Langkah Nayra terhenti. Bukan karena tidak sanggup melangkah lagi, melainkan karena debar merdu yang memerangkap hati. Terdiam mematung sembari tetap menatap senyum, itulah yang Nayra lakukan saat ini. Seiring irama jantung yang teramat merdu, bola mata Nayra tidak henti-hentinya membalas tatapan Dhanu.
Teramat memesona. Tatapan matanya, senyum yang menghiasi wajah, juga tampilan diri yang tidak biasa. Semua itu telah menawan hati Nayra. Apalagi, kumis tipis yang membuat sosok Dhanu terlihat semakin manis, Nayra sungguh menyukainya.
Deg-deg Deg-deg Deg-deg-deg
Satu-satunya yang memenuhi hati, pikiran, dan tatapan mata hanyalah sosok rupawan. Baik Nayra ataupun Dhanu, keduanya sama-sama terjebak tatapan bola mata indah. Hingga kemudian, sebuah panggilan tidak terduga membuyarkan aksi tatapan Dhanu dan Nayra.
"Dhanu, ngapain bengong di situ?"
Dhanu menoleh ke sumber suara, dan mendapati sepupunya tengah berjalan mendekat ke arahnya. Pandangan yang ditujukan untuk Nayra sontak terjeda. Begitu kembali memandang, Nayra sudah tidak ada di tempat sebelumnya.
Setitik rasa kecewa dirasakan Dhanu seketika. Namun, hanya setitik saja. Sisanya Dhanu merasa bahagia karena setelah sekian tahun lamanya, akhirnya Nayra membalas tatapan dan senyumannya.
"Kenapa bengong di sini?" Nofal mengulang tanya.
"Siapa yang bengong sih, Mas? Sudah, ayo masuk ke dalam rumah!"
Dhanu dengan riang masuk ke rumah Nofal, mengabaikan sepupunya itu yang masih saja terheran-heran.
Sementara itu, Nayra, dia berada di dalam kamar mandi rumahnya. Bukan tanpa sebab Nayra berada di sini. Semua terjadi karena tadi Nayra hendak berlari menuju kamar, tapi ada orangtuanya yang sedang berbincang. Khawatir dikira kesurupan karena senyum-senyum sendirian, Nayra pun mengubah haluan dan satu-satunya yang bisa dituju adalah kamar mandi di luar.
"Jantungku berdebar-debar. Tapi ... kenapa rasanya aku begitu senang?"
Dengan masih senyum-senyum sendirian, Nayra terbayang-bayang sosok Dhanu dengan kumis tipisnya yang begitu menawan. Sejenak, kedua mata Nayra terpejam, lalu kembali senyum-senyum sendirian.
"Apakah ini artinya aku kembali jatuh cinta? Jika iya, akankah kisah cintaku akan sama seperti sebelumnya?"
Deg!
Pertanyaan yang terlintas seketika memudarkan senyum Nayra. Dengan cepatnya wajah Ivan membayang, lengkap dengan kisah masa lalu yang dengan lancang kembali terkenang.
"Sadar, Nay. Sadar. Jangan tertipu! Kamu tidak tahu senyuman Mas Dhanu itu asli atau palsu."
Begitu mudahnya rasa tidak percaya pada lelaki itu hadir kembali. Semua gegara kenangan masa lalu yang sempat memberinya status cinta pengganti. Rasa trauma itu ada, meski kejadiannya sudah terlampau lama. Jadilah, kini Nayralah yang terjebak dalam keputusan yang dianggapnya benar. Sebuah keputusan yang justru membuat Nayra sulit merasakan ketulusan cinta dari seseorang.
***
You're just too good to be true
(Kau terlalu indah tuk jadi kenyataan)
Can't take my eyes off of you
(Tak bisa kuberhenti memandangmu)
Baru saja Dhanu bersenandung, Nofal sudah melemparinya dengan bantal sofa.
"Eits. Jangan gitu, dong Mas! Lagi bahagia, nih!" ujar Dhanu dengan sejujurnya.
"Lagunya siapa, tuh?"
"Frankie Valli, judulnya Can't Take My Eyes Off You." Dhanu menjelaskan sambil memainkan kedua alisnya.
"Nyanyi buat siapa, Dhan. Nayra atau mantan?"
Ada candaan yang tergambar di wajah Nofal. Sebenarnya Nofal tahu untuk siapa lagu itu dinyanyikan. Hanya saja, Nofal sedang ingin mengerjai sepupunya yang suka blak-blakan kalau sedang menyukai seseorang.
