Lelaki yang terlihat tak berubah saat terakhir kali bertemu itu pun turun, tanpa memasukan mobilnya ke dalam garasi lebih dulu. Dia malah berbalik dan menghampiri kami, membuat perasaanku gugup tidak karuan. Benarkah dia mantan pacarku, dua belas tahun yang lalu?
Jantungku berdebar tidak karuan, apalagi kala bayangan terakhir kali kami bertemu berputar-putar di kepala.
Semakin langkah kakinya mendekat, semakin gugup. Aku sangat yakin, dia adalah Aa Hadi mantan pacarku dulu. Kututupi wajah sebisa mungkin dengan tubuh Hamdi, agar dia tak mengenaliku. Kini dia berdiri persis di hadapanku, di samping Teh Lina.
Sejak keluar dari mobil, bisa kurasakan kalau matanya tak lepas sedikitpun menatap, sampai dia tiba di hadapanku. Ah ... apa ini hanya perasaanku saja?
"Papi, ini istrinya tetangga baru kita lho Pi, yang kemarin suaminya bersih-bersih!" kata Teh Lina menjelaskan.
Aku sesekali berusaha mencuri pandang kearahnya. Ternyata dia menatapku tanpa berpaling sedikitpun. Benar, dia benar-benar Aa Hadi, aku sangat yakin sekarang!
"Oh iya? Saya harap semoga kalian berdua bisa akrab ya!" cetusnya tanpa hambatan sama sekli.
Dengan lancarnya dia berkata begitu. Aku tahu kalimatnya itu mengandung sindiran untukku. Atau ... hanya aku yang kegeeran?
Tapi suara itu ... suara khas Aa Hadi yang sering kudengar dulu! Membuat jantungku semakin berdegup sangat kencang. Akh, perasaan macam apa ini?
Inget Jani, inget kamu sudah punya anak dan suami!"Saya masuk dulu ya. Enggak kuat saya di sini," katanya sambil melirikku dengan tatapan jahilnya. Tatapan yang dulu sangat kurindukan, saat baru-baru kuakhiri hubungan dengannya.
Ya Tuhan ... semprul juga dia!
Saat masih bersamaku, dulu dia juga selalu begitu, selalu bercanda. Tapi ini kan di depan istrinya. Seharusnya dia bisa lebih menjaga sikap. Bagaimana kalau Teh Lina sampai tahu, kalau aku pernah pacaran sama suaminya itu?
"Enggak kuat kenapa, Pi?" tanya Teh Lina penasaran. Terlihat dia mengernyitkan dahinya.
Duh! Apa yang sedang dia pikirkan?
Apakah dia mulai curiga karena sikap nyeleneh suaminya padaku?
"Papi kebelet pipis, Ma!"
Glekkk
Fiuh! Ternyata kebelet pipis. Aku sempat mengira kalau dia mau bicara macam-macam!
"Ya ampun si Papi, kebelet kencing aja di dramatisir! Sudah sana, masukin mobil nanti aja. Nahan kencing itu enggak baik Pi, apalagi nahan perasaan!"
Aku tersenyum mendengar celoteh Teh Lina. Ternyata, dia tidak sekaku yang kubayangkan.
"Teh Lina bisa aja!" gurauku untuk menutupi gugup.
Mendengarnya bicara begitu, aku mau ketawa. Tapi di sisi lain, kesal juga melihat wajah Aa Hadi yang sok polos di depan istrinya itu.
Dasar cowok! Dulu waktu putus, bilangnya enggak bisa hidup tanpa aku. Nyatanya sekarang, masih sehat segar bugar, tuh!
Aku kembali terhenyak, saat menyadari kalau kini aku harus bertetangga dengan mantan pacarku yang semprul itu.
Apa bisa aku menjalin hubungan yang baik dengan istrinya?Mantan pacar yang terang-terangan telah menipuku sekeluarga, selama dua tahun, dua belas tahun yang lalu.
Saat itu, aku tak sengaja mengenalnya lewat telepon nyasar. Sebagai perempuan yang baru mengenal lelaki, terasa nyaman menjalin hubungan dengannya meski perebedaan usia kami terpaut jauh, lebih dari sebelas tahun. Saat itu usiaku dua puluh tahun, sedangkan Mas Hadi tiga puluh satu tahun lebih.
Seiring berjalannya waktu, aku baru tahu kalau dia telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak.
Aku yang kecewa dan marah besar, memutuskan hubungan kami.
