Share

Episode 4 : Rasa yang Serupa

Senyum manis tersuguh. Bukan dari Nayra, melainkan dari Dhanu. Tatapan mata bersahabat, juga senyum yang terus melekat, pastilah membuat wanita terpikat. Sayangnya, usai hati Nayra terkunci, rasa peka itu tidak begitu dirasa lagi. Senyuman Dhanu tidak begitu ditanggapi. 

Balik badan, Nayra langsung menuju kamar. Nayra duduk di tepian ranjang, kemudian senyum-senyum sendirian. Akan tetapi, senyum Nayra saat ini bukanlah senyum balasan atas senyum yang tadi Dhanu suguhkan. Nayra tersenyum karena masih merasa menang dari Ivan. 

"Mas Ivan pasti menyesal," ucap Nayra diiringi senyuman yang terus merekah.

Nayra berdiri, kemudian bermonolog lagi.

"Mas Ivan, Maaf. Ini adalah keputusan terbaik. Tidak ada lagi kesempatan kedua untukmu. Dengan sikapmu yang masih tetap sama, bisa saja luka itu akan kembali tercipta."

Mantap sekali Nayra berkata. Hati Nayra kini benar-benar lega. Satu tahun usai putus cinta, kini Nayra berkesempatan melihat penyesalan mantan kekasihnya. Nayra bukan bermaksud jahat. Hanya saja dulunya dia telah merasakan rasa sakit hati yang sangat. 

Puas dengan pemikiran pribadi, Nayra menuju cermin lalu merapikan penampilan diri. Langkah kaki Nayra kemudian diayunkan menuju jendela kamar. Berniat membukanya lebar-lebar sembari menghirup aroma pagi yang masih segar. Begitu jendela dibuka, yang terlihat justru sosok tampan yang tadi pagi baru tiba.

Di sana, di seberang jendela kamar Nayra, di jendela rumah sebelah, Dhanu melihat Nayra dengan tanpa mengedipkan mata. Senyum Dhanu juga masih tersuguh sama manisnya. 

Nayra sempat membalas tatapan mata. Namun, itu tidak disengaja. Setelahnya, Nayra acuh dan kembali menutup jendela kamarnya. 

Terduduk di tepi ranjang, Nayra memegangi dada kirinya. Ada debar di sana. Nayra tahu, debar itu tercipta karena ulah tatapan mata Dhanu. Namun, dengan cepat Nayra bisa meredam debaran itu.

"Mas Dhanu. Apakah dia masih menyukaiku seperti dulu?" 

Tetiba saja pertanyaan itu terlintas di benak Nayra. Dan ... seketika itu ingatan Nayra melambung ke masa beberapa tahun silam, saat Nayra masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Saat itulah Nayra pertama kali melihat sosok Dhanu. Saat itu pula pertama kali senyum Dhanu tersuguh. 

Dhanu, dia telah hadir di kehidupan Nayra jauuuuuh sebelum Ivan menawarkan cinta. Hanya saja, Dhanu tinggal di luar kota. Intensitas pertemuannya dengan Nayra hanya setahun sekali saat hari raya. Saat bertemu pun yang bisa disuguhkan Dhanu hanyalah senyum untuk Nayra, tanpa berani menyapa ataupun mengajak berbicara. 

Larut dalam ingatan, membuat Nayra menyunggingkan senyuman. Nayra ingat betul kejadian beberapa tahun silam saat dia pertama kali mendapat senyuman. Ya, senyuman Dhanu tersuguh usai pandangan pertama itu. Nayra yang kala itu belum mengerti tentang definisi cinta hanya mampu membalas senyum yang sama sembari merasa bahagia. 

Cinta monyet, itulah kata yang tepat menggambarkan Nayra dan Dhanu di masa kecil mereka. Nayra dan Dhanu di kala itu sama-sama merasakan bahagia tanpa mengerti bahwa itu adalah perasaan cinta. Dan ... sikap Nayra dan Dhanu terus berulang di tahun berikutnya. Tahun berikutnya lagi, dan lagi. Hanya satu tahun sekali, dan itu cukup mencipta benih-benih yang menyejukkan hati. 

Pertemuan setahun sekali tanpa diimbangi pemahaman tentang hati, membuat Nayra begitu mudah teralih. Saat masa SMA, senyum Dhanu sudah tidak begitu memenuhi benak Nayra. Fokus Nayra bahkan teralihkan sepenuhnya pada pelajaran. Lagi-lagi, kondisi ekonomi keluarga menjadi alasan untuk bisa lebih semangat belajar. Nayra mengejar beasiswa untuk bisa lanjut kuliah. Sejak saat itulah nama Dhanu mulai memudar. 

"Rupanya, aku pernah main hati dengan Mas Dhanu. Sempat melupakan juga waktu itu. Sampai akhirnya aku kuliah, dan hadirlah Mas Ivan dengan cinta palsunya." 

Deg!

Mimik wajah Nayra langsung berubah begitu teringat Ivan. Tidak ingin mengingat hal yang menyakitkan, seketika Nayra menggeleng berulang. 

"Sudah, Nay. Cukup sudah. Jangan memikirkan apa pun tentang laki-laki. Mas Ivan sudah cukup jadi pelajaran untukmu agar hati-hati." 