"Ah, pakai ditanya segala. Buat Nayra-lah, Mas."
"Ya siapa tahu buat sang mantan. Haha."
"Jangan bahas mantan lagi, dong Mas. Hubunganku sama dia adalah sebuah kesalahan."
"Terkadang kita harus bertemu orang yang salah dulu sebelum akhirnya bertemu jodoh yang ditakdirkan." Nofal mendadak bijak.
Dhanu refleks saja melemparkan bantal sofa usai Nofal menyelesaikan kalimat bijaknya. Sesaat kemudian, Dhanu pindah tempat duduk di dekat Nofal, kemudian mengucapkan sebuah kalimat yang jika Nayra tahu pasti hatinya akan girang.
"Aku yakin, Nayra adalah jodoh yang ditakdirkan untukku." Dhanu mantap berbicara.
"Nayra harus tahu, nih. Otewe bilang, ah!"
"Eh-eh. Jangan, Mas!"
Langkah Nofal dicegah. Dhanu memegangi lengan Nofal dengan eratnya. Tidak sampai di sana saja, Dhanu juga menarik tangan Nofal agar lekas kembali duduk di tempatnya.
"Kenapa, Dhan? Nayra pasti sudah tahu kalau kamu naksir dia. Kamu sih blak-blakan terus ngasih senyuman ke dia. Pakai acara main tatapan segala." Nofal berbicara sesuai fakta.
Memang, selama ini itulah yang Dhanu lakukan. Setiap satu tahun sekali, Dhanu selalu menyuguhkan senyum termanis disertai tatapan mata. Tanpa ada kata-kata. Tanpa berani menyapa.
"Ya ... iya, sih. Tapi jangan deh Mas. Aku belum siap." Dhanu memegangi lengan Nofal karena khawatir sepupunya itu nekat bilang ke Nayra.
"Dhan, cinta itu butuh pembuktian. Kalau kamu tiap datang ke sini cuma ngasih senyum sama tatapan, buat apa?"
Omongan Nofal ada benarnya. Seketika Dhanu mencerna betul kalimat Nofal kata demi kata. Dhanu sadar, sosok Nayra sudah mengisi hatinya sejak lama. Meski Dhanu sempat bertemu orang yang salah, tapi Dhanu sadar bahwa perasaannya pada Nayra tidak pernah memudar.
"Justru karena itu, Mas. Aku tidak mau sembarangan melangkah."
Dhanu mengambil jeda. Dia menatap keluar jendela, ke arah jendela kamar Nayra. Sejurus kemudian senyum Dhanu pun merekah.
"Di mataku, Nayra begitu indah. Setiap bertemu, aku tidak sanggup mengalihkan tatapan mataku darinya. Jadi, pembuktian cintaku harus sungguh-sungguh kubuat nyata. Nayra bukan calon pacar, tapi calon istri yang akan selalu kusayang."
"Mantap!" seru Nofal sembari melempar Dhanu dengan bantal.
Dhanu dan Nofal larut dalam candaan. Bantal sofa kerap kali dilempar. Memang, sikap Dhanu dan Nofal saat bertemu terlihat kekanakan karena suka sekali perang lempar barang. Akan tetapi, tentang perasaan Dhanu yang seringkali dicurhatkan, itu semua sama sekali bukan candaan.
"By the way, sampai kapan mau gini terus, Dhan? Jangan lama-lama. Nanti Nayra keburu dilamar orang."
"Kerjaanku belum menghasilkan, Mas. Tunggu sebentar sampai aku memiliki modal untuk membahagiakan Nayra. Modal cinta doang nggak pas rasanya, Mas. Setelah apa yang Nayra lalui, aku juga ingin memberi Nayra kecukupan secara materi."
Dhanu serius kali ini. Sedikit banyak, kisah hidup keluarga Nayra yang jauh dari kata berkelimpahan harta telah Dhanu ketahui. Sebisa mungkin Dhanu tidak hanya akan memberinya cinta kasih, melainkan juga materi serta rasa nyaman hingga kebahagiaan lebih.
"Tapi, my body is ...." Dhanu menggantung kalimatnya.
"Gendut maksudmu? Haha. Ya sama kayak aku, Dhan. Kenapa memang?"
