Bagaiman jika harus bertetangga dengan mantan pacar? Apalagi di belakang istrinya, dia masih menyimpan perhatian lebih untuk kita? Mampukah Anjani terus menyembunyikan hubungan masa lalunya dengan Aa Hadi dari Teh Lina?
View More"Ma, bulan depan, kita harus pindah rumah ke Bogor. Papa dipindahin tugas ke minimarket cabang di sana!" beritahu Mas Pras, suamiku, saat kami sedang menikmati makan malam.
"Pindah lagi, Pa?" tanyaku dengan sedikit kesal. "Baru mulai nyaman tinggal di sini!"
Aku merengut. Ini adalah kali kedua kami harus pindah rumah, karena dia selalu dipindahtugaskan, selama empat tahun pernikahan kami.
"Kamu pasti kesal, ya?" tanya Mas Pras hati-hati.
"Mau gimana lagi, atuh Pa. Kalau kamu pindah, masa iya aku tetap di sini sama anak-anak?"
Begitulah ... sebagai istri, aku bisa apa selain mendukung suamiku? Padahal dalam hati kesal juga, membayangkan kami akan mengulang kerepotan dan beradaptasi lagi dengan lingkungan baru.
"Doakan saja supaya tabungan Papa cepat terkumpul dan kita bisa beli rumah sendiri. Jadi kalau dipindahin lagi, kamu sama anak-anak nggak usah ikut!"
Mataku mendelik mendengar jawabannya.
"Terus mau LDR-an gitu? Jani nggak mau!" protesku. Walau sering bertengkar kecil, aku lebih memilih tinggal bersama suami daripada harus berjauhan.
***
Hari kepindahan kami pun tiba. Suamiku sudah jauh-jauh hari survey dan membersihkan rumah kontrakan yang akan kami tempati.
Jarak yang jauh ditambah dua buah hati yang masih kecil-kecil, membuatku tidak bisa ikut bersamanya. Beruntung, karena seringnya pindah, aku dan suami sepakat agar tak memiliki banyak perabotan rumah tangga.
Tetapi walau perabot kami tak banyak, nyatanya kami harus menggunakan truk juga agar bisa sekali jalan.
"Segini nggak pernah merabot ya, Pa? Padahal isinya cuma barang-barang aja, aja udah segini banyak!"
Nindy usianya tiga tahun, sedangkan Hamdi baru berusia satu tahun.
Hidup berumah tangga berdua dengan suami dengan anak yang masih kecil-kecil, juga jauh dari orangtua sudah terbiasa kujalani.
Padahal dulu itu aku bisa dibilang sangat manja. Tapi sekarang, mana bisa?
Sesampainya di Bogor, ini adalah kedua kalinya kupijakan kaki di sini. Beberapa tahun yang lalu, ada kenangan indah bersama mantan terburuk di kota ini. Ya, dulu aku pernah punya mantan yang berkerja di sini. Beberapa kali dia pernah mengajakku untuk sekedar melihat kantornya yang besar.
***
Tiba di rumah berukuran sedang itu, aku hanya menggendong Hamdi dan satu tanganku menggandeng Nindy.
Mas Pras-lah yang bolak-balik memindahkan barang bersama supir truk.
Entah karena komplek perumahan ini terbilang sepi atau karena jam tidur siang, tak ada satupun tetangga yang keluar rumah.
Aku pun memilih duduk di pos kecil yang terletak pas di depan rumahku.
Klonteng!
Tiba-tiba, terdengar suara slot pagar yang berasal dari rumah yang tepat berada di samping rumah yang akan aku tempati.
"Eh, jadi pindah hari ini, Neng?" sapa seorang wanita yang kuperkirakan usianya lebih dari empat puluh tahun itu.
"Iya Bu."
"Namanya siapa?" katanya sambil menyodorkan tangannya. Kesan pertama sih, wajahnya terlihat ramah.
"Anjani, Bu. Panggil aja Jani ...," sahutku tak kalah ramah.
"Oh, Neng Anjani ...."
Dia tersenyum sembari melepaskan uluran tangannya. Gelang emas yang berjejer rapi seperti orang yang sedang antri sembako cukup menyilaukan mata dan membuatku minder. Bagaimana tidak? Di tanganku hnya tersemat sebuh cincin kawin saja.
"Saya Lina, jangan panggil Ibu atuh, teteh aja ya!"
"Iya, Teh."
"Oh ya, ini anaknya dua, masih kecil-kecil, jaraknya deketan yah? Duh, pantes Mamanya sampai enggak bisa merawat diri!"
