunia ini tapi Alina pun sama. Ya Allah maafkan aku selama ini menggunakan waktu sama sekali tidak ada gunanya.

Akhirnya aku dan Alina saling berpelukan, kami menumpahkan air mata sama-sama.

Terimakasih sahabat karena mu aku tau arti kehidupan ini, tidak ada hidup yang sempurna di dunia ini. Yang sempurna hanyalah milik Allah SWT.

Kami berdua menangis sejadi-jadinya, saling menumpahkan rasa sakit yang kami pendam. Ternyata berbagi kisah dengan sahabat itu bisa membuat hati merasa tenang dibanding kita memendamnya seorang diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status