"Agak kurang PeDe saja, sih Mas. Nayra langsing, aku begini. Perlu diet nggak kira-kira?" Dhanu serius meminta saran.
"Nggak perlu, Dhan. Cinta itu buta, kok."
"Ah, aku nggak mau Nayra melihatku dengan definisi cinta itu buta. Cintaku ini nyata, Mas."
"Terserah saja, deh. Sana ke depan rumah. Belikan aku cilok pakai saos pedas buat modal jaga rahasia." Nofal bercanda, tapi Dhanu serius menanggapinya.
Jadilah, Dhanu melangkah ringan menuju depan rumah. Dalam hati, Dhanu berharap akan bisa bertemu Nayra untuk memberinya senyuman dan tatapan mata.
***
Sore hari saat Nayra disuruh mengangkat jemuran di depan rumah, tampak Dhanu duduk-duduk di teras rumah tetangga sebelah. Nayra sadar bahwa Dhanu sedang memberikan senyuman. Oleh karena itu, Nayra cepat-cepat mengalihkan pandangan.
Ada yang aneh. Meski Nayra sudah mengalihkan pandang, jantungnya justru terus berdebar seperti tadi pagi saat Nayra dan Dhanu terjerat tatapan.
"Dasar debar candu. Hati sudah menyangkal, tapi jantungku tetap saja berdebar merdu." Batin Nayra, berusaha mendustai perasaannya.
Usai mengangkat jemuran, Nayra sempat kembali memandang. Begitu sadar bahwa Dhanu masih memberi tatapan, Nayra dengan segera balik badan kemudian bergegas masuk ke dalam.
Sampai kapan Nayra akan terjebak dalam keputusan yang dia anggap benar? Nantikan lanjutan ceritanya! JAIME (Saya Mencintai : Bukan Sebagai Cinta Pengganti)
Bersambung ....
Tidak butuh waktu lama hingga kabar itu sampai di telinga Nayra. Rasa tidak percaya sempat melanda. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri menjadi satu-satunya tanda yang meyakinkan Nayra bahwa sosok dalam peti adalah suaminya. “Jam tangan ini adalah hadiah yang kuberikan pada Mas Dhanu di hari bahagia kami. Mas … Dhanu ….” Air mata Nayra tumpah beriringan dengan sesak yang melanda dada. Semua kerabat sudah mengikhlaskan. Termasuk Nayra, dia pun mencoba ikhlash dengan takdir yang digariskan padanya. Meski sudah berminggu-minggu berlalu usai kejadian itu, kesedihan masih saja melanda dada. “Nayra, makanlah ini!” Itu suara lembut Soraya. Sejak menjadi istri Ron, Soraya sudah banyak berubah. Menjadi sosok yang lebih baik dan begitu ramah pada Nayra. Apalagi sejak Nayra kehilangan Dhanu, Soraya lebih sering mengunjungi Nayra. “Terima kasih, Sora. Apa Ron juga datang?” “Tuh! Baru aja selesai ngajak ngobrol si Bagas.”
Pulang kerja lebih awal membuat Nayra girang. Waktu bersama sang suami tentu saja lebih banyak dimanfaatkan. Hanya saja, Nayra terganggu dengan sikap Dhanu yang terkadang berubah sebal saat Nayra membahas tentang pekerjaan.“Kata orang, berbagi beban itu menguntungkan. Meski orang yang kita bagi itu tidak sepenuhnya paham, tapi cukup didengarkan saja membuat beban itu berkurang. Maukah Mas Dhanu berbagi cerita denganku?” tanya Nayra usai beberapa saat menimbang.Penuturan sang istri membuat Dhanu mengubah ego diri. Dhanu memutuskan untuk berterus terang. Tentang pekerjaan, Erika, dan rasa sebal yang masih saja tertanam meski Dhanu sudah memutuskan untuk mengabaikan Erika.“Seperti yang sudah pernah kubilang, Mas. Aku percaya pada Mas Dhanu. Aku tidak masalah jika Mas Dhanu harus berelasi dengan mantan kekasih Mas Dhanu di masa lalu itu. Jadi, Mas Dhanu yang tenang ya saat bekerja. Buang saja rasa sebalnya.”“Aku rasa, tidak a