Nayra optimis sekali. Lagi-lagi dia teringat untuk mengunci hati dan tidak percaya pada laki-laki. 

***

Dhanu duduk berdua dengan sepupunya. Agak menjauh dari anggota keluarga lainnya, agar bisa sedikit berbagi apa yang dirasa. 

"Mas Nofal, Nayra ambil jurusan apa?" tanya Dhanu pada sepupunya. 

"Pendidikan. Kenapa? Masih naksir sama Nayra?"

Pertanyaan Nofal tidak langsung ditanggapi oleh Dhanu. Yang Dhanu suguhkan hanya senyum yang terus-terusan mengembang menyiratkan perasaan. Senyum Dhanu sudah cukup menegaskan bahwa perasaannya masih tetap sama seperti saat pertama kali bertemu Nayra beberapa tahun silam.

"Cie ... yang masih cinta." Nofal menggoda Dhanu sambil melempar bantal sofa.

"Jurusan pendidikan sama hukum cocok kan, ya Mas?"

"Ya cocok-cocok saja sih kalau dicocokin. By the way, cewekmu yang itu gimana, Dhan?" 

Deg!

Senyum Dhanu memudar. Memang, sebelum ini Dhanu sempat menjalin hubungan dengan teman kuliahnya. Namun, hubungan itu telah berakhir dan hanya menyisakan bekas luka. Kurang lebih kisah Nayra dan Dhanu hampir serupa. Sama-sama pernah merasakan luka akibat pengkhianatan cinta. 

"Sudah jadi mantan, Mas. Jangan dibahas!" tegas Dhanu.

Nofal paham keadaan. Dia pun tidak melanjutkan. Dengan cekatan Nofal kembali membahas Nayra. 

"Kalau beneran masih naksir Nayra, usahakan bahwa perasaanmu bukan pelarian cinta." Nofal bijak memberi nasihat.

Nasihat itu diterima dengan lapang. Senyum Dhanu pun kembali mengembang. Satu anggukan mantap diberikan. 

***

Hari-hari pun berlalu. Setahun lagi telah berlalu. Nayra masih tetap mengunci hati, dan masih menganggap buaya setiap lelaki. Sementara Dhanu, dia masih sama seperti tahun lalu. Masih menyuguhkan senyum untuk Nayra di pertemuan mereka yang hanya setahun sekali saja. 

Terus seperti itu hingga Nayra dan Dhanu sama-sama telah lulus kuliah. Nayra telah bekerja di dunia pendidikan, sementara Dhanu telah bekerja di sebuah perusahaan. 

"Hati-hati di sana, Feb. Kalau ada buaya yang menggoda, acuhkan saja." Nayra berpesan via telepon.

"Yaelah, Nay. Kamu masih saja bilang buaya ke setiap lelaki. Ingat umur Nay. Cepetan nikah. Sekali saja deh kamu coba percaya, di luaran sana banyak lelaki yang bukan buaya." 

Febi, meski sudah tidak satu kota dengan Nayra, dia masih saja sering memberi nasihat khususnya tentang cinta. 

"Ya-ya. Akan kupikirkan nanti. Kabar-kabar ya kalau pulang kampung. Aku mau lanjut ngerjain tugas dulu nih, Feb."

"Oke. Kerja yang rajin, biar dapat suami yang tajir. Hahaha." 

"Febi, udah ah."

"Eh-eh, Nay. Satu lagi. Jangan lupa kabari aku kalau kamu mau nikah dengan pangeran kuda putih pilihanmu! Wajib kasih tahu. Harus!"

"Nggak janji ah. Bye-bye Febi. Oya, Makan yang banyak di sana biar kita nggak samaan kurusnya. Hihi. Bye!"

Nayra menutup penggilan telepon dengan nada canda. Sudah biasa dilakukan jika sedang bertelepon ria dengan Febi. 

"Apa sudah waktunya aku menikah? Tapi dengan siapa?" 

Dari sekian banyak nasihat yang telah Nayra terima, baru kali ini dia kepikiran untuk menikah. Mengingat juga, usia Nayra sudah semakin bertambah dan memang sudah saatnya untuk berkeluarga. 

Bersamaan dengan itu, Nayra menyadari bahwa hatinya sudah tidak lagi terkunci. Akan tetapi, rasa tidak percaya pada lelaki masih sering muncul dan membentengi hati. Itulah yang sampai saat ini membuat Nayra enggan untuk dekat-dekat dengan lelaki, apalagi sampai memberi harapan lebih. 

Langkah kaki Nayra selanjutnya membawanya ke arah depan rumah. Tanpa diduga, ada Dhanu dan keluarganya baru saja tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Dhanu menyuguhkan senyuman dengan tatapan mata penuh pengharapan. 

Sekilas, Nayra terpana. Apalagi, penampilan Dhanu kali ini benar-benar berbeda dari sebelumnya. Tubuh Dhanu tinggi, tegap, berisi. Pakaiannya tampak sederhana, tapi style masa kini. Dari semua itu, yang menjadi sorotan Nayra adalah kumis tipis di wajah Dhanu. Seketika itu jantung Nayra pun berirama merdu. 

Deg-deg Deg-deg 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status