Berkali-kali dia memberikan penjelasan hingga mengatakan akan menceraikan istrinya.Dia bilang, dia menikah tanpa cinta dan dijodohkan.Tapi aku dan keluargaku, tak menerima alasannya begitu saja. Apapun yang terjadi di antara dia dan istrinya, aku tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga mereka. Dan kini, takdir mempertemukan kami kembali di sini.
Melihat rumahnya yang besar dan mewah di samping kontrakanku yang kecil dan sederhana, semakin mengucilkan hatiku. Apa yang sekarang ada di pikirannya?
Apakah aku terlihat menyedihkan di matanya?"Lain kali mampir, Teh!" seruan Aa Hadi membuyarkan lamunanku. Apa-apaan sih, dia? Apa nggak cukup membuatku gugup sampai sebegininya?
"Iya Neng Jani, mampir ke rumah! Anak Teteh udah pada besar, jadi suka kesepian!" jelas Teh Lina lagi.
*** Keesokan harinya ...."Jani!"Sebuah suara terdengar jelas memanggil namaku.
Aku yang sedang menyapu halaman, menghentikan aktivitasku dan menoleh ke asal suara. Ternyata Aa Hadi sudah berdiri tepat di belakangku.
Laki-laki berhidung mancung itu, berdiri tanpa rasa bersalah. Ingin mengatakan lelaki hidung belang, tapi hidungnya mancung. Mana menggoda lagi, duh!
Biar sudah berumur malah makin keren. Duh, tapi ngapain juga dia harus manggil aku? Bagaimana kalau nanti ketahuan istrinya?
Kata orang, menikah dengan lelaki yang tepat akan menjadikan seorang wanita seperti Ratu dan terus merasa bahagia. Aku tahu, meskipun pernikahan pertamaku dengan Mas Pras telah gagal, banyak hikmah yang bisa kuambil untuk dijadikan pelajaran.Begitu juga dengan masa lalu Aa Hadi. Tapi kenapa sekarang ini, aku malah terus dihantui rasa takut? Selain pernah dikhianati Mas Pras, awal perkenalanku dengan Aa Hadi diwarnai kebohongan. Selingkuh dari wanita sebaik Teh Lina, dengan dalih korban perjodohan orangtua.Menikah dengan Aa Hadi pun, pernah menjadi impianku belasan tahun yang lalu. Namun, semuanya sirna, setelah dua tahun lebih kami menjalin hubungan. Pacar dengan usia yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu ternyata sudah memiliki keluarga. Aku lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.Namun, takdir berkata lain. Sebelas tahun kemudian, kami kembali dipertemukan sebagai tetangga.Setelah menjalani lika-liku jadi tetangga mantan, Allah mentakdirkan kami berjodoh.Sosok Aa
Seperti dejavu, aku pernah merasakan ini dulu. Bedanya kali ini beneran, bukan kaki Nindy lagi seperti waktu itu."Cicing(diam) atuh A, ada anak-anak! Kalau mereka tiba-tiba masuk gimana?" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggang. Tapi pelukannya malah semakin erat."Cuma peluk doang, sisanya nanti malam," bisiknya. Ucapan itu justru lebih terdengar seperti ancaman di telinga. Membuatku semakin ketakutan mendengarnya.Selepas makan malam dan anak-anak sudah kembali ke kamarnya, sengaja kusibukkan diri di dapur demi mengulur waktu. Kali aja habis nyuci piring, dia keburu ngantuk dan lupa akan ancamannya siang tadi."Ngapain?" tanyanya sambil berdiri menatapku."Cuci motor.""Ngelucu? Besok 'kan ada Mbak Imah Jan, ayo istirahat!"Ish, istirahat katanya? Aku yakin, kalau sudah masuk perangkapnya, mana bisa istirahat?"Tanggung A, bentar lagi!"Aku sengaja mengulur waktu dan terus menerus membilas piring berkali-kali sampai benar-benar kesat. Dia yang memerhatikan aku sejak tadi, m
