"Juragan semakin hari semakin tampan dan juga kaya saja, memang dia juragan yang palih sempurna di kampung kita, tidak hanya baik dan juga gagah tapi juga ramah suka bagi-bagi uang," celoteh tetanggaku Pak Umar.
Hampir saja kumis baplang juragan Dingkul beralih ke pada Ceu Saodah.Aku bingung harus melakukan apa, tubuhku masih terkurung di dalam mobil Juragan Dingkul, sedangkan Juragan Dingkul sudah keluar untuk menemui keramayan tetanggaku sama sekalian mau bagi-bagi uang, lantaran banyak sekali yang memujinya."Dasar orang aneh, di puji-puji saja langsung di bagi uang, giliran ngutak ke warung gak di perbolehkan. Manusia apa yang seperti itu," gumamku lirih masih berdiam diri di dalam mobil.Ketika semua tetangga sedang berkumpul karena akan di bagi uang oleh Juragan Dingkul, akhirnya aku punya peluang untuk bisa keluar dari perangkap mobil ini.Ku buka pintu mobil ini secara perlahan di barengi dengan sehati-hati mungkin, semoga saja mereka tidak ada yang melihatku bahkah tidak ada yang tau bahwa sedari tadi aku berada di dalam mobil juragan Dingkul.Kakiku mulai mengulur menginjak tanah sambil tubuh ini berjongkok, mulai pelan merangkak sambil mata memandang ke belakang.Jangan sampai mereka melihatku, pokoknya aku tidak mau jadi bahan kesalah pahaman.Bruk!Tiba-tiba saja tubuhku menabrak Ceu Odah yang sedang berdiri di hadapanku.Ceu Odah melongo sambil membulatkan bola mata, ia begitu terkejut saat melihat tingkahku ini."Aku tidak salah melihat, Dian kamu turun dari mobil juragan Dingkul. Apa jangan-jangan kamu selingkuhan juragan Dingkul," seru Ceu Odah begitu lantang membuat tetangga yang sedang sibuk di bagi uang pun kini pusat perhatiannya beralih padaku."Haaaaah!" Semua orang terkejut tatkala mendengar seruan Ceu Odah."Apa Dian?! Kamu keluar dari mobil juragan Dingkul?" tanya Emak sambil mengerucutkan dahinya.Aku menepuk jidatku yang terasa pening ini, "Ti-tidak seperti itu ibu-ibu. Semuanya salah paham Mak, aku memang keluar dari mobil Juragan Dingkul tapi hanya sekedar numpang saja," ungkapku menjelaskan.Ceu Odah melangkah mengelilingi kediamanku sambil menyelidik, matanya terus mendelik sambil memperhatikan tubuhku dengan saksama.Mampus gue mampus, kalau sudah kena sama Ceu Odah jangan harap bisa selamat, dia pasti akan membuat onar dengan bibirnya yang terus kumat Kamit menceritakan kepada orang lain."Diandra ayo masuk kamu jelaskan sama Emak di dalam," Emak menarik tanganku untuk masuk kedalam rumah sambil wajahnya terlihat marah."Dian apa yang kamu lakukan dengan Juragan Dingkul tadi? Apa kamu tidak tahu kalau istrinya selalu jahat terhadap wanita yang berani jalan bareng dengan juragan!," gerutu Emak menyelidik."Iya Mak aku tau tapi tadi juragan yang maksa aku untuk di antarkan pulang, aku juga sudah berkali-kali maksa, tapi tetap dia ngeyel dan mendorong tubuhku ini masuk kedalam mobil hingga aku susah untuk keluar," jelasku sambil menunduk, aku merasa bersalah pada Emak."Dian lain kali kamu tidak usah melakukan itu lagi, apalagi kamu seorang janda Nak, nanti kalau sampai Bu Salma cemburu padamu, akan berakibat fatal," ungkap Emak sambil menghampiriku dan memandang wajahku yang masih menunduk.Lah BT banget aku masa masalah numpang saja harus fatal seperti ini, lagi pula gak ada hubungan apa, apa lagi melakukan sesuatu. Hanya duduk bareng aja mesti di sidang sama Emak. Emang dasar om-om tua Bangka tuh yang bikin gue jadi kena masalah seperti ini. Mana orang sekampung tau lagi, siap-siap aja gue yang jadi bahan buah bibir.