Klontang! Beberapa peralatan dapur terjatuh. Lengan Nayra tak sengaja menyenggolnya. Dengan tergopoh Nayra mengambilnya, sambil melihat ke arah Dhanu yang tampak tenang-tenang saja. Ada perasaan tak biasa yang mulai dirasakan Nayra. Sikap Dhanulah penyebabnya. Biasanya Dhanu akan bersikap begitu peduli padanya. Akan tetapi, kali ini justru berbeda. Meskipun Dhanu ada di dekat Nayra, tapi Dhanu sama sekali tidak membantu Nayra. Sedari duduk di kursi meja makan, fokus Dhanu tertuju pada layar ponsel. Raut wajahnya tidak berhias senyuman. Sempat Nayra bertanya, tapi Dhanu menjawab seadanya. Lantaran tidak nyaman, Nayra mendekati Dhanu dan mempertanyakan. “Mas, apa aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Nayra dengan hati-hati. Dhanu yang semula fokus ke layar ponsel, langsung mendongak usai mendengar pertanyaan itu. Dengan cepat Dhanu menggelengkan kepala, kemudian memberikan senyuman termanisnya untuk sang istri tercinta. “Maafkan aku,
Tamu kecil yang berdiri di depan pintu sama sekali tidak Nayra kenal. Nayra sempat tengok kiri kanan, siapa tahu ada orang lain yang mengantar. Namun, tidak ada tanda orang lain di sekitaran. Si tamu yang tak lain adalah bocah laki-laki itu datang sendirian.“Tadi … kamu memanggilku apa?” tanya Nayra sambil memposisikan tubuhnya hingga sejajar dengan tinggi si bocah.“Hehe. Iya, maaf. Kak Nayra.”Dengan lugunya bocah laki-laki itu tersenyum sambil menyodorkan wadah makanan berwarna biru dominan. Sambil tersenyum, Nayra menerima wadah makanan tersebut, dan tak lupa mengusap kepala si bocah dengan ramah.“Anak ganteng, siapa namamu?”“Bagas.”“Hai, Bagas. Berapa usiamu?”Si bocah lekaki bernama Bagas itu tidak menjawab, melainkan berhitung dari satu sampai tujuh sambil membuka satu per satu jemari tangannya. Selesai berhitung di angka tujuh, Bagas menyebutkan usianya den
Jalan tak melulu lurus. Ada kalanya belokan dan jalan bercabang tersuguh mengiringi perjalanan. Sesekali kerikil memberi kesan kasar. Bahkan, bebatuan besar nan tajam juga turut membayang di tepian.Ini bukan tentang kiasan hidup, melainkan perjalanan nyata yang ditempuh oleh Dhanu dan sahabat baiknya, Ron. Mereka berdua baru saja melewati jalan yang kurang nyaman untuk dilewati. Banyak belokan, jalan bercabang, kerikil, bahkan bebatuan besar di tepian cukup sering mereka jumpai.Ada perasaan gusar bercampur protes yang mengiringi perjalanan. Dhanu dan Ron bergantian saling menyalahkan atas kondisi yang saat ini harus bisa segera diselesaikan.“Belok kanan, Dhan! Aku yakin itu jalan yang benar!” seru Ron dari boncengan motor.“Kau yakin kali ini, Ron? Jika tidak, kita akan tersesat semakin jauh!”“Yakin sekali. Pasti ada warga di ujung jalan sana. Satu petunjuk saja, kita bisa pulang dengan segera.” Ron menggebu-
Rumah minimalis dua lantai, dengan garasi mobil dan teras depan yang tidak terlalu lebar. Di sinilah Nayra dan Dhanu tinggal. Kado pernikahan dari orangtua Dhanu memang menakjubkan. Sebuah rumah yang menjadi awal kehidupan baru setelah pernikahan.Hanya saja, rumah Nayra dan Dhanu terletak cukup jauh dari rumah orantua Dhanu. Letak rumah baru itu dipilih karena orangtua Dhanu juga memikirkan pekerjaan putranya. Sehingga, Dhanu tidak perlu lagi mengontrak rumah di dekat perusahaan tempatnya bekerja.Nayra, setelah menikah dengan Dhanu dia masih belum memikirkan untuk kembali bekerja. Lagipula, Dhanu meminta Nayra untuk terus menemaninya. Paham posisi dan status sebagai istri, membuat Nayra dengan ringan hati menuruti keinginan sang suami.“Mas, ayah ibu Mas Dhanu barusan telepon.”“Ada apa katanya?”“Ada yang kirim kado pernikahan buat kita di rumah sana, Mas.”“Akan kutelpon adik-adikku dulu. Biar ka