Saat meninggalkan kapster salon, wajah Widya benar-benar sumringah, karena berjalan dikawal oleh sang bodyguard-nya , yang tampan dan perkasa. Dan Jasman pun merasa, seolah-olah ia tengah mengawal seorang putri raja. Putri yang cantik.
Benar. Secara physical, Widya adalah sosok wanita muda yang memiliki aura dan pesona yang membuat laki-laki mana pun yang melihatnya akan terpukau. Kulitnya kuning langsat, wajah oval, pipi laksana pauh dilayang, kata orang dulu, bibir agak tebal tapi mungil bak sepasang permata rubi, dan sepasang mata indah dan senantiasa seolah tersenyum. Ketika ia berjalan dengan dikawal oleh seorang pemuda yang ganteng dengan penampilan bodyguard sejati seperti dalam film-film, maka orang-orang langsung berasumsi, bahwa wanita cantik itu pastilah bukan wanita sembarangan.
Saat Widya mengajaknya untuk mampir di sebuah restoran seafood yang masih berada di kawasan Malioboro dan mengajaknya untuk makan serta, Jasman berkata setengah berbisik di dekat telinganya: "Mbak saja yang makan. Saya harus bersikap profesional sebagai layaknya seorang pengawal pribadi."
"Tapi kan Dik Jas belum makan?" sahut Widya juga setengah berbisik.
"Gampanglah urusan itu, Mbak. Ntar beli nasi Padang saja, makan di hotel. Lagi pula saya nggak cocok dengan seafood. Kadang bikin alergi"
Widya menyembunyikan senyumnya dengan punggung tangannya, lalu berkata, "Baiklah."
Sehabis makan Widya mengajak Jasman untuk nonton di sebuah bioskop yang berada di Jl. Solo. "Katanya ada film terbaru produksi Warner Bros, aktornya Ryan Reynolds. Mbak ingin menghabiskan malam ini bersama Dik Jas."
"Siap!" ucap Jasman.
Jasman sebenarnya tergolong anak muda yang kolot dalam hal dunia hiburan malam. Mungkin seumur hidupnya ia tak pernah masuk di sebuah nite club, cafe, bahkan menonton film di bioskop. Jika pun ingin menonton, ia lebih suka memanfaatkan fasilitas internet dengan menonton film di YouTube, toh sama saja. Walau filmnya sudah lama, baginya tetap baru karena ia belum pernah menontonnya. Tapi karena ia sedang bekerja, dia pun akan mengikuti dan mengawal ke mana pun sang bos cantiknya itu mengajaknya. Dia ingin menunjukkan dirinya sebagai seorang bodyguard yang baik dan profesional bagi Widya.
Saat dalam seat bioskop, tangan Widya tak mau lepas dilingkarkan ke pergelangan tangan sang bodyguard tampannya. Dan Jasman membiarkannya saja hal itu terjadi, walau jantung nya tak ayal dibuat berdetak lebih cepat dari normalnya. Apalagi suasana ruang bioskop gelap yang hanya mendapat sedikit cahaya dari layar bioskop saja. Bagaimanapun, ia adalah pemuda yang sangat normal. Namun ia tetap berusaha untuk menenangkan diri dan hatinya, lalu tetap bersikap sewajarnya.
Keluar dari bioskop meminta kepada Jasman untuk membawanya ke suatu tempat yang romantis. “Tadi kan Mbak Sudah berjanji untuk menghabiskan malam ini denganmu, Dik Jas.”
Tempat yang romantis? Bukankah romantis itu adanya dari dalam hati dan bukan di suatu tempat tertentu? Tapi Jasman tak mau menolak permintaan dari wanita yang kini telah menjadi bosnya itu, semasih hal itu dapat membuatnya kembali bahagia. Lagi pula tugasnya adalah sebagai bodyguard, tentu ia harus menjalankan tugasnya itu secara profesional. “Tempat seperti apa yang ingin Mbak Wid datangi?”
“Mbak ingin menikmati suasana malam di alam terbuka. Dik Jas tau nggak spot wisata malam yang bagus?”
“Tau sih lumayan banyak, tetapi baru satu dua tempat yang pernah saya kunjungi,” jawab Jasman sembari mengurangi temperatur AC. Saat itu ia dan Widya sudah berada dalam mobil.
“Di mana saja itu?”
“Yang satu di daerah Bantul, namanya Pintoe Langit Dahromo, Tempatnya bagus dan romantis juga, karena terletak di atas sebuah bukit,”jelas Jasman.
“Pinto Langit? Kok terdengar aneh gimana gitu ya namanya?” ucap Widyanti, keheranan.
“Oh itu karena di atas bukit ada sejenis pintu buatan yang seolah-olah untuk menuju ke langit, gitu. Tempatnya sangat bagus terutama untuk dijadikan spot untuk berfoto. Di atas sana kita juga dapat melihat panorama malam dan gemerlapan lampu-lampu di Yogyakarta,”Jasman menjelaskan.
“Lalu destinasi wisata malam lain di mana?”
“Mbak Wid pernah menikmati suasana malam di Taman Pelangi nggak?”