***Pagi harinya, aku telah menyiapkan adonan cilok dibantu oleh Emak, semuanya telah ku siapkan dari subuh, rasanya berat banget kalau biasanya bangun siang lalu sekarang harus belajar bangun subuh. Apalagi aku sekarang seorang janda muda, harus segala sendiri dan harus menjadi janda berbakat.Walaupun janda harus banyak uang juga dong, apalagi banyak yang mengagumi itu sih cita-cita banget. Tapi bukan aki-aki tua Bangka juga.Semuanya sudah siap ku bereskan di gerobak cilok ku, "Doain Dian ya Mak moga Dian laris manis dagang ciloknya, moga diam bisa bantu Emak buat beli skincare.""Kok skincare sih Ian, Emak udah keriput. Yang Emak mau hanya beras," usul Emak Jamilah menggerutu."Canda Mak, gitu aja ngambek. Ya sudah Mak Dian pamit ya," pamitku sambil mencium tangan yang telah keriput serta kurus kering.'Semoga Emak sehat selalu dan di panjangkan umur,' batinku seraya mencium tangan keriput itu.Bismillahirrahmanirrahim tak lupa aku memanjatkan doa terlebih dahulu ketika aku akan melangkahkan kaki sambil mendorong gerobak cilok ini.Teng! Teng! Teng!Tak hentinya aku memukul botol untuk menarik perhatian pembeli."Cilok, cilok, cilok," Dibarengi dengan teriakan di sepanjang jalan."Dian sini?" seru Ceu Odah.Di sela perjalananku aku di cegat oleh Ceu Odah, ada rasa bahagia juga mungkin Ceu Odah mau membeli cilokku. Apalagi di sana ibu-ibu sedang berkumpul."Mau beli Bu? Saya bungkusan ya, mau berapa bungkus?" tanyaku ramah."Kamu gak salah ya dagang cilok?! Atau hanya sekedar kedok kamu saja Dian, bukankah kamu sekarang jadi pelakor ya," cela Ceu Odah di tengah-tengah kerumunan ibu-ibu yang lainnya."Maaf ya Ceu, maksud Eceu apa? Aye gak ngerti sama sekali, pake acara bawa-bawa pelakor segala, Eceu nuduh saya jadi pelakor gitu!" gerutuku sambil dada naik turun."Heh Dian semua orang pada tau dan melihat kalau kamu kemari satu mobil bareng sama juragan Dingkul, orang terkaya di kampung ini, pasti kamu pelet 'kan dia, hingga terpesona dengan janda tengil pedagang cilok kek kamu ini!" cerca Bu Nafsi di saat aku melawan Ceu Odah.Aku menghembuskan nafasku yang terasa sesak ini, gak ada gunanya ngomong ngejelasin sampai mulut berbusa pun, mereka memang ibu-ibu gaib yang selalu sok tau dan maha benar."Kenapa diam saja, takut ya. Makannya kalau jadi janda jangan terlalu murah!" tuduh Ceu Odah menyerang ku kembali.Mendengar semua itu membuat emosiku naik seketika ke ubun-ubun. Kalau saja cabe tidak mahal pasti sudah ku bungkam tuh mulut pake sambal cilok buatan Emak.'Sabar dong Diandra sabar, Lo bukan hanya janda ramah tapi Lo juga penyabar. Kalau gue lawan temen-temen ibu rempong ini banyak sedangkan gue hanya sendiri,' batinku bergemuruh seraya tangan terus mengepal erat di sisi. Gigiku ikut menggigit kencang.Mungkin lebih baik aku pergi dari kerumah orang tak berakal ini. Untuk mencari tempat yang lebih bisa mengerti keadaanku saat ini. Aku mau cari uang bukan cari masalah.Aku mulai berjalan lagi, dan tak menggubris omongan mereka, terserah mereka mau ngomong apapun yang jelas aku bukan penggoda suami orang.Akhirnya aku berhenti di tempat yang lumayan rame orang berseliweran juga banyak pedagang juga disini, awalnya sih ada rasa malu dan rasa canggung sekali, tapi mau gimana lagi, aku seorang janda gengs kalau saja tidak mencari nafkah sendiri, tidak akan ada yang menafkahi.Pokoknya aku tidak suka dengan keadaan ini, nasibku begitu Nurus rasanya. Sudah di tinggal suami sekarang aku harus dagang cilok, gengsi banget ketika para pria muda memandangku sambil ketawa. Pasti mereka menertawakan ku, tapi bodo amat lah, yang terpenting perutku kenyang dan aku bisa bantu Emak nyari uang."Semangat, semangat semangat."Aku mendiamkan roda tepatnya di tepi jalan sambil berjajar dengan pedagang yang lainnya, tempatnya lumayan rame juga disini. Aku duduk sambil menunggu pembeli berdatangan, kalau soal rasa cilok Emak tidak ada bandingannya.Hati gelisah tak menentu, kemana lagi Jali harus mencari istrinya yang hingga kini belum pulang. Sedangkan setahu Jali, Dian tidak punya sahabat ataupun kerabat lagi selain emaknya sendiri, kalau ke rumah Alina mana mungkin, sudah lama mereka tidak akur disebabkan memperebutkan cinta seorang Rojali. "Dian, Dian Lo di mana?" gumam Jali sembari pikirannya terus mencari. Padahal diluar hujan amat deras ditambah suasana terang pun sebentar lagi akan menjadi gelap. Jali menunggu di teras rumah. Sesekali pria bertubuh tinggi itu melihat ponsel, dan menghubungi istrinya akan tetapi masih tidak ada jawaban."Percuma kamu menunggu wanita itu sampai kapanpun sebab dia tidak akan balik lagi kesini," kata Bu Janita yang hendak menemani Jali."Ma, apa Mama tau Dian kemana? Mana mungkin Mama tidak tau seharian ini Dian dirumah bersama Mama?" tanya Jali dengan tatapan kosong itu. "Mama tidak tau apapun Jali!" selalu itu yang terlontar dari jawaban sang Mama.Sebentar lagi adzan magrib akan berkum
Setelah kepulangan Jali dari kantor untuk menggantikan Bu Janita kerja. Lantaran Bu Janita hari ini tidak bisa masuk dikarenakan kepalanya yang terasa pening sebab terlalu memikirkan pernikahan sang anak.Jali melenggang gontai sembari matanya terus melirik ke arah ruangan kamar dan juga semua penjuru ruangan. Disisi lain dia mencari sang istri yang tak terlihat batang hidungnya sama sekali. Hatinya bertanya dimanakah istrinya. Akan tetapi pikirannya langsung menjawab positif bahwa sang istri sedang keluar atau memasak di dapur. Setelah beberapa saat rebahan di kamar, Jali pun merasa terheran. Biasanya kalau Jali baru pulang, jam segini paling istrinya ada di kamar. Akan tetapi kali ini tidak terlihat sama sekali.Dengan rasa penasaran yang memuncak pria berhidung mancung itu melenggang menuju lanttai bawah. Ia mencari di setiap penjuru ruangan dilihatnya secara saksama, namun tak ada sosok sang istri yang terlihat melainkan ada sang Mama yang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Saya beri kamu 2 pilihan, kamu mau pergi dari rumah ini secara diam-diam tanpa sepengetahuan jali atau kamu mau bercerai dengan anak saya? Sebab saya tidak rela anak saya harus bersanding denganmu."Wanita setengah baya itu memberikan dua pilihan yang membuat nafas Diandra sesak. Awalnya Dian sangat enggan dan menolak untuk membuka mulut lantas pilihan tersebut sangat susah untuk dipilih. Bu Janita melangkah mengelilingi kediaman menantunya