Share

Bab 6 MOBIL MERAH

Akhirnya aku pasrah dan duduk manis ku kursi depan, bersebelahan dengan Juragan Dingkul yang penampilannya sudah om-om berkumis baplang dan berkepala botak. Pokoknya serem sekali.

Seiring lajunya mobil dengan kecepatan yang menurutku amat pelan. Pandangan Juragan Dingku terus saja melirik padaku, memang aku merasa tak nyaman dan gelisah. Ada rasa takut dan keringat pun bercucuran membasahi dahi.

"Pak Juragan, bisa gak kalau itu mata liatnya kesonoh. Bukan Lian ke saya terus, nanti kalau nabrak tronton 'kan berabe juga. Mana mobil juragan rusak dan aku bisa mati mendadak, aku tidak mau pokoknya aku gak mau mati sekarang, masih muda ini. Masih banyak cowok-cowok yang menungguku di luar sana," umpatku di sela rasa takutku.

"Neng Dian tenang saja, jangan takut begitu karena mati, 'kan di sebelah Neng Dian ada Abang."

"Ih ogah situ lebih mirip malaikat pencabut nyawa, aye takut banget."

"Masa iya si Neng, Abang mirip malaikat pencabut nyawa, kayaknya lebih mirip Raffi Ahmad deh."

"Busyet Raffi Ahmad dari Hongkong, yang ada mirip Raffi panci bolong," ledekku sambil bergidik geli.

Gak kebayang deh, nanti gimana reaksi warga serta tetangga gue sekampung jika liat gue di dianterin ini juragan botak. Nanti bisa-bisa viral.

"Juragan sampai sini saja nganterinnya ya. Aku ada urusan dulu soalnya mau main kerumah temen aku," alasanku agar juragan Dingkul menurunkanku dari mobilnya.

Aku benar-benar tak nyaman duduk disini rasanya gerah sekali, mana pemandangan di sebelah kaya gunung salak gak ada adem-ademnya yang ada menakutkan.

Yang mau digaet anaknya, lah yang ganjen bapaknya segala, mana udah tua Bangka lagi. Bukannya insyap malah doyan daun muda. Nasib oh nasib mengapa begini, baru saja ditinggal mati sama suami kini aku harus dihadapkan dengan gentong alias juragan Dingkul.

"Ah Neng mah, 'kan Abang mau nganterinnya sampai rumah. Biar sekalian silaturahmi sama Emak. Udah lama kagak ketemu, kalau gak salah ketemu pas lebaran monyet. Eh kok monyet, lebaran tahun kemarin maksudnya."

Aku menghela nafasku yang sudah terasa hampir sesak, di dalam mobil dada tak ini tak hentinya berdebar lantaran takut dengan Juragan Dingkul.

Saat wajahku mulai melihat ke tepi sebelah kiri, tak sengaja ku lihat mobil merah dengan plat nomor yang sama saat mobil itu menabrak suamiku.

Aku tercengang bukan kepalang, apakah aku hanya mimpi, namun ini memang benar adanya.

"Mobil itu! Juragan saya mohon berhenti, disana ada mobil merah," kataku dengan penuh permohonan agar Juragan Dingkul mau berhenti.

Akan tetapi setelah aku bermohon juragan Dingkul tak menggubris keinginanku sama sekali, ia ngeyel dan tetap melakukan mobilnya.

"Gue bilang berhenti!" teriakku mengejutkan Juragan Dingkul.

Akhirnya ia mau memberhentikan ku, dan akupun mulai turun dari mobilnya untuk segera menghampiri mobil merah yang tadi kulihat telah terparkir di tepi jalan.

Namun, karena Juragan Dingkul telat, akhirnya aku terkesiap, pria dan wanita itu masuk mobil dan mobil pun melaju kencang.

Kakiku berlari sekencang mungkin dengan harapan aku bisa mengejar mobil merah itu.

Iya mobil merah dan plat no yang sama, mataku melihat jelas semuanya. Tapi ada sedikit heran, wanita yang tadi masuk kedalam mobil merah itu kenapa mirip Alina sahabatku.

Ah dia benar-benar lolos dari kejaran ku, mereka telah jauh dan tidak menggubris sama sekali teriakanku.

Aku berhenti lari mengejar mobil itu, sesaat terlintas dalam pikiran ini membayangkan musibah tragis 3 tahun silam lalu yang menimpa suamiku, dadaku kini terasa lebih sesak, emosiku hampir saja meledak.

Kalau saja aku tau laki-laki yang mengemudinya tadi, pasti aku akan meminta pertanggung jawaban yang sudah diperbuat. Aku akan dimasukan ke dalam jeruji besi.

"Ah sial! Semuanya gara-gara Juragan Dingkul!" gerutuku ketika aku telah kehilangan arah mobil merah itu.