Glekkk
Sambutan macam apa ini, Mak?
Aku mengingat kembali penampilanku yang memakai setelan tunik dan jilbab seadanya begini. Ini adalah penampilan ternyaman untuk ibu dua orang anak yang masih kecil, pikirku.
Tapi kan, kami baru ketemu sekali, masa sudah berani dia bikin kesel. Mau marah nggak mungkin, secara dia tetangga satu-satunya yang baru kutemui, bersebelahan pula!
"Hehe, iya Bu. Lagi aktif-aktifnya, buat saya mah yang penting anak keurus!"
Ingin rasanya aku cepat masuk ke dalam meninggalkan tetangga baru yang menyebalkan ini. Tapi kalau di dalam, kasihan Hamdi, banyak debu karena masih bolak-balik mengangkut barang.
"Walau begitu, ya tetap harus merawat diri lho Neng. Kamu itu masih muda, kasihan kalau nanti suami kamu berpaling!" tambahnya lagi.
Duh, ternyata dia belum berhenti juga. Apa bisa ya, aku tetanggaan sama dia kedepannya?
Tinnnnnn
Tinnnnnn
Suara dari mobil berwarna merah berkilau, terdengar nyaring sekali, mengagetkanku yang masih tercengang mendengar ucapan Teh Lina.
"Nah tuh, suami saya pulang. Saya kenalin ya!" kata Teh Lina bersemangat.
Kulihat dari luar kaca mobil. Lelaki dengan tampilan rapi sedang menatapku dari dalam sana. Lelaki yang seharusnya sangat kukenal.
Ya, lelaki itu sepertinya memang lelaki yang pernah mengisi masa laluku. Bukankah itu Aa Hadi, mantan pacarku dua belas tahun yang lalu???
***
Kata orang, menikah dengan lelaki yang tepat akan menjadikan seorang wanita seperti Ratu dan terus merasa bahagia. Aku tahu, meskipun pernikahan pertamaku dengan Mas Pras telah gagal, banyak hikmah yang bisa kuambil untuk dijadikan pelajaran.Begitu juga dengan masa lalu Aa Hadi. Tapi kenapa sekarang ini, aku malah terus dihantui rasa takut? Selain pernah dikhianati Mas Pras, awal perkenalanku dengan Aa Hadi diwarnai kebohongan. Selingkuh dari wanita sebaik Teh Lina, dengan dalih korban perjodohan orangtua.Menikah dengan Aa Hadi pun, pernah menjadi impianku belasan tahun yang lalu. Namun, semuanya sirna, setelah dua tahun lebih kami menjalin hubungan. Pacar dengan usia yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu ternyata sudah memiliki keluarga. Aku lalu memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.Namun, takdir berkata lain. Sebelas tahun kemudian, kami kembali dipertemukan sebagai tetangga.Setelah menjalani lika-liku jadi tetangga mantan, Allah mentakdirkan kami berjodoh.Sosok Aa
Seperti dejavu, aku pernah merasakan ini dulu. Bedanya kali ini beneran, bukan kaki Nindy lagi seperti waktu itu."Cicing(diam) atuh A, ada anak-anak! Kalau mereka tiba-tiba masuk gimana?" Aku berusaha melepaskan tangannya dari pinggang. Tapi pelukannya malah semakin erat."Cuma peluk doang, sisanya nanti malam," bisiknya. Ucapan itu justru lebih terdengar seperti ancaman di telinga. Membuatku semakin ketakutan mendengarnya.Selepas makan malam dan anak-anak sudah kembali ke kamarnya, sengaja kusibukkan diri di dapur demi mengulur waktu. Kali aja habis nyuci piring, dia keburu ngantuk dan lupa akan ancamannya siang tadi."Ngapain?" tanyanya sambil berdiri menatapku."Cuci motor.""Ngelucu? Besok 'kan ada Mbak Imah Jan, ayo istirahat!"Ish, istirahat katanya? Aku yakin, kalau sudah masuk perangkapnya, mana bisa istirahat?"Tanggung A, bentar lagi!"Aku sengaja mengulur waktu dan terus menerus membilas piring berkali-kali sampai benar-benar kesat. Dia yang memerhatikan aku sejak tadi, m