yang saat ini masih berdiri, mematung dengan pikiran yang melayang jauh entah kemana. "Cepat bicara?! Kesabaran saya sudah habis, saya benar-benar marah dan benci sama kamu Dian, andai saya tau kalau kamu itu wanita miskin yang memang matre mungkin saya tidak akan pernah mau menjodohkan kamu. Nyatanya saya hanya di bohongi oleh wajah polos yang kamu miliki!"Begitu geram Bu Janita memaksa Dian untuk memilih salah satu pilihan yang membuat Dian tidak sanggup untuk memilih. Dian terdiam mematung dengan deraian air mata yang terus saja berlinang mem
"Tadinya aku menikahi Dian atas di dasari karena paksaan Mama dan juga aku ingin membuat Haris cemburu, tapi nyatanya malah aku yang mulai menyukai Dian Ma, aku mohon jangan biarkan aku berpisah dengannya lagi Ma," ungkap Jali. Akan tetapi Bu Janita sangat kecewa dengan kedua pasangan itu terutama pada sang menantu yang tega membohonginya dan mau dibayar oleh Jali. Seharusnya Dian tidak harus melakukan itu demi sebuah uang."Tapi Mama sudah terlanjur kecewa sama kamu dan istri kamu! Jangan-jangan sekarang juga kamu membohongi Mama lagi kalau kamu mempunyai perasaan pada Dian. Pokoknya Mama tidak mau percaya dengan kamu Jali. Dan Mama tidak suka melihat Dian, terserah kamu, kalau kamu tidak mau pergi dari sini kamu ceraikan istri kamu yang murahan itu! Mama sangat eneg lihatnya. Masih banyak perempuan di luar sana yang lebih istimewa dan mempunyai harga diri," sahut Bu Janita dengan emosi yang meluap. Ia begitu kecewa saat tau bahwa pernikahan sang anak adalah pernikahan bayaran. Bah
"Sayang aku mau ke kamar duluan ya kalau kamu mau disini dulu."Jali melenggang ke lantas 2 menaiki tangga untuk menyimpan tas besar yang saat ini Dian bawa. Kali ini Dian membawa beberapa foto dan juga barang kesayangannya yang sempat ia simpan di rumah Emak.Padahal wanita muda berbulu mata lentik itu masih merasakan betah dirumah masa kecilnya dulu. Akan tetapi Jali memaksanya untuk pulang ikut bersamanya.Aku terpaku di ruangan utama, kaki Dian rasanya pegal sekali walaupun Dian baru saja menaiki mobil saat datang kesini."Berani juga ya kamu datang lagi kesini! Gak tau malah banget! Sudah menjadi pengganggu suami mertuanya, eh malah balik lagi. Kalau aku sih malas banget! Malu banget! Mau ditaruh dimana muka yang cantik ini, Dasar pengganggu suami orang. Eh bukan suami orang lebih tepatnya suami mertua sendiri! Menanti macam apa?!" Ledekan pedas itu sudah sering Dian dengan, dan suara yang meledek Dian pun tak lain adalah wanita yang pernah mewarnai kehidupan suaminya."Eh Rindu
"Jangan sebut istriku murahan Ma. Dian kamu yakin 'kan tidak bermaksud menggoda Haris? Sekarang kamu katakan di hadapan kami semua kalau kamu tidak bersalah," titah Jali sembari memandang sang istri penuh rasa bersalah sebab sebelumnya ia septa tak percaya."Iya, aku sama sekali tak mencintai siapapun terkecuali suamiku sendiri," ungkap Dian.Wanita muda cantik terkejut tatkala sang suami kini mulai mempercayainya, dengan senang hati Dian memeluk Jali di hadapan semua anggota keluarganya membuat Emak Jamilah seketika terharu melihat adegan sepasang sejoli yang tak ingin dipisahkan itu.Dian pun tak menyangka kalau akhirnya dia bisa lagi memeluk tubuh sang suami dengan erat setelah permasalahan yang hampir saja membuat dirinya dan Jali berpisah untuk selamanya.Mak Jamilah tersenyum penuh kebahagiaan yang tiada Tara, ia ikut senang dengan kehadiran Jali yang datang disaat waktu begitu tepat."Sayang pokoknya aku gak mau tau, Jali dan Dian harus bercerai, mereka tidak boleh disatukan, s
