Share

Bab 7 MAJU KENA MUNDUR KENA

"Juragan semakin hari semakin tampan dan juga kaya saja, memang dia juragan yang palih sempurna di kampung kita, tidak hanya baik dan juga gagah tapi juga ramah suka bagi-bagi uang," celoteh tetanggaku Pak Umar.

Hampir saja kumis baplang juragan Dingkul beralih ke pada Ceu Saodah.

Aku bingung harus melakukan apa, tubuhku masih terkurung di dalam mobil Juragan Dingkul, sedangkan Juragan Dingkul sudah keluar untuk menemui keramayan tetanggaku sama sekalian mau bagi-bagi uang, lantaran banyak sekali yang memujinya.

"Dasar orang aneh, di puji-puji saja langsung di bagi uang, giliran ngutak ke warung gak di perbolehkan. Manusia apa yang seperti itu," gumamku lirih masih berdiam diri di dalam mobil.

Ketika semua tetangga sedang berkumpul karena akan di bagi uang oleh Juragan Dingkul, akhirnya aku punya peluang untuk bisa keluar dari perangkap mobil ini.

Ku buka pintu mobil ini secara perlahan di barengi dengan sehati-hati mungkin, semoga saja mereka tidak ada yang melihatku bahkah tidak ada yang tau bahwa sedari tadi aku berada di dalam mobil juragan Dingkul.

Kakiku mulai mengulur menginjak tanah sambil tubuh ini berjongkok, mulai pelan merangkak sambil mata memandang ke belakang.

Jangan sampai mereka melihatku, pokoknya aku tidak mau jadi bahan kesalah pahaman.

Bruk!

Tiba-tiba saja tubuhku menabrak Ceu Odah yang sedang berdiri di hadapanku.

Ceu Odah melongo sambil membulatkan bola mata, ia begitu terkejut saat melihat tingkahku ini.

"Aku tidak salah melihat, Dian kamu turun dari mobil juragan Dingkul. Apa jangan-jangan kamu selingkuhan juragan Dingkul," seru Ceu Odah begitu lantang membuat tetangga yang sedang sibuk di bagi uang pun kini pusat perhatiannya beralih padaku.

"Haaaaah!" Semua orang terkejut tatkala mendengar seruan Ceu Odah.

"Apa Dian?! Kamu keluar dari mobil juragan Dingkul?" tanya Emak sambil mengerucutkan dahinya.

Aku menepuk jidatku yang terasa pening ini, "Ti-tidak seperti itu ibu-ibu. Semuanya salah paham Mak, aku memang keluar dari mobil Juragan Dingkul tapi hanya sekedar numpang saja," ungkapku menjelaskan.

Ceu Odah melangkah mengelilingi kediamanku sambil menyelidik, matanya terus mendelik sambil memperhatikan tubuhku dengan saksama.

Mampus gue mampus, kalau sudah kena sama Ceu Odah jangan harap bisa selamat, dia pasti akan membuat onar dengan bibirnya yang terus kumat Kamit menceritakan kepada orang lain.

"Diandra ayo masuk kamu jelaskan sama Emak di dalam," Emak menarik tanganku untuk masuk kedalam rumah sambil wajahnya terlihat marah.

"Dian apa yang kamu lakukan dengan Juragan Dingkul tadi? Apa kamu tidak tahu kalau istrinya selalu jahat terhadap wanita yang berani jalan bareng dengan juragan!," gerutu Emak menyelidik.

"Iya Mak aku tau tapi tadi juragan yang maksa aku untuk di antarkan pulang, aku juga sudah berkali-kali maksa, tapi tetap dia ngeyel dan mendorong tubuhku ini masuk kedalam mobil hingga aku susah untuk keluar," jelasku sambil menunduk, aku merasa bersalah pada Emak.

"Dian lain kali kamu tidak usah melakukan itu lagi, apalagi kamu seorang janda Nak, nanti kalau sampai Bu Salma cemburu padamu, akan berakibat fatal," ungkap Emak sambil menghampiriku dan memandang wajahku yang masih menunduk.

Lah BT banget aku masa masalah numpang saja harus fatal seperti ini, lagi pula gak ada hubungan apa, apa lagi melakukan sesuatu. Hanya duduk bareng aja mesti di sidang sama Emak. Emang dasar om-om tua Bangka tuh yang bikin gue jadi kena masalah seperti ini. Mana orang sekampung tau lagi, siap-siap aja gue yang jadi bahan buah bibir.

***

Pagi harinya, aku telah menyiapkan adonan cilok dibantu oleh Emak, semuanya telah ku siapkan dari subuh, rasanya berat banget kalau biasanya bangun siang lalu sekarang harus belajar bangun subuh. Apalagi aku sekarang seorang janda muda, harus segala sendiri dan harus menjadi janda berbakat.