“Waw, dari namanya saja sudah bikin penasaran,” ucap Widya. “Di mana itu?”
“Di Monjali (Monumen Jogja Kembali),” jawab Jasman.
“Kalau di Monjali pernah, tapi malam.”
“Kalau siang hari namanya Monjali, kalau malam sebutannya Taman Pelangi Jogja. Disebut Taman Pelangi karena seantero taman di sekitar Monjali dipenuhi oleh lampu-lampu dan lampion yang berwarna-warni layaknya sebuah pelangi. Bahkan, patung-patung yang ada di area Taman Pelangi Jogja bisa menyala. Pokoknya bagus, deh.”
“Well! Dik Jas bawa Mbak di sana saja, ya?” ucap Widya seraya menatap dan tersenyum pada Jasman. Lalu tanpa sungkan disandarkannya kepalanya di lengan kiri sang bodyguard-nya yang kekar.
Sekali lagi, Jasman membiarkannya saja. Ia ingin bos cantiknya itu merasa nyaman di sampingnya. Jadi dia sudah mulai terbiasa dengan sikap manja dari wanita cantik nan malang itu.
Sesampai di tempat tujuan, Widya begitu terpesona melihat pemandangan malam yang demikian indah. Dia terlihat sangat bergembira sekali, seolah-olah kepelikan hidupnya terhapus dalam memori otaknya saat itu.
“Indah sekali tempat ini, Dik Jas. Mbak benar-benar baru tahu kalau di Monjali ada wisata malamnya. Duh, terima kasih Dik, karena sudah mengajak Mbak ke mari,”ucap Widya dengan wajah berbinar-binar sembari bergelayut manja di lengan Jasman.
“Masih ada kok destinasi wisata malam yang tak kalah indah dari ini Mbak di Jogja. Kalau Mbak mau jalan-jalan ke sana suatu saat, saya siap mengantarkan.”
“Benarkah?”
“Tentu, Mbak.”
“Janji?”tanya Widya sembari membengkokkan jari kelingkingnya.
“Janji!” jawab Jasman tegas sembari mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking bos cantiknya.
“Duh, kenapa Mbak tak tahu banyak ya? Padahal di Jogja ini Mbak bukan orang baru, lho. Yang Mbak tahu ya Parangtris, Telaga Putri lereng Merapi, Kali Kuning, Samas, Borobudur, Prambanan, Keraton, dan tentu saja Malioboro.”
“Ya wajar, karena Mbak Wid teralu sibuk dengan pekerjaan, mungkin?”
“Iya sih, bisa jadi.”
“Ayok Mbak, kita foto-foto di bawah lampion itu,” ajak Jasman menunjuk sebuah taman lampion yang dipenuhi oleh ribuan lampu-lampu kecil berwarna-warni dengan gerbang yang berbentuk hati setengah.
Kepada seorang pemuda yang saat itu tengah berjalan bergandengan lengan tangan dengan ceweknya Jasman meminta bantuan untuk mengambilkan gambar sambil menyerahkan hapenya.
Widyanti sangat senang melakukan foto berdua dengan Jasman. Berbagai fose mereka lakukan. Tentu yang memilih pose-pose itu adalah Widya. Ada pose dengan memeluk tubuh Jasman dari belakang sembari menjulurkan lidahnya, ada pose menempelkan pipinya ke pipi sang bodyguard gantengnya, dan dilanjutkan dengan pose mencium pipinya. Dan paling gila lagi adalah pose digendong oleh Jasman. Jasman sebenarnya merasa rikuh sekaligus degdegan luar biasa ketika diminta untuk pose begitu. Bagaimana pun, sekali lagi, ia adalah seorang pemuda yang sangat normal yang memiliki hasrat terhadap wanita. Apalagi wanita yang digendongnya adalah seorang wanita yang cantik.
“Terima kasih, ya Mas, atas bantuannya,” ucap Jasman kepada pemuda yang telah mengambil gambar fotonya dengan Widya sembari mengambil kembali hapenya dari tangan si pemuda.
“Iya, Mas, sama-sama,”balas si pemuda. Dan sembari melangkah pergi bersama ceweknya, pemuda itu menoleh dan berkata lagi, “Mas dan Mbaknya pasangan yang sangat serasi dan sepadan. Cantik dan ganteng.”
Mendengar perkataan itu, Widya dan Jasman langsung saling bertatapan, lau sama-sama tertawa. Tetapi bagi Widya, ucapan si pemuda tadi terasa sangat mengena dalam hatinya, dan tak urung merubah warna wajahnya menjadi kemerah-merahan, dan jantungnya berdetak aneh.
Sebenarnya, Jasman menangkap perubahan di wajah bos cantiknya dan reaksi apa yang dirasakan oleh hatinya ketika mendengar ucapan salah paham dari pemuda tadi. Tapi ia tak mau terpengaruh, walau reaksi yang sama terasa juga dalam hatinya. Ia berusaha untuk menyingkirkannya jauh-jauh apa yang ia rasakan. Lalu dengan sedikit membuang pandangannya ke arah lain, ia menggandeng tangan Widya dan mengajaknya untuk menikmati kuliner yang tersedia di lapak-lapak street food yang cukup banyak di sekitar itu. Mereka menikmati soto sapi ala Jogja yang lezat. Kebetulan juga ia belum makan dari tadi sore.
Di Taman Pelangi mereka duduk-dudu cerita hingga jauh malam. Nyaris menjelang subuh baru mereka kembali ke hotel.
***
Agak lama Ningrum terdiam, sebelum berkata, “Menikahlah dengan Mas Jas, Mbak, demi Nak Bima. Saya ikhlas menerima Mbak Wid sebagai madu saya.” Seolah tak percaya, Mbak Widya sesaat melihat kesungguhan di wajah Ningrum, lalu dia mbangkit dan memeluk tubuh Ningrum. “Ya Allah Dik, Mbak tak cukup rasanya kalau hanya membalas keikhlasan hatimu dengan ucapan terima kasih saja. Kau wanita yang sangat baik dan berbudi luhur, pantas kaumendapatkan laki-laki baik dan berbudi luhur juga seperti Dik Jas. Terima kasih tiada terhingga buatmu Dik.” Ningrum pun membalas pelukan erat Mbak Widya. Pelukan yang sudah cukup untuk mewakili jawaban lewat kata-kata. Seperti keinginan bersama, Jasman datang melamar Widya ke kedua orang tuanya di Unga
“Hmm. Rumit juga ya, Mas? Tapi menurut Ning, ya jika segala sesuatu dilaksanakan secara baik-baik insha Allah semuanya akan baik-baik saja. Tuhan kan sudah memberi kelebihan bagi kaum pria untuk dapat mencintai wanita lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Karena itu Allah mempersilakan bagi seorang pria untuk menikahi sampai empat wanita, jika mampu berbuat adil. Jika tidak, ya cukup satu saja. Lalu dengan kasus temannya Mas itu…jika semata-mata demi perkembangan anaknya yang terlanjur jadi itu, ya bagusnya dinikahi. Asal dengan catatan tadi, mampu berbuat adil. Adil dalam berbagi rejeki dan adil dalam berbagi waktu dan kasih sayang.” “Maksud Ning, dia harus menikahi ibu dari anaknya itu tanpa sepengetahuan istrinya?” “Ya harus ijin dulu dong sama istri pertamanya. Jika tidak izin, ber
Rencana selanjutnya Jasman akan balik ke Jogja. Akan tetapi baru saja ia akan mengarahkan arah mobilnya menuju Jogja, ponselnya berbunyi. Telepon dari Widya. “Ya, assalamualaikum Mbak. Astagfirullah…Bima sakit apa? Terus dirawat di rumah sakita mana…? Oh, baik, saya akan langsung ke Ungaran. Kebetulan ini saya lagi di Magelang.” Adit langsung mengarahkan mobilnya ke kiri, menuju Ungaran. Tak lupa ia menepon ke Ningrum, bahwa ia akan langsung ke Ungaran, dan kemungkinan akan pulang besok atau lusa. “Ya, baik, yang hati-hati di jalan ya, Mas?” Bima dirawat di sebuah rumah sakit di kota Ungaran. Menurut dokter yang merawatnya, Bima mengalami demam dan muntah-muntah. “Bima hanya mengalami flu perut saja Pak. Besok juga sudah bisa keluar.” J
Ningrum memeluk tubuh suaminya dengan penuh rasa sayang. Lalu terakhir Jasman memberikan sebuah kejutan besar kepada Ningrum. Dia membawa istrinya itu dari rumah dengan naik mobil. Sejak dari dari rumah ia menutup mata istrinya dengan sebuah masker mulut. “Ada apa sih, Mas, kok mata Ning ditutup?” protes Ningrum manja. “Nggaklama kok, Sayang. Mas ingin memberikan sebuah kejutan buatmu, Dik,” ucap Jasman seraya mulai menjalankan mobilnya. “Hmm, Ning jadi penasaranbingit, nih!” Tak terlalu jauh dari rumah mereka, Jasman memelankan jalan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan di depan halaman sebuah b
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya.&n
Jas duduk di kursi di samping Widya. “Selamat bertemu lagi, Mbak. Dunia ternyata begitu sempit, ya? Atau memang ini rencana Tuhan agak kita bisa bertemu lagi?” ucap Jasman pelan. Anak yang ada dalam pangkuan Widya menoleh dan menatap wajahnya. Jasman menyapanya dengan suara kecil dan melambaikan tangannya. Namun entah mengapa, saat ia bertatapan dengan balita dalam pangkuan Widya itu, ada perasaan aneh yang menjalar dalam nuraninya. Ia merasa sangat menyukai wajah anak itu dan seolah-olah ia telah mengenalnya. “Iya Dik. Mbak juga nggak menyangka kita bisa bertemu lagi,” ucap Widyia seraya melap sisa air matanya lantan menatap wajah Jas. Andaikata sikonnya mendukung, ia ingin memeluk tubuh laki-laki muda di samp