Pagi ini langit amatlah mendung ditemani rintikan hujan membasahi genting dan juga halaman semuanya nampak basah. Dian yang kala itu sedang termenung, berharap hadirnya kedatangan seseorang, tapi mungkin semuanya hanya bayangan semata. Mata mungkin suaminya datang kesini."Dian ayo makan," titah Mak Jamilah tatkala sang cucu malah tak bergeming sama sekali. Mak Jamilah pun mengambil tindakan dengan mengambilkan nasi pada piring kosong milik Dian. "Mak, gak usah repot-repot, Dian sedang malas makan, nanti saja makannya ya," sahut Dian sembari menolak sepiring nasi putih yang disodorkan Mak Jamilah."Dian kamu kemana?" seru Mak Jamilah pada sang cucu yang tiba-tiba saja gegas bangkit meninggalkan meja makan.Mak Jamilah pun nampak bingun dengan keadaan semua ini. Dian kembali duduk di ruang utama sembari matanya terus saja memandangi air hujan yang semakin siang semakin deras. Percikan kerinduan mulai terasa, nyatanya jauh dari sang suami membuatnya sangat terpuruk. Padahal baru saj
"Dian, kamu kenapa Nak, kenapa harus menangis? Apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu kesini sendiri? Suamimu mana?" Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut nenek tua yang telah keriput dimakan usia. Emak Jamila begitu kaget saat melihat keadaan sang cucu yang telah menangis tersedu-sedu. Mata lentik Dian kini berubah menjadi bengkak disertai warna merah."Mak Dian di fitnah oleh Haris dan bude Meri, mereka menuduh Dian berselingkuh, padahal aku sama sekali tidak melakukan hal keji itu, apalagi saat ini statusku istri orang. Mana berani aku melakukan itu," tak hentinya wanita muda itu menangis.Dian memeluk tubuh sang nenek, walaupun air matanya tak henti terus saja luruh. Dengan perlahan Mak Jamilah mengelus bahu Dian dengan telapak tangan begitu lembut."Kita masuk Nak, bicarakan di dalam saja, tidak enak kalau orang lain melihat kamu sedang menangis begini," sahut Mak Jamilah sembari memapah tubuh Dian yang nampak lemas itu.Mak Jamila membawa cucunya masuk kedalam rumah dan me
"Apa maksud kalian dengan semua ini?!" tiba-tiba saja Bu Janita bersama Jali datang sembari melotot.Bagi Janita hari ini adalah hari yang terburuk, rasanya seperti si sambar gledek disiang bolong. Menantu kesayangannya berselingkuh dengan suami muda yang amat dicintainya.Janita memperlihatkan sebuah gambar, yang memang mambuat Dian dan Haris tentu saja terlonjak kaget, gambar yang di perlihatkan Janita, yakni gambar saat Haris mencium Diandra tadi.Mata Dian melirik bergantian pada kediaman bude Meri, wanita berparas cantik itu yakin bahwa Foto itu pemberian dari bude Meri, pantas saja ia merasa bahwa ada sinar Blige ponsel pada saat Haris hampir saja menodainya."Ma, tadi Haris mau melukai aku makannya dia menciumi secara paksa, tadi aku sudah coba melawan akan tetapi tanganku tak bisa melawan dan memberontak," ungkapku tergopoh menjelaskan pada sang mertua.Akan tetapi sepertinya Bu Janita tak percaya sama sekali sebab ia membaca pesan dari bude Meri bahwa Diandra menggoda Haris -