Walaupun janda harus banyak uang juga dong, apalagi banyak yang mengagumi itu sih cita-cita banget. Tapi bukan aki-aki tua Bangka juga.

Semuanya sudah siap ku bereskan di gerobak cilok ku, "Doain Dian ya Mak moga Dian laris manis dagang ciloknya, moga diam bisa bantu Emak buat beli skincare."

"Kok skincare sih Ian, Emak udah keriput. Yang Emak mau hanya beras," usul Emak Jamilah menggerutu.

"Canda Mak, gitu aja ngambek. Ya sudah Mak Dian pamit ya," pamitku sambil mencium tangan yang telah keriput serta kurus kering.

'Semoga Emak sehat selalu dan di panjangkan umur,' batinku seraya mencium tangan keriput itu.

Bismillahirrahmanirrahim tak lupa aku memanjatkan doa terlebih dahulu ketika aku akan melangkahkan kaki sambil mendorong gerobak cilok ini.

Teng! Teng! Teng!

Tak hentinya aku memukul botol untuk menarik perhatian pembeli.

"Cilok, cilok, cilok," Dibarengi dengan teriakan di sepanjang jalan.

"Dian sini?" seru Ceu Odah.

Di sela perjalananku aku di cegat oleh Ceu Odah, ada rasa bahagia juga mungkin Ceu Odah mau membeli cilokku. Apalagi di sana ibu-ibu sedang berkumpul.

"Mau beli Bu? Saya bungkusan ya, mau berapa bungkus?" tanyaku ramah.

"Kamu gak salah ya dagang cilok?! Atau hanya sekedar kedok kamu saja Dian, bukankah kamu sekarang jadi pelakor ya," cela Ceu Odah di tengah-tengah kerumunan ibu-ibu yang lainnya.

"Maaf ya Ceu, maksud Eceu apa? Aye gak ngerti sama sekali, pake acara bawa-bawa pelakor segala, Eceu nuduh saya jadi pelakor gitu!" gerutuku sambil dada naik turun.

"Heh Dian semua orang pada tau dan melihat kalau kamu kemari satu mobil bareng sama juragan Dingkul, orang terkaya di kampung ini, pasti kamu pelet 'kan dia, hingga terpesona dengan janda tengil pedagang cilok kek kamu ini!" cerca Bu Nafsi di saat aku melawan Ceu Odah.

Aku menghembuskan nafasku yang terasa sesak ini, gak ada gunanya ngomong ngejelasin sampai mulut berbusa pun, mereka memang ibu-ibu gaib yang selalu sok tau dan maha benar.

"Kenapa diam saja, takut ya. Makannya kalau jadi janda jangan terlalu murah!" tuduh Ceu Odah menyerang ku kembali.

Mendengar semua itu membuat emosiku naik seketika ke ubun-ubun. Kalau saja cabe tidak mahal pasti sudah ku bungkam tuh mulut pake sambal cilok buatan Emak.

'Sabar dong Diandra sabar, Lo bukan hanya janda ramah tapi Lo juga penyabar. Kalau gue lawan temen-temen ibu rempong ini banyak sedangkan gue hanya sendiri,' batinku bergemuruh seraya tangan terus mengepal erat di sisi. Gigiku ikut menggigit kencang.

Mungkin lebih baik aku pergi dari kerumah orang tak berakal ini. Untuk mencari tempat yang lebih bisa mengerti keadaanku saat ini. Aku mau cari uang bukan cari masalah.

Aku mulai berjalan lagi, dan tak menggubris omongan mereka, terserah mereka mau ngomong apapun yang jelas aku bukan penggoda suami orang.

Akhirnya aku berhenti di tempat yang lumayan rame orang berseliweran juga banyak pedagang juga disini, awalnya sih ada rasa malu dan rasa canggung sekali, tapi mau gimana lagi, aku seorang janda gengs kalau saja tidak mencari nafkah sendiri, tidak akan ada yang menafkahi.

Pokoknya aku tidak suka dengan keadaan ini, nasibku begitu Nurus rasanya. Sudah di tinggal suami sekarang aku harus dagang cilok, gengsi banget ketika para pria muda memandangku sambil ketawa. Pasti mereka menertawakan ku, tapi bodo amat lah, yang terpenting perutku kenyang dan aku bisa bantu Emak nyari uang.

"Semangat, semangat semangat."

Aku mendiamkan roda tepatnya di tepi jalan sambil berjajar dengan pedagang yang lainnya, tempatnya lumayan rame juga disini. Aku duduk sambil menunggu pembeli berdatangan, kalau soal rasa cilok Emak tidak ada bandingannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status