Sah!!!" Suara riuh menggema di dalam rumah kedua orangtuaku di kampung, saat penghulu mengesahkan pernikahanku dengan Aa Hadi siang ini, meski hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga yang hadir. Rona bahagia, terpancar jelas di wajah Ibu dan Bapak saat aku melirik ke arah mereka. Sayangnya, kedua orangtua Aa Hadi telah meninggal dunia. Hanya beberapa keluarga inti yang menemaninya sejak pagi tadi.Dengan bergantian, Ranti, Rasyid dan Dini memelukku dengan erat."Terima kasih ya, Mama Jani sudah mau terima Papi," kata Ranti dengan senyum manis dan lesung pipi khas miliknya.Setelah kami semua bersalaman, acara dilanjutkan dengan makan bersama keluarga dan para tetangga. Tidak ada resepsi, karena itu adalah salah satu permintaanku. Semua aku lakukan, karena tidak ingin nantinya Bapak merasa lelah dan terbebani jika harus duduk di kursi roda, di atas pelaminan, dalam waktu yang cukup lama.Bapak memang belum sembuh total. Sehari-harinya, dia bergantung pada kursi roda untuk b
Selain menyaksikan pernikahan Mas Pras dengan Mia, aku sangat mengharapkan kedatangan Aa Hadi dan juga anak-anaknya hari ini.Karena, sejak hari di mana Rasyid tertangkap, aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.Entah karena Aa Hadi sudah lelah menunggu kepastian dariku, atau karena perasaan bersalahnya pada Rasyid, dia tidak mau menemuiku lagi. Berkirim kabar pun juga tidak pernah. Karena itu, dia tidak tahu kalau Bapak sekarang sedang sakit."Mas Pras udah dua kali nikah, Teteh masih sendiri aja. Ngenes atuh, Teh!" goda Anjeli yang sedang mengaduk aduk es krim di tangannya."Ish, ngenes mana sama kamu?" Aku balik menyindirnya.Anjeli lantas memonyongkan bibirnya. Cemberut namun menggemaskan."Anjeli jomlo 'kan karena standar tinggi, Teh!" katanya beralasan."Ya udah, sana cari pasangan kamu dulu! Nanti kalau kamu yang dapet duluan, baru boleh ngeledek Teteh!"Kucubit hidung Anjeli yang menggemaskan. Minimalis, sama sepertiku. Aku tahu, dia sudah memiliki pasangan, tapi d
Benar juga, ke mana Aa Hadi???Segera ku ambil ponsel dan menghubunginya, namun tidak aktif. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia masih ada keperluan lain, tapi setelah menunggu lama, Aa Hadi tak kunjung datang. Karena penasaran dan perasaanku juga mulai tidak enak, aku mencoba menelepon Ranti. Siapa tahu, papinya menghubungi dia.Benar saja, dari Ranti, aku tahu kalau mereka sekarang dalam perjalanan ke Subang. Mereka mendapat kabar, kalau Rasyid ditangkap polisi karena mengkonsumsi barang haram.Ranti juga menyampaikan maaf dari papinya yang langsung pergi tanpa mengabariku lebih dulu. Katanya, dia panik dan tidak bisa berpikir, bahkan untuk sekedar menghubungiku.Tubuhku lemas seketika mendengar penjelasan Ranti. Belum habis rasa bersalahku terhadap Nindy, kini muncul masalah baru yang membuatku menyesal.Apalagi Rasyid adalah anak yang sangat baik dan pendiam.Aku jadi penasaran, masalah apa yang dialami Rasyid, sampai akhirnya anak sebaik dia bisa melewati batas?Apa kar
Tapi ucapan Bapak memang benar, siapa lagi yang bisa aku andalkan saat ini?Aa Hadi adalah satu-satunya orang yang bisa menerima aku dan keluargaku, lalu kurang apalagi?Terus bertahan hidup sendiri karena gengsi, sebagai seorang janda, apa aku bisa?Karena selama ini saja aku masih terus bergantung padanya."Bapak nggak mau maksa Teteh, tapi coba dipikirin lagi ya, Teh. Jangan keras kepala, apalagi gengsi."Bapak menyelesaikan percakapan kami dan berlalu meninggalkan aku yang larut dalam pelukan Ibu."Bener kata Bapak Teh, coba dipikirin lagi!" kata Ibu menambahkan.Setelah menyeka airmata, aku keluar dari kamar Ibu dan masuk ke dalam kamarku untuk menemui Hamdi. Tapi saat pintu kamar dibuka, aku disuguhkan pemandangan yang mengharukan. Di sana, Ranti, Dini, Hamdi dan Anjeli sedang berkumpul. Bahkan mereka sampai menambah kasur di bawah supaya muat tidur berbarengan.Pemandangan seperti ini kembali membuatku bimbang. Keluargaku, juga anak-anak Aa Hadi, seakan tidak ada tembok pemisa