"Ngejar apa sih Neng?" tanya juragan Dingkul.

"Mobil merah yang tadi adalah mobil yang menabrak suami saya dulu juragan," jelaskan dengan dendam membara pada mobil merah itu.

"Kenapa malah diam disini, ayo kita kejar pake mobil saya," celotehnya.

Mengapa tidak terpikirkan olehku, kalau hanya di kejar mengandalkan kaki mana mungkin bisa ke kejar.

Tak berselang lama lagi aku kembali masuk dalam mobil juragan Dingkul. Mau gimana lagi terpaksa aku harus mengejar mobil itu, kalau saja mobil itu tertangkap, aku yakin manusia yang sudah sengaja menabrak suamiku pasti terungkap.

Akhirnya aku dan Juragan Dingkul mengejar mobil merah tadi, walaupun kami sudah ketinggalan jauh semoga saja masih bisa ketemu.

"Itu mobilnya juragan," jariku menunjuk ke arah mobil yang ternyata memang benar.

"Baik, Kania berpegangan saja biar saya akan lebih kencang mengemudi mobilnya."

Saat hampir saja mobil merah sudah terkesiap, tiba-tiba lampu lalu lintas berwarna merah, terpaksa aku harus berhenti.

Ah, ada-ada saja, mobil itu sudah melewati lampu, jadi ia bisa lolos dengan leluasa dari kejaran ku.

"Gimana dong, Neng. Mobil itu sudah tidak ada?" ucap Juragan Dingkul.

"Pak Juragan kita lebih baik pulang saja," celotehku pasrah, kekecewaanku kini menggebu, dan dendam tidak akan pernah bisa terabaikan pada pengendara mobil merah itu.

Aku mengepal tanganku begitu erat disisi dengan emosi yang sudah memuncak, "Walaupun kamu kali ini lolos, aku berjanji suatu saat kamu pasti akan ku dapatkan," gumamku.

Juragan Dingkul memutar balikan arah mobil untuk kembali ke rumahku. Seribu alasan dan semua permohan sudah ku lontarkan agar juragan Dingkul menurunkanku di jalan, tapi apalah daya dia tetap ingin mengantarkan aku sampai rumah.

Saat sudah memasuki kampung ku ku lihat banyak manusia-manusia yang memperhatikan mobil ini, semua pandangan tertuju pada mobil yang sedang berjalan menuju rumahku, siap-siap aku akan jadi bahan gunjingan.

Bahkan ada orang yang mengikuti arah mobil mewah ini, maklum di kampung ku masih kumuh, jadi kalau ada yang bawa mobil mereka sering melihatnya seperti mau nonton konser saja.

"Lololo, kok ada mobil mewah yang datang ke rumah Emak Jamilah. Kira-kira siapa ya?" tanya Bu Saodah pada temannya yang masih melongo tak terkendalikan. Mata mereka tak berkedip sama sekali, bahkan ada juga yang berpose dengan mobil mewah ini, padahal yang punya mobil belum juga turun.

Kini para tetangga silih berdatangan, katanya mau melihat mobil mewah ini, membuat Juragan Dingkul merasa puas, selain ingin pamer dia juga akan dipuji-puji dengan kekayaan yang ia miliki.

Lah terus gimana nasib gue, yang maju kena, mundur kena. Mau turun bagaimana para ibu-ibu tak terkejut melihat gue di dalam mobil, tapi kalau tidak turun nanti bisa-bisa dibawa jalan lagi sama Juragan. Gimana ini.

Emak Jamilah yang sedang menyapu teras depan rumah pun tak kalah melongo dari Ceu Odah.

Ia menghampiri lebih mendekat lagi pada mobil ini.

Juragan ingin segera turun, akan tetapi aku masih menahannya, sebab mentalku belum siap kalau aku 1 mobil sama juragan Dingkul.

"Yakin kamu Nang Dian, mau disini saja bersama saya berduaan. Belum saya apa-apakan saja sudah mau dua-duan sama saya," celetuk Juragan Dingkul, aki-aki peot yang percaya dirinya selangit.

Aku hanya nyengir kuda sambil mikir harus bagaimana.

Mata Emak semakin mendekat sambil mengintip kaca mobil yang berwarna Hitam ini.

Ah Emak apa-apaan sih.

"Emak mobil siapa itu? Mungkin anak Emak sudah pulang dari kota pake mobil mewah," ungkap Ceu Saodah.

"Saya juga tidak tau Dah."

Akhirnya juragan Dingkul membuka pintu mobil untuk keluar.

"Oh juragan Dingkul kesini, ini juragan terkaya di kampung kita," ucap salah satu warga mengunggulkan juragan Dingkul.

Duh, bagaimana nasib saya nanti, pasti semuanya kan rame dan terkejut. Pati Emak juga akan marah-marah. Ah kacau.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status