Sah!!!" Suara riuh menggema di dalam rumah kedua orangtuaku di kampung, saat penghulu mengesahkan pernikahanku dengan Aa Hadi siang ini, meski hanya ada beberapa anggota keluarga dan tetangga yang hadir. Rona bahagia, terpancar jelas di wajah Ibu dan Bapak saat aku melirik ke arah mereka. Sayangnya, kedua orangtua Aa Hadi telah meninggal dunia. Hanya beberapa keluarga inti yang menemaninya sejak pagi tadi.Dengan bergantian, Ranti, Rasyid dan Dini memelukku dengan erat."Terima kasih ya, Mama Jani sudah mau terima Papi," kata Ranti dengan senyum manis dan lesung pipi khas miliknya.Setelah kami semua bersalaman, acara dilanjutkan dengan makan bersama keluarga dan para tetangga. Tidak ada resepsi, karena itu adalah salah satu permintaanku. Semua aku lakukan, karena tidak ingin nantinya Bapak merasa lelah dan terbebani jika harus duduk di kursi roda, di atas pelaminan, dalam waktu yang cukup lama.Bapak memang belum sembuh total. Sehari-harinya, dia bergantung pada kursi roda untuk b
Selain menyaksikan pernikahan Mas Pras dengan Mia, aku sangat mengharapkan kedatangan Aa Hadi dan juga anak-anaknya hari ini.Karena, sejak hari di mana Rasyid tertangkap, aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.Entah karena Aa Hadi sudah lelah menunggu kepastian dariku, atau karena perasaan bersalahnya pada Rasyid, dia tidak mau menemuiku lagi. Berkirim kabar pun juga tidak pernah. Karena itu, dia tidak tahu kalau Bapak sekarang sedang sakit."Mas Pras udah dua kali nikah, Teteh masih sendiri aja. Ngenes atuh, Teh!" goda Anjeli yang sedang mengaduk aduk es krim di tangannya."Ish, ngenes mana sama kamu?" Aku balik menyindirnya.Anjeli lantas memonyongkan bibirnya. Cemberut namun menggemaskan."Anjeli jomlo 'kan karena standar tinggi, Teh!" katanya beralasan."Ya udah, sana cari pasangan kamu dulu! Nanti kalau kamu yang dapet duluan, baru boleh ngeledek Teteh!"Kucubit hidung Anjeli yang menggemaskan. Minimalis, sama sepertiku. Aku tahu, dia sudah memiliki pasangan, tapi d
Benar juga, ke mana Aa Hadi???Segera ku ambil ponsel dan menghubunginya, namun tidak aktif. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia masih ada keperluan lain, tapi setelah menunggu lama, Aa Hadi tak kunjung datang. Karena penasaran dan perasaanku juga mulai tidak enak, aku mencoba menelepon Ranti. Siapa tahu, papinya menghubungi dia.Benar saja, dari Ranti, aku tahu kalau mereka sekarang dalam perjalanan ke Subang. Mereka mendapat kabar, kalau Rasyid ditangkap polisi karena mengkonsumsi barang haram.Ranti juga menyampaikan maaf dari papinya yang langsung pergi tanpa mengabariku lebih dulu. Katanya, dia panik dan tidak bisa berpikir, bahkan untuk sekedar menghubungiku.Tubuhku lemas seketika mendengar penjelasan Ranti. Belum habis rasa bersalahku terhadap Nindy, kini muncul masalah baru yang membuatku menyesal.Apalagi Rasyid adalah anak yang sangat baik dan pendiam.Aku jadi penasaran, masalah apa yang dialami Rasyid, sampai akhirnya anak sebaik dia bisa melewati batas?Apa kar
Tapi ucapan Bapak memang benar, siapa lagi yang bisa aku andalkan saat ini?Aa Hadi adalah satu-satunya orang yang bisa menerima aku dan keluargaku, lalu kurang apalagi?Terus bertahan hidup sendiri karena gengsi, sebagai seorang janda, apa aku bisa?Karena selama ini saja aku masih terus bergantung padanya."Bapak nggak mau maksa Teteh, tapi coba dipikirin lagi ya, Teh. Jangan keras kepala, apalagi gengsi."Bapak menyelesaikan percakapan kami dan berlalu meninggalkan aku yang larut dalam pelukan Ibu."Bener kata Bapak Teh, coba dipikirin lagi!" kata Ibu menambahkan.Setelah menyeka airmata, aku keluar dari kamar Ibu dan masuk ke dalam kamarku untuk menemui Hamdi. Tapi saat pintu kamar dibuka, aku disuguhkan pemandangan yang mengharukan. Di sana, Ranti, Dini, Hamdi dan Anjeli sedang berkumpul. Bahkan mereka sampai menambah kasur di bawah supaya muat tidur berbarengan.Pemandangan seperti ini kembali membuatku bimbang. Keluargaku, juga anak-anak Aa Hadi, seakan tidak ada tembok pemisa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments